Sebagai saudara 'dekat' LPG yang biasa kami gunakan di dapur Pondok Dahar Lauk Jogja, CNG atau yang populer disebut 'gas kota/gas pipa' untuk kebutuhan memasak rumah tangga ternyata digunakan pula di sektor otomotif dengan sebutan BBG (bahan bakar gas). Salah satu pengguna utama BBG tentunya Bus Transjakarta yang mesinnya menggunakan murni BBG. Lho, memang ada yang 'tidak murni menggunakan BBG'? Ya, ada. Saat ini ada pula kendaraan bermotor yang dapat menggunakan baik BBG maupun BBM biasa dengan alat converter bahan bakar khusus yang dapat dipasangkan pada kendaraan.
Cukup menarik mencermati keluhan seorang rekan di Transjakarta terkait kualitas BBG yang diisikan ke bus-bus Transjakarta : "kandungan airnya masih cukup tinggi." Menurutnya, sekitar 6 bulan sekali, tangki BBG harus dikuras untuk mengeluarkan air dari dalamnya (akan terkumpul sekitar 600 ml cairan yang merupakan campuran oli dan air setiap 6 bulan), padahal pabrikan bus Transjakarta di Korea menjamin tangki BBG bus mereka tak perlu dikuras dalam waktu hingga 10 tahun. Bisa jadi karena di negara asalnya kandungan uap air dalam CNG sudah sangat rendah.
Bus Transjakarta dan Salah Satu Halte Bus Transjakarta di Jl. Gatot Subroto, Jakarta
Tampaknya memang kandungan uap air dalam CNG merupakan masalah yang penting untuk diselesaikan bersama. Jika kita menilik SK Dirjen Migas tentang CNG, kadar uap air dibatasi maksimum 3,0 lb/mmscf. Sementara menurut pengakuan Stasiun Pengisian BBG (SPBG), aktual kadar uap air masih sekitar 7,0 ~ 10,0 lb/mmscf. Penggunaan heater memang dapat mengurangi kadar air, namun jika kadar air CNG dari kilangnya memang cukup tinggi, setelah melewati heater pun kadar uap airnya masih di atas standar SK Dirjen Migas. Hal ini masih menjadi topik hangat diskusi dalam upaya standarisasi CNG.
Masalah kedua yang juga cukup alot dibahas adalah odorisasi CNG (pemberian zat pembau seperti pada LPG). Bau merupakan indikator awal adanya kebocoran gas yang amat penting agar manusia segera waspada. Tanpa bau, dikhawatirkan kebocoran akan terus terjadi sehingga kadar CNG di dalam ruangan atau kabin mobil terus naik ke level berbahaya. Namun, pemberian zat pembau pada CNG ternyata sedikit berbeda dengan LPG karena tekanan kerja CNG jauh lebih tinggi dari LPG yang ditengarai membuat zat pembau tak dapat berfungsi optimum. Hal ini pun masih harus diputuskan dalam standarisasi CNG.
Kami mengharapkan semoga proses standarisasi CNG dapat berlangsung dengan baik dan efektif untuk keselamatan seluruh pihak terkait CNG.
Info bagus mba,
BalasHapuskalo boleh tau, standarisasi CNG nya udah sampe mana ya?
tq.
Terima kasih telah berkunjung ke blog kami, Pak Eko.
HapusItu suami saya yg ikut meeting pembahasan SNI CNG-nya. Menurut suami sudah sejak awal 2012 naik ke e-balloting... seharusnya sih setelah e-balloting dan tidak ada sanggahan dari stake holder SNI-nya bisa diterbitkan oleh BSN.
Kalau mau pasti info update-nya, Bapak bisa cek langsung di web BSN, Pak : www.bsn.go.id, nanti bisa dilihat apakah SNI CNG ini sudah released atau belum (kl belum berarti di web BSN-nya masih berstatus RSNI).
Masih menurut suami, next step stlh SNI CNG adalah SNI LPG... tapi belum ada update lagi dari Migas sbg instansi tempat panitia teknis SNI produk2 tsb berada.