Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Selasa, 31 Desember 2013

Pasar Malam Sekaten, Alun-Alun Lor Jogja

Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad SAW yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul Awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Jogjakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Kesultanan Jogjakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.

Menurut tradisi, acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW) mulai jam 08.00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido'akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
Well, terlepas dari pemahaman kami jika keyakinan bahwa bagian dari Gunungan tersebut membawa berkah (sesuatu selain Allah dapat mendatangkan manfaat bagi manusia) adalah tidak syar'i dan sama sekali bukan bagian dari Islam, tradisi Sekaten masih berlangsung setiap tahun di Alun-Alun Lor (Utara) Jogjakarta.

Bagi anak-anak kami, Pasar Malam Sekaten yang diadakan di Alun-Alun Lor inilah justru yang ditunggu-tunggu... bukan tradisi Grebeg Muludan itu sendiri. Walaupun ada pergeseran dari yang dulunya lebih banyak pagelaran budaya diadakan selama Pasar Malam, menjadi saat ini lebih banyak porsi ajang berdagang atau permainan anak khas pasar malam... Pasar Malam Sekaten tetap menarik, terutama bagi anak-anak tentunya.
Nah, karena kebetulan kepulangan kami ke Jogja pada akhir 2013 ini bertepatan dengan adanya Pasar Malam Sekaten, kami pun membawa anak-anak ke sana. Hari Jum'at 27 Des 2013 ba'da maghrib, kami sekeluarga berangkat dari rumah. Mencari parkir mobil adalah tantangan tersendiri karena memang banyaknya masyarakat Jogja maupun luar Jogja yang berkunjung ke sana... namun akhirnya kami dapat memarkir mobil juga tak jauh dari Prince Joyokusumo's House di Jl. Rotowijayan.
Berjalan kami sekitar 100 m menuju lokasi Pasar Malam di Alun-Alun Lor, kami sudah disambut puluhan lapak pedagang di seputaran Alun-Alun. Anak-anak tampak makin antusias melihat keramaian tersebut.




Berikutnya... mudah ditebak : anak-anak mencoba permainan demi permainan. Mereka tampak enjoy menikmati permainan dan suasana pasar malam yang meriah hingga jauh malam.
Rumah balon mentul-mentul
Kora-kora ala pasar malam

Tong Setan, Kakung sampai menutup telinga saking bisingnya di atas... sementara Dryar, Abid, & Dias (anak tetangga rumah Jogja yang sudah kami anggap saudara... nitip Ibu di Jogja ya Mba Erta...) malah kegirangan

Dinda naik karusel, sementara cowo-cowo nonton Tong Setan

 
Suasana lapak-lapak pedagang, anak-anak mencari mainan

 
 

Di pasar malam ini, anak-anak justru menemukan pedagang mainan jadul perahu othok-othok. Tertarik dengan mainan tradisional ini, mereka membeli masing-masing 1 perahu. 
Justru mainan jadul ini yang kemudian terbukti jadi favorit anak-anak selama liburan di Jogja : tiap hari mereka nongkrong di dekat baskom tempat perahu othok-othok ini dimainkan. 
Bagi kami dan suami pun, mainan tradisional ini menjadi nostalgia jaman kecil dulu...
Sembari menemani anak-anak bermain, tak lupa suami kami menjelaskan serba sedikit prinsip kerjanya yang kalau tidak salah tangkap adalah sbb. : Panas dari api/lilin yang diletakkan di dalam kabin perahu akan memanaskan air di dalam pipa U (knalpot) perahu. Air yang dipanaskan tersebut akan memiliki tekanan lebih tinggi sehingga mendesak ke luar knalpot. Desakan air ke arah belakang inilah yang menggerakkan perahu ke depan sesuai hukum aksi-reaksi Newton. Nah, karena knalpot itu terletak di bawah permukaan air, maka air dari baskom akan masuk menggantikan air panas yang keluar, dipanaskan lagi oleh api/lilin, mendesak ke luar lagi... demikian siklus ini berulang terus hingga teorinya air di dalam baskom habis karena sebagian air pasti akan ada yang menguap.

Begitu sedikit pengalaman kami dari Pasar Malam Sekaten 2013 lalu. Rekan-rekan yang berkunjung ke Jogja tak ada salahnya meluangkan waktu ke sini jika waktu kunjungan rekan-rekan tepat...

Selasa, 24 Desember 2013

Jalan-Jalan di Kota Tua Jakarta (Old Batavia Heritage City Tour)

Setelah sekitar 15 tahun berdomisili di lingkar Jabotabek, baru pada awal Juni 2015 kami sempat berkunjung ke kawasan Kota Tua Jakarta. Selama ini kami hanya tahu kawasan Ancol atau Puncak. Namun ternyata jalan-jalan di Kota Tua yang penuh bangunan kuno ini tak kalah menyenangkan lho!


Kami pergi dengan mobil dari Bekasi pada hari Sabtu pagi. Jalan raya masih lancar sehingga kami sudah tiba di perempatan Stasiun Kota Jakarta sekitar pukul 8.30. Kami segera masuk ke Museum Bank Indonesia (MBI) dan memarkir mobil di sana. Area parkir MBI terletak di bagian belakang gedung (foto sebelah kanan). Kapasitas parkirnya cukup banyak... dari perhitungan singkat suami sih muat lebih dari 50 mobil pribadi dan sekitar 10 bus. Parkir di sini tidak dipungut biaya.
Dari area parkir MBI kita harus menuju ke bagian depan gedung untuk masuk ke dalam museum. Namun, alih-alih langsung masuk ke dalam MBI, kami memilih untuk berjalan-jalan di kawasan Taman Fatahillah dulu karena kawasan terbuka Taman Fatahillah cukup panas setelah siang (lebih baik memakai topi atau payung ketika berjalan-jalan di sini). 
Pagi hari akan lebih nyaman. Sayangnya tidak tersedia zebra cross atau jembatan penyeberangan dari MBI ke walking area Taman Fatahillah sehingga kita harus berhati-hati menyeberangi Jalan Pintu Besar Utara yang ramai meski di hari Sabtu sekali pun (pada hari kerja tentu kawasan Stasiun Kota ini jauh lebih padat, memang paling nyaman pergi ke sini pada akhir pekan).

Museum Sejarah Jakarta (dikenal juga sebagai Museum Fatahillah atau Museum Batavia)
Dari sisi kanan Jalan Pintu Besar Utara kita sudah bisa melihat verboden tanda walking street yang akan kita lalui untuk menuju Taman Fatahillah. Kendaraan bermotor dilarang masuk ke penggal sebelah utara Jalan Pintu Besar Utara yang saat ini di-paving block ala retro dan menjadi kawasan heritage khusus pejalan kaki. Terdapat area parkir motor di mulut walking street. Banyak pedagang camilan dan aneka suvenir mangkal di sini. Suasana kawasan ini sudah terkesan menyenangkan bahkan sebelum kita masuk. Anak-anak langsung jajan es potong yang memang saat ini tak mudah ditemui di dekat rumah.
 
 
 Suasana walking street menuju Taman Fatahillah. Deretan gedung tua yang saat ini disulap menjadi cafe membuat adem mata yang memandangnya. Para seniman tak ketinggalan menjajakan jasa lukis foto, membuat siluet, grafir/tulis nama di gelang, dsb. Suvenir berupa miniatur monas dan kaos bertema Love Jakarta pun banyak tersedia di sini. Semakin siang semakin banyak pedagang aneka makanan dan jajanan yang mangkal di sini, dijamin kita tak akan kehabisan pilihan jajanan...

 Menjejak pelataran Taman Fatahillah, deretan sepeda onthel yang bisa disewa untuk memutari kawasan ini sudah berjejer. Banyak juga yang ber-selfie di depan meriam di depan gedung Museum Sejarah Jakarta (MSJ)

MSJ yang beralamatkan Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat, memiliki luas bangunan lebih dari 1300 m2. Gedung berarsitektur neoklasik abad ke-17 yang menyerupai Istana Dam di Amsterdam ini dulunya adalah Balai Kota kedua (stadhuis) yang mulai dibangun pada tahun 1620 oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen untuk menggantikan Balai Kota pertama (Balai Kota pertama dibangun di dekat Jalan Kalibesar Timur.
Foto stadhuis awal abad ke-20, sumber : wikipedia
Gedung Balai Kota kedua ini menurut catatan sejarah hanya bertingkat satu, dan pembangunan tingkat kedua dilakukan kemudian. Pada tahun 1648 kondisi gedung sangat buruk menyusul labilnya tanah pondasi dan beratnya gedung yang mengakibatkan penurunan bangunan. Solusi yang diambil pemerintah Belanda saat itu adalah menaikkan lantai bangunan sekitar 56cm. Pada tahun 1649 dibuatlah 5 buah sel di bawah gedung. Pada tahun 1665 gedung utama diperlebar dengan penambahan sayap barat dan timur. Setelah itu renovasi dan penambahan terus dilakukan hingga mencapai bentuknya saat ini pada sekitar tahun 1707~1710 pada masa Gubernur Jenderal Joan van Hoorn. Stadhuis final ini terdiri dari bangunan utama yang menghadap utara dengan dua sayap timur-barat yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan (Raad van Justitie), dan ruang bawah tanah sebagai penjara.
Seperti umumnya gedung pemerintahan di Eropa, Gedung Balai Kota Batavia ini juga dilengkapi lapangan yang disebut stadhuisplein. Di tengah lapangan itu terdapat air mancur (sesuai lukisan stadhuisplein buatan Johannes Rach) yang direkonstruksi oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun 1972. Pada tahun 1973 Pemda DKI memfungsikan kembali taman stadhuisplein tersebut dengan memberi nama baru yaitu Taman Fatahillah untuk mengenang Panglima Fatahillah sang pendiri kota Jayakarta. Akhirnya pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini diresmikan sebagai MSJ.
Benda koleksi MSJ meliputi replika prasati peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, furnitur antik abad ke-17~19 yang merupakan perpaduan gaya Eropa, Tiongkok, dan Indonesia, keramik, gerabah, dll. Koleksi-koleksi ini tersedia di berbagai ruang seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.

Tiket masuk MSJ sangat terjangkau yaitu Rp.5000 (dewasa) dan Rp.3000 (anak-anak). Kita harus membeli tiket di sayap barat MSJ, lalu masuk lewat pintu utama bagi pengunjung pribadi/keluarga di tengah gedung. Petugas di pintu masuk akan meminjamkan sandal jepit berwarna oranye yang harus dipakai di dalam museum bagi pengunjung dewasa, hal ini untuk menjaga kondisi lantai kayu jati tua agar tidak rusak oleh bagian alas kaki yang keras. Kita bisa membawa sandal/sepatu kita di dalam tas cangklong berwarna hijau muda yang disediakan di sini. Pengunjung berkelompok masuk lewat pintu khusus kelompok di sayap timur MSJ.
 Ganti sandal dulu sebelum masuk MSJ (kiri); suasana ruang ganti sandal (kanan)

Di dalam museum siap-siaplah untuk berdecak kagum menyaksikan koleksi benda-benda kuno yang beberapa di antaranya serba kolosal, tak pernah kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari.
 Pintu masuk utama MSJ (kiri); salah satu lukisan raksasa di dalam MSJ (kanan)

 Patung singa jaman Belanda (kiri); konstruksi lantai kayu jati MSJ (kanan)

 Lukisan JP Coen (kiri); beberapa ruangan memiliki ketinggian berbeda, mungkin terjadi perbedaan level saat renovasi akibat penurunan pondasi bangunan (kanan)

 Koleksi meriam (kiri); lukisan jaman Belanda (kanan)

Tangga naik ke lantai atas (kiri); salah satu ruangan berisi furnitur antik di lantai atas (kanan)

 Pandangan ke luar jendela tepat di tengah MSJ, tampak Lapangan Fatahillah  di sebelah utara

 Pandangan ke lapangan belakang/selatan gedung dari lantai atas (kiri); lemari raksasa di salah satu ruangan lantai atas (kanan)

 Sebagian dari koleksi sketsel ruangan raksasa berukir prajurit Romawi (kiri); tangga lingkar yang sepertinya menuju menara arah mata angin di tengah gedung (kanan)

Prasasti Joan van Hoorn

 Replika Prasasti Ciaruteun (kiri); koleksi mata kapak batu dan pecahan benda-benda prasejarah lain yang ditemukan di situs purba seputaran Jakarta (kanan). Koleksi-koleksi ini terdapat di area Ruang Prasejarah dan Tarumanegara MSJ.

Prasasti Ciaruteun berasal dari jaman Kerajan Tarumanegara yang diperkirakan pada tahuan 400~600M menguasai wilayah Jawa bagian Barat di mana Jakarta saat ini berada. Raja yang paling terkenal adalah Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini ditemukan terletak di Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti ini dipahatkan pada bongkah besar batu alam dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta dengan isi : “Inilah sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu ialah telapak yang mulia sang Purnnawarmman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.

 Replika Prasasti Kebonkopi I (kiri), replika Prasasti Tugu (kanan)

Prasasti Kebonkopi I atau dikenal pula sebagai Prasasti Tapak Gajah karena terdapat pahatan tapak kaki gajah berasal dari jaman Tarumanegara. Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara (kini termasuk wilayah Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor) pada abad ke-19, ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Oleh karena itu prasasti ini disebut Prasasti Kebonkopi I. Hingga saat ini prasasti tersebut masih berada di tempatnya ditemukan (in situ) dengan naungan/atap agar tidak rusak. Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah. Bunyinya adalah : “Di sini nampak tergambar sepasang telapak kaki …yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan".
Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumbuh, desa Tugu, yang sekarang menjadi wilayah kelurahan Tugu Selatan, kecamatan Koja, Jakarta Utara. Prasasti dari jaman Tarumanegara ini berisi kisah penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Prasasti Tugu dipahatkan pada batu berbentuk bulat telur berdiameter sekitar 1m. Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa dalam bentuk sloka bahasa Sanskerta yang terdiri dari 5 baris melingkar. Meski tidak mencantumkan penanggalan sebagaimana Prasasti masa Tarumanegara lainnya, dari analisis gaya dan bentuk aksara diketahui bahwa prasasti ini berasal dari abad ke-5 M. Aksara pada Prasasti Tugu dan Cidanghiang memiliki kemiripan bentuk sehingga diperkirakan bahwa pemahat kedua prasasti ini adalah orang yang sama.
Dibandingkan prasasti masa Purnawarman lain, Prasasti Tugu adalah yang terpanjang. Pahatannya juga unik karena terdapat hiasan berbentuk tongkat dengan ujung trisula yang seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat.

 Keluar dari area prasejarah dan Tarumanegara, kita sudah berada di luar bangunan stadhuis. Kita dapat kembali memakai alas kaki di area lapangan belakang stadhuis, sandal MSJ dapat langsung dikembalikan pada petugas di sini (kiri); penjara wanita di lantai dasar yang tidak nyaman karena langit-langit ruangannya sangat rendah, kita tidak bisa berdiri di sini (kanan).

 Suasana lapangan belakang gedung MSJ

 Dari Patung Dewa Hermes (tadinya patung ini berada di perempatan Harmoni) yang saat ini diletakkan di tengah-tengah lapangan belakang MSJ, kita bisa turun beberapa anak tangga ke bawah untuk melihat sel yang dulu benar-benar dipakai untuk menahan para kriminal menurut kacamata pemerintah Belanda. Langit-langit sel sangat rendah, berbentuk bunker. Kita hanya bisa berjongkok di sini. Masih terlihat pula bola-bola besi yang dulu diikatkan sebagai pemberat di kaki tahanan.

  Membayangkan menjadi tahanan pada jaman Belanda, memandang ke luar dari terali sel (kiri); istirahat sejenak sambil mencoba kerak telor dan es selendang mayang di plasa lapangan belakang MSJ (kanan)

 Bisa tanya-tanya tentang kerak telor ke si abang penjualnya sambil menyaksikan cara pembuatan penganan khas Betawi yang unik ini (kiri); kerak telor yang bercita rasa gurih agak asin (@ Rp. 20.000/porsi) dan es selendang mayang (@ Rp. 5000/gelas) siap dinikmati (kanan)

 Keluar MSJ dari sayap timur gedung, kita bisa menyusuri Taman Fatahillah ke utara di mana terdapat Meriam Si Jagur. Di sisi timur lapangan ini sebenarnya terdapat Museum Seni Rupa dan Keramik, serta di baratnya terdapat Museum Wayang. Sayangnya kami tidak sempat berkunjung ke sana... mungkin lain kali.

 Meriam Si Jagur (kiri); Cafe Batavia (kanan) yang berada di sisi utara lapangan. Si Jagur menurut sejarahnya adalah meriam besar berbobot 3,5 ton (diameter laras*panjang = 25*385cm) milik Portugis yang dulu digunakan untuk mempertahankan benteng Portugis di Malaka. Setelah Malaka jatuh pada tahun 1641, meriam ini diboyong oleh Belanda ke Batavia. Keunikan meriam ini adalah bentuk tangan mengepal dengan ibu jari terselip di antara telunjuk dan jari tengah di bagian belakang meriam. Pada punggung meriam terdapat tulisan ex me ipsa renata sum yang berarti 'dari diriku sendiri aku dilahirkan lagi'. Konon hal ini karena Si Jagur adalah hasil leburan dari 16 meriam kecil saat dibuat dulu di pabrik St. Jago de Barra, Macao.

 Gedung Museum Wayang (kiri); peta Wisata Kota Tua Jakarta (kanan)

Museum Bank Indonesia (MBI)
Tiket masuk MBI hanya Rp.5000/orang. Menurut kami harga tiket tersebut relatif sangat murah dibandingkan dengan fasilitas dan koleksi museum yang tersaji. MBI yang full AC ini memang nyaman dikunjungi setelah berpanas-panas di kawasan Taman Fatahillah... nyess rasanya.
MBI menempati gedung ex BI Kota yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828. Sesuai dengan namanya, museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005.
Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati MBI. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik.
Peresmian MBI dilakukan melalui dua tahap : tahap I dan mulai dibuka untuk masyarakat (soft opening) pada tanggal 15 Desember 2006 oleh Gubernur BI saat itu, Burhanuddin Abdullah, dan peresmian tahap II (grand opening) oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 Juli 2009.

 Bagian depan Gedung MBI

 Ruang masuk MBI (kiri); salah satu koleksi statis berupa diorama masa perdagangan jaman kerajaan nusantara (kanan)

  Peta nusantara jaman pendudukan asing (kiri); gambar para penjelajah asing yang pernah datang ke nusantara (kanan)

 Mata uang yang pernah beredar di beberapa wilayah Republik Indonesia Serikat (kiri); evolusi logo BI (kanan)

 Beberapa diorama aktivitas ekonomi masa penjajahan Belanda

 Nuansa serba merah di area masa awal reformasi 1998 (kiri); permainan cahaya yang menarik untuk berfoto-foto (kanan)

 Koleksi furnitur ruang rapat (kiri); foto-foto Gubernur BI (kanan)

 Void di bagian tengah MBI (kiri); foto lucu (kanan)

 Replika emas batangan di ruang penyimpanan emas MBI

 
 Beberapa koleksi uang kuno di ruang koleksi numismatik MBI yang super duper lengkap

 Tangga turun untuk keluar dari MBI (kiri); Masjid Baitul Iman di belakang gedung utama MBI yang amat nyaman untuk shalat (kanan)

 Kolam ikan di sekeliling masjid, kami melihat ada ikan buaya sepanjang +/- 60cm di sini (kiri); suasana bagian dalam masjid (kanan)

Must have item...
bambu ulir daun bambu jari, detil klik di sini...