Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Kamis, 26 Januari 2017

Regar Orchids Ciwidey : Wisata Anggrek dan Petik Strawberry

Berada di dataran tinggi Ciwidey, tepatnya di Jl. Raya Ciwidey-Patengan Km.5 No.730, Regar Orchids yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kampung Cilastari, Desa Alam Endah ini menyuguhkan 2 jenis menu wisata utama, yaitu petik strawberry dan budidaya anggrek. 
Selain itu terdapat beberapa sajian lain yang juga dikembangkan tempat ini seperti budidaya ikan mas koki, tanaman sukulen dan beberapa jenis lainnya, serta hidangan andalan gulai itik hijau yang pedasnya maknyuss, pas untuk memadamkan kelaparan di dataran tinggi seperti Ciwidey ini.
Terletak di sebelah kanan jalan (dari arah Bandung), tempat ini mudah dikenali dari plang bertuliskan 'KM 5' dan 'No. 730' berwarna hijau tepat di depan gerbang masuknya. Ancer-ancer Regar Orchids jika kita berjalan dari arah Bandung adalah setelah Masjid Jami' Al Huda Cikareo, dan simpangan ke arah Curug. Objek Wisata Alam Kawah Putih terletak sekitar 5 km dari Regar Orchids ke arah barat daya (Situ Patengan).
Langsung saja arahkan kendaraan Anda ke dalam, terdapat 2 area parkir tepat di dalam gerbang dan satu lagi agak ke atas yang biasanya digunakan jika area parkir di bawah penuh.
Bangunan utama berlantai 3 terdapat di sebelah kanan jalan masuk (foto di bawah). Kita bisa duduk-duduk di kursi yang disediakan di sini untuk langsung memesan gulai itik hijau, atau mungkin melihat-lihat dulu koleksi ikan mas koki yang dijual di dalam akuarium-akuarium yang berjejer, atau bisa juga shalat duha dulu di mushalla yang bersih dan cukup luas di lantai dasar gedung ini. Ikan mas koki sudah dikelompokkan berdasarkan harga, jenis, dan ukurannya di dalam masing-masing akuarium. Harganya relatif sih. Mas koki ukuran kecil hingga sedang berkisar antara Rp. 10.000 hingga Rp. 50.000/ekor saja. Tetapi ada juga mas koki spesial yang dijual hingga Rp. 300.000/ekor.


Naik sedikit ke arah belakang, terdapat beberapa rumah hijau seperti yang ditunjukkan foto di sebelah kiri. 
Rumah hijau di sebelah kanan jalan berisi kolam budidaya ikan mas koki dan beberapa jenis ikan hias air tawar lainnya, serta kebun strawberry. Sedangkan rumah hijau di sebelah kiri jalan berisi tanaman sukulen dan anggrek.
Beberapa orang staf Regar Orchids tampak menyapu area kebun. Ada juga yang terlihat sibuk menyirami kebun strawberry dan tanaman lain dengan gembor. Namun patut dipahami bahwa tidak setiap saat kebun strawberry Regar Orchids (atau kebun strawberry mana pun di seputaran Ciwidey dan Lembang) dapat dipetik buahnya. 
Tergantung masa panen, jika saat kita datang qadarullah sedang siap petik, maka kita bisa berwisata petik strawberry. Jika kebun sednag tidak dalam masa penen, maka memang kitatidak bisa memetik strawberry langsung. Tetapi Regar Orchids biasanya memiliki stok strawberry yang telah dipanen di kulkas mereka. Kita bisa memesan juice strawberry yang akan diblender langsung dari stok strawberry di sini, atau membeli untuk dibawa pulang sebagai buah tangan. Regar Orchids melakukan panen strawberry siap panen meski sedang tak ada pengunjung, agar buah matang tersebut tidak busuk atau terbuang sia-sia.
Pengunjung yang ingin ber-strawberry walk di dalam kebun rumah hijau harus di data dulu, lalu membayar tiket Rp. 15.000/orang. Strawberry yang dipetik tidak boleh langsung dimakan ya, harus dimasukkan dulu ke dalam keranjang untuk kemudian ditimbang. Harga yang dibayar adalah sesuai berat strawberry yang dipanen.

Kebun strawberry yang luas di Regar Orchids, tempat melakukan strawberry walk yang nyaman...

Strawberry siap petik di sini ranum dan gendut-gendut...

Jejeran kolam-kolam budidaya ikan mas koki dan beberapa jenis ikan hias air tawar lainnya, tepat berada di samping rumah hijau berisi kebun strawberry.

Kebun sukulen dan beberapa jenis tanaman hias lain terdapat di rumah hijau sebelah kiri jalan. Harganya variatif, mulai dari belasan ribu rupiah, tergantung jenis dan ukuran tanaman.

Kolam besar berisi ikan nila (CMIIW). Kami ingat bahwa pada saat pertama kali datang ke tempat ini pada tahun 2006 lalu kolam ini juga berisi ikan-ikan mas koki ukuran super-super jumbo, dan keadaan kolamnya lebih rapi. Dulu pengunjung bisa memberi makan ikan koki di sini dengan pelet ukuran jumbo pula....

Regar Orchids mengembangkan aneka spesies anggrek kualitas juara, meliputi genus Phalaenopsis (anggrek bulan) seperti dari spesies-spesies Phalaenopsis javanica, Bulbophyllum carunculatum, Phalaenopsis gigantea, Phalaenopsis amboinensis, aneka jenis anggrek kecil-kecil yang berbentuk 'aneh' dari genus Paphiopedilum (anggrek Papua) dan masih banyak lagi lainnya. 
Anggrek-anggrek yang dibudidayakan di sini berasal dari hutan-hutan seluruh Indonesia, termasuk Papua dan Kalimantan.
Tak hanya anggrek alami, Regar Orchids milik Bpk. Sjahrizal Siregar ini juga melakukan hibrida antar anggrek untuk menghasilkan varian anggrek baru yang memiliki sifat-sifat unggul, baik dari segi warna, bentuk, ukuran, maupun aroma bunganya. 
Di sini ternyata juga terdapat koleksi anggrek anomali alias tak lazim. Contohnya anggrek dari spesies Paphiopedilum victoria-reginae yang memiliki 5 kuntum bunga pada batang yang sama, sedangkan biasanya hanya 2 kuntum tiap batang.
Koleksi anggrek Regar Orchids terbilang amat lengkap. Pemenang piala Bupati Bandung dalam Bandung Orchid Show ini memiliki aneka jenis anggrek epifit (menempel di pohon), terestrial (hidup di atas tanah), hingga anggrek hutan yang sudah langka. Salah satu misi tempat ini memang untuk melestarikan kekayaan hayati anggrek dari kepunahan.

Sedikit kembali ke hal strawberry yang tampaknya kini menjadi jualan utama Regar Orchids, buah ini memang bukan asli Indonesia. Buah berwarna merah berbintik-bintik putih kekuningan yang konon berasal dari Amerika ini mulai dikenal warga Ciwidey pada pertengahan 1990-an. 

Koleksi anggrek bulan Regar Orchids
Perawatan tanaman perdu ini tergolong tidak begitu sulit. Hal ini didukung pula oleh iklim Ciwidey yang sesuai bagi perkembangannya, membuat strawberry banyak dibudidayakan petani di daerah ini.
Perawatan tanaman strawberry yang terbilang mudah diamini oleh petani Ciwidey yang mengaku cukup memberi pupuk sekali tiap pekan, dan menyiram jika tanah terlihat kering. Dari total sekitar 19 varietas strawberry yang dikenal di dunia, 4 spesies banyak dibudidayakan di Ciwidey yaitu Fragraria nilgerrensis (strawberry nyoho), strawberry Holland, Fragraria vesca (strawberry California), dan Fragraria ananassa (strawberry ananassa).
Di antara 4 spesies tadi, yang menjadi primadona wisata strawberry walk adalah jenis Holland yang rasanya asam-manis-segar, California yang berbentuk bulat dan gendut (banyak ditemui di Regar Orchids, CMIIW), serta Ananassa yang berbentuk lonjong dan lebih manis.
Sebagai informasi penutup, Regar Orchids dapat dihubungi di nomor telepon (022)5928341.

Video Tutorial Merangkai Anggrek Youtube


Rabu, 25 Januari 2017

Kawah Putih Ciwidey : Kedamaian Beku Puncak Patuha

Kawah Putih adalah sebuah danau kaldera di puncak Gunung Patuha yang diperkirakan terjadi qadarullah akibat letusan dan aktivitas vulkanik. Gunung Patuha tercatat pernah 2 kali mengalami letusan besar. Letusan pertama diperkirakan terjadi pada abad ke-10 dan melahirkan sebuah kawah di bagian puncak sebelah barat. Namun kemudian kawah ini mengering sehingga penduduk menamainya 'Kawah Saat' (dalam Bahasa Sunda saat berarti kering). 

Aneka produk partisi ruangan, detil klik di sini... 

Gunung Patuha kemudian memasuki fase tidur panjang hingga pada abad ke-13 qadarullah terjadi letusan besar kedua yang lagi-lagi melahirkan sebuah kawah. Kawah kedua ini kemudian terisi air menjadi danau kaldera yang sangat indah bernama Kawah Putih. Tergantung pada mekanisme sudut dan intensitas cahaya matahari, kadar belerang, cuaca, dan temperatur udara, airnya akan berubah-ubah warna mirip Danau Kelimutu. Air danau yang aslinya berwarna putih susu akibat tingginya kandungan belerang ini sesekali tampak berubah semu kehijauan atau kebiruan. 

Stadion si Jalak Harupat yang belakangan menjadi kandang Persib
Akses ke Kawah Putih sangat mudah. Kawah yang terletak di daerah Rancabali, Ciwidey, sekitar 35 km arah barat daya Kota Bandung ini dapat ditempuh lewat rute :
  1. exit tol Kopo-Soreang-Ciwidey-Rancabali; atau 
  2. exit tol Baros-Nanjung via Stadion si Jalak Harupat-Soreang-Ciwidey-Rancabali. 

Rute pertama kurang kami rekomendasikan karena kemacetan luar bisa di jalur Kopo yang memang merupakan daerah perumahan dan pemukiman padat warga Bandung. Jalur via Nanjung lebih bersahabat, meski tetap ada beberapa titik kemacetan terutama di Pasar Marga Asih, tepatnya di sekitar gerbang La Margas Residence.

Sekitar 10 km dari Ciwidey (atau kira-kira 5 km setelah lokasi Regar Orchids) kita akan tiba di pertigaan dengan sebuah landmark besar 'Kawah Putih' di sebelah kiri jalan sebagai tanda bahwa kita sudah tiba di area wisata ini (foto kiri bawah). Berbelok ke kiri di pertigaan ini kita akan menuju area parkir bawah Kawah Putih. Arah jalan terus menuju ke Danau Situ Patengan (foto kanan bawah).

Di sini pengguna kendaraan pribadi memiliki beberapa opsi :

A. Memarkir kendaraan di area parkir bawah lalu lanjut naik ke Kawah Putih dengan kendaraan umum (Ontang-Anting) dengan perhitungan biaya :

  1. Parkir bawah roda 2 @ Rp. 5000; roda 4 @ Rp. 6000; roda 6 @ Rp. 25.000 sekali parkir (tidak ada batasan waktu)
  2. Tiket masuk WNI @ Rp. 20.000/orang; turis asing @ Rp. 50.000/orang; aktivitas pre wedding @ Rp. 500.000
  3. Biaya ontang-anting untuk naik-turun dari dan kembali ke area parkir bawah @ Rp. 15.000/orang 

B. Pengguna roda 4 yang hendak naik langsung dengan mobilnya ke area parkir atas Kawah Putih dengan perhitungan biaya :
  1. Jasa lingkungan parkir atas roda 4 @ Rp. 150.000/mobil sekali parkir (tidak ada batasan waktu)
  2. Tiket masuk WNI @ Rp. 20.000/orang; turis asing @ Rp. 50.000/orang; aktivitas pre wedding @ Rp. 500.000
Aneka produk bunga rangkai tabletop, detil klik di sini...
Sebenarnya karena kami menginap di Glamping Legok Kondang, kami memiliki opsi ketiga yaitu mengikuti tour Kawah Putih dari Glamping @ Rp. 40.000/orang. Namun saat kami menghubungi staff Glamping, ternyata seluruh mobil shuttle Glamping sedang dipakai sehingga baru bisa ke Kawah Putih pada sore harinya. 

Ketika itu kami mengambil opsi B karena tentunya lebih nyaman bagi orang tua kami yang ikut serta ke Kawah Putih. Biaya parkir atas kami nilai terlalu mahal untuk ukuran fasilitas parkir dan jalan naik ke kawah yang belum mulus dan di beberapa tempat masih berlubang. Namun bisa jadi akan sebanding dengan opsi A jika penumpang mobil kita memang cukup banyak. Kami ketika itu bertujuh sehingga opsi A hanya lebih murah Rp. 39.000. Namun tentunya kita harus mengantri dan menunggu ontang-anting penuh jika mengambil opsi A. Secara umum kami nilai wisata Kawah Putih bukanlah tergolong murah. Silakan Anda perhitungkan sendiri biayanya sesuai dengan kebutuhan... 

Jalan naik ke atas berupa aspal kasar dengan pelebaran dari beton di beberapa tempat (foto kiri bawah). Cukup lebar untuk ukuran 2 mobil crash, namun memang tidak mulus. Rambu-rambu belok kanan-kiri dll. sepanjang jalan 3 km ke puncak ini sudah memadai dan membantu. Pada sebagian lokasi yang menanjak curam kita harus menggunakan gigi 1, namun adanya rambu peringatan memang sangat menolong pengemudi. Di parkiran atas terdapat semacam kantor kawasan wisata (foto kanan bawah). Kapasitas parkir mobil di sini kami nilai sangat memadai.

Di seberang lokasi parkir atas terdapat halte ontang-anting berwarna oranye yang cukup padat oleh calon penumpang (foto sebelah kanan).
Dari parkir atas kita harus berjalan sekitar 100 m ke arah bawah untuk menuju bibir Kawah Putih. Trek berupa anak-anak tangga yang kokoh dan rapi, dipisahkan oleh pagar antara pengunjung arah turun dan naik.
Ketika kami tiba di sana qadarullah kabut cukup tebal. Aroma khas belerang tercium cukup kuat, tipikal kepunden gunung berapi. 
Terdapat pedagang masker yang cukup jeli memanfaatkan peluang. memang harga masker yang mereka jual tidak terlalu mahal (Rp. 5000/masker), tetapi tentunya masker kain seperti ini tidak ada gunanya untuk mencegah bahaya uap belerang. Masker kain pada dasarnya hanya efektif untuk mencegah terhirupnya partikel berukuran cukup besar seperti debu atau pasir halus, namun tak mampu mencegah masuknya gas dan senyawa kimia seperti uap belerang. Untuk mencegah terhirupnya gas berbahaya, kita sudah harus menggunakan alat respirator. Tetapi ya sutra lah, kami tetap membeli masker saja seperti pengunjung yang lain...

 Masya Allah... pemandangan di tangga turun ke kawah saja sudah sangat cantik...

Awalnya kami sama sekali tak dapat melihat kawah akibat tebalnya kabut. Barulah saat mendekati bibir kawah, wujud kawah yang ketika itu tampak sangat misterius kian jelas terlihat.
Kawah Putih terletak pada ketinggian 2090 m di atas permukaan laut, sedkit di bawah puncak Gunung Patuha. Temperatur udara di sini berkisar 8~22 deg C.
Gunung Patuha sendiri memiliki ketinggian 2434 m. Patuha menurut cerita masyarakat berasal dari kata 'Pa Tuha' atau 'Pak Tua'. Ini merupakan julukan bagi gunung api purba tersebut yang diduga umurnya sudah sangat tua.
Gunung Patuha diperkirakan sudah muncul ke permukaan bumi pada saat Dataran Tinggi Priangan (Bandung) masih merupakan dasar samudera. Pada saat itu kontur kerak/kulit bumi masih mengalami perubahan-perubahan revolusioner, pelipatan, dan pembentukan gunung api. Salah satu gunung berapi yang terbentuk di kerak bumi yang belum stabil itu adalah Gunung Patuha. Kemunculannya dari lantai samudera diperkirakan turut melahirkan dataran tinggi baru yang membentang dari daerah yang kini dikenal sebagai Ciwidey di sebelah barat sampai ke Pengalengan di sebelah timur. Bahkan kini jika kita menjelajah perkebunan teh di Pengalengan, kita masih dapat menjumpai kontur teras-teras gunung api.
Bagaikan pintu menuju dimensi lain. Terlihat bercak belerang kekuningan di sepanjang tepiannya.
Menurut catatan sejarah, eksotisme Kawah Putih tersingkap berkat usaha Dr. Franz Wilhelm Junghuhn yang tengah melakukan perjalanan di daerah Bandung Selatan pada tahun 1837. Ketika itu banyak cerita tahayul beredar di kalangan penduduk bahwa lokasi puncak Gunung Patuha adalah kawasan angker. Masyarakat saat itu mengamati bahwa setiap burung yang terbang melewati kawasan tersebut akan mati. 
Karena kepercayaan itu, ditambah lagi dengan mitos keberadaan kerajaan gaib di puncak Gunung Patuha yang ditempati oleh makhluk halus penjaga Tatar Pasundan, tak ada seorang pun yang berani mendekati daerah ini.
Junghuhn memutuskan untuk mengecek kebenaran hal ini ke puncak Patuha demi ilmu pengetahuan. Ia akhirnya berhasil mencapai puncak Patuha, dan dari sana ia melihat adanya sebuah danau kawah berwarna putih dengan bau belerang amat menyengat. Disimpulkan bahwa pada kadar belerang tinggi menjadi faktor penyebab kematian kawanan burung yang melintasi area sekitar danau itu. Kandungan belerang yang tinggi pun membuat air danau kawah ini beresiko bahaya untuk direnangi. Cukuplah dinikmati saja keindahan panoramanya...

Lukisan Junghuhn tahun 1856 (foto kiri atas), diambil dari Java-Album, memperlihatkan deskripsi yang sangat detail dan tepat dari warna air danau dan kondisi tebing-tebing di sekeliling kawah (sumber : www.id.wikipedia.org/wiki/berkass:Junghuhn_Kawah_Putih.jpg). Eksis di bibir danau (foto kanan atas).

Haidar eksis di Kawah Putih...

Kami membayangkan apa jadinya jika tiba-tiba sekelompok vampir keluar dari bayangan pepohonan ala Transylvania ini?

Terdapat batas aman area danau yang boleh dijelajahi wisatawan.

Sesekali angin berhembus kencang menyibak sedikit selimut kabut, menampakkan kontur tebing yang mengelilingi kaldera.

Kalau di sini mungkin tak hanya vampir yang keluar, tapi juga mermaid....

Subhanallah... rasanya tak habis-habis menikmati eksotisme Kawah Putih berselimut kabut hari itu. Kami cukup lama berada di bibir kawah, pastinya lebih dari batas waktu 15 menit yang sebenarnya disarankan oleh pengelola Kawah Putih. Pembatasan ini mungkin bertujuan untuk mencegah resiko kesehatan akibat terpapar uap belerang terlalu lama. Tapi masalahnya 15 menit tentu masih kurang untuk mengeksplorasi Kawah Putih. Bagaimana lagi, ya..... Pokoknya jika kita merasa lelah atau pusing akibat uap belerang, segeralah sudahi kunjungan kita di seputaran bibir Kawah Putih.

Esok harinya, barulah adik kami berkesempatan untuk pergi ke sini. Mereka langsung berangkat dari Glamping, mengikuti tour program Kawah Putih. Qadarullah cuaca saat adik kami berada di sana sangat cerah, tidak ada kabut sedikit pun. Sontak suasana Kawah Putih berubah dari kesan misterius penuh kabut menjadi ceria. Meski cuacanya berbeda 180 derajat, tetapi air danau kawah ini tetap tampak serupa dengan saat berkabut pada hari sebelumnya (foto di bawah).
Menurut penilaian kami, berkabut atau cerah Kawah Putih yang eksotis sebagai menu utama spot wisata ini tetap tampak cantik. Namun demikian tampaknya perlu perbaikan sarana dan prasarana pendukung seperti pemagaran pada jalan, dan kondisi jalan naik ke parkir atas itu sendiri yang perlu diperbaiki agar mulus, nyaman, dan aman bagi pengunjung... 


Kamis, 19 Januari 2017

Jalan-Jalan di Pangandaran (Hari Ketiga) : Pantai Batu Hiu & Cagar Alam

Item Pigura 3D, detil klik di sini...
Setelah sebelumnya seru-seruan di Green Canyon hingga sekitar pukul 11.30 (detil Green Canyon bisa klik di sini...), kami pindah spot ke Pantai Batu Hiu yang terletak sekitar 10km arah timur Dermaga Grren Canyon di Ciseureuh.
Jalan Raya Cijulang yang kami lewati antara Kota Pangandaran ke Green Canyon kondisinya baik dan mulus. Tidak seperti beberapa tahun lalu ketika jalan di sini masih rusak parah. Pertigaan di mana kita harus belok kanan menuju pantai seharusnya tidak akan terlewati karena terdapat landmark besar bertuliskan Batu Hiu di sana.
Dari pertigaan Jl. Raya Cijulang ini ke pantai hanya berjarak sekitar 500m saja. Batu Hiu secara administratif termasuk wilayah Desa Ciliang, Kec. Parigi.


Rumah Konservasi Penangkaran Penyu merupakan spot yang Kang Dadi pilihkan terlebih dahulu. Rumah bercat oranye ini bertuliskan KPBL (Kelompok Penangkaran Biota Laut) Batu Hiu.
Gerbang penangkaran ini selalu terbuka pada pengunjung yang bersimpati pada upaya pelestarian penyu yang beberapa spesies-nya terkategori terancam (foto kiri bawah). 
Tepat setelah memasuki gerbang, di sebelah kanan terdapat kios suvenir dengan merchandise serba penyu (foto sebelah kanan). Jangan lupa pula mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya karena penangkaran ini rupanya dikelola oleh perseorangan. Maka sebagian dana operasional upaya konservasi juga mengandalkan donasi suka rela dari pengunjung. Untuk memasuki dan melihat-lihat penangkaran penyu ini, pengunjung tidak dikenakan tiket masuk sepeser pun.

Konsep yang diusung oleh spot ini adalah wisata edukasi dengan pesan kecintaan pada alam yang kental. Pesan ini begitu kuat dan konsisten disampaikan oleh pengelola penangkaran penyu satu-satunya di Pangandaran ini, Bapak Asep dan keluarga beliau (mohon beribu maaf jika ada kesalahan penulisan nama karena kami saat itu lupa mencatat nama Bapak...) yang sejak 1982 telah mendedikasikan dirinya demi kelangsungan hidup penyu yang kian langka ini.
Peran pemerintah beliau rasakan masih sangat minim, namun ini tak menjadikan beliau dan keluarga patah arang. Hanya mengandalkan kepedulian keluarga, dan perlahan masyarakat sekitar yang kian mendukung, beliau tak pernah mengeluh untuk terus mengupayakan pelestarian ribuan ekor penyu yang telah ditangkarkan dan dilepasliarkan kembali ke samudra.
Cita-cita beliau sederhana : hanya ingin anak keturunannya dapat mengenal dan menyentuh penyu secara langsung, bukan hanya dari gambar atau cerita orang...
Penangkaran ini secara fisik memiliki kolam yang disekat menjadi 3 sektor seperti pada foto di sebelah kanan, masing-masing berisi penyu sesuai ukuran tubuh/umurnya. Kolam ini berada di bagian belakang area penangkaran.
Kolam sebelah kanan belakang berisi anak penyu/tukik yang telah menetas. Sayang saat kami berkunjung ke sana hanya ada sekitar 10 ekor tukik sampel penetasan karena penangkaran ini baru saja melepasliarkan tukik-tukik beberapa hari yang lalu. Bak berisi pasir laut tempat mengubur dan menetaskan telur-telur penyu sendiri berada di halaman depan. Nah, tukik-tukik yang telah menetas di bak inilah yang dilepaskan ke laut, kecuali 2 ekor sampel dari tiap batch penetasan yang selalu disimpan oleh penangkaran.
Kolam sebelah kanan depan berisi 3 ekor penyu ukuran besar (berat +/- 25kg) berusia sekitar 6 tahun. Penyu-penyu besar ini merupakan sampel penetasan yang disimpan oleh penangkaran sejak menetas. Ketiga penyu ini sama sekali belum pernah keluar dari kolam penangkaran sehingga ukuran tubuhnya jumbo. Menurut staff penangkaran, Di samudra lepas penyu rata-rata membutuhkan waktu 15 tahunan untuk tumbuh sebesar +/- 25kg seperti sampel tersebut, karena di alam liar penyu harus banyak bergerak sehingga sebagian besar porsi makanannya menjadi energi, bukan ditumpuk ke pertumbuhan tubuhnya. Penyu-penyu di kolam penangkaran memang tak mesti berjuang untuk hidup sehingga pertumbuhannya tubuhnya maksimal. Kemudian, kolam di sebelah kiri berisi penyu sampel yang lebih kecil, kurang lebih berat 1 hingga 5 kg.

Beginilah jika penyu sedang tidur : mengambang tak bergerak di permukaan air karena mereka tetap harus bernapas lewat lubang hidungnya ke udara, tidak seperti ikan yang tak perlu muncul ke permukaan (foto kiri atas). Kita bisa masuk ke dalam kolam untuk bermain-main dengan penyu di sini. Anak-anak awalnya malu-malu dan hanya mau mengelus-elus penyu yang diangkat oleh staf penangkaran, tetapi akhirnya semua nyebur juga ke dalam kolam berkedalaman air sebetis ini... (foto kanan atas).
Teknik menggendong penyu adalah sambil mengelus-elus bagian bawah lehernya agar penyu itu tenang. Jika tidak dielus-elus maka kedua sirip depannya akan meronta-ronta.

Tampak peta lokasi penyu bertelur di pesisir selatan Jawa, tepatnya di daerah Pangandaran yaitu dari spesies penyu hijau, lekang, sisik, tempayan, dan pipih (foto kiri atas); dan informasi mengenai penyu (foto kanan atas). Menurut staf penangkaran, dulu masyarakat gemar mengambil telur penyu untuk dikonsumsi. Namun sejak Pak Asep dan keluarga giat mengkampanyekan konservasi penyu, maka berangsur masyarakat tak lagi mengkonsumsi telur penyu. Bahkan Pak Asep sering mendapat bantuan informasi dari masyarakat tentang adanya penyu yang bertelur di pantai, sehingga Pak Asep dapat memindahkan telur-telur itu ke penangkaran untuk ditetaskan secara lebih aman dari gangguan hewan predator mau pun manusia. Masyarakat juga saat ini otomatis akan menyerahkan  penyu-penyu yang tak disengaja tertangkap/terjaring nelayan saat melaut ke penangkaran untuk dirawat hingga kuat untuk dilepaskan kembali ke samudra. Terkadang penyu-penyu yang terjaring seperti ini mengalami luka atau stress sehingga butuh pemulihan.
Saat Pangandaran diterpa tsunami (Juli 2006), penangkaran yang berada di bibir pantai ini mengalami kerusakan serius. Akibatnya selama beberapa saat aktivitas konservasi penyu terganggu selama dilakukan renovasi fisik bangunan. Alhamdulillah bangunan baru dapat berdiri dengan kondisi yang bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Tembok belakang penangkaran merupakan hasil aktivitas CSR Daihatsu Indonesia yang terdorong untuk mendukung upaya konservasi setelah terdampak tsunami. Sebelum ditembok, staf penangkaran hanya menggunakan tembok darurat dari anyaman bambu yang rentan dimasuki hewan atau tangan-tangan jahil manusia. Tentunya ini berpotensi mengganggu penyu yang berada di penangkaran.

Adzan zhuhur telah berkumandang. Setelah cukup puas memperluas wawasan tentang penyu di penangkaran, kami melaksanakan ibadah shalat dulu di masjid sebelah penangkaran. Setelah itu kami pindah ke parkiran Pantai Batu Hiu yang hanya sekitar 100m dari lokasi penangkaran.

Pantai Batu Hiu bukanlah jenis pantai yang umum direnangi karena ombak di sini relatif besar. Pantai ini adalah tipe pantai untuk bersantai, menggelar tikar piknik, atau acara gathering. Panorama pantai ini indah, terutama jika dinikmati dari ketinggian bukit cadasnya yang hijau dan rimbun oleh pepohonan dan pandan wong yang khas.
Sebelum menaiki bukit cadas Batu Hiu, kita harus melewati 'terowongan' berbentuk mulut hiu yang menganga lebar. Tempat ini tentunya menjadi lokasi selfie favorit para pengunjung.
Lalu di mana 'batu hiu' sebenarnya yang menjadi cikal bakal nama pantai ini? Menurut Kang Dadi, ternyata 'batu hiu' adalah nama sebongkah karang yang berada sekitar 100m lepas pantai (ditunjuk dengan panah merah pada foto di bawah). Karang ini berbentuk mirip sirip ikan hiu. Foto di bawah juga memperlihatkan suasana bagian atas bukit cadas batu hiu yang rindang, pas untuk duduk-duduk santai.
Masih dari Kang Dadi, karang Batu Hiu itu dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tergerus ombak seperti juga yang terjadi pada Batu Layar.
Jika karang Batu Hiu ini suatu saat roboh, maka sepertinya tinggal gerbang berbentuk hiu raksasa itu saja yang menjadi penegas kesan 'hiu' di sini.
Selain beraktivitas di atas bukit cadas batu hiu, terdapat pula pantai dengan spot foto yang bagus berupa gua kecil yang dapat dieksplorasi di bawahnya (foto kiri bawah). Tapi sekali lagi disarankan untuk hati-hati karena ombak di sini cukup besar.
Masih di dekat gerbang ikan hiu raksasa, terdapat landmark Batu Hiu yang menarik (foto kanan bawah).
Kami tidak terlalu lama di sini karena memang aktivitas-aktivitas yang bisa dilakukan di pantai ini dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. Selain itu karena kami juga memutuskan untuk makan siang di Pangandaran saja, jadi kami pun segera kembali ke sana.


Pukul 13 lewat, kami tiba di RM seafood Bu Hj. Surman di kawasan Pantai Timur Pangandaran, tak jauh dari Cagar Alam. Hidangan seafood di sini recommended karena rasa dan bumbunya kami nilai pas. Kondisi bangunan dan interior RM cukup baik dan bersih. Terdapat 2 kamar mandi yang cukup besar dan bersih di dalam. Harga standar seafood lah, sekitar Rp.40.000 per orang.
Setelah makan siang kami check in dulu di hotel, lalu lanjut ke spot terakhir hari itu yaitu eksplorasi Cagar Alam. Kakung dan Mamak memilih beristirahat saja di hotel, mungkin agak lelah setelah dari pagi seru-seruan di Green Canyon dan Batu Hiu...
Untuk menuju Cagar Alam, kami berlima diajak (lagi-lagi) naik perahu dari Pantai Barat ke Pasir Putih. Hanya sekitar 10 menit saja berperahu kita sudah mendarat di Pasir Putih Barat. Dari sini kita mulai hiking ringan seputaran Cagar Alam...

Mendarat di Pasir Putih Barat dan memasuki Cagar Alam
Cagar Alam Pananjung Pangandaran merupakan bagian dari tanjung seluas total sekitar 530 Ha di sebelah selatan kota. Secara administratif masuk ke wilayah Kec. Pangandaran. Spot ini memiliki objek dan daya tarik wisata yang beragam dengan balutan nilai edukasi.
Tiket masuk Cagar Alam Pangandaran adalah Rp. 20.000/orang.
Tadinya terus terang kami agak ragu apakah anak-anak akan enjoy mengeksplorasi cagar alam ini. Tapi kenyataannya mereka sangat antusias berkeliaran di kawasan konservasi ini. Banyak yang bisa diamati dan dipelajari di sini, mulai dari keadaan lingkungan, tetumbuhan, satwa, dan beberapa situs seperti gua dan air terjun yang menanti untuk disinggahi.
Medan di sini naik turun, fisik harus prima...

Cagar Alam Pangandaran diperkirakan awalnya adalah sebuah pulau kecil tersendiri, yang lambat laun menyatu dengan daratan Pangandaran akibat sedimentasi pasir dan bebatuan.
Tipe spot wisata seperti ini kami nilai sangat unik, karena level menarik-tidaknya sangat tergantung pada kita sendiri, terutama seberapa banyak waktu yang akan kita habiskan di sini. Jika kita hanya sekilas berjalan-jalan ringan, bisa jadi spot semacam ini dianggap kurang menarik.. Namun bila kita memiliki waktu cukup, maka akan semakin banyak juga objek yang bisa dijangkau yang seharusnya menambah penilaian plus terhadapnya.
Kang Dadi menerangkan bahwa setidaknya butuh 5 hari untuk menjelajahi seluruh kawasan cagar Alam. Peserta tour yang memiliki waktu sekitar 3 jam bisa menjelajahi 3 buah gua yang ada di sini, termasuk gua alami yang pernah dijadikan lokasi syuting film Mak Lampir, hiiiii....
Ketika itu sudah ashar dan kami tidak memiliki waktu yang cukup. Akhirnya kami hanya sempat mendatagi Gua Jepang yang lokasinya terhitung paling dekat dengan Pasir Putih Barat.

Hutan pantai dengan formasi baringtonia didominasi oleh tumbuhan jenis butun (Baringtonia asiatica), nyamplung, pandan laut, dan waru laut (foto kiri atas). Di daerah yang lebih jauh dari pantai dapat ditemui hutan tanaman jati emas dan mahoni, serta jenis-jenis epifit dan tanaman parasit.
Mendekati jembatan batu, kami mulai menemukan kelompok kera, jumlahnya banyak (foto kanan atas). Mereka hidup bebas di sini dan sepertinya tidak suka menyandera barang-barang milik turis untuk ditukar dengan makanan seperti yang pernah kami alami di Bali. Peran aktif peneglola Cagar Alam kami nilai juga penting untuk mencegah kera menjadi suka menambil barang pengunjung. Di sini kami banyak melihat spanduk larangan memberi makan satwa untuk mencegah satwa di sini menjadi tergantung pada pengunjung. Satwa-satwa di sini diharapkan tetap terbiasa mencari makan sendiri seperti layaknya hewan liar.

Jembatan batu berdesain lengkung (foto sebelah kiri). Seekor rusa mencari makan tak jauh dari kami (foto sebelah kanan). Menyenangkan melihat rusa-rusa di sini hidup bebas dan sepertinya tidak takut pada manusia. Mungkin karena manusia pun tak mengganggu mereka.
Menurut Kang Dadi, di sini hidup beragam satwa liar seperti kera (Macaca fascicularis), lutung (Trachipytecus auratus), landak, trenggiling, rusa (Cervis timorensis), banteng, kancil, burung tulumtumpuk (Magalaema javensis), burung kangkareng, ayam hutan, dan juga ular sanca.

Prasasti Gua Jepang (foto kiri atas). Lubang gua ini bukanlah Gua Jepang yang sebenarnya, melainkan semacam tempat penyimpanan saja (foto kanan atas).

Gua Jepang palsu sebagai jebakan bagi musuh (foto kiri atas). Mulut Gua Jepang asli berada di sebelah kanan yang palsu, lebih tersembunyi dan kecil dibandingkan yang palsu (foto kanan atas). Konon di dalam Gua Jepang asli ini ada pejuang kemerdekaan Indonesia yang ditahan bahkan disiksa jika menolak bekerjasama dengan Jepang ketika itu.
Pada masa perang Dunia II tentara Pendudukan Jepang merencanakan kawasan Pangandaran sebagai benteng pertahanan jika tentara Sekutu menyerang dari laut selatan. Kenyataannya Sekutu datang dari utara, sehingga Gua Jepang ini selamat dari serangan dan kerusakan sampai sekarang.
Kita harus menggunakan lampu senter jika hendak masuk ke dalam Gua Jepang ini. Lampu senter disewakan oleh petugas Cagar Alam yang memiliki beberapa pos jaga di seputar kawasan konservasi seharga Rp. 10.000. Kami sempat kaget ketika masuk ke dalam gua yang gelap gulita ini karena saat lampu senter menyorot ke dalam kami melihat bayangan besar bergerak-gerak, yang setelah didekati ternyata adalah seekor rusa jantan berukuran besar yang sedang bersembunyi di dalam. Rusa itu sama sekali tak bersuara. Menurut kang Dadi adakalanya rusa dikejar-kejar anjing liar atau karena sebab lain kakinya terluka sehingga memilih menyendiri dulu selama beberapa waktu.
Udara di dalam gua terasa tidak enak dihirup, serta lembab. Gua Jepang ini memiliki ruang kecil di sebelah kiri (ditempati oleh rusa) dan kanan. Pintu keluarnya terletak di atas. Kita harus melewati ruangan dalam gua yang berkelok seperti labirin kecil, lalu menyempit mendekati pintu keluar yang menanjak.
Kang Dadi menambahkan bahwa di Cagar Alam Pangandaran terdapat bunga raflesia patma, sebagaimana yang tercantum pada lambang daerah Kabupaten Pangandaran (klik di sini untuk melihat lambang Kab. Pangandaran... ). Keberadaan raflesia patma ini sedikit banyak menyebabkan ditingkatkannya status kawasan konservasi ini dari sebelumnya Suaka Margasatwa (berdasarkan keputusan pemerintah kolonial No. 19 Stbl 669  tahun 1934) menjadi Cagar Alam (berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 34 tahun 1961).
Haaa? Bunga raflesia di sini? Kita tidak perlu jauh-jauh ke Bengkulu untuk melihat bunga parasit raksasa dari genus Rafflesia ini tumbuh di habitat aslinya? Tadinya kami sudah bersemangat '45 ketika Kang Dadi menceritakan hal ini. Sayang seribu sayang menurutnya butuh lebih dari 3 jam trekking untuk menuju ke habitat raflesia patma di tengah cagar alam dan pulang kembali ke pasir Putih Barat.
Suasana Pasir Putih Barat, di kejauhan tampak FV Viking yang ditenggelamkan
Huaaa... kami tidak punya waktu sebanyak itu... menyesal sekali rasanya meski walaupun kami sudah trekking mencapai tempat tumbuh raflesia patma, belum tentu ketika itu bunganya sedang mekar. Masa pertumbuhan bunga raflesia patma hampir 9 bulan, sementara periode mekarnya hanya 5~7 hari.
Raflesia patma yang langka di cagar alam ini adalah tanaman endemik asli Indonesia yang tercatat hanya tumbuh di lima titik yang berada di dalam hutan primer Cagar Alam Pangandaran, di antaranya berada sekitar 100m dari air terjun cagar alam, dan sekitar 1km dari pintu masuk Pantai Timur, Jika kita sedang beruntung menemukan bunga raflesia yang sedang mekar, maka dari jarak sekitar 10m bau bangkainya yang khas sudah dapat tercium.
OK lah, next time kami berkesempatan datang lagi ke Pangandaran kami akan mengalokasikan lebih banyak waktu untuk mengeksplorasi kawasan hijau yang luar biasa menariknya ini!

Malam harinya kami habiskan di hotel saja untuk beristirahat setelah hari yang seru dan penuh aktivitas ini. Kami sekeluarga hanya sejenak berjalan-jalan menikmati suasana Pantai Barat di malam hari yang terasa sepi karena hampir seluruh pelancong telah pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Sangat jauh berbeda dengan Sabtu malam yang meriah dan penuh pengunjung.
Tadinya anak-anak ingin mencoba berenang malam hari di kolam renang hotel. Namun qadarullah kolam renang sedang dibersihkan sehingga tak dapat digunakan oleh tamu. Bagus juga sih, karena akhir pekan yang penuh pengunjung sedikit banyak membuat air kolam perlu pembersihan, teruatam dari pasir pantai yang pasti terbawa dari laut.

Hotel Surya Kencana Seaside berlokasi hampir tepat bersebelahan dengan Bumi Nusantara, masih di seputaran Jl. Pamugaran Bulak Laut alias di tepi Pantai Barat. Kami mengambil kamar junior suite room kapasitas 4 orang seharga 500 ribu-an (dengan sarapan) yang ternyata amat luas. Diisi hingga 6 orang pun masih memadai karena 2 buah ranjang king size di sini ternyata besar-besar.

Check in/out cepat, pelayanan staff OK, area parkir kendaraan luas, dan lokasi tepat di tepi pantai adalah beberapa faktor plus hotel ini. Sayangnya free wifi tidak sampai ke kamar kami di lantai 2. Wifi hanya tersedia di lobby dan area sekitar kolam renang. Namun demikian tetap kami nilai hotel ini recommended.

2 ranjang king size yang nyaman membuat anak-anak betah leyeh-leyeh di dalam kamar (foto kiri atas). Sekali lagi, kami suka sekali dengan konsep hotel di Pangandaran yang umumnya memiliki balkon pribadi ke arah luar. Selain asyik buat duduk-duduk bersama keluarga, kita juga bisa menjemur pakaian renang setengah kering di sini. Semalaman diangin-angin dengan udara pantai cukup lah untuk mengeringkan pakaian (foto kanan atas).

Kamar mandi Surya Kencana tampak bersih dan peralatan mandinya dalam kondisi baik, walaupun belum dilengkapi bathtub (foto kiri atas). Lorong luar di depan kamar memberikan pool view (foto kanan atas).

Hari Keempat (Senin)
Setelah subuh, kami dan suami memilih bersantai sejenak di area kolam renang hotel yang masih sepi. Hanya ada seorang staf hotel yang menyelesaikan pembersihan kolam sejak malam sebelumnya. Suami tampak berbincang singkat dengan staf tersebut yang menjawab ini-itu dengan ramah.


Sarapan seperti biasanya tersedia pukul 7 pagi. Sambil menunggu sarapan siap, kami sarankan Anda meluangkan waktu sejenak berjalan pagi di tepi pantai yang masih relatif sepi. Seperti halnya pada pagi hari kedua, kami melihat sekelompok rusa yang keluar dari kawasan Cagar Alam. Kelompok rusa itu berjalan santai di tepian pantai. Sayang kami tidak dapat mengambil foto kawanan rusa itu karena hari masih agak gelap dan kelompok rusa itu berada agak jauh.

Komplit : jejak kaki rusa, anjing, manusia, bahkan bekas ban sepeda pun ada (foto kiri atas). Para pengunjung mulai berdatangan ke pantai meski hari masih pagi (foto kanan atas).

Jika kita berjalan terus ke arah selatan, lagi-lagi kita akan mentok ke pagar bambu kawasan Cagar Alam (foto sebelah kanan).
Bagian pantai di sini tampaknya cukup tenang. Mungkin karena sebagian kekuatan gelombang tertahan oleh semenanjung Cagar Alam tersebut. Hmmm, sayang sekali kemarin anak-anak belum sempat bermain air di pantai bagian ini. Lain kali lah jika qadarullah kami kembali berkunjung ke Pangandaran, anak-anak in sya Allah akan kami ajak ke sini.

Setelah sarapan selesai, anak-anak langsung bermain air di kolam renang Surya Kencana yang cukup besar ini. Kolam bagian anak-anak dipisahkan oleh tali dengan kolam bagian dewasa yang cukup dalam. Kondisi ubin/keramik kolam ini kami nilai baik, meski ada beberapa keping yang terlepas namun tampak sudah ditambal dengan semen sehingga tidak tajam.
Kami menghabiskan sisa pagi itu di kolam renang saja. Setelah selesai kami pun bersiap-siap check out dari hotel dan meninggalkan Pangandaran yang istimewa ini...
Perjalanan pulang ke Bekasi alhamdulillah lancar. Kami start dari Pangandaran sekitar pukul 10.30, dan sudah keluar tol Grand Wisata, Bekasi, ketika adzan maghrib berkumandang.
That's our story...