Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Jumat, 16 November 2018

Jalan-Jalan ke Dieng : Desa Sembungan, Desa Tertinggi di Pulau Jawa


Dari spot sebelumnya (Kawah Sikidang), kami menempuh perjalanan singkat sekitar 15 menit saja ke Desa Sembungan yang berjarak 3,8 km ke arah tenggara kawasan kawah.
Pemukiman yang secara administratif berada di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo ini tercatat sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa, tepatnya terletak pada ketinggian 2306m di atas permukaan laut.
Nama Desa 'Sembungan' (Blumea balsamifera) konon berasal dari sejenis tanaman 'sembung' yang banyak tumbuh di daerah sekitar Telaga Cebong tersebut.
Versi lain menyebutkan asal muasal sebutan dari nama seorang tokoh Joko Sembung atau Kiai Adam Sari yang merupakan saudara Sunan Kalijaga.
Desa yang tercatat telah terbentuk jajaran pemerintahannya pada tahun 1936 tersebut dulunya dikenal sebagai pemukiman yang serba terbatas dalam bidang ekonomi. Tetapi kemudian status itu berubah seiring dengan perkembangan kegiatan pertanian yang subur, dengan beberapa budidaya andalan seperti wortel, terong belanda, carica, dan purwaceng.
Sebagai pemukiman di dataran tinggi, temperatur udara di Sembungan selalu tergolong sejuk. Tetapi justru pada musim kemaraulah seringkali temperatur udara di pagi hari mencapai titik terendahnya, hingga di bawah 0 derajat C.

7. Desa Sembungan dan Homestay Cahaya
Kondisi jalan aspal dari Kawah Sikidang hingga Gapura Masuk Desa Sembungan (foto di bawah) secara umum cukup baik meski memang tidak lebar. Di beberapa tempat memang lapisan aspal sudah tergerus menyisakan bebatuan di bawahnya, tetapi keseluruhannya masih layak.
Saat kami berada di gapura itu, suasana sangat sepi, nyaris tidak ada pengendara lain yang berseliweran di jalan. Kami sempat berhenti sejenak untuk sekedar berfoto di depan gapura yang cukup terkenal ini...
Menjelang memasuki kawasan pemukiman, kami melewati pos tiket masuk bertuliskan Wisata Sunrise Gunung Sikunir sebesar Rp. 10.000 per orang seperti gambar di sebelah kanan.
Namun kala itu petugas hanya meminta pembayaran tiket untuk 3 orang saja, artinya hanya kami 2 orang dewasa dan anak pertama yang sudah kelas 9 saja yang dihitung, sementara anak kecil tidak dimintai pembayaran.
Kami menginap di Homestay Cahaya (foto di sebelah bawah-kiri). Sebagai informasi, di Dieng memang tidak tersedia hotel berbintang sebagaimana biasanya tersedia di tempat-tempat wisata. Kabarnya hal ini karena pemerintah daerah setempat ingin membangkitkan peran serta masyarakat dalam aktivitas pariwisata Dieng, termasuk dalam hal penginapan bagi para pelancong... Bagus juga arahannya.

Kami tiba di lokasi Cahaya pada sekitar pukul 16:30. Saat itu tidak ada tamu selain keluarga kami, walaupun belakangan ternyata datang lagi tamu yang menyewa 1 kamar lain di lantai bawah. Total ketika itu hanya 2 kamar yang terisi, hingga penginapan ini serasa milik pribadi, hehehe...
Kamar tipe Family di Cahaya dijual seharga Rp. 500.000 per malam tanpa sarapan. Menurut kami sepadan dengan kondisi dan fasilitas yang diberikan pada tamu.
Homestay Cahaya terletak di sebelah kanan jalan agak ke ujung desa, melewati lokasi perumahan warga, dan sudah mendekati areal perkebunan di sepanjang tepian Telaga Cebong menjelang Bukit Sikunir.
Setelah sejenak leyeh-leyeh di dalam kamar yang ternyata cukup luas dan view-nya benar-benar juara... sekitar pukul 17:00 kami memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak seputar Sembungan sembari mencari makan malam di warung makan warga setempat.


Tak jauh dari Cahaya terdapat spot foto yang sebenarnya hanya terbuat dari sususan botol plastik air mineral  yang dicat aneka warna seperti foto di sebelah kanan.
Sederhana tapi cukup menarik. Ya iyalah... lha wong latar belakangnya saja Telaga Cebong yang cantik dan Bukit Sikunir...
Kami terus berjalan santai ke arah perumahan penduduk Sembungan yang tampak cukup padat. Menurut data yang kami peroleh, penduduk desa ini berjumlah sekitar 1400 jiwa. Mayoritas bermata pencaharian sebagai petani.
Di sepanjang jalan utama Sembungan tampak rumah-rumah penduduk yang sebagian sudah disulap menjadi penginapan seperti foto di bawah. Sebagian homestay memang terlihat memiliki tempat parkir mobil tamu di halamannnya, tetapi sebagian lain tampaknya tidak. Area parkir mobil di halaman masing-masing penginapan pun sepertinya hanya menampung hingga 3 mobil... 
Kami membayangkan bagaimana crowded-nya desa yang cantik ini pada musim liburan, manakala pengunjung ramai menyerbu Dieng. Kami saja yang ketika itu datang pada masa low season sempat harus bergantian lewat saat harus berpapasan dengan mobil lain pada bagian penyempitan jalan. Yah, mengemudi perlahan saja di sini, toh memang niat kita untuk bersantai, kan? 



Tak jauh dari Masjid Al-Mujahidin (foto di sebelah kiri) yang berada di sisi utara jalan utama desa, kami menjumpai warung nasi yang menjual ayam goreng. Kami akhirnya membeli ayam goreng di sini untuk makan malam.
Tak hanya itu, karena di luar warung ternyata qadarullah lewat abang bakso, sekalian saja kami request mas-mas tersebut utk menunggu kami di depan Homestay Cahaya, karena kami pikir enak juga dingin-dingin begini nge-bakso hangat... mmm, uwenak tenan...

Masjid Al Mujahidin ini cukup besar, dan tampaknya bertingkat 2. Sepertinya pada saat shalat Jum'at high season masjid sebesar ini pun akan penuh sesak oleh jamaah.
Setelah kelar urusan membeli ayam goreng, kami kembali ke Cahaya, dan menemukan mas-mas bakso sudah stand-by dengan gerobaknya di muka penginapan.
Lagi-lagi karena udara terasa dingin, kami membawa mangkuk bakso ke dalam kamar untuk makan di sana. Untungnya mas-mas bakso tersebut oke saja kami pinjam mangkuknya ke dalam.

Seperti kami singgung di atas, kami cukup beruntung untuk berada di Dieng semasa low season. Staff penginapan dapat memberikan best Family Room kepada kami dengan view langsung ke Telaga Cebong lewat jendela-jendela besar nyaris di seluruh dinding kamar yang berada di pojok tenggara  lantai 2 bangunan. Kami suka sekali view dari kamar ini (foto-foto di bawah).
Family room di sini memiliki 2 tempat tidur king size. Tempat tidur utama yang lebih lux adalah yang tampak pada foto di bawah dengan pandangan langsung ke telaga. Di sebelah kiri tempat tidur utama ini terdapat jendela besar yang bisa dibuka dan mengarah langsung ke teras. Sementara tempat tidur satu lagi berada dekat pintu kamar, dan tampak biasa saja, walaupun sama-sama nyaman digunakan sih...

Tepat di sisi barat kamar kami, terdapat teras yang dilengkapi dengan sebuah meja bundar dari kaca. Arah pandangan dari teras ini tepat ke telaga dan Bukit Sikunir di kejauhan (foto di bawah).

Staf penginapan sebenarnya sudah mempersilakan kami untuk masuk sejak pukul 13:00. Kita perlu janjian terkait waktu kedatangan karena satu-satunya staf Cahaya ini tidak terus-menerus berada di penginapan. 
Dari bincang-bincang dengan mas-mas staf penginapan yang super ramah ini, ia diberi kepercayaan untuk mengurusi Cahaya oleh sang pemilik yang hanya disebut sebagai 'Pak Haji' olehnya. Pak Haji ini juga warga Sembungan.
Jika Anda berminat menghubungi Homestay Cahaya, Anda bisa kontak via WA di nomor +62 823-2201-1988. Sedangkan informasi penginapan dapat dicek via url homestaycahaya(dot)com.
Plafon kamar kami yang bercat putih memang tampak sudah bernoda bekas tempias air hujan di beberapa tempat, tetapi tidak terlalu masalah.
Lantai kamar dilapisi karpet tebal, alhamdulillah dapat sedikit menghambat tusukan rasa dingin dari telapak kaki (foto di sebelah kanan). 
Semakin sore, temperatur udara di dalam kamar terasa terus turun, kami pun memilih tetap mengenakan jaket selama berada di sana.
Lantai keramik kamar mandi terasa nyes dinginnya... kami memilih menggunakan sandal jika masuk ke sana. Untungnya air hangat di sini sangat OK dan lancar. Sebuah kloset jongkok berada di ujung kamar mandi yang berukuran cukup besar ini.

Foto di sebelah kiri memperlihatkan ruang tengah bergaya tradisional. Foto ini diambil dari arah tangga naik dari lantai bawah. Di sebelah kiri foto tersebut terdapat pintu ke arah teras luar. Pintu kamar kami adalah yang tampak di pojok kiri atas foto.
Di ruangan ini terdapat TV CRT (jadul) yang tampaknya dapat digunakan bersama oleh seluruh tamu penginapan. Sedangkan TV pribada ada di dalam masing-masing kamar.
Di sebelah kiri posisi mengambil foto ini terdapat sebuah dapur yang digunakan bersama... self service ya, jika sudah menggunakan piring atau gelas yang tersedia sebaiknya langsung kita cuci sendiri. Air mineral galon umum juga terdapat di dapur ini, kita bebas mengambil air hangat untuk sekedar menyeduh teh atau kopi. Jika air habis, kita tinggal WA saja staf penginapan...

Satu hal yang perlu kita pahami adalah area parkir yang cukup terbatas. Jika kita masuk dari pintu utama penginapan (dari arah jalan besar), kami perkirakan hanya akan tersedia ruang untuk 3 mobil. Selebihnya maka harus parkir di luar garasi (tepi jalan).
Tetapi untuk sepeda motor, kapasitasnya tentu masih sangat memadai seperti foto di sebelah kanan.

Menjelang petang kami sempatkan berjalan kaki dari homestay ke kaki Bukit Sikunir yang berjarak sekitar 550m selama sekitar 10 menit. Perjalanan menyusuri tepian sebelah utara telaga, sekaligus berbatasan dengan perkebunan penduduk di sisi utara jalan aspal hingga tiba di lokasi parkiran kendaraan Bukit Sikunir. Selain untuk berjalan sore, kami juga hendak melihat-lihat kondisi medan hiking ke puncak Sikunir esok dini hari untuk berburu sunrise.

Setiba di area parkir kendaraan di kaki bukit, view ke arah barat ternyata menyajikan sunset yang indah, terutama saat kami sedikit mendaki trek hiking Sikunir seperti foto di bawah.

Landmark Bukit Sikunir yang terkenal petang itu cukup tricky untuk difoto mengingat matahari nyaris tepat berada di horizon barat di seberang landmark. Tapi tetap tampak cukup jelas lah landmark yang ketika kami datang ke Dieng dicat warna hijau tersebut...

Dari arah parkiran kendaraan, jika kita berjalan kaki sedikit ke selatan, maka kita akan tiba di tepian Telaga Cebong yang ternyata cukup luas itu (foto di bawah). Kami melihatt beberapa perahu tertambat di dermaga sederhana, yang tampaknya disewakan untuk berkeliling telaga bagi para pengunjung. Beberapa orang warga yang kami jumpai di sana menyapa hangat dengan keramahan khas masyarakat Dieng...

Adzan maghrib terdengar berkumandang dari masjid, kami pun bergegas beranjak pulang ke penginapan. Jaraknya tidak begitu jauh, kami tiba di halaman Cahaya ketika sisa kemerahan senja masih menggantung di cakrawala barat.
Tampak kelokan zig zag di dekat penginapan diterangi lampu merkuri jalan... lengang tanpa ada seorang pun tampak berada di sana (foto di bawah). Meski nafas sedikit tersengal usai berjalan kaki dari kaki Sikunir dan jaket tebal tetap kami pakai, namun udara dingin tetap terasa kian menusuk.

Malam itu kami lewatkan di dalam kamar saja. Setelah shalat, kami makan malam, lalu tanpa disadari terus menambah tebal lapisan pakaian... Benar saja, kami ketika itu tidur dengan 2 lapis T-shirt, dilapis gamis, dilapis lagi jilbab, lalu jaket. Tak ketinggalan sarung tangan dan kakus kaki. Anak-anak masih menambah lagi dengan topi rajut. Terakhir selimut penginapan yang tebal. Tapi ya tetap saja masih terasa dingin, brrr...
Kami tidur awal malam itu agar tidak tertinggal perburuan golden sunrise Dieng yang terkenal. Persiapan kami selain pakaian dan jaket berdasarkan berbagai informasi yang kami peroleh adalah :
   * sarung tangan
   * kaus kaki dan sepatu kets yang ringan, nyaman, dan tidak membuat lecet kaki
   * boleh saja mengenakan sandal gunung, tetapi tetap kenakan kaus kaki agar hangat
   * topi penghangat kepala
   * masker karena puncak Sikunir cukup berdebu
   * senter karena trek hiking ke puncak Sikunir minim penerangan

Sebaiknya persiapkan barang-barang tersebut sejak dari rumah, karena bisa jadi kita akan sulit mencarinya di perjalanan, atau kalau ada pun biasanya harganya lebih mahal.
Next article (sekaligus acara utama kami jauh-jauh ke Sembungan).. Dieng Sunrise di Puncak Bukit Sikunir....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar