Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Senin, 19 November 2018

Jalan-Jalan ke Dieng : Golden Sunrise Bukit Sikunir

8. Matahari Terbit di Bukit Sikunir
Menyaksikan keindahan sunrise di Dieng sebenarnya dapat kita lakukan tidak hanya di Sikunir, tetapi di banyak spot. View-nya kurang lebih seragam yaitu matahari terbit dari balik Gunung Sindoro.
Namun bisa dikatakan spot Bukit Sikunir di Desa Sembungan adalah satu yang paling menonjul dari lokasi lain semacam Gardu Pandang Dieng, Batu Pandang Ratapan Angin, atau Bukit Scooter.
Anda yang ingin bermalam di Wonosobo bisa saja pergi ke kawasan Dieng untuk berburu sunrise, tetapi tentunya harus berangkat pada pagi buta. Menurut kami pilihan terbaik adalah menginap di Dieng agar tidak terburu-buru.

Kami telah bangun dan bersiap-siap menuju Sikunir dari Homestay Cahaya tempat kami menginap pada sekitar pukul 04:00. Dari jendela kamar, kami jelas melihat telah banyak kendaraan dan pejalan kaki melintas menuju arah Bukit Sikunir. Setelah memastikan seluruh persiapan untuk hiking berburu sunrise sudah OK, kami berwudlu terlebih dahulu (dengan air hangat tentunya di kamar) agar tidak perlu nanti wudlu dengan air sedingin es di mushalla parkiran Bukit Sikunir untuk shalat subuh.
Kami ke luar ke jalan utama desa dan bergabung dengan beberapa kelompok pejalan kaki yang tampaknya menginap di homestay lain di Sembungan, bersama-sama berjalan santai sekitar 10 menit ke kaki Sikunir. Temperatur udara saat itu sekitar 6 derajat C, belum turun mencapai titik beku memang... tetapi sudah sangat lebih dari cukup untuk membuat kami menggigil.
Menjejak di area parkir kaki Sikunir, terlihat telah banyak kendaraan pengunjung dengan aneka plat nomor polisi yang berada di sana, demikian juga para pelancong yang dini hari itu ingin menikmati keistimewaan golden sunrise Sikunir.

Waktu sudah menjelang adzan subuh, kami segera menuju mushalla yang berukuran cukup lah untuk menampung jamaah (foto di samping kanan). Sayangnya Abid batal wudlunya, sehingga mau tak mau ia harus wudlu lagi di sana. Agak repot juga karena harus melepas kaus kaki dan jaket.
Saran kami sih sebisanya diupayakan agar tidak batal wudlu sejak meninggalkan kamar penginapan.
Setelah shalat subuh, kami pun bergerak menuju awalan lintasan hiking ke puncak Sikunir yang sudah rapi berupa trek cor beton.
Trek permulaan ini didesain cukup landai, kemudian setelah sekitar 200m kami sudah tiba di trek naik berupa tangga beton... pertanda perjalanan mendaki dimulai.
Begitu pun sebenarnya trek naik ke puncak Sikunir ini sangat-sangat memungkinkan untuk dilibas oleh hampir semua orang... jangan terlalu menganggap trek ini berat dan bahkan membuat Anda mengurungkan niat untuk tiba ke puncak.
Kami ketika itu naik bersama-sama dengan seorang ibu muda yang menggendong bayinya.... dan walau pun secara santai saja, alhamdulillah ibu muda itu berhasil tiba di puncak pula dengan bayinya dalam gendongan.
Tergantung kecepatan kita mendaki, setidaknya butuh hanya 15-20 menit untuk tiba di puncak. Jadi Anda tidak perlu memforsir langkah dengan mendaki terburu-buru, hal mana bisa malah membuat Anda kelelahan sendiri, atau mengganggu pengunjung lainnya yang terpaksa kesulitan menepi untuk memberi kita jalan. Santai saja... take your time, nikmati perjalanan ke atas itu karena toh tak ada yang dikejar. Memburu sunrise memang penting, tetapi tak sepadan jika karenanya kita justru bersikap kurang baik pada sesama pelancong lain...

Medan undakan beton berangsur berubah menjadi bebatuan kasar hingga tanah alami. Perlu sedikit extra hati-hati manakala sudah berada di bagian lajur pendakian ini. Jika merasa lelah, kita bisa berhenti atau bahkan duduk sejenak di bagian undakan yang agak lebar.
Di trek tanah berdebu ini kami menyadari pentingnya membawa masker karena tiupan angin dini hari di sini rupanya cukup kencang menerbangkan tanah kemerahan. Lumayan lah, karena masker dapt mencegah kita menghirup debu berlebihan. Cahaya senter juga sangat membantu karena trek di sini masih minim penerangan buatan.


Kami melihat bahwa sebenarnya pada pertengahan jarak lintasan ke puncak, terdapat spot pandang yang juga cukup oke untuk menyaksikan matahari terbit. Anda yang tidak ingin meneruskan ke pucak bisa saja mencukupkan diri di ketinggian ini. tetapi tentunya sayang jika sudah jauh-jauh ke sini tetapi tidak sampai ke puncak Sikunir.
Bukit Sikunir sesungguhnya memiliki banyak  kemungkinan lokasi pengamatan sunrise yang bisa kita pilih. Kami melihat bahwa cukup banyak rombongan pelancong yang dipandu oleh guide. Dan para pemandu itu rupanya memang tampak memiliki banyak referensi spot pandang yang bagus. Mereka mengarahkan team-nya menuju lokasi-lokasi pengamatan yang menarik... sementara kami mengikuti rombongan tersebut, sehingga kami pun dapat menjejak spot-spot recommended tersebut... yeay!!!
Menurut kami sebenarnya tidak mutlak sih menggunakan guide, karena sebenarnya tidak sulit bepergian ke mana pun di seputaran Dieng, termasuk ke Sikunir ini. Kami ketika itu mengatur itinerary sendiri, hanya bermodal rinformasi dari website saja. 

Pagi itu sebenarnya cakrawala timur sedikit mendung. Semburat kemerahan sinar mentari pertama memang sedikit terhalang. Namun penampakan matahari terbit dari balik Sindoro yang pagi itu tampak menyembul dari selimut awan rendah khas cerita orang tentang negeri di atas awan kami nilai masih tetap istimewa!!!
Kami menyaksikan menit demi menit ketika langit kelam mulai terpecah oleh bias merah nun di timur. Saat-saat redup kemerahan itu kian meluas, hingga akhirnya alhamdulillah langit biru cerah terpampang sempurna pada sekitar pukul 06:00...
Semakin pagi, kian jelas terlihat bayangan para pengunjung pagi itu tersebar di banyak lokasi di seputaran puncak Sikunir. Memang bukit ini cukup besar, sehingga kita tidak akan kehabisan tempat strategis. Tapi bisa jadi saat high season dan pelancong begitu membludak, maka puncak Sikunir pun akan tampak penuh sesak juga...








Jendela waktu yang tersedia mulai secercah cahaya jingga tampak di horizon timur hingga mentari kuning meninggi dan lepas dari bayangan punggung Guning Sindoro menurut pengamatan kami ketika itu (awal Juli 2018) adalah antara pukul 05:30 hinga 06:00.  
Data waktu shalat tanggal 3 Juli 2018 daerah Wonosobo dan sekitarnya adalah sbb. : 
   * adzan subuh : pukul 04:32
   * matahari terbit : pukul 05:51
   * waktu dhuha/syuruq : pukul 06:15

Memang pengamatan kami saat itu klop dengan data waktu shalat di atas, di mana kami menunaikan shalat subuh di mushalla kaki Bukit Sindoro hingga selesai dan siap mulai mendaki pada sekitar pukul 04:50.
Diperlukan waktu selambatnya 20 menit untuk mendaki ke puncak, maka kami sudah berada di akhir lajur pendakian pada sekitar pukul 05:10, atau mungkin lebih karena kami tidak tergesa-gesa ketika itu.
Dengan begitu, maka masih akan ada jeda waktu sekitar 15 menit sejak saat kita menjejakkan kaki di puncak bukit hingga dimulainya jendela waktu primetime sunrise Sikunir antara pukul 05:30 hinga 06:00 seperi yang kami sebutkan di atas.  



Setelah kami berada sekian lama di atas pun ternyata menurut pengamatan kami masih banyak rombongan pengunjung yang baru tiba di puncak.
Sekali lagi tak mengapa dan tak perlu terburu-buru karena masih cukup banyak waktu untuk menikmati matahari terbit.
Kami ketika itu tidak hanya diam di satu spot pandang, tetapi berpindah-pindah untuk mencari view yang mungkin berbeda. 
Arahan guide rombongan lain yang terus kami simak memang sangat membantu sih, karena ternyata beberapa titik pandang cukup tersebar dan tersembunyi jalan aksesnya. Bahkan ada yang seolah menembus semak... Rasanya kita yang tidak tahu medan tak akan menduga ada jalan di balik semak itu ke spot-spot lain...

Pada sekitar pukul 06:05, kala suasana sudah terang, di kejauhan terlihat bahwa ternyata puncak perbukitan sekitar Sikunir pun sudah diolah sebagai lahan perkebunan dengan sistem terasering seperti foto di bawah.
Luar biasa memang warga Sembungan ini, karena mereka setiap hari mungkin harus naik-turun bukit beberapa kali... Sedangkan kami yang hanya sekali saja cukup tersengal dibuatnya.

Pada pukul 06:10, sebagian pelancong mulai turun kembali ke kaki bukit. Kami pun beringsut menuruni lajur ke bawah. Trek turun ini terasa lebih mudah dijalani mungkin karena hari sudah terang sehingga lebih gampang mengatur langkah. 
Dua foto di bawah menunjukkan suasana medan lintasan ke puncak Sikunir pada bagian yang berupa undakan batu. Bagian ini relatif tidak sulit didaki karena lajurnya lebar, tergolong landai, dan undakannya rapi. Tetapi di beberapa bagian memang lebih curam dan sebagian masih berupa jalur tanah...

Trek berkontur cukup datar tetapi masih berupa tanah alami tampak seperti foto di bawah... Bagian lajur ini cukup terbuka, dan sebenarnya menawarkan alternatif spot pandang matahari terbit yang juga cukup menarik selain pengamatan dari puncak Sikunir...


Sekitar pukul 06:20 kami sudah tiba kembali di dasar trek berundak-undak, dan memasuki lajur yang melandai hingga terus turun ke area parkiran. Di sini tersedia beberapa warung penganan ringan, lumayan untuk menghangatkan badan yang kedinginan sejak subuh.
Ketika itu kami mencoba bubur sumsum, teh hangat, dan beberapa makanan ringan lain. Semua masih tergolong murah-meriah di sini... teh hangat misalnya cukup Rp. 2000 dan bubur sumsum Rp. 5000 segelasnya.

Menurut catatan, kami sudah berada di bilangan area parkir kaki bukit pada pukul 06:58. Sudah ramai pedagang makanan dan oleh-oleh khas Dieng menjajakan jualannya di sini. Pada foto di bawah misalnya, kita bisa melihat rupa-rupa dagangan mulai bunga, kentang khas Dieng (wadah di lantai paling kanan), cabe jalapeno Dieng berwarna dominan hijau, lalu buah carica yang berbentuk seperti pepaya kecil (wadah di lantai kedua dari kiri).

Selain pedangan penganan ringan, makanan berat pun ternyata banyak tersedia di sini seperti foto di bawah... Secara keseluruhan harga-harga di Sikunir ini kami nilai tergolong murah daripada di beberapa tempat wisata lain di Dieng. Jika Anda mau, bisa dipikirkan untuk berbelanja suvenir di sini saja.

Pada pukul 07:00, kami sudah kembali berjalan santai menuju Homestay Cahaya. Telaga Cebong kami susuri di sebelah kiri jalan desa (foto di bawah). Meski pun merupakan jalan utama, tetapi tetap saja jalan ini tidak terlalu lebar, jadi jika Anda memilih berjalan kaki ke Sembungan seperti kami saat itu, pastikan untuk selalu berhati-hati berjalan di pinggir karena cukup banyak kendaraan pengunjung yang juga berbaris nyaris serentak meninggalkan lokasi Bukit Sikunir...

Akhirnya sampai lagi di penginapan dengan selamat pada sekitar pukul 07:15, alhamdulillah... kami beristirahat sejenak sambil membersihkan pakaian yang ternyata baru kami sadari agak berdebu karena angin bertiup cukup kencang menerbangkan partikel tanah merah ke segala arah sejak dini hari ketika itu.
Perjalanan Sikunir sunrise pagi itu kami nilai sukses. Sambil tak bosan melihat-lihat koleksi foto yang kami ambil sejak sebelum adzan subuh tadi, kami menyiapkan sarapan pagi.

Amazing memang memandang ke atas, ke arah langit pagi biru sempurna yang bersih khas Dieng seperti foto di sebelah kiri... Berbeda jauh dengan langit kota besar yang sudah parah tercemari polusi, di mana sangat jarang kami dapat menikmati langit biru sejernih apa yang kami peroleh di Sembungan pagi itu.
Sama dengan pemandangan malam harinya... di Dieng kita masih bisa melihat bintang-gemintang bertaburan di langit hitam kelam layaknya milky way. Sementara di Bekasi... waduh, langit sudah demikian terpolusi cahaya sehingga hanya sedikit bintang bermagnitudo terang yang masih dapat terlihat oleh mata telanjang, kecuali mungkin manakala kondisi langit cukup gelap yang sesekali memang masih bisa kami temui.

Pagi itu kami memilih untuk sarapan pagi di meja bundar dari kaca yang berada di teras luar dengan view rancak ke Telaga Cebong. Bisa dilihat pada foto di bawah bahwa teras ini terletak tepat di sisi luar kamar kami, bahkan kami bisa keluar-masuk lewat jendela yang tampak terbuka...
Mungkin pada high season, manakala cukup banyak tamu homestay lain, kami tidak bisa seleluasa ini menggunakan area teras yang nota bene memang area publik penginapan. Kami sarapan di teras ini hingga sekitar pukul 08:30. Selanjutnya kami bersiap untuk check out dan menuju lokasi wishlist selanjutnya yaitu Dieng Theater.

Kami meninggalkan Cahaya Homestay pada sekitar pukul 9 pagi. Ketika itu staf penginapan tidak berada di tempat karena sedang berada di kebun. Maka berdasarkan chat WA kami bisa langsung meninggalkan homestay. Kamar cukup kami kunci, dan kuncinya digantung saja di pintu... mudah sekali, ya? Sekali lagi penginapan ini recommended...

Jumat, 16 November 2018

Jalan-Jalan ke Dieng : Desa Sembungan, Desa Tertinggi di Pulau Jawa


Dari spot sebelumnya (Kawah Sikidang), kami menempuh perjalanan singkat sekitar 15 menit saja ke Desa Sembungan yang berjarak 3,8 km ke arah tenggara kawasan kawah.
Pemukiman yang secara administratif berada di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo ini tercatat sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa, tepatnya terletak pada ketinggian 2306m di atas permukaan laut.
Nama Desa 'Sembungan' (Blumea balsamifera) konon berasal dari sejenis tanaman 'sembung' yang banyak tumbuh di daerah sekitar Telaga Cebong tersebut.
Versi lain menyebutkan asal muasal sebutan dari nama seorang tokoh Joko Sembung atau Kiai Adam Sari yang merupakan saudara Sunan Kalijaga.
Desa yang tercatat telah terbentuk jajaran pemerintahannya pada tahun 1936 tersebut dulunya dikenal sebagai pemukiman yang serba terbatas dalam bidang ekonomi. Tetapi kemudian status itu berubah seiring dengan perkembangan kegiatan pertanian yang subur, dengan beberapa budidaya andalan seperti wortel, terong belanda, carica, dan purwaceng.
Sebagai pemukiman di dataran tinggi, temperatur udara di Sembungan selalu tergolong sejuk. Tetapi justru pada musim kemaraulah seringkali temperatur udara di pagi hari mencapai titik terendahnya, hingga di bawah 0 derajat C.

7. Desa Sembungan dan Homestay Cahaya
Kondisi jalan aspal dari Kawah Sikidang hingga Gapura Masuk Desa Sembungan (foto di bawah) secara umum cukup baik meski memang tidak lebar. Di beberapa tempat memang lapisan aspal sudah tergerus menyisakan bebatuan di bawahnya, tetapi keseluruhannya masih layak.
Saat kami berada di gapura itu, suasana sangat sepi, nyaris tidak ada pengendara lain yang berseliweran di jalan. Kami sempat berhenti sejenak untuk sekedar berfoto di depan gapura yang cukup terkenal ini...
Menjelang memasuki kawasan pemukiman, kami melewati pos tiket masuk bertuliskan Wisata Sunrise Gunung Sikunir sebesar Rp. 10.000 per orang seperti gambar di sebelah kanan.
Namun kala itu petugas hanya meminta pembayaran tiket untuk 3 orang saja, artinya hanya kami 2 orang dewasa dan anak pertama yang sudah kelas 9 saja yang dihitung, sementara anak kecil tidak dimintai pembayaran.
Kami menginap di Homestay Cahaya (foto di sebelah bawah-kiri). Sebagai informasi, di Dieng memang tidak tersedia hotel berbintang sebagaimana biasanya tersedia di tempat-tempat wisata. Kabarnya hal ini karena pemerintah daerah setempat ingin membangkitkan peran serta masyarakat dalam aktivitas pariwisata Dieng, termasuk dalam hal penginapan bagi para pelancong... Bagus juga arahannya.

Kami tiba di lokasi Cahaya pada sekitar pukul 16:30. Saat itu tidak ada tamu selain keluarga kami, walaupun belakangan ternyata datang lagi tamu yang menyewa 1 kamar lain di lantai bawah. Total ketika itu hanya 2 kamar yang terisi, hingga penginapan ini serasa milik pribadi, hehehe...
Kamar tipe Family di Cahaya dijual seharga Rp. 500.000 per malam tanpa sarapan. Menurut kami sepadan dengan kondisi dan fasilitas yang diberikan pada tamu.
Homestay Cahaya terletak di sebelah kanan jalan agak ke ujung desa, melewati lokasi perumahan warga, dan sudah mendekati areal perkebunan di sepanjang tepian Telaga Cebong menjelang Bukit Sikunir.
Setelah sejenak leyeh-leyeh di dalam kamar yang ternyata cukup luas dan view-nya benar-benar juara... sekitar pukul 17:00 kami memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak seputar Sembungan sembari mencari makan malam di warung makan warga setempat.


Tak jauh dari Cahaya terdapat spot foto yang sebenarnya hanya terbuat dari sususan botol plastik air mineral  yang dicat aneka warna seperti foto di sebelah kanan.
Sederhana tapi cukup menarik. Ya iyalah... lha wong latar belakangnya saja Telaga Cebong yang cantik dan Bukit Sikunir...
Kami terus berjalan santai ke arah perumahan penduduk Sembungan yang tampak cukup padat. Menurut data yang kami peroleh, penduduk desa ini berjumlah sekitar 1400 jiwa. Mayoritas bermata pencaharian sebagai petani.
Di sepanjang jalan utama Sembungan tampak rumah-rumah penduduk yang sebagian sudah disulap menjadi penginapan seperti foto di bawah. Sebagian homestay memang terlihat memiliki tempat parkir mobil tamu di halamannnya, tetapi sebagian lain tampaknya tidak. Area parkir mobil di halaman masing-masing penginapan pun sepertinya hanya menampung hingga 3 mobil... 
Kami membayangkan bagaimana crowded-nya desa yang cantik ini pada musim liburan, manakala pengunjung ramai menyerbu Dieng. Kami saja yang ketika itu datang pada masa low season sempat harus bergantian lewat saat harus berpapasan dengan mobil lain pada bagian penyempitan jalan. Yah, mengemudi perlahan saja di sini, toh memang niat kita untuk bersantai, kan? 



Tak jauh dari Masjid Al-Mujahidin (foto di sebelah kiri) yang berada di sisi utara jalan utama desa, kami menjumpai warung nasi yang menjual ayam goreng. Kami akhirnya membeli ayam goreng di sini untuk makan malam.
Tak hanya itu, karena di luar warung ternyata qadarullah lewat abang bakso, sekalian saja kami request mas-mas tersebut utk menunggu kami di depan Homestay Cahaya, karena kami pikir enak juga dingin-dingin begini nge-bakso hangat... mmm, uwenak tenan...

Masjid Al Mujahidin ini cukup besar, dan tampaknya bertingkat 2. Sepertinya pada saat shalat Jum'at high season masjid sebesar ini pun akan penuh sesak oleh jamaah.
Setelah kelar urusan membeli ayam goreng, kami kembali ke Cahaya, dan menemukan mas-mas bakso sudah stand-by dengan gerobaknya di muka penginapan.
Lagi-lagi karena udara terasa dingin, kami membawa mangkuk bakso ke dalam kamar untuk makan di sana. Untungnya mas-mas bakso tersebut oke saja kami pinjam mangkuknya ke dalam.

Seperti kami singgung di atas, kami cukup beruntung untuk berada di Dieng semasa low season. Staff penginapan dapat memberikan best Family Room kepada kami dengan view langsung ke Telaga Cebong lewat jendela-jendela besar nyaris di seluruh dinding kamar yang berada di pojok tenggara  lantai 2 bangunan. Kami suka sekali view dari kamar ini (foto-foto di bawah).
Family room di sini memiliki 2 tempat tidur king size. Tempat tidur utama yang lebih lux adalah yang tampak pada foto di bawah dengan pandangan langsung ke telaga. Di sebelah kiri tempat tidur utama ini terdapat jendela besar yang bisa dibuka dan mengarah langsung ke teras. Sementara tempat tidur satu lagi berada dekat pintu kamar, dan tampak biasa saja, walaupun sama-sama nyaman digunakan sih...

Tepat di sisi barat kamar kami, terdapat teras yang dilengkapi dengan sebuah meja bundar dari kaca. Arah pandangan dari teras ini tepat ke telaga dan Bukit Sikunir di kejauhan (foto di bawah).

Staf penginapan sebenarnya sudah mempersilakan kami untuk masuk sejak pukul 13:00. Kita perlu janjian terkait waktu kedatangan karena satu-satunya staf Cahaya ini tidak terus-menerus berada di penginapan. 
Dari bincang-bincang dengan mas-mas staf penginapan yang super ramah ini, ia diberi kepercayaan untuk mengurusi Cahaya oleh sang pemilik yang hanya disebut sebagai 'Pak Haji' olehnya. Pak Haji ini juga warga Sembungan.
Jika Anda berminat menghubungi Homestay Cahaya, Anda bisa kontak via WA di nomor +62 823-2201-1988. Sedangkan informasi penginapan dapat dicek via url homestaycahaya(dot)com.
Plafon kamar kami yang bercat putih memang tampak sudah bernoda bekas tempias air hujan di beberapa tempat, tetapi tidak terlalu masalah.
Lantai kamar dilapisi karpet tebal, alhamdulillah dapat sedikit menghambat tusukan rasa dingin dari telapak kaki (foto di sebelah kanan). 
Semakin sore, temperatur udara di dalam kamar terasa terus turun, kami pun memilih tetap mengenakan jaket selama berada di sana.
Lantai keramik kamar mandi terasa nyes dinginnya... kami memilih menggunakan sandal jika masuk ke sana. Untungnya air hangat di sini sangat OK dan lancar. Sebuah kloset jongkok berada di ujung kamar mandi yang berukuran cukup besar ini.

Foto di sebelah kiri memperlihatkan ruang tengah bergaya tradisional. Foto ini diambil dari arah tangga naik dari lantai bawah. Di sebelah kiri foto tersebut terdapat pintu ke arah teras luar. Pintu kamar kami adalah yang tampak di pojok kiri atas foto.
Di ruangan ini terdapat TV CRT (jadul) yang tampaknya dapat digunakan bersama oleh seluruh tamu penginapan. Sedangkan TV pribada ada di dalam masing-masing kamar.
Di sebelah kiri posisi mengambil foto ini terdapat sebuah dapur yang digunakan bersama... self service ya, jika sudah menggunakan piring atau gelas yang tersedia sebaiknya langsung kita cuci sendiri. Air mineral galon umum juga terdapat di dapur ini, kita bebas mengambil air hangat untuk sekedar menyeduh teh atau kopi. Jika air habis, kita tinggal WA saja staf penginapan...

Satu hal yang perlu kita pahami adalah area parkir yang cukup terbatas. Jika kita masuk dari pintu utama penginapan (dari arah jalan besar), kami perkirakan hanya akan tersedia ruang untuk 3 mobil. Selebihnya maka harus parkir di luar garasi (tepi jalan).
Tetapi untuk sepeda motor, kapasitasnya tentu masih sangat memadai seperti foto di sebelah kanan.

Menjelang petang kami sempatkan berjalan kaki dari homestay ke kaki Bukit Sikunir yang berjarak sekitar 550m selama sekitar 10 menit. Perjalanan menyusuri tepian sebelah utara telaga, sekaligus berbatasan dengan perkebunan penduduk di sisi utara jalan aspal hingga tiba di lokasi parkiran kendaraan Bukit Sikunir. Selain untuk berjalan sore, kami juga hendak melihat-lihat kondisi medan hiking ke puncak Sikunir esok dini hari untuk berburu sunrise.

Setiba di area parkir kendaraan di kaki bukit, view ke arah barat ternyata menyajikan sunset yang indah, terutama saat kami sedikit mendaki trek hiking Sikunir seperti foto di bawah.

Landmark Bukit Sikunir yang terkenal petang itu cukup tricky untuk difoto mengingat matahari nyaris tepat berada di horizon barat di seberang landmark. Tapi tetap tampak cukup jelas lah landmark yang ketika kami datang ke Dieng dicat warna hijau tersebut...

Dari arah parkiran kendaraan, jika kita berjalan kaki sedikit ke selatan, maka kita akan tiba di tepian Telaga Cebong yang ternyata cukup luas itu (foto di bawah). Kami melihatt beberapa perahu tertambat di dermaga sederhana, yang tampaknya disewakan untuk berkeliling telaga bagi para pengunjung. Beberapa orang warga yang kami jumpai di sana menyapa hangat dengan keramahan khas masyarakat Dieng...

Adzan maghrib terdengar berkumandang dari masjid, kami pun bergegas beranjak pulang ke penginapan. Jaraknya tidak begitu jauh, kami tiba di halaman Cahaya ketika sisa kemerahan senja masih menggantung di cakrawala barat.
Tampak kelokan zig zag di dekat penginapan diterangi lampu merkuri jalan... lengang tanpa ada seorang pun tampak berada di sana (foto di bawah). Meski nafas sedikit tersengal usai berjalan kaki dari kaki Sikunir dan jaket tebal tetap kami pakai, namun udara dingin tetap terasa kian menusuk.

Malam itu kami lewatkan di dalam kamar saja. Setelah shalat, kami makan malam, lalu tanpa disadari terus menambah tebal lapisan pakaian... Benar saja, kami ketika itu tidur dengan 2 lapis T-shirt, dilapis gamis, dilapis lagi jilbab, lalu jaket. Tak ketinggalan sarung tangan dan kakus kaki. Anak-anak masih menambah lagi dengan topi rajut. Terakhir selimut penginapan yang tebal. Tapi ya tetap saja masih terasa dingin, brrr...
Kami tidur awal malam itu agar tidak tertinggal perburuan golden sunrise Dieng yang terkenal. Persiapan kami selain pakaian dan jaket berdasarkan berbagai informasi yang kami peroleh adalah :
   * sarung tangan
   * kaus kaki dan sepatu kets yang ringan, nyaman, dan tidak membuat lecet kaki
   * boleh saja mengenakan sandal gunung, tetapi tetap kenakan kaus kaki agar hangat
   * topi penghangat kepala
   * masker karena puncak Sikunir cukup berdebu
   * senter karena trek hiking ke puncak Sikunir minim penerangan

Sebaiknya persiapkan barang-barang tersebut sejak dari rumah, karena bisa jadi kita akan sulit mencarinya di perjalanan, atau kalau ada pun biasanya harganya lebih mahal.
Next article (sekaligus acara utama kami jauh-jauh ke Sembungan).. Dieng Sunrise di Puncak Bukit Sikunir....

Rabu, 07 November 2018

Jalan-Jalan ke Dieng : Kompleks Candi Arjuna, Candi Bima, dan Kawah Sikidang

4. Kompleks Candi Arjuna
Dari lokasi D'Qiano dan Kawah Sileri, kami kembali berkendara di Jl. Raya Dieng ke arah timur, lalu belok kanan di pertigaan Terminal Shuttle Aswatama menuju arah selatan. 

Bagi kami yang membawa kendaraan sendiri ke sini mungkin terminal ini tidak seberapa bermakna. Namun bagi pengunjung yang datang ke Dieng dengan kendaraan wisata umum, maka tempat ini merupakan titik kumpul yang penting.
Sekitar 600 m dari pertigaan Terminal Aswatama kita akan tiba di area parkir Kompleks Candi Arjuna yang terkenal, yang berada di sebelah kiri jalan. Museum Kailasa tepat berada di kanan jalan, di seberang area parkir tersebut. Anda yang hendak berkunjung ke Kailasa pun akan memarkir kendaraan di tempat yang sama pula.
Ketika itu kami tidak masuk ke Museum Kailasa karena anak-anak sepertinya belum terlalu tertarik dengan atraksi museum ini yang berupa melihat-lihat koleksi benda-benda bersejarah dari kawasan Dieng.
Kami tiba di area parkir Candi Arjuna pada pukul 14:15 pada siang hari yang cerah ketika itu. Area parkir yang cukup luas ini tampak cukup penuh saat itu, namun tetap masih terhitung mudah untuk memperoleh slot parkir.
Cukup banyak pedagang suvenir dan jajanan termasuk mie ongklok di seputaran area parkir ini. Anda bisa makan siang atau berburu oleh-oleh dulu di sini sebelum masuk ke dalam.

Museum Kailasa (atas)

Tiket masuk ke sini seharga Rp. 15.000, dan itu sudah mencakup 2 objek yaitu Kompleks Candi Arjuna, dan Kawah Sikidang. Sama saja jika Anda datang ke Kawah Sikidang terlebih dahulu, Anda akan mendapatkan tiket 2in1 yang serupa. Simpanlah potongan tiket masuk Anda untuk digunakan pada spot kedua. Sementara tiket parkir mobil Rp. 5000.

Kita harus berjalan kaki dari loket masuk sekitar 450 m menyusuri jalan ke lapangan terbuka di mana candi-candi ini berada. Di sini kita akan dipinjami sepotong kain batik yang tampaknya dimaksudkan untuk digunakan oleh turis yang berpakaian agak terbuka. Nanti saat akan keluar, kain batik ini kita kembalikan ke pengelola. 
Candi Arjuna adalah satu dari sekumpulan candi bercorak Hindu kuno yang memenuhi daerah ini. Di kompleks ini terdapat pula Candi Semar, Candi Sembadra, dan Candi Puntadewa. Candi Arjuna berada di lokasi paling utara dari deretan candi di kumpulan ini, dan merupakan candi yang paling besar dengan ukuran pondasi 6x6 m. Candi Semar adalah candi perwara atau pelengkap dari Candi Arjuna, dan keduanya berada saling berhadapan di suatu kavling persegi yang biasa disebut kelompok Candi Madukoro. Di dekat Candi Arjuna ditemukan prasasti berangka tahun 731 Saka (809 M) yang menjadi indikasi waktu pembangunan kompleks ini.
Pada foto di bawah terlihat pemandangan dari arah utara ke selatan kompleks ini. Candi Arjuna adalah yang paling besar dengan atap limasan di sebelah kiri, berhadapan dengan Candi Semar yang berbentuk kotak.




Foto di atas memperlihatkan view ke arah barat dari belakang Candi Semar. Selain candi-candi kuno, spot ini juga sebenarnya menawarkan pemandangan perbukitan yang indah. Lokasi sekitar Kompleks Candi Arjuna ini menjadi ajang budaya tahunan Dieng Culture Festival yang terkenal.

Di selatannya terdapat petak kavling Candi Amarta yang dalam urutan utara-ke-selatan terdiri dari Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Foto di bawah menunjukkan ketika anak-anak berada di pondasi persegi yang memagari kavling Candi Madukoro. Di belakang mereka terlihat Candi Puntadewa yang paling besar dan berada di tengah. Di sebelah kirinya adalah Candi Srikandi yang tampak tidak memiliki atap limasan. Sementara di sebelah kanannya tampak Candi Sembadra yang masih tertutup tiang-tiang karena tengah menjalani pemeliharaan.

Beberapa foto anak-anak tampak di atas (dari kiri ke kanan): Candi Puntadewa; Dinda di depan Candi Arjuna; Abid di depan Candi Puntadewa; dan Candi Srikandi.

Terdapat padang rumput menghijau di sebelah barat Kompleks Candi Arjuna (foto di bawah). Bersih dan tidak ada sepotong pun sampah, kami jadi betah duduk-duduk di sini. Apalagi meski matahari bersinar cerah, tetap saja tak terasa panas menyengat. 

Pukul 14:37 kami bergerak meninggalkan lokasi candi. Kita harus kembali berjalan ke arah selatan menyusuri jalan ke arah area parkir. Sekitar 200 m ke selatan, kita akan tiba di sebuah pertigaan. Jika kita belok ke kanan menuju barat laut, kita akan tiba di lokasi Candi Setyaki yang berjarak sekitar 200 m dari pertigaan itu. Namun kami tidak menuju ke Candi Setyaki yang seolah terpisah bersendirian, melainkan terus ke selatan menuju arah keluar. Anda yang antusias pada situs kuno semestinya tidak melewatkannya seperti kami ketika itu.

Foto sebelah atas-kiri menunjukkan suasana jalan setapak yang menghubungkan kompleks candi dengan area parkir (luar). Jalan ini bersih, sejuk dan indah dipayungi pepohonan rindang. Setiba kembali di area parkir mobil, jangan lewatkan untuk menengok sejenak ke Candi Gatotkaca yang juga berada bersendirian tak jauh dari tepi jalan (foto atas-kanan). Fisik Candi Gatotkaca yang tidak terlalu besar ini tampak mirip dengan Candi Srikandi. Secara jarak, Candi Gatotkaca ini berada sekitar 450 m di selatan Candi Sembadra.
Di area parkir ini kami sempat jajan siomay dulu (pukul 14:48) sebelum berpindah ke lokasi berikutnya, yaitu Kawah Sikidang.

5. Candi Bima
Dari Kompleks Candi Arjuna kita harus berkendara ke arah selatan untuk menuju Kawah Sikidang. Dalam perjalanan ke Sikidang, tak ada salahnya mampir sejenak ke lokasi Candi Bima yang berada tepat di pertigaan jalan yang memang akan kita lalui dalam perjalanan ke kawah ini. Jarak dari area parkir Candi Arjuna ke Candi Bima yang merupakan candi paling selatan di kompleks situs Hindu Kuno Dieng ini hanya 900 m. Keseluruhan kompleks candi-candi Dieng sendiri diperkirakan merupakan candi-candi tertua di tanah Jawa.
Candi Bima terkenal dengan arsitekturnya yang unik karena mirip dengan desain candi di India, yaitu dengan khas atap berbentuk mangkuk yang ditangkupkan. Arsitektur ini berbeda dengan candi lain di Dieng, maupun daerah lain di Indonesia. Candi Bima yang kita lihat saat ini merupakan hasil renovasi tahun 2012. 
Candi Bima ini berukuran besar, dan tampak megah dengan posisinya yang berada di puncak dataran. Untuk menuju badan candi kita harus menaiki beberapa undakan anak tangga. 
Ketika itu kami bisa masuk ke lingkungan Candi Bima secara gratis. Pengunjung hanya diminta untuk menjaga kebersihan area dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, serta tidak mengotori atau merusak badan candi dan lingkungannya. 
Setuju banget lah kalau begitu.... mari kita jaga bersama.
Menurut catatan, kami berada di kawasan Candi Bima anatar pukul 14:55 hingga 15:03. Cukup singkat memang karena lokasi candi ini sangat dekat dari parkiran mobil, dan praktis bagi kami yang awam dalam hal kepurbakalaan, maka kunjungan ke sini memang dapat dilakukan dengan cukup singkat.


6. Kawah Sikidang
Kawah Sikidang berjarak hanya sekitar 1km ke arah barat daya dari area Candi Bima. Parkiran Kawah Sikidang sangat luas, muat banyak kendaraan tentunya. Tiket parkir di sini sama dengan tempat lainnya yaitu Rp. 5000 saja per sekali parkir tanpa batasan waktu.
Kami tiba di sana pada pukul 15:13, berarti hanya 10 menit sejak meninggalkan Candi Bima.

Uniknya, dari area parkir Sikidang, kita harus menerobos semacam pasar oleh-oleh kecil (seperti foto di bawah) sebelum mencapai daerah kawah. Harga-harga di pasar ini cukup murah, recommended jika Anda berbelanja suvenir di sini.
Bagi kami yang sudah memiliki tiket Candi Arjuna, maka kami tinggal menunjukkan saja potongan tiket tersebut saat memasuki loket area kawah ini.

Segera setelah keluar dari pasar yang tertutup atap, kita pun tiba di area terbuka Kawah Sikidang. Di kejauhan sudah terlihat kepulan uap belerang dari kepundan. Anda yang cukup sensitif dengan aroma belerang mungkin akan merasa sedikit kurag nyaman, tetapi tak ada salahnya tetap menikmati pemandangan di kawah ini meski tidak berlama-lama.

Atraksi yang sudah terkenal di sini (foto di bawah) adalah merebus telur di air panas kawah. Anda boleh menjajalnya, in sya Allah telur akan segera matang.


Kini area Kawah Sikidang sudah jauh lebih kekinian dengan disediakannya beragam lokasi/spot selfie seperti ditunjukkan oleh foto di bawah. Memang berbayar, tapi murah-meriah untuk ukuran lokasi wisata populer sekelas Dieng... berkisar 10-20ribu-an saja per spot.


Suka banget deh dengan pemandangan eksotis kaki kepundan yang nyaris tanpa henti berselimut uap belerang Sikidang (foto di bawah). Namun memang jika kadar belerangnya meningkat, maka lokasi ini akan ditutup demi untuk keselamatan pengunjung.



Kami berada di Kawah Sikidang hingga sekitar pukul 16:00, kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Sembungan.