Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Rabu, 02 Januari 2019

Jalan-Jalan ke Dieng : Batu Pandang Ratapan Angin dan Dieng Plateau Theater


9. Batu Pandang Ratapan Angin (BPRA)

Setelah checkout dari Homestay Cahaya di Desa Sembungan, kami berpindah ke lokasi berikutnya yaitu BPRA yang berjarak sekitar 5 km dari Sembungan. Mengendarai mobil hanya butuh sekitar 15 menit untuk tiba di area parkir BPRA yang sebenarnya menyatu dengan spot Dieng Plateau Theater (DPT). Praktis kita bisa sekaligus masuk ke 2 lokasi ini tanpa harus repot memindahkan kendaraan.
Menurut catatan, kami tiba di area parkir DPT pada sekitar pukul 09:20. Ketika itu belum terlalu banyak mobil yang masuk ke parkiran DPT yang sebenarnya tidak terlalu luas itu, sehingga kami masih cukup leluasa memilih tempat parkir. Dari sini kita bisa langsung menuju ke gedung DPT terlebih dahulu, atau naik tangga berjarak sekitar 50 m ke sebelah kanan area parkir menuju pos masuk BPRA. Ketika itu kami memilih untuk menuju BPRA duluan...

Tiket masuk BPRA adalah sebesar Rp. 10.000 per orang seperti scan di sebelah kiri.
Konsep spot BPRA adalah wisata alam berupa pemandangan menakjubkan Telaga Warna dan Telaga Pengilon dilihat dari ketinggian sekitar 2010 m DPL arah selatan kedua danau kecil tersebut.
Selain jualan utama berupa pemandangan telaga kembar tersebut, pengelola tampaknya sudah memikirkan tambahan atraksi buatan berupa spot-spot selfie di sepanjang trek naik ke cadas di puncak bukit yang diberi nama BPRA tersebut,
Flying Fox BPRA @ Rp. 20.000 per orang, serta spot yang belakangan juga populer sebagai salah satu tempat berburu matahari terbit yaitu Jembatan Merah Putih.

Anggrek bulan isi 6 tangkai dengan vas kayu, detil klik di sini...
Jembatan Merah Putih merupakan sebuah jembatan gantung sepanjang sekitar 50 m yang menghubungkan puncak-puncak 2 buah bukit tak jauh dari BPRA. Saking populernya, pada high season kita harus antri lama untuk dapat berfoto di atas Jembatan Merah Putih berlatar belakang telaga.

Waktu itu, setelah membeli tiket masuk, kami sempat mampir ke warung yang berada di dekat loket, sekedar untuk minum teh hangat dan penganan ringan. Harga di warung ini ini tergolong sangat murah meriah.
Sekitar pukul 10:00, barulah kami menaiki trek berupa tangga ke ketinggian bukit untuk menuju ke BPRA. Jaraknya sih sepertinya hanya berkisar 100-an m, tetapi karena konturnya menanjak cukup curam seperti ditunjukkan 2 foto di bawah, maka membutuhkan waktu tak kurang dari 10 menit untuk tiba di atas.

Asal mula penamaan 'ratapan angin' menurut petugas setempat adalah suara berupa desiran atau siulan angin yang bertiup di sekitar cadas yang menjulang dikelilingi pepohonan serta belukar. Sayangnya pada saat kami berada di atas sana, angin sedang malas bertiup sehingga sama sekali kami tak dapat merasakan sensasi ratapan angin yang menjadi nama spot wisata alam ini.
Ketika itu langit pagi sangat cerah. Lagi-lagi kami menemui sedikit kendala saat mengambil foto ke arah telaga, karena sudut datang matahari berada nyaris tepat di belakang objek BPRA. Sedikit tricky untuk membuat hasil foto kami saat itu tidak over exposed.
Sepertinya pada bulan Juli seperti saat kunjungan kami itu, waktu yang lebih ideal untuk mendapatkan foto BPRA terbaik justru pada sore hari, di mana matahari akan ada di depan objek sehingga langit akan tampak lebih biru dan indah...
Tadinya kami sempat penasaran bagaimana cara mengambil foto khas BPRA seperti yang kami ambil ketika itu? Dan mengapa nyaris seluruh foto BPRA yang kami lihat sudutnya serupa? Ternyata jawabannya sangat mudah : karena ternyata pihak pengelola sudah membangun suatu anjungan beton bagi fotografer sedikit di atas posisi objek yang berada di atas cadas batu pandang. Fotografer naik ke atas anjungan, dan objek foto naik ke atas BPRA... itulah mengapa sudut fotonya selalu tak jauh berbeda...  


Cadas batu pandang itu sudah diberi undakan untuk memudahkan model menaikinya, bahkan di sebelah kanan bawah foto tampak telah pula dipagari agar aman bagi pengunjung. Jadi jangan dibayangkan bahwa model harus bersusah-payah mendaki cadas tersebut layaknya pemanjat tebing... pengelola sudah memudahkan dengan fasilitas-fasilitas ini. Begitu pun, tetap berhati-hati dan jaga keselamatan karena potensi terjatuh ke bawah lereng tetap ada. Jangan berdesakan atau berebutan saat menunggu giliran naik ke BPRA.

Selain berlatar belakang langit cerah, kemungkinan lain cuaca saat datang ke BPRA adalah mendung atau bahkan berkabut, mengingat Dieng adalah daerah pegunungan yang sangat mungkin mengalami kabut. Hasil foto di BPRA saat berkabut adalah seperti contoh foto di sebelah kanan (sumber : www.wisatadieng.net). 
Suasananya memang sangat berbeda, tergantung pada Anda, suka yang mana...


Kami berada di seputaran puncak bukit dekat batu pandang hingga sekitar pukul 10:30. 
Dalam perjalanan turun kembali untuk menuju Dieng Theater, kami melihat bahwa di kiri-kanan trek menanjak ini sesekali terlihat pohon mirip pepaya seperti foto di sebelah kiri. Ternyata itulah pohon carica (baca : karika) yang kini terkenal sebagai buah segar atau manisan oleh-oleh khas Dieng.
Pohon carica (Vasconcellea cundinamarcensis) di sini tampak subur, konon karena lingkungan Dieng cocok sebagai tempat hidup tumbuhan yang sebenarnya berasal dari pegunungan Andes, Amerika Selatan ini. Pepaya gunung ini dibawa oleh kolonial Belanda ke Dieng pada masa menjelang Perang Dunia II.


10. Dieng Plateau Theater (DPT)
Spot yang diresmikan oleh - ketika itu - Presiden SBY pada April 2006 ini merupakan objek wisata ber-genre edukasi. Pengunjung akan disuguhi film dokumenter berdurasi 23 menit mengenai sejarah, kondisi geografis, budaya, serta hal-hal lain tentang Dataran Tinggi Dieng.
Desain bangunan teater ini cukup unik dan khas, seperti ditunjukkan oleh foto di bawah.

Teater berkapasitas sekitar 100 orang ini memiliki jam operasional cukup panjang, yaitu mulai pukul 07:00 hingga 18:00 setiap harinya. Tergantung pada preferensi Anda, namun ketika itu anak-anak kami kurang berminat untuk menonton film dokumenter sehingga kami tidak ikut membeli tiket masuk teater walaupun cukup murah yaitu hanya Rp. 4000 per orang.
Sebenarnya bagi Anda yang datang ke Dieng lewat kota Wonosobo dan melewati Tol Garung, Anda akan dikenai Tiket Masuk Kawasan Dieng seharga Rp. 10.000 per orang yang sudah mencakup pula tiket masuk Dieng Theater ini, sehingga Anda tidak perlu lagi membeli tiket tersendiri di loket teater. Namun karena kami ketika itu datang lewat arah Kebun Teh Tambi, kami tidak melewati Tol Garung sehingga tidak memiliki Tiket Kawasan. Jika kami ingin masuk teater maka harus membeli tiket Rp. 4000 itu.

Saat itu sebenarnya loket masuk teater cukup lengang seperti foto di samping kiri. Jika ingin masuk kami harus menunggu batch yang waktu itu sedang sekitar separuh jalan menonton film di dalam.
Karena tidak jadi masuk ke dalam teater, kami beralih ke wisata yang cukup ekstrim di halaman teater. Anak-anak rupanya lebih suka pilihan ini ketimbang film dokumenter.
Di sini tersedia 2 macam 'permainan ketinggian' yaitu Sepeda Terbang dan Flying Fox. Pengelola 2 wisata ekstrim ini adalah Catstones Dieng Foundation.
Sepeda Terbang (Flying Cycle) sebenarnya lebih ke spot foto sih... Cukup ekstrim karena berupa sepeda yang dijalankan di atas kabel baja yang merentang sejauh 107 m. Tubuh pengunjung harus diikat dengan safety harness agar aman. Beban maksimum yang diijinkan adalah 100 kg. Lintasan Sepeda Terbang ini diklaim sebagai yang pertama di Jawa Tengah.
Harga tiket Sepeda Terbang adalah Rp. 25.000 per orang, sudah termasuk biaya fotografer profesionalnya.
Sementara wahana Flying Fox Dieng ini menurut data pengelola merupakan flying fox dengan lintasan terpanjang di Jawa Tengah, tepatnya sepanjang 350 m. Beban maksimal yang mampu ditanggung sistem tali pengaman di sini mencapai 250 kg.
Dengan kemiringan lintasan sekitar 40 derajat, kita akan meluncur ke titik finish di bawah selama sekitar 48 detik. Sangat lama untuk ukuran flying fox...
Harga tiket Flying Fox Dieng adalah Rp. 35.000 per orang, sudah tremasuk biaya transportasi dengan sepeda motor dari titik akhir di bawah kembali ke lokasi start di Dieng Theater.

Sepede Terbang Dieng

Flying Fox Dieng
Setelah menjajal Flying Fox, kami meninggalkan area Dieng Theater untuk pindah ke lokasi selanjutnya yaitu Telaga Warna...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar