Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Selasa, 13 Desember 2011

Jalan-Jalan di Pusat Kota Surabaya : Monkasel (Monumen Kapal Selam)

Surabaya memang betul-betul Kota Pahlawan! Beragam tempat bersejarah berkaitan dengan perang kemerdekaan dan perjuangan rakyat Indonesia berada di sini, mulai dari Tugu Pahlawan, Hotel Majapahit tempat insiden perobekan bendera merah-putih-biru oleh Arek Suroboyo di bawah komando Bung Tomo, Monumen Jalesveva Jayamahe, hingga Monumen Kapal Selam (Monkasel) yang sempat kami kunjungi dalam perjalanan singkat kami ke Surabaya kali ini.
Monkasel berada di jantung kota Surabaya, diapit oleh Kali Mas dan Plaza Surabaya (Delta Plaza), tak jauh pula dari Stasiun KA Gubeng, Hotel Sahid Gubeng tempat kami menginap, serta Mall Grand City. Berjalan kaki dari Hotel Sahid hanya membutuhkan waktu 5 menit, jaraknya hanya sekitar 120 m. Strategis dan mudah diakses.
 
 Pemandangan Monkasel (bagian kanan bawah foto) pada malam dan pagi hari dilihat dari jendela kamar kami di lantai 9 Hotel Sahid Gubeng. Kami sarankan bagi Anda yang ingin menginap di Hotel Sahid Gubeng agar memilih kamar di sisi barat hotel yang menghadap Kali Mas. Pemandangannya lebih bagus dibandingkan sisi timur hotel yang menghadap rel kereta api. Juga menurut kami tidak seberisik sisi timur hotel akibat aktivitas perjalanan kereta api dari dan menuju Stasiun Gubeng yang berada tepat di sebelah utara hotel.
 
 Monkasel dilihat dari atas jembatan Kali Mas (kiri), Hotel Sahid dilihat dari jembatan Kali Mas (kanan)

Monkasel merupakan kapal selam asli (KRI 410 Pasopati) yang setelah masa tugasnya di TNI AL usai lantas dijadikan sebuah monumen/museum untuk mengenalkan dunia maritim pada masyarakat, khususnya pelajar. Memasuki Monkasel, kita akan mendapat gambaran utuh mengenai beratnya medan juang yang dihadapi oleh para awak kapal selam. Bagian dalam kapal selam ternyata sangat sempit. Seluruh ruang yang ada dimaksimalkan penggunaannya untuk aktivitas para prajurit, penyimpanan amunisi, serta ruang mesin dan instrumen lain. Terbayang pula bagaimana panasnya berada di dalam kapal selam tanpa AC di kedalaman samudra. Luar biasa memang perjuangan ke-63 awak kapal selam ini!
gerbang masuk Monkasel, loket tiket di bagian kiri foto

KRI 410 Pasopati merupakan kapal selam tahun 1952 buatan Vladi, Rusia dari kelas Whiskey. Panjang totalnya adalah 76 m, lebar 6,3 m, berat penuh 1300 ton, menggunakan mesin disel berbahan bakar solar, dan kecepatan ketika menyelam 13,5 knot.
KRI Pasopati mulai bertugas di TNI AL pada 29 Januari 1962. Saat itu Indonesia membeli 12 buah kapal selam kelas Whiskey dari Rusia yang amat ditakuti NATO. Jajaran kapal selam pemburu ini membuat Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan selatan yang saat itu memiliki armada kapal selam. Salah satu peran kapal selam Whiskey ini adalah merontokkan nyali Belanda dalam peristiwa pembebasan Irian Barat.
Sayangnya, menyusul Gestapu PKI tahun 1965, Rusia mengembargo komponen militer (termasuk Whiskey) ke Indonesia, sehingga perlahan ke-12 kapal selam TNI AL itu rontok satu demi satu akibat ketiadaan suku cadang serta dikanibal oleh kapal selam lain yang lebih laik selam. KRI Pasopati bisa dibilang yang paling kondang di antara ke-12 kapal selam lainnya karena merupakan Whiskey Class terakhir yang masih beroperasi hingga dinonaktifkan pada 25 Januari 1990. KRI Pasopati kemudian diangkut dengan trailer ke tepi Kali Mas, lokasinya berdiri sebagai Monkasel saat ini sejak diresmikan oleh Laksamana Arief Kushariadi, Kastaff TNI AL saat itu pada 27 Juni 1998.  

Papan data KRI Pasopati (kiri), tangga naik ke dalam badan Monkasel (kanan). Monkasel dibuka untuk umum mulai pukul 8 pagi. Ketika itu kami masuk sekitar pukul 8.30. Tiket masuknya hanya Rp. 10.000, sudah include masuk ke kapal selam dan menyaksikan videorama tentang kapal selam dan perjuangan TNI-AL secara umum. Mengambil foto-foto Monkasel saat pagi hari seperti saat itu ternyata agak tricky. Kita akan masuk ke area Monkasel dari sebelah barat kapal selam, artinya untuk mengambil foto ke arah kapal selam kita harus melawan sinar matahari pagi. Sementara di dalam badan kapal selam suasananya agak gelap sehingga kamera kami setting pada kondisi 'kurang cahaya'. Resikonya saat kami keluar badan kapal dan lupa memindahkan setting kamera ke 'normal', maka hasil jepretan kamera menjadi over exposed seperti 2 foto di atas yang menghadap timur alias melawan cahaya matahari, hadeuh....

AC terpasang di bagian dalam kapal selam sehingga udara cukup nyaman di sini (kiri). Tampak pintu masuk kapal selam di sebelah kanan, kita akan disambut oleh petugas penerima berpakaian ala kelasi. Di bagian depan terlihat 4 lubang peluncur torpedo (total KRI Pasopati memiliki 6 peluncur torpedo). Di bawah AC terlihat torpedo sepanjang 7 m sebagai senjata utama kapal selam ini. Total KRI Pasopati dapat mengangkut 12 buah torpedo (kanan). Dan lagi-lagi foto over exposed menjadi sedikit permasalahan bagi kami...

 Galeri foto komandan KRI Pasopati (kiri); ruang komandan dan foto komandan terakhir KRI Pasopati, ruang komandan ini sangat kecil dan sederhana (kanan)

 Dipan awak kapal selam (kiri); sebagian dari alat komunikasi kapal selam (kanan)

 Beberapa pintu antar ruang di dalam Monkasel hanya berupa pintu bulat berdiameter pas tubuh orang dewasa (kiri); periskop kapal selam (kanan)

 Sebagian dari instrumen kapal selam yang masih dengan tulisan Rusia

 Hanya ada wastafel di KRI Pasopati. Meski kemampuan Whiskey Class terbukti mumpuni, tapi seperti kebiasaan produk keluaran Rusia pada umumnya, unsur kenyamanan pada awak kurang diperhatikan. Walau dipersenjatai rudal anti serangan udara dan peluncur torpedo di buritan dan haluan, Whiskey Class tidak dibekali fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus). Hal inilah yang membuat derita awak kapal selam. Selama pelayaran para awak sangat jarang mandi, mandi lebih mengandalkan air hujan saat kapal naik ke permukaan laut (kiri); sebagian dipan awak kapal di bagian buritan, tepat di atas torpedo (kanan).

 Mesin disel 2000 PK KRI Pasopati (kiri); pintu ke ruang paling belakang kapal. Tampak satu dari dua peluncur torpedo buritan di balik pintu (kanan).

 Pemandangan dari pintu keluar Monkasel, tampak para pengunjung telah berdatangan (kiri); kolam renang anak di bagian timur kapal selam (kanan)

 Kita bisa turun ke semacam dermaga kecil di tepi Kali Mas, tampak pemandangan ke arah selatan Kali Mas, Hotel Sahid tampak di sebelah kiri foto (kiri); dan ke arah utara (kanan)

 Pintu masuk Videorama, jadwal pemutaran film dimulai dari pukul 9 hingga 21, pukul 12 dan 18 istirahat, setiap jam film diputar (kiri); Moncafe di dekat gedung Videorama (kanan)

 Bagian dalam Viedorama (kiri), pemutaran film di Videorama (kanan)

 Penampakan Monkasel dari luar

Setelah menyaksikan pemutaran film seputar kapal selam dan perjuangan TNI AL, pada prinsipnya jalan-jalan di Monkasel sudah selesai. Satu setengah jam cukup lah kiranya untuk mengubek habis tempat ini. Tambah ilmu, membuka wawasan, serta kebanggaan pada TNI AL adalah insight-insight yang kami peroleh dari Monkasel. Tak salah memang pemilihan motto kapal selam TNI AL : Tabah Sampai Akhir (wira ananta rudhiro)!

Info :
Hotel Sahid Gubeng memang sudah cukup tua. Namun menginap di sini tetap dapat menjadi salah satu pilihan kita yang ingin mengubek kawasan Surabaya Pusat. Lokasinya strategis, terletak di persimpangan Jl. Sumatera dan Jl. Pemuda yang ramai hingga larut malam dengan aktivitas Surabaya Plaza (Delta Plaza) serta perkantoran di sepanjang lajur ini. Dan tentunya Stasiun Gubeng yang nyaris tak pernah tidur. 
Tepat di sebelah utara hotel ini terdapat warung hidangan khas Surabaya yang murah meriah, namun menawarkan hidangan yang uenake puol! Konon Ari Lasso sejak masa mudanya masih sering jajan di sini hingga kini.

 Meski saat pertama naik ke lantai 9 kami menjumpai langit-langit ruangan yang sangat rendah hingga terkesan sumpek, namun kondisi kamar kami nilai OK (kiri); terdapat pigura wayang kulit di sepanjang lorong ini (kanan)

 Suasana interior kamar, standar hotel lah... (kiri); jangan kaget menjumpai kunci kamar yang masih kuno (kanan)

 Kamar mandinya bersih, air hangat keluar dengan lancar (kiri); TV kabel di dalam kamar (kanan)

 Sarapan di Resto Candi Bentar menawarkan hidangan Indonesia yang OK... tapi awas, soto ayam di sini terasa asin sekali, mungkin memang begini rasa soto khas Surabaya, ya?

 Hotel Sahid Gubeng dilihat dari seberang Jl. Sumatera, pohon peneduh di sini adalah pohon jambu monyet... wah, agak jarang kami menemukan pohon jambu monyet saat ini (kiri); salah satu liputan Harian Surya edisi 28 Feb 2015 tentang iga bakar Sahid Gubeng yang empuk hingga gigitan terakhir (kanan)

Secara umum kamar yang kami tempati saat itu kondisinya baik. Ditambah dengan pelayanan staf hotel yang ramah, kami pikir tidak ada hal negatif tentang hotel ini... meski untuk dikatakan istimewa pun juga tidak. Namun demikian jika ada kesempatan berkunjung ke Surabaya lagi, kami tidak menolak jika menginap di sini lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar