Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Jumat, 21 Oktober 2011

Berburu Sepatu di Cibaduyut, Bandung

Sabtu lalu (29 Nov 2014) kami sudah jalan dari rumah di Bekasi sekitar pukul 7 pagi menuju Bandung untuk menghadiri pernikahan saudara dari pihak suami (hitungannya sih sepupunya suami), Uli binti Parsaulian Siregar yang akad nikahnya dilaksanakan di rumah Uli di bilangan Cijagra, Buah Batu, Bandung, sekitar pukul 14 hari itu. Nah, karena ternyata anak-anak sepatunya sudah agak butut :-(, kami sepakat mampir dulu ke Cibaduyut supaya anak-anak bisa tampil gaya. So, suami tidak keluar tol di exit Buah Batu seperti biasanya jika kami langsung menuju rumah mertua, tetapi keluar di exit Moh. Toha.
"Sebenarnya sih lebih dekat dari exit Kopo, tapi jalan Kopo biasanya macet," begitu kata suami ketika itu terkait pilihannya keluar di Moh. Toha.
Tugu sepatu, tercemari grafiti dan tertutup tiang-tiang
Begitulah... sekitar pukul 9.30 pagi kami alhamdulillah telah tiba dengan selamat di sebuah toko sepatu langganan keluarga suami sejak lama di kawasan Cibaduyut ternama. Bagi kami sendiri, kemarin itu sebenarnya kali pertama kami berkunjung ke Cibaduyut! Walaupun sudah lebih dari 10 tahun punya mertua yang tinggal di Bandung, selama ini kami memang tidak pernah main-main ke sini. Membeli sepatu selalu di mall atau toko dekat rumah.
"Bunda, itu difoto tugu sepatunya, Bun," kata suami saat hendak belok kiri dari jalan Sukarno-Hatta ke jalan Cibaduyut.

Awalnya kami agak kesulitan menemukan tugu sepatu yang dimaksud oleh suami. Tapi akhirnya kelihatan juga. Well, tugu sepatu berbentuk sepasang sepatu kulit pria dan wanita berwarna hitam sebagai penanda kawasan sentra industri sepatu Cibaduyut saat ini kurang terlihat dari jauh, agak tenggelam oleh tiang-tiang lampu lalu lintas dan lainnya yang lebih tinggi. Beberapa coretan graffiti di tiangnya menambah kesan kusam tugu sepatu yang semestinya tampak menawan ini. Dulu saat belum ada apa-apa di sekitarnya, bisa jadi tugu sepatu ini menjadi objek paling menarik perhatian di perempatan itu. Namun saat ini, ada baiknya jika tugu sepatu itu direnovasi agar lebih tinggi dan stand out dari kejauhan sekalipun...

Dari beberapa sumber di internet, kami memperoleh informasi bahwa sentra industri sepatu Cibaduyut ini diresmikan sebagai daerah wisata pada tahun 1989 oleh Presiden RI saat itu, yaitu Bapak H.M. Suharto. Nyambung sih dengan keterangan suami bahwa saat ia masih TK dan awal SD di Bandung (sekitar tahun 1982-an), ayah mertua kami beberapa kali mengajaknya membeli sepatu sekolah di Cibaduyut. Jadi pada tahun 1980-an Cibaduyut memang telah terkenal sebagai sentra industri sepatu rumahan, dan diresmikan keberadaannya pada tahun 1989.
Lebih jauh lagi menelusuri sejarah, konon pada tahun 1920 seseorang bernama Bang Kelang yang berasal dari Ciomas, Bogor, bekerja di perusahaan perajin sepatu milik warga Tionghoa di daerah Suniaraja, Bandung. Setelah sekian lama mengasah keterampilan membuat sepatu, Bang Kelang menikah dengan gadis Bandung, lalu tinggal di Cibaduyut. Meningkatnya order sepatu memaksa Bang Kelang untuk membawa sebagian pekerjaannya dari pabrik di Suniaraja ke rumah, sehingga kemudian para tetangganya pun ikut belajar membuat sepatu. Lama-lama banyak tetangganya yang diberi order pembuatan sepatu borongan ketika pesanan sepatu sedang tinggi. Akhirnya, Cibaduyut menjadi sentra home industry alas kaki hingga sekarang. Kemungkinan tak hanya Bang Kelang seorang yang merintis usaha produksi sepatu seperti ini, namun beberapa pionir lain yang memiliki keterampilan serupa dan awalnya bekerja di pabrik sepatu pun memilih memproduksi sepatu sendiri di kawasan ini. Mereka kemudian merekrut tetangganya untuk membantu usaha mereka.
Sebelum penjajahan Jepang, tahun 1940-an, di Cibaduyut tercatat telah ada 89 orang perajin sepatu. Hal ini tidak terlepas dengan semakin meningkatnya pesanan menyusul penilaian konsumen bahwa produk Cibaduyut memiliki kualitas yang baik pada saat itu. Setelah kemerdekaan RI, pada tahun 1950-an jumlah unit usaha alas kaki telah berkembang menjadi sekitar 250 unit usaha. Dengan jumlah unit usaha yang besar inilah daerah Cibaduyut mulai dikenal sebagai sentra produksi alas kaki.
Pada tahun 1978 pemerintah pusat melalui Departemen Perindustrian bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melakukan pengkajian dalam rangka bimbingan dan Pengembangan sentra sepatu Cibaduyut. Hasil kajian tersebut merekomendasikan dibangunnya pusat pelayanan fasilitasi pembinaan Center Service Facility (CSF), atau yang lebih dikenal masyarakat pengusaha sepatu dengan sebutan Unit Pelayanan Teknis (UPT) barang kulit.
Hasil produksi sepatu dari gang-gang di belakang jalan utama dipasarkan langsung di kios dan toko di pinggir jalan Cibaduyut ini (persis yang kami jumpai di Kasongan, Jogja, dimana gerabah mentah diproduksi di gang-gang di sebelah dalam, lalu di-finishing dan dijual di toko-toko di sepanjang jalan Raya Kasongan). Deretan kios dan toko sepatu ini sambung-menyambung hingga beberapa km terhitung dari tugu sepatu ke arah selatan. Beberapa situs internet mengklaim Cibaduyut sebagai toko sepatu terpanjang di dunia. Hmmm, masuk akal memang... 
Kualitas alas kaki buatan Cibaduyut umumnya cukup bagus. Modelnya pun beraneka. Saat ini tak hanya alas kaki produksi Cibaduyut yang dijual di sini, tetapi juga alas kaki branded. Ada pula produk yang berasal dari luar kota seperti sandal dan sepatu murah dari Tasikmalaya maupun Ciomas, Bogor. 
Secara geografis, Cibaduyut terletak di belahan selatan kota Bandung. Untuk mencapai kawasan industri sepatu Cibaduyut, kita bisa memilih banyak cara. Dari Stasiun KA Bandung bisa langsung naik angkot ke Cibaduyut. Demikian pula dari terminal Cicaheum dapat ditempuh dengan naik angkot jurusan Leuwi Panjang. Cibaduyut sebenarnya sangat dekat dengan terminal Leuwi Panjang. Kita bisa berjalan santai sekitar 300 meter saja ke arah kawasan ini.

OK, kembali ke pengalaman kami berkunjung ke Cibaduyut kemarin, dari tugu sepatu masuk ke jalan Cibaduyut hari Sabtu pagi ternyata sudah dipadati pengunjung. Mayoritas kendaraan yang parkir di kanan-kiri jalan adalah pelat B. Mesti ekstra sabar untuk mencari parkir di sini. 

Suami kami tidak ikut mencari parkir pinggir jalan, tetapi langsung menuju ke sebuah toko sepatu langganan : Toko Oval. Parkirnya enak, dan konsepnya one stop : ada ATM, jajanan dan oleh-oleh, serta range product-nya juga banyak, jadi nggak perlu pindah-pindah ke toko lainnya lagi, demikian menurut suami.
Ketika kami akhirnya masuk ke Toko Oval, suami justru tampak celingukan. "Kok beda ya dengan kondisi dulu," komentarnya. Suami kami bercerita bahwa terakhir kali ia datang ke sana (masalahnya, terakhir kalinya itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu!) di sekitar tempat parkir mobil banyak penjual jajanan khas Bandung, dan ujung belakang terdapat toilet serta mushalla. Namun yang kami lihat kemarin sudah jauh berbeda. Kawasan toko ini tampaknya sedang diperluas ke arah belakang, namun kios-kios yang nantinya akan menjadi pusat jajanan itu belum 100% jadi. Beberapa kios oleh-oleh tampak ada di belakang, dekat mushalla di lantai 2. Lahan parkir yang luas dan kios oleh-oleh ini kami tunjukkan pada foto di bawah.

Di dalam toko, argh... benar-benar jadi lapar mata! Harus kuat iman supaya dompet tidak jebol...


 





Berbelanja di toko langganan ini berbeda seninya dengan berbelanja di toko lain yang umumnya berukuran lebih kecil di sepanjang Cibaduyut. Di toko besar, harga sepatu dan produk lain biasanya sudah fix, sudah ditempel label harga. Sementara jika berbelanja di kios sepatu yang lebih kecil, kita bisa menawar karena memang biasanya di sini belum ada label harga. Terserah Anda sih, lebih suka yang mana.
Terakhir, mengenai hari sibuk... seperti halnya seluruh kota Bandung lainnya, kawasan Cibaduyut menjadi lebih padat setiap hari Sabtu-Ahad atau hari libur lainnya. Tingginya angka turis yang berkunjung ke Bandung untuk melewatkan hari libur menjadi penyebabnya.

2 komentar: