Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Selasa, 10 April 2018

Jalan-Jalan ke Museum Geologi Bandung

Museum Geologi Bandung berlokasi di Jl. Diponegoro, tak jauh dari Gedung Sate. Gedung klasik bergaya art deco rancangan arsitek Belanda Ir. Menalda van Schouwenburg yang sarat sejarah ini sudah difungsikan sejak Mei 1928, ketika itu sebagai laboratorium geologi yang bertugas untuk melakukan penyelidikan kebumian dan sumber daya mineral.
Lokasinya yang strategis dan dilewati oleh banyak rute kendaraan umum sebenarnya membuat museum ini memiliki potensi untuk sering dikunjungi masyarakat. Tetapi - setidaknya sebelum tahun 2000 - akibat gaya penyajian koleksi museum yang masih statis dan menjemukan khas museum jadul, ketika itu tak banyak warga yang berminat datang kemari. 
Menurut suami kami yang pada periode 1994-1998 kuliah di Bandung, pengunjung sangat sepi. Beberapa kali ia masuk ke museum ini sebagai pengisi waktu saja justru manakala ia sedang menghadiri acara resepsi yang ketika itu sering diadakan di aula museum.

Alhamdulillah kesan ini berubah total sejak revitalisasi Museum Geologi pada 1999 hingga diresmikan oleh Ibu Megawati pada Agustus 2000 yang melibatkan konsultasi dari pemerintah Jepang, bisa dikatakan Museum Geologi Bandung memasuki era baru desain museum modern yang sangat-sangat-sangat kekinian.
Kami sekeluarga berkesempatan berkunjung ke museum ini pada Desember 2017 lalu. Tiket masuk sangat murah menurut kami untuk ukuran museum jaman now : Umum @ Rp. 3000, dan Pelajar/Mahasiswa @ Rp. 2000 (foto di atas). Pada lembar tiket tersebut juga tercantum jam operasional museum, alamat, serta website yang dapat diakses. Hmmm... cukup informatif.

Area parkir mobil museum tersedia di bagian samping bangunan. Kapasitasnya cukup besar. 
Dari arah pintu gerbang kita harus berjalan ke arah kanan untuk menuju loket tiket.
Di sepanjang jalan ke arah pintu masuk gedung terdapat beberapa koleksi museum outdoor seperti fosil batang kayu yang sudah membatu layaknya sebongkah batuan besar. 
Ada lagi koleksi mesin tambang kecil bertuliskan 'exspan' dan mata bor.
Di depan bangunan ketika itu tampak berjejer beberapa stand jajanan yang menawarkan aneka makanan dan minuman ringan. Boleh juga jajan dulu di sini, tapi sebaiknya makanan dan minuman tersebut kita habiskan dulu sebelum masuk ke museum agar tidak berpotensi mengotori koleksi museum.

Pada foto di atas, loket tiket tampak berada di pojok gedung di samping kanan pintu yang dinaungi kanopi hijau. Pintu berkanopi hijau itu adalah akses ke toko suvenir Geo Museum Store. Sebelum masuk, jangan lupa untuk berfoto dulu di entrance museum yang instagramable tersebut, ya.

Di dalam, tampak fosil seekor gajah setinggi sekitar 4m yang berdiri tegak di tengah-tengah ruangan (foto di bawah).
Dari papan informasi, fosil tersebut adalah Gajah Blora (Elephas hysudrindicus) yang pada tahun 2009 rupanya secara spektakuler ditemukan nyaris utuh dalam suatu survei di tepian Bengawan Solo. Proses penggalian dan rekonstruksi fosil ini membutuhkan waktu 4 tahun... lama juga ya. 
Dari hasil penelitian lanjutan, gajah jantan dewasa ini hidup sekitar 165.000 tahun lalu di kawasan aliran Bengawan Solo purba. Berat Gajah Blora purba jantan sperti ini diperkirakan sekitar 6-8 ton. Namun kemudian spesies ini punah, dan Allah menciptakan spesies gajah baru sebagai penggantinya, hingga saat ini.


Dari fosil gajah, kita bisa masuk ke sayap kiri (barat) atau kanan (timur) gedung. Ketika itu kami memilih belok kiri lebih dulu. Ruang sayap barat disebut Ruang Geologi Indonesia, berisi beberapa bilik yang menampilkan informasi tentang hipotesis terjadinya bumi dan tata surya, tatanan tektonik regional yang membentuk struktur batuan nusantara yang disajikan dalam bentuk maket model gerakan lempeng-lempeng kerak bumi yang menarik, keadaan geologi kepulauan Indonesia, serta beberapa fosil purba.



Ketika itu kami masuk berbarengan dengan rombongan mahasiswa sehingga suasana di dalam museum cukup ramai. Ruangan sayap barat ini nyaman karena full AC. Penataan koleksinya pun menarik dan sangat menunjang proses belajar dengan menyenangkan.
Koleksi museum berupa contoh mineral dan batuan dari berbagai penjuru dunia menurut kami sangat informatif, misalnya sampel material kristal quartz (foto di atas) dan amethyst geode dari Brazil berwarna biru keunguan yang misterius (foto di sebelah kanan).
Museum ini juga menyajikan film dokumenter tentang geologi yang edukatif (foto di bawah). Sayangnya karena anak-anak tampaknya belum terlalu tertarik dengan materi yang cukup berat seperti ini, maka kami tidak terlalu lama dapat memperhatikan pemaparannya.  Anak-anak terlihat masih lebih tertarik untuk mencermati bentuk dan warna bebatuan serta mineral lain yang tersaji di sini, yang sebelumnya hanya mereka ketahui dari buku. Hmmm... bagus juga sih, karena paling tidak mereka sekarang tahu bentuk asli dari hal-hal tersebut. 





Di sini juga kami mempelajari hal yang menarik tentang Danau Toba, bahwa ternyata letusan Gunung Toba pada sekitar 75.000 tahun yang lalu tercatat sebagai erupsi terbesar di dunia selama kurun 2 juta tahun terakhir. 
Letusan ini menguras habis dapur magma hingga terjadi amblasan tanah berbentuk kaldera yang sangat luas, yang kemudian terisi air hujan membentuk danau yang disebut Danau Toba.
Super volcano Toba yang dahsyat itu diprediksi memuntahkan hingga 2800 km kubik material vulkanik yang menyelimuti punggung bukit barisan Sumatera bagian tengah, dan abunya menyebar ke seluruh Asia Tenggara. 

Selain materi edukasi tentang Danau Toba di atas, hal lain yang tampak menarik minat anak-anak kami adalah seputar pembentukan daerah karst (kapur) yang ditemukan terutama di bagian selatan Pulau Jawa.
Anak-anak kami ribut mengomentari materi peraga tentang terbentuknya stalaktit, stalakmit, dan tiang batu yang memang umum dijumpai di daerah karst, yang rupanya sudah mereka pahami dari pelajaran di sekolah.
Tapi ujung-ujungnya mereka jadi ingat dan menagih janji kami untuk bertandang ke Gua Pindul, Gunung Kidul, Jogjakarta, yang memang terkenal sebagai kawasan wisata pegunungan kapur di kawasan selatan Propinsi DIY. Iya deh.... in sya Allah kita ke sana, tapi jangan pas masa liburan ya... karena kawasan wisata karst di Gunung Kidul ini memang selalu teramat sangat penuh sesak setiap kali liburan tiba.

Tabletop anggrek bulan ungu bahan kain dengan vas partisi kayu black glossy @ Rp. 75rb/set, update & detil klik di sini...

Selesai berputar-putar di sayap barat, kami pindah ke sayap timur bangunan yang secara umum berisi sejarah pertumbuhan dan kehidupan makhluk hidup primitif hingga jaman modern. Sayap timur ini lebih panas dibanding sisi barat karena sebagian ruangannya langsung bersambungan dengan pintu keluar yang non AC.

Panel-panel peraga yang menghiasi dinding ruangan berisi tentang prediksi keadaan bumi pada 4,5 milyar tahun lalu, kemudian saat makhluk hidup sederhana mulai diciptakan Allah di bumi, meningkat menjadi makhluk amfibi, hingga reptilia raksasa bertulang belakang yang hidup pada Masa Mesozoikum (210-65 juta tahun lalu), terus hingga masa yang lebih modern. 

Kami menyukai berbagai artefak dan fosil hewan serta tumbuhan purba yang disajikan di sayap timur ini. Jadi ingat dulu saat masih anak-anak kami sering bermimpi menemukan fosil cangkang kerang, kepiting, atau hewan laut lain saat pergi ke pantai. Mengamati karang pantai untuk mencari bentuk-bentuk mirip fosil seperti trilobita Xystridura (foto sebelah kiri) atau daun paku-pakuan Pecopteris (foto sebelah kanan) layaknya peneliti... tapi kemudian bosan dan kembali memilih bermain air saja di pantai seperti bocah-bocah lain yang periang. 




Pada area dinding sisi selatan gedung, pusat perhatian adalah replika fosil Tyrannosaurus rex Osborn setinggi 6,5m yang meski ternyata tidak asli tetapi tampak amat realistis. 
Selain itu, di sisi ini berjejer beberapa fosil mamalia purba seperti fosil kuda nil Masa Pleistosen setinggi 1m (Hypotatamus sivalensis Koenigswald) yang ditemukan di Jawa Tengah dalam keadaan sekitar 30% belulang. Ada lagi fosil badak jawa Masa Pleistosen setinggi 1,3m (Rhinoceros sondaicus Desmarest) yang ditemukan di Jawa Timur.
Selain itu kami masih melihat fosil kerbau purba dan gajah purba yang cukup lengkap, selain fosil tengkorak atau beberapa bagian tubuh yang tidak lengkap dari hewan-hewan sejenis rusa, buaya, hingga tempurung tubuh kura-kura primitif.
Bagi anak-anak kami, koleksi spesimen dan artefak di bagian ini tampaknya menjadi salah satu favorit mereka. Tak henti mereka mencoba membandingkan bentuk fisik fosil tersebut dengan gambar-gambar yang selama ini sudah mereka kenal lewat buku-buku ilmu pengetahuan.

Materi lain yang juga berharga di bagian ini adalah sejarah danau purba (cekungan) Bandung, lokasi di mana Kota Kembang saat ini berada. Para ahli geologi memperkirakan bahwa danau kuno ini sudah terbentuk sejak 135.000 tahun silam. Lalu pada gilirannya daerah tepian danau dihuni oleh manusia prasejarah yang dibuktikan dengan ditemukannya beragam artefak masa paleolitikum hingga neolitikum di daerah Dago Pakar dan sekitarnya. 

Salah satu spesimen yang walaupun berukuran hanya kecil saja tetapi cukup mencuri perhatian kami adalah fosil ikan yang ditemukan di Jerman dalam keadaan lengkap (foto di sebelah kanan). 
Ternyata tulang-tulang badan ikan purba yang berukuran cukup halus ini terawetkan dengan nyaris sempurna dan sangat detail.

Panel terakhir yang kami cermati berada di sayap timur ini adalah tentang manusia purba, dan penggolongan ras manusia hingga era modern (foto di bawah).
Tampak dari peta persebaran manusia di dunia bahwa secara umum terdapat 3 ras besar berdasarkan ciri genetisnya yaitu negroid (ditandai warna coklat), kaukasoid (pink), dan mongoloid (kuning). Namun demikian para ahli juga berpendapat bahwa tidak ada manusia modern yang memiliki ras genetik murni karena faktor percampuran antar ras yang telah terjadi sejak lama.


Oke, lantai 1 sudah selesai dijelajahi, lanjut naik ke lantai 2. Lantai atas ini terbagi menjadi ruang tengah dan timur yang bertema 'geologi untuk kehidupan manusia'. Sedangkan ruang barat tampaknya digunakan oleh staff museum sebagai ruang kerja.
Ruang tengah berisi fokus informasi pertambangan emas di situs Grasberg, Papua. Sementara Ruang timur terbagi menjadi 7 bilik yang lebih kecil  yang seluruhnya menyajikan informasi terkait aspek positif dan negatif tata geologi bagi kehidupan manusia, termasuk hal kegunungapian mengingat kita di Indonesia ini hidup di daerah ring of fire, serta aspek-aspek eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral, khususnya di Indonesia.
Sayangnya karena kami dan anak-anak sudah mulai lelah manakala mengeksplorasi ruang-ruang koleksi di lantai 2 ini, maka kami terkesan hanya melihat-lihat secara lebih ringkas saja materi peraga di sini. Tak seperti sebelumnya di lantai dasar yang lebih mendetail.
Desain interior dan teknis penyajian benda-benda koleksi di lantai 2 ini mirip dengan suasana di sayap barat lantai 1. Ruangan full AC yang nyaman dengan visualisasi berciri museum modern.
Sama seperti di lantai 1, di sini pun kami terus bersama-sama dengan rombongan mahasiswa yang rajin memperhatikan beragam artefak dan mencatat, dan juga tak kalah giatnya dalam berfoto-foto selfie... Nggak apa-apa sih, toh di Museum Geologi Bandung ini memang banyak spot yang menarik untuk berfoto.






Turun dari lantai 2, kami keluar dari gedung museum lewat toko suvenir Geo Museum Store yang terlihat juga didesain dengan baik.seperti ruang koleksi yang telah kami jelajahi sebelumnya.
Toko suvenir ini ternyata baru diresmikan pada akhir Desember 2016, jadi memang masih tergolong baru dibandingkan dengan gedung museum dan koleksinya yang telah masuk fase operasional sejak tahun 2000.
Beberapa suvenir populer yang bisa kita temukan di sini di antaranya baju, kaos, jaket, gantungan kunci, serta beberapa jenis batuan/mineral kecil yang bisa dijadikan buah tangan. Selain itu terdapat pula tempat pengolahan batu mulia dan foto booth 3D. 


Yups, dengan demikian selesailah sudah jalan-jalan sekitar 1,5 jam kami mengeksplorasi Museum Geologi Bandung. 
Keluar dari gedung museum, lagi-lagi anak-anak mengajak jajan di beberapa stand yang tetap beroperasi meski gerimis ringan qadarullah turun mengguyur bumi.  
Secara keseluruhan kami angkat jempol buat pengelola Museum Geologi Bandung yang menurut kami telah berhasil menyajikan pengalaman belajar ilmu kebumian dengan cara yang menark dan menyenangkan. Agar dipertahankan dan ditingkatkan terus ya, Pak/Bu...

Jalan-Jalan Empat Jam-an di Seputaran Gasibu Bandung

Jika Anda punya waktu untuk jalan-jalan sekitar 4 jam di seputaran Gasibu Bandung, maka berikut adalah rekomendasi yang pernah kami coba dan terbukti cukup padat namun efisien. 
Secara garis besar jadwalnya adalah sbb. :
* Tiba dan memarkir kendaraan di Jl. Cisangkuy (sekeliling Taman Lansia) sekitar pukul 9 pagi, lebih awal tentunya lebih baik;
* Explore Taman Lansia selama sekitar 15 menit;
* Menyusuri Jl. Cilaki ke arah Gedung Sate, explore selama sekitar 15 menit;
* Menyebrangi Jl. Diponegoro ke Lapangan Gasibu, explore selama sekitar 30 menit, jika Anda memiliki waktu ekstra kami sarankan untuk singgah sejenak di Perpustakaan Gasibu Bandung yang saat ini sudah sangat menarik untuk dikunjungi;
* Menyeberangi Jl. Sentot Alibasyah ke Museum Geologi, explore selama sekitar 1,5 jam;
* Menyeberangi Jl. Diponegoro kembali untuk makan siang dan shalat zuhur di Pasar Cisangkuy selama sekitar 1 jam lebih;
* Mengambil kendaraan dari Jl. Cisangkuy dan cap cus dari area Gasibu...

A. Taman Lansia
Setelah memarkir kendaraan di Jl. Cisangkuy, kita bisa masuk ke area Taman Lansia. Taman yang diresmikan akhir Desember 2014 ini tadinya bernama Taman Cisangkuy.
Dinamakan Taman Lansia karena banyaknya kalangan lanjut usia yang mengunjungi taman yang berlokasi di antara Jl. Cisangkuy dan Jl. Cilaku ini terutama karena adanya trek jalan refleksi dengan batu-batu untuk terapi telapak kaki yang bermanfaat untuk memperlancar peredaran darah. Tetapi meski namanya demikian, sebenanya banyak juga pengunjung dari segala tingkatan usia yang datang ke sini. 
Di ujung selatan Taman Lansia kita bisa melihat barisan sepeda berwarna biru berjejer rapi. Fasilitas e-transport dengan kartu e-transport ini bernama BOSEH alias Bike On the Street Everybody Happy (foto di kiri bawah) Kita dapat memperoleh kartu e-transport untuk menyewa sepeda boseh dengan syarat memperlihatkan e-KTP dan melakukan top up minimal Rp. 10ribu di loket yang berada di sini.
Setelah mendapatkan kartu e-transport, kita tinggal tap saja kartu ini di mesin yang berada di loket boseh, lalu pilih opsi 'meminjam' atau 'mengembalikan' sepeda. Untuk opsi pinjam, sistem akan secara otomastis membuka sepeda yang terkunci di dock sepeda. Lalu pada opsi mengembalikan, lakukan hal yang sama untuk menempatkan dan mengunci kembali sepeda ke dock mana pun yang menyediakan fasilitas boseh terintegrasi ini, yaitu dock/loket-loket penyewaan boseh di Taman Lansia ini, lalu di Museum Geologi/Loop Station, di Alun-Alun Selatan, Alun-Alun Utara (Masjid Agung), Masjid Istiqamah (SMAN 20), Cikapundung Timur, Jl. Dalem Kaum, Taman Pramuka, dan Taman Cibeunying.
Berwisata dengan sepeda boseh tentunya merupakan salah satu opsi mengeksplorasi kota yang sehat. Oh ya, 'boseh' sendiri dalam bahasa Sunda memang berarti 'mengayuh' pedal sepeda...
Kita bisa menyusuri jalan di area dalam Taman Lansia yang tampak terpelihara ini ke arah utara untuk menuju area Gedung Sate, seperti ditunjukkan oleh 3 foto di bawah :




Kami melihat sudah cukup banyak tong sampah tersedia di taman ini, maka jangan membunag sampah sembarangan ya... Bangku-bangku untuk duduk pun ada di beberapa tempat. Cukup nyaman berjalan-jalan singkat, terutama pada pagi hari di Taman Lansia ini.

Tabletop anggrek bulan ungu bahan kain dengan vas partisi kayu black glossy, @ Rp.75rb/set, update & detil klik di sini...

B. Gedung Sate
Siapa yang tak kenal dengan gedung tua peninggalan Belanda yang menjadi icon Kota Kembang ini?
Dari pintu keluar Taman Lansia, sisi timur bangunan megah berwarna putih ini akan terus menemani perjalanan kita (foto di sebelah kanan).
Gedung Sate yang kini menjadi bangunan pusat pemerintahan Jawa Barat ini dibangun pada Juli 1920 hingga selesai pada September 1924. 
Ornamen 6 buah bola yang disusun vertikal layaknya tusuk sate di puncak tertinggi atap Gedung Sate melambangkan biaya 6 juta gulden yang saat itu habis untuk membangunnya. Arsitektur Gedung Sate disebut-sebut merupakan salah satu masterpiece pada masanya, dengan desain anggun indo-eropa yang memadukan gaya Eropa dan langgam timur.
Kekuatan konstruksinya pun jangan ditanya. Dinding tebalnya terbuat dari kepingan batu besar berukuran 1*1*2m yang ketika itu ditambang dari daerah perbukitan di Bandung Timur. Tentunya tak bisa dibandingkan dengan konstruksi bangunan jaman now yang hanya menggunakan batu bata berukuran kecil.
Kami ketika itu berjalan di pedestrian Jl. Diponegoro, cukup unik bahwa di sepanjang pedestrian ini terdapat contoh pola ragam hias dan batik beberapa daerah di Jawa Barat seperti contoh foto di sebelah kiri yang menampilkan ragam hias Batik Garutan (Turih Oncom). Bagus untuk menambah wawasan tentunya...
Ketika itu kami memang tidak sampai masuk ke area halaman Gedung Sate, namun bukanlah yang dicari memang berfoto dengan latar belakang Gedung Sate? 
Olala... saat itu kami baru sadar bahwa selama hampir 15 tahun memiliki mertua yang tinggal di kota Bandung, dan entah berapa kali setahun kami datang ke Ibukota Pringan ini, belum pernah sekali pun kami sempat berfoto di landmark paling terkenal di Kota Kembang. Hadeuh, apa kata dunia???
Dan, jreng... jreng... Akhirnya kami punya juga foto berlatar gelakang Gedung Sate ternama seperti di bawah... Meskipun pagi menjelang siang itu awan cukup tebal menaungi Bandung, kemegahan dan keanggunan gedung klasik ini tak berkurang. Air mancur di halaman Gedung Sate juga sedang beroperasi. Pokoknya sudah sah deh berkunjung ke Bandungnya... 
Saat ini pemerintah setempat sudah menyediakan landmark bertuliskan Gedung Sate yang cukup besar di pagar depan. Pada foto di bawah, Abid berpose di huruf E, Haidar di sisi kanan huruf U, dan Dyandra di belakang huruf N. Ibu mertua kami di sisi huruf D. Sementara suami kami... dia sih seperti biasa tidak tampak di foto karena selalu menjadi fotografer, hehehe.... 

Foto di bawah menunjukkan landmark lengkap Gedung Sate yang baru tampak keseluruhannya jika kita mengambil foto dari Lapangan Gasibu.

C. Gasibu
Tepat di seberang Gedung Sate terdapat lapangan publik yang juga tak kalah terkenalnya, yaitu Lapangan Gasibu. Menurut informasi, keberadaan lapangan ini tak lepas dari aktivitas latihan sepakbola yang awalnya diadakan di lapangan yang berada di Jl. Badaksinga. Namun menyusul rencana pembangunan proyek air bersih (PDAM) di kawasan itu, lapangan sepakbola ini harus dipindahkan. Saat itu para pengurus klub sepakbola meminta ijin pada pemerintah setempat untuk memanfaatkan tanah kosong yang ketika itu ditumbuhi belukar di depan Gedung Sate untuk tempat latihan sepakbola. Pada tahun 1955 walaupun masih sangat sederhana sudah terbentuklah lapangan yang diberi nama Gabungan Sepakbola Indonesia Bandung Utara (Gasibu) di lokasi ini. 

Sementara versi lain menyebutkan bahwa kata 'gasibu' berasal dari gazebo. Konon, dahulu di lapangan di depan Gedung Sate ini terdapat 2 buah gazebo besar yang kira-kira saat ini masing-masing berdiri di dekat Gedung Sate dan satu lagi tak jauh dari lokasi Gedung Telkom.
Apa pun versinya, Lapangan Gasibu sekarang merupakan salah satu landmark Kota Bandung yang paling terkenal sebagai ruang terbuka publik. Fungsi edukasi pun tampaknya tak diabaikan oleh pemkot Bandung, dengan adanya foto para walikota, mulai jaman Bp. R.A. Atmadinata (1945), Bp. R. Syamsoerizal (1945), terus hingga jajaran walikota Bandung saat ini (foto di bawah).

Kondisi lapangan ini pun terus berevolusi dari lapangan rumput yang cukup sederhana dengan lintasan lari dari gravel, hingga kondisi teranyarnya sejak 2016 yang jauh lebih cantik dengan 5 lajur jogging track-nya yang berwarna biru mengelilingi lapangan rumput (foto di bawah). Trek lari sintetis ini cukup empuk dan nyaman di telapak kaki. Kami memilih berlari kecil tanpa alas kaki ketika itu. 
Area persegi yang dibatasi tonggak-tonggak pendek tepat di belakang dua model berhijab pada foto di atas adalah Air Mancur Gasibu yang saat ini juga menjadi tempat selfie favorit wisatawan. Sayangnya operasional air mancur ini terbatas pada sore hari pukul 17:00, lalu 19:00, dan sesi terakhir pada pukul 21:00. Pagi menjelang siang itu pun kami belum bisa menikmati kecantikan air mancur menari dry musical fountain dengan kekuatan semburan air setinggi 2 hingga 6 meter berteknologi Jerman yang diklaim sebagai yang tercanggih di Kota Bandung ini. Siip lah!!!

Anak-anak sempat berlomba lari di trek yang nyaman ini (foto di atas). Pokoknya jangan jaim deh selama berada di sini... Namun selalu patuhi rambu-rambu himbauan dan larangan yang ada demi ketertiban bersama, ya. Fasilitas publik di seputaran Lapangan Gasibu ini buka setiap hari dan gratis.
Sudah sejak lam, setiap Ahad pagi warga Bandung dan sekitarnya tumplek-blek ke area Gasibu. Dulu banyak pedagang kaki lima yang menjual barang di dalam area lapangan hingga mendekati Tugu Monumen Perjuangan di pangkal Jl. Japati. Namun sejak 2016 telah dilakukan penertiban lokasi para pedagang, yaitu dibatasi hanya di sepanjang Jl. Japati dan sebagian Jl. Gasibu. Fungsi lapangan Gasibu sebagai tempat berolahraga dan rekreasi publik pun telah kembali.

Sayangnya lagi saat itu kami tidak memiliki cukup waktu untuk masuk ke Perpustakaan Gasibu yang dikelola oleh Bapusipda Jawa Barat dengan koleksi buku anak, umum, hingga ensiklopedia yang cukup lengkap ini.
Perpustakaan ini diklaim sangat ramah anak, nayaman untuk mebawa keluarga ke sini. Tersedia 8 komputer untuk kebutuhan mengakses e-book atau e-library. 
Perpustakaan yang buka pukul 8 pagi hingga 16 sore ini gratis bagi pengunjung yang datang untuk membaca di tempat. Kita tidak perlu membuat kartu anggota perpustakaan untuk masuk ke sini, cukup mengisi buku tamu dan mematuhi tata tertib saja. Semoga kita semua bisa menjaga dan merawat beragam fasilitas publik ini ya... 

Dan pada akhirnya Lapangan Gasibu sudah pas sekali untuk berolahraga, jalan-jalan, sekedar nongkrong-nongkrong cantik, hingga berburu spot kece buat selfie...

D. Museum Geologi Bandung
Dari Lapangan Gasibu kita cukup berjalan kaki ke arah timur sekitar 150m untuk tiba di pintu gerbang Museum Geologi Bandung (foto di sebelah kanan).
Seperti halnya Gedung Sate, bangunan yang sekarang menjadi Museum Geologi ini pun merupakan buatan Belanda yang telah mulai dibangun pada 1928 hingga selesai pada Mei 1929, ketika itu sebagai laboratorium geologi.
Menurut cerita suami, pada tahun 1990-an ketika ia masih kuliah di Bandung. Museum Geologi ketika itu masih berciri museum jadul yang menjemukan dengan penataan ruang dan koleksi yang statis dan kurang menarik. Alhamdulillah sejak direvitalisasi dengan bantuam JICA (Japan International Cooperation Agency) pada 1999 hingga diresmikan kembali oleh Ibu Megawati pada Agustus 2000, Museum Geologi Bandung telah benar-benar bertansformasi menjadi museum modern yang edukatif dan menarik untuk dikunjungi.
Durasi 1,5jam sebenarnya sangat tidak cukup jika kita benar-benar ingin mengeksplorasi seluruh koleksi museum yang saat ini dibagi menjadi 3 klasifikasi ini : Sejarah Kehidupan, Geologi Indonesia, serta Geologi dan Kehidupan Manusia. Tapi untuk sekedar menjelajahi seluruh bagian museum dan eksplorasi singkat sih waktu itu seharusnya memadai.
Secara keseluruhan sangat tidak rugi menyempatkan waktu berkunjung ke sini. Apalagi dengan tiket masuk yang tergolong sangat murah : umum @ Rp. 3000/orang, dan pelajar/mahasiswa @ Rp. 2000/orang. Recommended lah pokoknya....
Artikel kami yang lebih detil tentang Museum Geologi Bandung tersedia di link berikut : Museum Geologi Bandung. 

E. Pasar Cisangkuy
Sekitar pukul 11:30 siang, kami bergerak dari Museum Geologi kembali ke Jl. Cisangkuy. Sedikit gerimis ketika itu, kami berjalan agak tergesa untuk makan siang di kawasan teduh ini yang memang tak pernah sepi dari pedagang kuliner seperti ditunjukkan oleh foto di samping kanan. 
Pilihan populer yang sudah ada sejak lama adalah menuju Yoghurt Cisangkuy. Namun kali ini kami memilih mencoba jajanan Pasar Cisangkuy yang berlokasi tepat di sebelah kiri Yoghurt Cisangkuy. Ketika itu adalah kali pertama kami datang menjajal Pasar Cisangkuy.
Dari luar, resto ini mudah dikenali berkat adanya papan nama yang cukup besar dan unik (foto di kiri bawah). Halaman depan bangunan yang tampaknya didesain bergaya gudang tempo doeloe ini tampak dipenuhi oleh sepeda motor yang sedang diparkir. 
Area parkir mobil terdapat di seberang bangunan resto, yaitu di sisi dekat Taman Lansia. Kami pun saat itu memarkir mobil di area ini.
Sesuai dengan namanya, konsep resto yang beralamat di Jl. Cisangkuy no. 64 ini memang cafe 1001 macam menu yang menarik dan memudahkan pengunjung untuk memesan aneka genre hidangan di satu tempat. 
Tak kurang dari 40 tenant aneka jenis masakan bergabung di resto berkapasitas hingga 280 tempat duduk ini.
Walaupun area Pasar Cisangkuy tak seberapa luas, tetapi desain interior resto ini pandai memanfaatkan hampir setiap jengkal kavling untuk dijadikan tempat yang fungsional sekaligus berkesan cozy.
Kami perhatikan setidaknya terdapat beberapa kategori ruang santap di cafe ini : indoor, outdoor, serta sofa. Terdapat juga stage untuk live music performance, area bermain anak-anak, serta photo booth untuk berselfie. Selain itu masih ada okupansi ruangan untuk toilet dan mushalla, meskipun memang mushalla di Pasar Cisangkuy ini tergolong sangat sempit dan kurang nyaman. Hanya tersedia tempat untuk 1 shaf di sini, sehingga sulit untuk shalat berjamaah.

Memasuki ruangan resto, sebenarnya kami agak khawatir karena terkesan sempit dan berantakan dengan deretan gerobak/showcase milik para tenant (foto sebelah kanan). Waduh... bagaimana situasi di dalamnya ya? Begitu kira-kira pikiran kami.
Namun semua berubah drastis begitu kami tiba di dalam (area ruang santap indoor) yang tampak jauh lebih rapi dan hangat dibanding akses masuk yang baru saja kami lewati (foto di bawah).
Saat kami tiba di sana, seluruh ruang santap tampak masih lengang sehingga kami bisa memilih akan duduk di mana saja yang kami suka. Padahal waktu itu sudah mendekati jam makan siang... biasanya sudah lumayan sulit mencari meja kosong di jam-jam seperti itu. Akhirnya kami yang ketika itu datang berenam mencoba area outdoor, di meja berkapasitas cukup besar.




Jangan kaget lho saat menerima buku menu Pasar Cisangkuy (foto di sebelah kiri) dari staff resto, karena buku menu di sini teramat sangat tebal sekali untuk ukuran buku menu rumah makan. Jelas saja tebal, karena jumlah tenant Pasar Cisangkuy yang kurang lebih 40 itu. Jika masing-masing tenant butuh 2 halaman menu saja, bisa dihitung total jendral jumlah halaman buku menu di sini sudah 80 halaman.
Buku menu itu dicetak dengan baik dan seluruh halamannya dilindungi oleh lembaran plastik agar awet dan tak mudah kotor/sobek.
Pokoknya kita bisa puas deh memilih aneka rupa menu dari beragam genre hidangan di sini. Mulai dari jajanan rakyat macam siomay dan gorengan, aneka hidangan berbahan dasar mie, beragam sate tradisional, kue-kue cubit dan sebangsanya, pisang coklat, lumpia basah... hingga menu ala oppa-oppa kece di drama Korea juga tersedia.
Harga makanan danminuman di sini relatif terjangkau semua kalangan alias tidak membuat dompet jebol. Yoghurt, milkshake dan float misalnya, dijual Rp.15rb hingga Rp.20rb-an per gelasnya, artinya masih agak lebih hemat dibanding di Yoghurt Cisangkuy. Aneka susu murni di kisaran Rp. 15rb-an. Lalu beragam pilihan juice di Rp. 18rb-an. Gorilla punch dalam pitcher besar di kisaran Rp.25rb-an. Teh tarik Rp. 10rb-an. Nasi goreng dan sate sekitar Rp. 25rb-an hingga Rp. 35rb-an Bulgogi kimbab dan bibim bab di kisaran Rp. 25rb-an. Sekitar itulah kira-kira harganya.
Soal rasa menurut kami ada di level standar hingga enak, tapi istimewa juga belum. Pelayanan agak lama meski saat kami datang ke sana sebenarnya pengunjung sedang sepi. Mungkin karena perlu waktu untuk memesan ke banyak tenant, dan waktu penyiapan makanan para tenant itu juga bervariasi. Untungnya atmosfir food court ini terbilang cozy, enak untuk ngobrol santai bersama keluarga, sehingga menunggu sedikit lebih lama pun tidak masalah...



Sekitar setengah jam berada di Pasar Cisangkuy, adzan zuhur berkumandang. Kami menunaikan shalat secara bergantian di mushalla resto ini yang memang sempit. Agaknya di antara tempat wudhu mushalla Pasar Cisangkuy dan tempat shalat perlu diberi tambahan dinding penghalang agar cipratan air wudhu tidak masuk ke area shalat. Kami perhatikan sebagian sajadah yang berada dekat tempat wudhu sudah basah karena memang terkena cipratan air.
Overall food court ini recommended menurut kami. Lain waktu kami berkunjung ke seputaran Gasibu lagi, in sya Allah kami akan mampir kembali ke sini.
Selesai santap siang jam menunjukkan sekitar pukul 1 siang. Kami mengambil mobil yang terparkir di seberang jalan tak jauh dari Pasar Cisangkuy. Total jenderal waktu yang dihabiskan adalah sekitar 4 jam. Sangat efisien menurut kami. Anda boleh coba manakala ada kesempatan....

Trivia
Jika Anda mau sedikit bereksperimen dan tak keberatan untuk berangkat lebih pagi, mengapa tidak menggabungkan jadwal 4 jam mengeksplorasi Area Gasibu di atas dengan sarapan di Punclut? Detil acara jalan-jalan pagi ke daerah Punclut, Bandung Utara, bisa disimak di link berikut : Punclut Bandung