Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Senin, 07 Juli 2014

Tips dan Cerita Perjalanan Umrah 1435 H (Bagian 1 : Madinah)

Bambu ulir daun bambu jari isi 3 rumpun/btg, Rp. 7500/btg
Dari perjalanan umrah kami dan suami pada Ramadhan 1435 H ini, setidaknya kami mendapatkan beberapa tips dan cerita yang insyaallah berguna bagi rekan-rekan yang lain dalam perjalanan ke tanah suci. Well, here are our stories...

Minimal ada 3 hal yang harus dipersiapkan dan dipastikan menjelang rencana keberangkatan yaitu :

1. Ikhlas : luruskan niat hanya melaksanakan ibadah umrah untuk Allah dan hanya mengharapkan balasan dari Allah, tidak dari makhluk. Definisi ikhlas di sini memang agak berbeda dengan pengertian ikhlas versi bahasa Indonesia yang lebih ke 'tidak mengharapkan balasan atau tanpa pamrih'. Definisi ikhlas syariah justru mengharapkan balasan/pahala hanya dari Allah, karena kalau tidak dari Allah maka dari siapa lagi kita sebagai makhluk berharap?
2. Halal : biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan umrah sebagaimana ibadah lainnya haruslah dipastikan berasal dari sumber-sumber yang halal.
Bambu-ranting minimalis, Rp.150rb/set
3. I'tiba : tatacara peribadatan umrah kita harus sesuai dengan tuntunan dan contoh yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, bukan dari tatacara lain yang baru/tidak dikenal di jaman Rasulullah SAW dan sahabat.

Nah, poin 1 dan 2 di atas semestinya tidak terlalu sulit dilakukan, karena lebih kembali pada niat dan daya upaya kita pribadi. Tetapi poin 3 agak berbeda.
Hal penting untuk sedapat mungkin i'tiba dalam ibadah kita adalah memilih pembimbing umrah yang syar'i. Di tanah air sebenarnya sangat banyak biro umrah resmi. Namun sedapat mungkin kami sarankan untuk memastikan dulu pribadi pembimbing yang akan mendampingi kita ke tanah suci adalah pembimbing yang insyaallah sesuai sunnah Rasulullah SAW.
Patokan pertama biro umrah/pembimbing syar'i menurut pengamatan kami adalah mereka akan menolak memberangkatkan calon umrah wanita yang tidak didampingi mahram, karena wanita harus bersama mahram ketika melakukan safar.
Hal lain adalah biro umrah ini akan membatasi diri hanya pada bacaan doa yang dicontohkan Rsulullah SAW ketika umrah, mulai dari niat umrah di miqat, talbiyah sesuai sunnah, thawaf syar'i yang sebenarnya sangat simpel dengan bacaan 'rabbana atina fiddunya hasanah, wafil akhirati hasanah, waqina 'azabannar' ketika kita melintasi ka'bah di antara rukun yamani hingga hajar aswad (bacaan doa sapujagat ini tentunya mustahil tidak diketahui oleh semua muslim), serta sa'i antara bukit Shafa-Marwah sesuai syariat. Sangat sederhana dan mudah, jauh dari kesan sulit karena panjangnya doa-doa yang mesti dibaca/dihafalkan seperti bayangan kami sebelumnya.
Pentingnya memastikan poin 3 ini kami lihat sendiri buktinya pada hari-H di Makkah. Jadi, ada sekitar 12 orang dari biro umrah lain yang dititipkan ke rombongan kami. Ke-12 orang tersebut terus bersama-sama dengan kami mulai dari tiba di Madinah hingga ber-umrah di Makkah. Namun dalam pelaksanaan umrah, mereka didampingi oleh mutawwif sendiri, tidak bersama dengan pembimbing kami. Sesekali kami melihat bahwa mutawwif mereka membacakan doa, lalu mereka mengikutinya, sementara mereka seperti tidak mengetahui bagaimana tatacara umrah yang syar'i. Cara ini tentu rentan kesalahan jika mereka tidak hafal/mengetahui dengan pasti doa apa yang harus dibaca. Sayang sekali tentunya jika ibadah umrah kita terganggu akibat hal-hal seperti ini.
Ranting inul bunga lily besar (vas kayu 45 cm), Rp. 250rb/set

Keberangkatan dan Hari Pertama di Tanah Suci
Hal pertama yang harus dipastikan tentunya tiba di bandara keberangkatan setidaknya 2 jam sebelum jadwal take off pesawat. Lebih cepat lebih baik, karena kita akan terhindar dari ketergesaan. Keberangkatan umrah bersama rombongan tentunya berbeda dengan keberangkatan pribadi. Bersama rombongan, kita tidak bisa seenaknya boarding atau masuk ke imigrasi sendiri. Semua harus bersama-sama, agar tidak ada yang tertinggal. Bagi mereka yang sudah terbiasa melakukan traveling sendiri, keharusan menunggu yang lain ini bisa jadi terasa mengekang. Namun kita harus sedikit bersabar, karena memang anggota rombongan harus selalu lengkap.
Pastikan Anda membawa pelembab bibir/kulit, topi lebar, serta kacamata hitam. Pelembab berguna mencegah bibir/kulit pecah-pecah mengingat udara jazirah Arab yang kering dengan kelembaban amat rendah. Kami telah mengalami bibir pecah pada hari pertama tiba di Madinah, sehingga karena kami tidak membawa pelembab dari tanah air, kami terpaksa mencarinya di sana... And worse... saat kami mulai memakai pelembab, bibir sudah terlanjur pecah-pecah. Hal ini mengganggu saat makan dan berbicara di sana. Suami yang tampaknya lebih terbiasa dengan udara kering baru mengalami bibir pecah pada hari ke-5... pada hari itu ia mulai menggunakan pelembab. Tapi tetap saja artinya sudah terlambat, karena bibir sudah terlanjur pecah-pecah.
Topi lebar dan kacamata hitam tentunya digunakan untuk melindungi kepala dan mata dari terik matahari kota-kota Saudi yang sangat terik lagi menyilaukan.
Pigura 3D daisy ungu (kayu, @ 60*20*4cm), Rp.75rb/pc atau Rp. 200rb/set of 3
Jangan khawatir dengan masalah bahasa karena sebenarnya orang-orang Arab yang berhubungan dengan aktivitas haji dan umrah umumnya fasih berbahasa Indonesia/Melayu, mengingat banyaknya jamaah haji dan umrah asal Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Terutama para pedagang Arab di hotel-hotel serta jalan seputaran masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah, serta shopping center yang rutin dikunjungi jamaah berbahasa Melayu. Mereka semua fasih berbahasa Indonesia.
Staff hotel yang kami tempati di Madinah dan Makkah pun ternyata orang Indonesia. Umumnya mereka dikontrak per 2 tahun. Hotel-hotel Saudi senang mempekerjakan staff dari Indonesia, karena tamu hotel memang akan selalu ada saja yang berasal dari sini, sepanjang tahun.

Mengenai handphone, kami sarankan untuk mengganti simcard kita dengan simcard lokal/Arab. Pertama adalah agar kita tidak terus diganggu dengan urusan di tanah air. Bagi kami, perjalanan umrah adalah perjalanan ibadah yang belum tentu tiap tahun kita jalani... sangat pantas jika dalam perjalanan ini kita tinggalkan dulu segala masalah dunia di tanah air. Toh kita hanya 'menghilang' dari kejaran BBM selama sekitar 10 hari-an...
Kedua adalah karena biaya komunikasi telepon dan SMS via simcard Indonesia dari Arab sangat mahal. Sebaliknya, dengan simcard lokal terhitung sangat murah. Kami memilih simcard mobily selama berada di Saudi. Dengan simcard ini, biaya percakapan ke Indonesia hanya sekiyar 1 riyal per menit, dan 0,5 riyal/SMS (kurs Rp. 3200-an/riyal). Bandingkan dengan Indosat Matrix suami yang mematok Rp. 22.000/menit percakapan telepon dan Rp. 8500/SMS. Suami praktis total mematikan simcard Matrix-nya selama kami berada di Saudi. Kami hanya menggunakan simcard lokal mobily ini.

Harga simcard mobily ini adalah 60 riyal, lebih dari cukup untuk digunakan menelepon anak-anak dan keluarga di Indonesia selama umrah. Bahkan pada hari kepulangan ke Indonesia, kami sengaja menelepon ngalor-ngidul dengan anak-anak untuk menghabiskan sisa pulsa.

Kami menggunakan maskapai Saudia dengan jadwal Jakarta-Madinah dan Jeddah-Jakarta. Perjalanan non stop flight dari Jakarta ke kedua kota itu membutuhkan waktu sekitar 9 setengah jam. Waktu Madinah/Makkah sendiri adalah 4 jam lebih lambat dari WIB. Seluruh pramugari Saudia penerbangan kami ketika itu adalah orang Indonesia.
Well, setelah hampir sepuluh jam berada di dalam pesawat, kami pun mendarat di Bandara Prince Mohammed bin Abdulaziz Madinah pada sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Informasi bahwa temperatur udara luar sore itu mencapai 42 C sempat membuat kami ketar-ketir juga, karena ini bagaimanapun adalah perjalanan pertama kami ke Saudi. Namun setelah menapak ke luar kabin pesawat yang full AC, temperatur segitu ternyata masih bisa ditolerir kok. 

Perjalanan dari bandara ke kawasan Masjid Nabawi hanya memakan waktu sekitar 20 menit. Tak tampak kemacetan di sini. Kami tiba di hotel sekitar pukul 19.20, baru lewat waktu maghrib di Madinah saat itu. Setelah makan malam dan beristirahat sejenak di kamar, kami berombongan menuju Masjid Nabawi...

Masjid Nabawi dan Seputaran Madinah Al Munawwarah
Kami langsung jatuh cinta pada masjid ini sejak pertama kali melihatnya!
Masjid Nabawi sangat modern, namun tetap mempertahankan arsitektur tradisionalnya. Payung-payung yang menjadi ciri khas Masjid Nabawi tidak terlihat malam itu, bermimikri menjadi ratusan tiang raksasa di pelataran masjid. Jika diperhatikan tiang-tiang ini seperti terbuat dari batu/marmer. Namun manakala payungnya mengembang barulah tampak konstruksi bajanya yang sangat kokoh. Konstruksi baja payung dan tiang ini sengaja dicat dengan corak marmer agar terkamuflase sempurna... luar biasa!
Malam hari di pelataran Masjid Nabawi

Saat pagi menjelang siang, tiang-tiang batu itu menunjukkan wajah sebenarnya... mengembang menjadi payung-payung raksasa dengan gerakan perlahan yang sangat halus dan presisi

 Inilah bentuk payung-payung Masjid Nabawi setelah mengembang sempurna

Udara Madinah saat itu untuk ukuran orang Indonesia sangat panas hingga larut malam sekalipun yang tercatat masih sekitar 35 C. Namun demikian, Masjid Nabawi yang full AC terasa nyaman ketika dimasuki. Betah rasanya berdiam diri berlama-lama di dalamnya. Udara segar ini ternyata dihembuskan lewat kisi AC di dasar tiap-tiap tiang masjid... luar biasa membayangkan berapa besar daya listrik yang dibutuhkan untuk mendinginkan masjid raksasa ini...
Masjid Nabawi juga terkenal memanjakan jamaah dengan adanya total sekitar seribuan rak sandal di dalamnya, jadi kita tidak khawatir kehilangan sandal karena disapu/dibersihkan oleh petugas masjid... cukup menghapalkan saja nomor rak tempat kita meletakkan sandal... insyaallah tidak akan hilang/tertukar.
 Kisi-kisi AC di dasar tiang masjid (kiri) dan contoh rak sandal nomor 61 (kanan)

Satu lagi yang menyenangkan dari Masjid Nabawi adalah fasilitas air zamzam non stop kecuali di siang hari bulan Ramadhan. Jamaah tinggal menuangkan saja ke gelas plastik sekali pakai dari galon-galon berisi air zamzam. Tersedia galon air dingin atau normal. Boleh juga mengisi ke botol air mineral 650-an ml untuk dibawa ke hotel. Tapi askar penjaga masjid akan melarang jika kita mengisikannya ke botol 1,5 l atau lebih besar. Rekomendasi kami adalah selalu membawa setidaknya sebotol air zamzam tiap kali shalat... kapan lagi bisa meminum air penuh barokah setiap saat seperti ini?
 Kendaraan pengangkut galon air zamzam (kiri), galon air zamzam siap tuang di dalam masjid (kanan)

Jika kita mengeksplorasi bagian luar Masjid Nabawi dari arah selatan, barulah akan terlihat kubah hijaunya yang terkenal. Kubah ini terletak di atas masjid aslinya yang berukuran jauh lebih kecil dari ukuran total Masjid Nabawi mutakhir. Masjid Nabawi jaman Nabi tentunya belum diperluas hingga keadaan saat ini. 
 Dari denah Masjid Nabawi, tampak ukuran masjid aslinya hanyalah petak kecil di bagian tengah-atas denah yang ditandai oleh petak hijau sebagai tanda lokasi kubah masjid tahap awal (kiri), tampak sebagian kubah hijau yang tertutup kubah perak Masjid Nabawi, sedangkan agak jauh ke depan tampak lokasi pemakaman Baqi' (kanan)

 Tangga naik untuk masuk ke area pemakaman Baqi' yang terletak di sebelah timur Masjid Nabawi. Hanya kaum pria yang diperbolehkan masuk untuk berziarah. Makam-makam kaum muslimin di Baqi' tidak ditinggikan/disemen/dibangun, hanya berupa gundukan tanah dengan sebongkah batu penanda adanya makam... makam seperti inilah yang sesuai syariat Islam. Menarik disimak bahwa pada jaman Nabi, pemakaman Baqi' yang saat ini berada tepat di sisi timur pagar pembatas Masjid Nabawi, dahulunya sudah terhitung luar kota Madinah. Dulu kota Madinah memang hanya berukuran seluas tembok Masjid Nabawi mutakhir (jika dilihat pada denah masjid di atas, kota Madinah jaman Nabi berarti hanya seukuran petak berwarna biru yang saat ini menjadi pelataran masjid)... sangat kecil untuk ukuran kota jaman sekarang.

Tips umum agar kita memperoleh tempat yang nyaman untuk melaksanakan shalat di Masjid Nabawi adalah tiba paling lambat 15 menit sebelum waktu adzan. Jika terlambat maka kita kemungkinan sudah harus shalat di luar/pelataran masjid. Semangat warga Madinah untuk shalat berjamaah di Masjid Nabawi yang keutamaannya 1000 kali shalat di tempat lain ini memang luar biasa... tidak ada bedanya antara shalat Jum'at dan shalat wajib lain : masjid selalu penuh sesak. Luar biasa!

Di Masjid Nabawi (juga Masjidil Haram), tiap selesai shalat wajib hampir pasti akan dilanjutkan dengan shalat jenazah. Maka tips berikutnya adalah pahami tatacara pelaksanaan shalat jenazah. Shalat jenazah terdiri dari 4 takbir dengan bacaan setelah takbir pertama adalah Surat Al Fatihah, setelah takbir kedua adalah shalawat Nabi, dan setelah takbir ketiga adalah doa bagi jenazah yang minimum berbunyi "Allahummaghfirlahu, warhamhu, waafihi, wa'fuanhu". Setelah takbir keempat tidak ada bacaan khusus, biasanya imam akan langsung salam.

karpet hijau raudhah
Jika sudah berada di Masjid Nabawi, tempat yang semestinya dituju adalah raudhah. Raudhah adalah bilik kecil di antara rumah dan mimbar Nabi Muhammad SAW yang insyaallah merupakan tempat yang mustajab untuk melaksanakan dua kali shalat sunnah 2 rakat dan berdoa. Rumah Nabi saat ini sudah menjadi bagian dari Masjid Nabawi menyusul perluasan masjid ke arah timur. Di rumah/kamar Nabi inilah Nabi dimakamkan, beserta Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Raudhah ditandai oleh karpet berwarna hijau yang berbeda dengan karpet merah bagian lain Masjid Nabawi. Wanita hanya bisa masuk raudhah pada sekitar waktu duha dan malam ba'da isya.
'Perjuangan' untuk mencapai raudhah memang tidak mudah, mengingat ratusan ribu jamaah lain pun ingin pula masuk dan berdoa di sini. Kaum pria sebenarnya lebih beruntung karena menurut pengakuan suami, walaupun berdesakan dan berjuang ke dalam, antrian kaum pria relatif lebih tertib. Mungkin karena waktu kaum pria untuk masuk raudhah pun lebih banyak, sehingga kesempatan mereka lebih banyak. Jika shaf sudah ditempati oleh ikhwan lain, kaum pria tidak akan memaksa/menyela masuk. Mereka tertib menunggu giliran.  Askar-askar pria cenderung lebih mudah mengaturnya. Suami kami berkesempatan dua kali masuk ke raudhah.
Raudhah wanita jauh berbeda. Pintu masuk ke raudhah wanita sebenarnya sudah dipisahkan antara akhwat asal Melayu, Turki-Afrika Utara, India-Asia Selatan, dll. Jika dilihat antriannya, maka antrian akhwat Melayu tampak tertib, semua duduk berbaris menunggu giliran. Askar wanita berulang kali berucap 'Indonesia bagus'. Pemandangan jauh berbeda tampak pada lajur akhwat bangsa lain... di sini benar-benar kacau-balau. Askar wanita di sini terus-menerus beradu mulut dengan akhwat bangsa lain ini yang terus memaksa masuk, meski raudhah wanita masih penuh. Tak jarang mereka memotong antrian dari lajur antrian Melayu. Pokoknya heboh dan kacau! Butuh waktu tunggu 2 jam sebelum rombongan kami bisa masuk ke dalam.
Sudah di dalam pun, kami sarankan bagi kaum wanita untuk jangan melaksanakan shalat sunnah dulu sebelum tiba di shaf terdepan. Bukan apa-apa, ketidaktertiban sebagian akhwat yang terus merangsek masuk bisa mengakibatkan cedera serius/terinjak jika kita shalat di shaf belakang. Bukan beniat sengaja menginjak memang, tapi bisa dibayangkan di tengah antrian padat seperti itu kita tidak bisa melihat ke bawah/depan dengan bebas sehingga sangat mungkin kita menginjak akhwat lain yang sedang sujud. Jika semua tertib sebenarnya tidak apa-apa shalat di shaf belakang. Askar wanita kami lihat sudah berupaya maksimal menertibkan jamaah... tapi mereka kalah jumlah, dan memang sebagian akhwat itu bandel-bandel... sukar diatur. Nah, di shaf depan kita bisa lebih bebas dan aman melaksanakan shalat. Begitu pun kami sarankan agar jamaah wanita datang ke raudhah secara berombongan, jangan sendiri-sendiri. Shalatnya pun bergantian... sebagian yang tidak shalat menjaga yang shalat dari belakang agar tidak terdorong/terdesak ke depan. Antrian di raudhah wanita diatur masuk dari belakang dan keluar ke depan.
Mengingat semua jamaah ingin masuk dan beribadah di raudhah, sementara kapasitas raudhah yang kecil itu jelas tidak mampu menampung semua secara berbarengan, kami sangat menghimbau agar kita membatasi diri hanya melaksanakan dua kali shalat 2 rakaat dan berdoa secukupnya di sini, lalu dengan ikhlas bergantian dengan yang lain. Insyaallah keikhlasan kita itu dinilai tinggi di mata Allah. Janganlah seperti banyak jamaah yang kami lihat sengaja duduk berlama-lama, membaca Qur'an, bahkan tidur di raudhah...

Sempat narsis di pertokoan seputar masjid
Beranjak sedikit saja keluar pelataran masjid, kita akan disambut puluhan pedagang kaki lima yang menggelar dagangan mereka di jalan dengan troli (praktis juga, jadi mudah dipindah-pindahkan), atau toko-toko di sekeliling masjid. Berbagai barang mulai dari Qur'an Madinah, baju gamis, jilbab, hingga pernak-pernik oleh-oleh khas Saudi bisa diperoleh di sini. Hampir seluruh pedagang kaki lima di sini bisa berbahasa Indonesia. Jangan pernah ragu untuk menawar harga di sini, namun jangan mengucapkan 'halal' sebelum kita cocok dengan harganya karena itu berarti kita setuju dengan harga yang penjual tawarkan.
Secara umum kami melihat bahwa harga barang di Madinah lebih murah dibanding Makkah, ada baiknya kita membeli oleh-oleh di Madinah saja. Bahkan dibanding pertokoan Balad di Jeddah yang terkenal murah-murah, umumnya harga di Madinah justru lebih murah. Disarankan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna merah selama berbelanja, atau secara umum selama berada di Saudi. Bagi kaum wanita lebih netral memilih pakaian berwarna gelap agar lebih membaur dengan wanita Saudi dan tidak terlihat mencolok.

Selain berkunjung ke Masjid Nabawi, kami sempat pula mendatangi beberapa lokasi menarik lain di seputaran Madinah. Lokasi pertama yang kami datangi adalah Masjid Quba.
Masjid Quba tercatat sebagai masjid pertama yang dibangun dalam peradaban Islam, tepatnya pada 8 Rabiulawal 1 Hijriah. Dahulu masjid yang dibangun di perkebunan kurma ini terletak di luar kota Madinah, tepatnya 5 km tenggara Madinah, namun saat ini sudah terletak di dalam kota menyusul perluasan Madinah.
Keutamaan shalat di Masjid Quba dijelaskan dalam Al Qur'an : "....sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih" (QS At Taubah: 108)
Untuk mengikuti sunnah Nabi, rombongan kami pun shalat sunnah 2 rakaat di sana.
 Menara Masjid Quba (kiri), suasana di dalam Masjid Quba bagian pria (kanan)

Kemudian kami berkunjung ke Jabal Uhud, lokasi perang Uhud di utara Madinah yang terkenal, di mana gugur tak kurang dari 70 orang syuhada Uhud, termasuk Hamzah paman Nabi. Gunung Uhud adalah pegunungan cadas yang besar dan memanjang, sementara bukit yang terkenal sebagai tempat para pemanah pasukan Nabi sebenarnya tidak terlalu besar. Bukit ini, karena sering dinaiki peziarah, kini mengecil/memendek akibat erosi. Bukit ini tersusun dari pasir dan bebatuan kecil yang dapat berjatuhan sehingga terpengaruh oleh aktivitas naik-turunnya manusia. Berbeda dengan Gunung Uhud yang terbuat dari batu cadas yang relatif tak berubah oleh faktor luar.
 Bukit para pemanah pada Perang Uhud tampak dinaiki oleh banyak pengunjung (kiri), suasana pemakaman syuhada Uhud (kanan)

Pemakaman syuhada Uhud dari jauh (kiri), pemandangan Gunung Uhud (kanan)

Setelah itu, kami berkunjung ke perkebunan kurma. Sejak dahulu Madinah memang terkenal dengan perkebunan kurmanya. Berbeda dengan Makkah yang tanahnya tak menghasilkan tanaman apa pun, Madinah sejak jaman Nabi memang dikelilingi kebun kurma.
Kebun kurma yang kami kunjungi tampaknya sudah biasa menerima rombongan haji dan umrah bangsa Melayu... tak mengherankan jika berada di sini serasa ada di Indonesia. Bagaimana tidak, hampir seluruh tulisan di pasar kurma ini berbahasa Indonesia, dan staff di pasar kurma pun orang Indonesia!
Tips di pasar kurma yang ada di sini sebenarnya cukup aneh : jangan membeli oleh-oleh kurma di sini karena harganya lebih mahal dibanding tempat lain. Lho, kok bisa? Tidak tahu pasti memang mengapa kurma di tempat yang dekat kebun penghasil kurma ini justru lebih mahal... tapi memang kami buktikan sendiri bahwa kurma yang dijajakan oleh toko kurma dekat hotel di Madinah lebih murah.
 Hamparan kebun kurma di sekitar area parkir bus (kiri), suasana kebun kurma (kanan)

 Pintu masuk pasar kurma (tertulis 'MASUK') (kiri), suasana di dalam pasar kurma (kanan)

 Kapan lagi bisa berfoto di depan pohon kurma siap panen seperti ini (kiri), kurma muda (ruthob) tampak dibungkus kantung plastik agar tidak berjatuhan (kanan). Ruthob memiliki rasa keasaman namun segar. Jika dibiarkan ruthob akan menjadi kurma masak seperti biasanya.

Beranjak dari kebun kurma, bus membawa kami ke lokasi peternakan unta yang ditilik dari lamanya perjalanan bus, maka kami perkirakan lokasi peternakan unta ini cukup jauh dari kota. Suasana peternakan unta ini gersang, hanya ada sedikit vegetasi tanaman gurun di daerah ini. Gunung-gunung batu memagari daerah ini. Selain unta, terdapat pula kambing ternak di lokasi ini.

 Begitu bus kami datang, para pemilik unta segera memerahkan susu unta, terlihat unta di bagian tengah foto sedang diperah susunya (kiri), bejana berisi susu unta segar (kanan). Susu unta segar dijual seharga 5 riyal/mangkuk, volume mangkuk ini sekitar 400 ml yang kami dan suami habiskan berdua... tidak mahal.

Suasana 'pasar kaget' susu unta segar, tampak mangkuk stainless yang kami maksud (kiri), sempat berfoto bersama unta putih (kanan)

Berikutnya kami mengunjungi Jabal Magnet yang berlokasi sekitar 30 km utara Madinah. Nama ini ternyata justru diberikan oleh jamaah asal Indonesia. Orang Saudi sendiri menyebutnya Mantiqatul Baido atau tanah putih.
Gunung magnet adalah lokasi yang dianggap memiliki anomali gravitasi karena seolah terdapat gaya tarik magnet horizontal yang menyebabkan kendaraan seperti tertarik menaiki bukit. Akibatnya, saat menuju gunung tarikan gas kendaraan terasa berat meski jalan tampak menurun, sebaliknya ketika meninggalkan gunung yang menanjak, kendaraan justru melaju kencang hingga 100 km/jam meski mesin dimatikan.
Meski tidak mengetahui secara pasti penyebabnya, suami kami yakin bahwa fenomena di Jabal Magnet ini bukan disebabkan oleh gaya magnet, karena jika ya, maka pasti benda-benda logam akan tertarik ke tanah, dan kompas akan kacau. Namun dua hal ini tidak kami rasakan di sini. Suami kami berpendapat bahwa Jabal Magnet memiliki ilusi optik yang menyebabkan orientasi naik-turun manusia menjadi terbalik akibat kontur pegunungan tersebut. Akibatnya, jalan yang sebenarnya turun seolah terlihat menanjak, dan sebaliknya.
Suami kami menggambarkan ilusi optik Jabal Magnet seperti ilustrasi di bawah :

Tak terasa waktu kami di Madinah sudah selesai. Kami serombongan harus pindah ke Makkah untuk melaksanakan umrah. Madinah bagi kami adalah kota yang damai dan menyenangkan. Temperatur udara yang panas tak menghalangi kecintaan kami kepada kota ini dan Masjid Nabawi. Insyaallah kami dapat segera berkunjung kembali ke sini...


Baca juga :
Tips dan Cerita Perjalanan Umrah 1435 H (Bagian 2 : Makkah), klik di sini...

1 komentar: