Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Rabu, 07 November 2018

Jalan-Jalan ke Dieng : Gardu Pandang Dieng dan Tuk Bimo Lukar


Dataran Tinggi Dieng berlokasi di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, tepatnya di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, Provinsi Jawa Tengah. 
Letak yang cukup jauh dari kediaman kami di Bekasi terus-terang membuat kami agak maju-mundur untuk berkunjung ke sini, karena perjalanan darat saja membutuhkan 8 jam lebih, alias sudah nyaris setengah hari hanya untuk perjalanan (belum termasuk waktu istirahat setelah perjalanan jauh, atau kemacetan ekstra di tol Cikampek selama masa konstruksi aneka proyek jalan raya hingga 2019 ini). Konsekuensinya, durasi waktu singgah di Dieng akan menjadi cukup lama, sedangkan jadwal hari libur suami di tempat kerjanya dan anak-anak seringkali terbatas dan saling tidak match
Bahkan beberapa waktu lalu saat jadwal dan persiapan sudah matang, qadarullah terjadi letusan di Kawah Sileri, serta terputusnya akses jalan ke kawasan ini yang memaksa kami menjadwal ulang kunjungan ke Dieng. Alhamdulillah pada masa libur pasca Lebaran 2018 ini (awal Juli), kami atas ijin Allah tiba juga di Dieng. 

Rute kami ke Dieng saat itu adalah memanfaatkan perjalanan pulang dari Jogja ke Bekasi. Bagus juga sih karena dengan demikian maka kami sekaligus menghemat waktu tempuh menuju Dieng, dari semestinya 8 jam lebih (jika start dari Bekasi), menjadi hanya 3 jam-an (jika start dari Jogja).

1. Gardu Pandang Dieng dan Resto HD Argo Baito
Mulai perjalanan pagi hari sekitar pukul 6 kurang dari Jogja (2 Juli 2018), kami memilih rute Ring Road ke arah Jl. Magelang. Lalu terus ke utara via Muntilan, Magelang, hingga melewati Temanggung pada sekitar pukul 7. Lanjut sampai Parakan kami mengambil rute Jl. Tambi (via Perkebunan Teh Tambi) yang cukup sempit (pas ukuran lebar 2 mobil) dan - terus terang sangat di luar ekspektasi kami -  pada beberapa trek penuh dengan tikungan tajam sambil mendaki yang membutuhkan skill mengemudi cukup baik serta kondisi kendaraan prima, thanks to google maps... 
Namun secara umum kondisi jalannya beraspal baik, walau pun pada beberapa bagian aspalnya sudah hancur, terutama di dekat pemukiman atau tempat-tempat yang sering dilalui warga dan kendaraan.
Sepanjang trek ini kita akan dapat melihat pemandangan Gunung Sindoro di sebelah kiri jalur jalan, yang pagi itu sangat cantik berlatarkan langit biru bersih yang jarang kami jumpai di Jakarta-sekitar. 
Tetap berhati-hati berpacu di jalur ini karena walau pun terkesan sepi namun sesekali ada saja warga yang tiba-tiba melintas atau menyeberang jalan.

Menurut catatan perjalanan, kami sudah melintasi gapura Wisata Agro Kebun Teh Tambi, Kejajar, Wonosobo (seperti foto di bawah-kiri) pada pukul 07:53. Pada pukul 08:04 kami telah berada dekat ujung Jl. Tambi (Desa Rejosari) yang berpotongan langsung dengan Jl. Raya Dieng. Di persimpangan ini jika kita belok ke arah kiri maka akan menuju Kota Wonosobo, sedangkan ke kanan adalah ke arah Dieng. Berhati-hatilah saat menikung ke kanan untuk menuju Dieng karena kondisi belokannya cukup patah
Kondisi medan Jl. Tambi secara umum dapat dilihat pada foto di bawah-kanan.

Sekitar 2,5km melaju dari pertigaan Desa Rejosari tadi menuju Dieng, kita akan tiba di Pasar Kejajar, Wonosobo, yang biasanya menjadi simpul kemacetan karena adanya bus yang ngetem dan kontur jalan yang menanjak. Berhati-hati saja di sini.
Lalu akhirnya sekitar 3,5km lagi dari Pasar Kejajar, kami pun tiba di Gardu Pandang Dieng (GPD), yeay... Ketika itu pukul 08:29... memang sekitar 3 jam kurang lah dari Jogja. GPD terletak di sebelah kanan jalan, tepat berhadapan dengan open space ke arah Gunung Sindoro di tenggaranya. Area parkir kendaraan cukup luas dan pagi itu lengang seperti foto di bawah. Biaya parkir di sini Rp. 5000 saja tanpa batasan waktu.

Area GPD yang dapat dimasuki pengunjung secara gratis ini terletak di ketinggian 1789m DPL, dan memiliki daya tarik utama gardu berupa menara segi delapan 2 lantai seperti ditunjukkan oleh foto-foto di bawah.


Bagi Anda yang tidak mau jauh-jauh berburu golden sunrise ke Bukit Sikunir, sebenarnya GPD ini juga menawarkan alternatif spot yang keren untuk menyaksikan keindahan matahari terbit di Dieng yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terindah di Asia ini.
Apalagi saat awan menggantung rendah sehingga area GPD dan puncak-puncak Gunung Sindoro serta Gunung Sumbing menyembul di atas hamparan awan rendah, layaknya negeri di atas awan. Momen seperti ini lebih besar peluang terjadinya saat musim kemarau. Sedangkan pada musim penghujan ada kemungkinan awan mendung menutupi cakrawala sehingga kita tidak memperoleh sunrise yang cantik.
Begitu pun perlu diingat-ingat bahwa berburu matahari terbit adalah sesuatu yang tidak bisa dipastikan akan indah atau tidaknya. Menurut seorang pemandu wisata di kawasan Bromo yang pernah membawa kami di sana dengan jip hardtop-nya, memang demikian lah adanya. Bukan sekali dua kali ia membawa tamu ke puncak Bromo ketika mendung tebal menutupi horizon, sehingga qadarullah mereka melewatkan pemandangan matahari yang naik dengan indahnya.
Menyaksikan sunrise di GPD bisa menjadi pilihan bagi pelancong yang memilih menginap di hotel di kota Wonosobo ketimbang Dieng, karena GPD memang lebih dekat dari Wonosobo. Di GPD pun pengunjung tidak perlu repot-repot berjalan mendaki selama sekitar 30 menit seprti jika kita berada di Sikunir.
Meski pun kami jelas tidak sedang berburu sunrise ketika itu, pemandangan pagi hari yang cerah ke arah Sindoro tetap memukau seperti foto di bawah. Tampak rumah-rumah penduduk berjajar cukup rapat di kejauhan. Beberapa kelompok petani yang tengah sibuk di ladang pun dapat cukup jelas terlihat dari GPD.

Tepat di sebelah kanan menara GPD terlihat sebuah bangunan warna-warni (foto di bawah) yang ternyata adalah rumah makan. Wah, kebetulan ini... kami pagi itu memang belum sarapan sehingga kami pun masuk ke sana. Tulisan di atap bangunan ini berbunyi 'Rumah Makan HD, Makanan dan Oleh-Oleh'.

Dari luar sih memang rumah makan ini terlihat biasa saja. Ternyata di dalamnya... wow, jangan ditanya view-nya benar-benar juara!!! Lihat saja foto di bawah. Dinding sebelah tenggara bangunan ini yang menghadap open space ke Gunung Sindoro berupa kaca lebar yang benar-benar memanjakan tamu yang tengah bersantap.

Pagi itu hanya keluarga kami yang ada di sana... rumah makan fenomenal ini pun layaknya milik sendiri. Anak-anak bebas berpindah-pindah meja, bahkan mencoba duduk di meja yang berada di luar bangunan sambil menikmati segarnya udara Dieng. Dua orang staff resto berhijab tampak sudah siap melayani pengunjung pagi itu.

Harga yang dibandrol resto dengan view bintang lima ini tergolong sangat ramah di kantong seperti foto menu di atas-kanan. Minuman teh hangat tentunya paling pas untuk sarapan di dataran tinggi yang sejuk seperti ini (foto atas-kiri). 


Ketika itu kami memesan mie ongklok khas Wonosobo pakai sate sapi @ Rp. 15.000/porsi (satenya 3 tusuk). Jika hanya mie ongklok harganya Rp. 8000/porsi.
Untuk cemilannya tempe kemul @ Rp. 10.000 sepiring (isi 10 potong ukuran lumayan besar). Minuman teh hangatnya @ Rp. 4000/gelas. Murah meriah deh pokoknya.
Mie ongklok (atau kadang disebut juga Bakmi Ongklok) adalah mie rebus khas dataran tinggi Wonosobo dan sekitarnya yang dibuat dari mie dengan potongan kol, daun kucai, dan disiram kuah kental berkanji yang disebut loh. Mie semacam ini memang tidak dijumpai di daerah lain.
Ongklok sendiri sebenarnya adalah sebutan bagi semacam keranjang kecil dari anyaman bambu yang digunakan untuk merebus mie. Penggunaan alat bantu ini merupakan khas daerah setempat, sehingga mie ini dinamai sesuai dengan keranjang tersebut.
Prosesnya, campuran mie dan sayuran lain dimasukkan ke dalam keranjang bambu tadi, lalu dicelupkan berulang-ulang ke dalam air mendidih. Cara pembuatan mie yang hanya ada di Wonosobo inilah yang disebut 'diongklok'.
Setelah beberapa menit dan mie-nya matang, rebusan mie dan sayuran tadi dimasukkan ke dalam mangkuk, lalu disiram kuah loh yang terbuat dari campuran kanji, gula jawa, ebi, dan rempah. Rasa kuah loh ini menurut kami sangat khas.

Selesai bersantap, anak-anak sempat melihat-lihat bagian penjualan suvenir resto ini yang meliputi kaos, jaket, syal, hingga sarung tangan dan penutup kepala unyu-unyu seperti yang dipakai duo krucil kami pada foto di sebelah kiri.

Selain itu juga tampak oleh-oleh berupa makanan dna minuman khas daerah ini seperti buah carica serta purwaceng.

Beres di GPD dan Resto HD Argo Baito, kami kembali berkendara menuju arah Dieng. Berhati-hatilah ketika keluar dari area parkir GPD karena kita harus belok ke arah kanan yang cukup patah, serta karena umumnya kendaraan dari bawah (arah Wonosobo) cukup kencang mengingat kontur di sekitar GPD ini menanjak.
Dari GPD ke Gapura Dieng (dekat Hotel Kings Dieng) seperti foto di bawah hanya berjarak 5 km.
Pukul 09:49 kami tiba di gapura ini. Tampak mobil merah di depan kami berhenti sejenak untuk berfoto di sini. Ya sama lah dengan kami, hehehe... 
Melaju perlahan melewati gapura, hanya sekitar 550 m ke depan maka kita akan tiba di Tuk Bimo Lukar, yang terus terang saja agak kurang diperhitungkan sebagai spot persinggahan oleh wisatawan yang berkunjung ke Dieng...



2. Tuk Bimo Lukar dan Landmark Dieng
Sebagaimana namanya, 'Tuk' adalah mata air yang berada tepat di sebelah kanan jalan masuk ke Dieng jika kita berkendara dari arah Wonosobo. Mata air ini kemudian menjadi salah satu sumber atau hulu Sungai Serayu.
Terdapat pelataran parkir yang cukup luas di depannya. Mata air yang tampak berupa pancuran ganda (disebut 'jaladwara') ini tersembunyi di belakang undakan kuno yang saat ini telah ditembok sedemikian rupa agar kokoh seperti foto di sebelah kanan. Kita bisa berhenti di sini dan masuk ke lokasi mata air dengan gratis.
Pancuran kuno ini konon dihubung-hubungkan dengan Bima, kstaria Pandawa nomor dua. Menurut cerita kuno, di sinilah Bima me-lukar atau melepas pakaiannya untuk disucikan. Meski pun ada yang mengkeramatkan (dianggap suci oleh masyarakat Hindu kuno di dataran tinggi Dieng), namun masyarakat Dieng pasca Islam saat ini menggunakan pancuran Tuk Bimo Lukar sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Wujud jaladwara ganda berupa lingga ini ditunjukkan oleh foto di bawah.


Setelah mencuci tangan sejenak untuk sekedar merasakan kesegaran mata air yang sejuk ini, kami hanya berkeliling sejenak dan mengambil beberapa foto. Tak banyak memang yang bisa dilihat dan dilakukan di sini, kecuali mungkin bagi pengantusias situs-situs kuno dan arkeologi. Barangkali itu sebabnya spot ini tidak begitu populer, dan tidak ada tiket masuk atau pun parkir kendaraan di sini.

Sekitar 10 menit saja kami berada di situs kuno ini, kemudian kami meneruskan perjalanan. Kira-kira 250 m berkendara, kami sudah tiba di landmark bertuliskan Welcome to Dieng yang terkenal seperti foto di sebelah kanan... resmi deh kami sampai di Dieng, yeay!!!
Landmark ini berbentuk dinding beton yang dibentuk menyerupai tebung cadas. Tulisan yang didominasi warna putih terbuat dari bahan logam.
Semua orang yang datang dari arah Wonosobo pasti akan melihat landmark ini karena letaknya tepat di kelokan jalan dengan view yang terbuka ke segala arah.
Ketika itu cukup banyak pelancong yang antri untuk berfoto di landmark ini... harus sabar dan gantian, ya. Sayangnya, karena tampaknya tak ada tempat parkir khusus bagi wisatawan, rata-rata mereka memarkir mobil tepat di depan landmark (bahkan beberapa microbus (elf) tampak ngetem menungu penumpang di sekitar landmark). Hal ini justru menutupi view foto ke landmark itu sendiri... sehingga potret yang diambil bisa jadi kurang maksimal.

Oke, selesai di landmark Dieng, kami meneruskan perjalanan ke pemandian air panas D'Qiano Waterpark. Sengaja memang kami menentukan urutan demikian, supaya bisa sekalian mandi pagi dan menyegarkan diri setelah perjalanan dari Jogja. Letak D'Qiano yang bersisian dengan Kawah Sileri pun memang di ujung barat sebaran spot-spot wisata yang ingin kami kunjungi, sehingga setelah selesai di D'Qiano, maka rute perjalanan kami akan lebih efisien karena relatif sudah berkumpul di tengah area dataran tinggi para dewa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar