Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Senin, 24 Juli 2017

Lawang Sewu Semarang

Lawang Sewu adalah nama sebuah gedung tua bergaya art deco peninggalan Belanda yang sangat terkenal di Kota Semarang. Bangunan bercat putih ini berdiri tegak di sisi timur Bundaran Tugu Muda, tepatnya di mulut Jalan Pemuda. Kini Lawang Sewu telah direvitalisasi dan menjadi icon wisata dan budaya Kota Lunpia, salut!!!
Suami yang menempuh pendidikan tahap SMA di Semarang menceritakan bahwa dulu Lawang Sewu kumuh tak terawat. Walaupun terlihat megah di pusat kota, nyaris tak ada yang berani masuk ke dalamnya. Kesan angker sebagaimana umumnya bangunan peninggalan kolonial cukup kuat terasa - meski sekarang pun anggapan ini belum sepenuhnya hilang. Antara tahun 1991 - 1994 suami yang bersekolah di SMA 3 Jl. Pemuda ini selalu melewati Lawang Sewu tanpa pernah sekali pun singgah ke sana.

Aneka produk ranting inul rangkai, detil klik di sini...

Ketika pada pagi hari Mei 2017 berkunjung ke sini, kami memarkir mobil di DP Mall yang terletak tepat di sebelah utara gedung bersejarah ini. Selain mengingat DP Mall memiliki area parkir yang cukup luas, juga karena kami akan lanjut makan siang di mall setelah selesai mengeksplorasi Lawang Sewu.

Hanya perlu berjalan santai sekitar 150 m dari DP Mall ke pintu masuk gedung tua ini. Kami memang praktis baru pertama kali ini jalan-jalan di Semarang, dan kami langsung jatuh cinta pada suasana kota di kawasan ujung selatan Jl. Pemuda ini yang tampak asri dan nyaman dengan pedestriannya yang lebar (foto kiri atas). Suasana pertokoan di depan DP Mall (kanan).

Loket masuk berada di seberang Tugu Muda. Kami sempat agak heran juga melihat logo PT Kereta Api Indonesia (KAI) di papan informasi tarif Lawang Sewu. Ramai pengunjung yang pagi itu datang berbarengan dengan kami walaupun bukan hari libur (foto kiri atas). Petugas loket masuk sigap melayani pengunjung. Kita bisa memilih menggunakan jasa guide atau tidak di loket ini, namun karena kami ingin lebih bebas berkeliaran sendiri saja, maka kami tidak bertanya panjang lebar tentang biaya jasa guide tersebut (foto kanan atas).

Sejarah Lawang Sewu memang tidak bisa dipisahkan dari geliat sarana transportasi perkeretaapian di Indonesia (Hindia Belanda saat itu).
Gedung ini dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij (NIS), yaitu kantor pusat perusahaan kereta api swasta yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia. Jalur kereta api ketika itu telah ada dan menghubungkan Semarang dengan Solo-Jogja (1867).
Direksi NIS di Den Haag menugaskan Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B. J. Quendag, duo arsitek kondang dari Amsterdam untuk merancang kantor perkeretaapian ini ujung Jl. Pemuda (dulu Bodjongweg), tepat di depan Bundaran Tugu Muda yang dulu dikenal sebagai wilhelminaplein. Rancangan gedung ini berangka tahun 1903.
Pembangunan dimulai pada 27 Februari 1904 hingga selesai pada Juli 1907. Gedung yang pertama kali dikerjakan adalah gedung percetakan dan rumah penjaga. Kemudian berlanjut ke bangunan utama. Setelah dipakai beberapa tahun, kantor diperluas dengan membangun gedung baru di sisi timur laut bangunan utama pada periode 1916 - 1918.


Pada jaman pendudukan Jepang 1942 - 1945, Lawang Sewu tercatat pernah digunakan sebagai kantor Riyuku Sokyuku (Jawatan Transportasi Jepang). Pertempuran Lima Hari di Semarang antara laskar Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) melawan Kempetai/Kidobutai Jepang yang bersejarah (14 - 19 Oktober 1945) pun mengambil latar di Lawang Sewu. Setelah masa kemerdekaan gedung ini beralih nama menjadi kantor DKARI (Djawatan Kereta Api RI). Lalu sempat berubah kembali pada saat Agresi Militer Belanda tahun 1946 menjadi markas tentara Belanda. Pada tahun 1949 digunakan oleh Kodam IV Diponegoro sebagai Kantor Badan Prasarana, dan sempat pula sebagai Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah.

Aneka produk bambu ulir rangkai, detil klik di sini...

Akhirnya pada tahun 1994 Lawang Sewu kembali diserahkan pada kereta api (saat itu Perumka, sekarang menjadi PT KAI). Gedung yang sarat cerita sejarah ini kemudian dipugar oleh PT KAI mulai tahun 2009 hingga selesai pada Juni 2011 dan diresmikan oleh Ibu Negara saat itu - Ibu Ani SBY - pada Juli 2011. Cukup jelas kiranya mengapa ada logo PT KAI di bangunan megah ini...

Penjelasan singkat seputar Lawang Sewu dan denah gedung dapat kita baca pada beberapa papan informasi yang dipasang di seputar kompleks bangunan.

Barisan pintu (dalam bahasa Jawa pintu disebut 'lawang') pada salah satu selasar gedung utama... sudah tampak banyak sekali bukan? Ini belum termasuk pintu-pintu - dan jendela-jendela tinggi yang juga dianggap sebagai pintu - di bagian lain dari Lawang Sewu, lho...
Jumlah pintu yang luar biasa banyaknya di gedung berlantai dua ini menginspirasi masyarakat Kota Lunpia untuk memberi julukan Lawang Sewu yang secara harfiah memang berarti 'pintu seribu'. Namun seperti halnya penamaan Kepulauan Seribu di mana jumlah pulaunya tercatat hanya 342 buah saja, dari informasi yang kami terima jumlah pintu di Lawang Sewu pun hanya 429 buah. Namun jika dihitung daun pintunya, tercatat ada lebih dari 1200 karena sebagian pintu memiliki 2 daun pintu, bahkan 4 daun pintu (terdiri dari 2 daun pintu jenis ayun (dengan engsel), dan 2 daun pintu lagi jenis geser/sliding door).

Bagian dalam Lawang Sewu ternyata kosong, nyaris tidak ada sisa furnitur kuno dan artefak lawas lainnya seperti halnya yang masih banyak dijumpai di Museum Fatahillah (Kawasan Kota Tua) Jakarta. Display foto dan gambar-gambar tentang sejarah Lawang Sewu yang dibingkai rapi seperti foto di atas merupakan produk baru.

Lorong pada lantai 1 yang dibatasi oleh dinding tebal khas bangunan jaman dulu terkesan agak gelap, namun suasananya sama sekali jauh dari kesan angker sebagaimana anggapan yang sering kami dengar sebelumnya. Tembok bercat putih dan lantai tampak bersih dan terawat (foto kiri atas).
Meja set antik pada foto kanan atas sepanjang pengamatan kami saat berkunjung ke Lawang Sewu merupakan furnitur pajangan satu-satunya yang ada di dalam gedung kuno ini.


Aktivitas utama yang dapat pengunjung lakukan selama mengeksplorasi Lawang Sewu tentunya berfoto-foto. Bangunan megah ini memang didesain dengan cantik, khas rancangan gedung abad pertengahan Eropa.
Tak hanya kami sekeluarga, para pelancong lain kami perhatikan juga asyik jeprat sana jepret sini mengabadikan tiap sudut Lawang Sewu.
Menurut informasi yang kami peroleh, cukup banyak pasangan yang menjadikannya sebagai lokasi foto pre wedding mereka.
Salah satu spot andalan gedung bersejarah ini yang juga menjadi lokasi favorit kami adalah ruangan berlangit-langit desain dome tinggi berbentuk melingkar yang berada tepat di titik pertemuan kedua sayap kanan dan kiri bangunan utama berbentuk L ini (foto sebelah kanan). Spot ini menghadap ke belakang bangunan utama, yaitu ke lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu.
Terdapat tangga naik di kanan-kiri ke lantai dua. Tangga batu kokoh ini sayangnya ditutup di ujung atasnya sehingga kita tidak bisa naik dari sini. Tangga naik ke lantai atas tersedia di bagian lain Lawang Sewu.
Kaca besar berhiaskan aneka ragam ornamen serta gambar menjadi pembatas ruang yang sebenarnya tak seberapa luas ini.
Sepertinya kaca hias ini didatangkan dari Eropa saat gedung ini dibangun lebih dari seabad lalu. Memang menurut data, hanya material batu alam, batu bata, dan kayu jati yang diproduksi di Hindia Belanda saat itu, sementara bahan bangunan lain diimpor. Para pengunjung sebaiknya tak melewatkan spot ini untuk berfoto-foto seru.

Lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu pada hari itu tampak ramai oleh siswa-siswi SMA Kolese Loyola yang sedang mempersiapkan panggung pentas seni sekolah. Terlihat beberapa set gamelan di atas panggung. Sepertinya pentas seni itu akan menampilkan pertunjukan budaya pula...

Keluar dari gedung utama menuju ke open space berupa lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu, kita akan diarahkan oleh papan petunjuk ke beberapa fasilitas di area ini (foto sebelah kiri).
Spot utama yang dapat kita kunjungi tentunya adalah Museum Pemugaran Lawang Sewu (diberi nama Gedung C oleh pengelola), dan gedung tambahan di sisi timur laut bangunan utama yang lantai bawahnya difungsikan sebagai ruang komersial berisi beberapa kios suvenir (diberi nama Gedung B).
Mushalla yang juga merupakan kebutuhan penting terdapat di lantai bawah sisi utara Gedung B.
Selain itu masih terdapat fasilitas tambahan seperti ruang menyusui, ruang P3K. Area merokok disediakan di sisi belakang Museum Pemugaran, jika ada yang membutuhkannya.
Sangat nyaman duduk-duduk santai di area publik terbuka ini, terutama dengan adanya barisan pohon besar peneduh yang terawat.
Kebersihan open space ini sangat terjaga. Tong sampah juga tersedia di cukup banyak tempat sehingga memudahkan pengunjung untuk membuang sampah di tempat yang seharusnya.
Selain berisi beberapa kios suvenir khas Lawang Sewu dan Semarangan secara umum, pedestrian di luar Gedung B sisi selatan juga tampak ditempati oleh beberapa lapak pedagang makanan - minuman ringan seperti yang ditunjukkan oleh foto di bawah. Pas memang jajan sambil sejenak beristirahat sebelum mulai lagi menjelajah isi Museum dan Gedung B.


Museum Pemugaran Lawang Sewu seperti namanya memang berisi sejarah dan informasi kronologis proyek revitalisasi kompleks bangunan ini.
Gedung C yang difungsikan sebagai museum tidak terlalu besar sebenarnya (seperti ditunjukkan oleh foto di sebelah kiri), tetapi sangat informatif dan fungsional karena isi/display barang-barang di dalamnya didesain dengan menarik.
Di sebelah kiri pintu masuk museum kita dapati beberapa kereta/trem kuno yang berhasil dikoleksi. Kami tidak tahu pasti apakah kereta konu ini masih berfungsi atau tidak.

Dinding display didesain bergelombang. Cukup menarik mencermati foto-foto dan narasi yang tersaji di sana. Setidaknya butuh waktu 30 menit lebih untuk membaca dan mencermati seluruh isi museum ini, termasuk beberapa artefak kuno yang ternyata masih bisa dikumpulkan sebagai koleksi museum seperti beberapa spesimen batu bata gedung asli yang diimpor dari Eropa, serta mesin-mesin sinyal perkeretaapian lawas full mekanik.

Informasi sejarah perkeretaapian Hindia Belanda hingga memasuki jaman kemerdekaan (kiri atas). Koleksi outdoor museum berupa gerbong trem kuno berwarna biru yang  tampak cute (kanan atas).

Kalau yang di atas ini sih odong-odong berdesain kereta api kuno, hehehe...

Selesai di museum, kami naik ke lantai atas gedung tambahan (Gedung B). Gedung B ini tampaknya didesain dengan ventilasi dan penerangan yang lebih baik dari bangunan utama. Kami merasakan udara di dalam ruang-ruang gedung tambahan ini lebih segar, dan tentunya suasana terkesan lebih hidup karena lebih banyak cahaya yang masuk pula.

Secara umum kondisi ruang-ruang di Gedung B ini hampir sama dengan apa yang kita jumpai pada bangunan utama ditinjau dari segi tidak adanya barang koleksi kuno peninggalan jaman kolonial di dalamnya. Ruang-ruang besar di sini tampak lengang dan kosong (foto di atas).
Foto di samping kanan cukup jelas memperlihatkan suasana yang cukup pencahayaan pada lorong yang berada di bagian tengah bangunan. Tentunya berbeda dengan situasi yang terkesan lebih muram dan gelap yang kita jumpai di lorong-lorong bangunan utama.
Kamar-kamar yang ada di gedung tambahan ini juga ternyata kami amati sengaja didesain dengan memiliki pintu penghubung antar ruangan yang simetris, tepat berada di tengah. Kita dapat melihat barisan kusen-kusen pintu bagaikan tak berujung memanjang ke ruangan yang lebih jauh jika kita berdiri tepat di depan salah satu pintu...

Keluar dari bangunan tambahan ini, sebenarnya seluruh sudut kompleks Lawang Sewu telah kita jelajahi. Pengunjung akan diarahkan untuk berbelanja suvenir di lantai bawah Gedung B, atau langsung menuju arah ke luar kompleks.
Spot menarik yang masih dapat kita lihat sebelum menuju pintu keluar adalah sebuah lokomotif uap kuno berwarna hitam yang masih tampak kokoh dan bertenaga (foto di samping kiri).
Lokomotif tua seperti ini biasanya hanya kita lihat di film-film lawas. Namun di sini kita bisa menyentuh, bahkan menaikinya dan masuk ke ruang masinis. Tetapi ingat, tetap berhati-hati saat naik ke sini ya...

Masjid Agung Semarang (Kauman), Pasar Semawis, dan Masjid Agung Jawa Tengah

A. Masjid Agung Semarang
Rumah Allah yang biasa pula disebut Masjid Kauman ini ternyata memiliki sejarah yang panjang dengan statusnya sebagai masjid tertua di Kota Lunpia. Masjid Kauman telah menjadi kebanggaan warga Semarang, sekaligus cagar budaya yang harus dilindungi. Rumah Allah ini memiliki arsitektur bangunan yang khas dengan ciri masyarakat pesisir yang terkenal lugas namun bersahaja.
Aneka produk partisi ruangan, detil klik di sini...
Serupa dengan masjid-masjid kuno lainnya di Jawa, Masjid Kauman dibangun di pusat kota (alun-alun), berdekatan dengan pusat pemerintahan (kanjengan), penjara, serta pusat perdagangan (Pasar Johar). Hal ini mencerminkan tata kota khas nusantara jaman dulu.
Masjid Kauman tercatat sebagai satu-satunya masjid di Republik Indonesia yang berani mengumumkan kemerdekaan bangsa Indonesia kepada publik hanya beberapa saat setelah diproklamasikan di Jakarta pada pukul 10 pagi. Pada 17 Agustus 1945 sebelum didirikannya shalat Jumat, dr. Agus rahimahullah, salah seorang jamaah aktif Masjid Kauman melalui mimbar Jumat mengumumkan bahwa proklamasi kemerdekaan RI telah terjadi.
Mungkin banyak yang heran membaca alinea di atas tentang lokasi Masjid Kauman di depan alun-alun. Lho, mana alun-alunnya? Ya, alun-alun Semarang memang telah beralih fungsi sejak tahun 1938 menjadi Kawasan Komersial Johar, yaitu dengan berdirinya Pasar Yaik, lalu belakangan gedung BPD dan Hotel Metro menempati lapangan alun-alun Semarang. Akibatnya sejak saat itu Masjid Kauman menjadi seolah terjepit di tengah bangunan tinggi yang mengepungnya. Namun demikian, keagungan masjid agung ini tak akan pernah luntur.
Informasi tahun didirikannya Masjid Kauman terpatri pada sekeping batu marmer yang sampai saat ini masih terpasang di tembok bagian dalam gerbang masuk masjid. Prasasti ini berangka tahun 1170 H (1749 M), tentang peresmian masjid oleh Kanjeng Kyai Adipati Surahadimanggala yang disaksikan oleh Gubernur Belanda saat itu, Nicolaas Hartingh. Nicolaas Hartingh sendiri kemudian menjadi aktor utama terjadinya Perjanjian Giyanti (1755) yang memecah-belah Kesultanan Mataram menjadi Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta.
Berdasarkan catatan sejarah dan tutur cerita masyarakat yang kami sarikan dari beberapa sumber di website, cikal bakal Masjid Kauman ini telah dibangun pada masa Kesultanan Demak (pertengahan abad ke-16) oleh Maulana bin Abdussalam, seorang berdarah Arab yang mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk melakukan penyebaran agama Islam di kawasan sebelah barat Demak. Maulana bin Abdussalam kemudian bersama para pengikutnya membuka hutan di suatu tempat di barat Demak yang bernama Pulau Tirangan. Tempat itu ditandai oleh pohon-pohon asam yang tumbuhnya jarang, yang oleh lidah lokal disebut 'Asem Arang'. Inilah yang konon menjadi asal usul nama 'Semarang'.  

Aneka produk bambu ulir, detil klik di sini...
Maulana bin Abdussalam pertama-tama mendirikan sebuah masjid di hutan yang baru dibukanya. Lokasi masjid ini sebenarnya berada di Semarang Selatan (saat ini kurang lebih masuk kawasan Mugas). Sebagai pendiri pemukiman dan pemuka agama Islam, Maulana bin Abdussalam memiliki gelar Ki Ageng Pandan Arang. Perkembangan pemukiman 'Semarang' yang bermula dari didirikannya masjid sederhana ini ternyata kian pesat. Perkembangan ini membuat Pandan Arang diangkat menjadi Bupati Semarang yang pertama pada 12 Rabiulawal 954 H (2 Mei 1547 M). Tanggal tersebut secara tradisional diperingati sebagai hari berdirinya Kota Semarang.
Setelah sempat beberapa kali berpindah lokasi, masjid peninggalan Maulana bin Abdussalam sebagai pusat peribadatan dan pemerintahan di Semarang ini akhirnya menempati lokasinya saat ini, yaitu di Masjid Kauman.
Masjid Kauman (sumber foto : www.visitcentraljava.com)
Arsitektur Masjid Kauman yang berbentuk tajuk tumpang tiga tingkat mirip dengan gaya Masjid Agung Demak, menandakan pengaruh kuat dari desain bangunan masa Kesultanan Demak dan walisongo, periode ketika cikal bakal Masjid Kauman dibangun oleh Maulana bin Abdussalam.
Atap tingkat tiga merupakan representasi dari filosofi Iman, Islam, dan Ikhsan.
Wujud masjid asli seperti yang diresmikan oleh Adipati Surahadimanggala kini sulit dikenali karena telah tertutup oleh bangunan masjid baru hasil renovasi yang dilakukan belakangan (ditunjukkan oleh foto di sebelah kanan).
Gerbang masuk berbentuk gapura (dari arah Jl. Alun-Alun Barat) serta sebuah menara yang walaupun memang fungsional dan dibutuhkan, namun tetap saja menghalangi penampakan asli masjid yang kini berbalut cat warna hijau muda.

Sebuah gerbang yang lebih kecil terdapat di samping (selatan) masjid, yaitu dari arah Jl. Kauman (ditunjukkan oleh foto di sebelah kiri). Akses dari Jl. Kauman ini menghubungkan masjid dengan Jl. Wahid Hasyim dan pusat jajanan Semawis yang belakangan populer. Secara keseluruhan, kompleks masjid dibatasi oleh pagar dari tembok dan besi baja.
Meski arsitektur Masjid Kauman secara umum mirip dengan Masjid Agung Demak, namun konstruksi keduanya jauh berbeda. Atap limasan Masjid Demak disangga oleh hanya 4 soko guru (tiang utama) yang merupakan desain khas nusantara.
Sedangkan atap limasan Masjid Kauman ditopang oleh 36 pilar yang merupakan ciri arsitektur bangunan yang lebih modern. Bentuk atap limasan Masjid Kauman juga telah memiliki hiasan bentuk mustaka, sementara langkan pintunya berbentuk rangkaian daun waru sebagai indikasi akulturasi langgam Persia atau Arab.

Memasuki masjid via barisan pintu berbahan kayu jati bermotif pahatan kotak-kotak minimalis, suasana langsung terasa adem, nyesss... berbeda dengan udara di luar yang cenderung panas khas kota-kota pantura. Lantai marmer menambah rasa sejuk di kaki. Mihrab dengan desain serba meruncing di bagian depan memiliki langit-langit tinggi dari beton. Mimbar imam terbuat dari kayu jati berornamen ukir rumit lagi indah.
Satu hal yang agak menyulitkan kita untuk datang dan beribadah di Masjid Kauman Semarang ini adalah lokasinya yang terjepit oleh bangunan lain dan kesibukan aktivitas perniagaan Kawasan Johar. Sepeda motor mungkin tidak terlalu masalah, tetapi jamaah dengan mobil bisa jadi agak sulit. Akses utama adalah via Jl. Alun-Alun Barat dari arah Jl. Agus Salim atau Jl. Pemuda. Jl. Alun-Alun Barat yang tidak terlalu lebar ini sudah cukup crowded oleh kegiatan bisnis, pedagang kaki lima, serta parkir kendaraan Pertokoan Johar dan Pasar Yaik. Berjalan perlahan perlahan saja di sini. Hanya tersedia ruang untuk sekitar 20 mobil di depan Masjid Kauman. Jika penuh, kita bisa belok kanan ke Jl. Kauman di sisi selatan masjid. Di sini tersedia ruang parkir paralel untuk sekitar 8 mobil. Jika masih penuh juga, maka kita harus mencari tempat lebih jauh di sepanjang Jl. Kauman.
Namun tentunya sedikit kesulitan di atas tidak menjadi penghalang, karena in sya Allah pahala yang diperoleh akan bertambah pula seiring dengan kesukaran yang menghadang langkah kita...

B. Semawis
Sekitar 300 m ke arah tenggara Masjid Kauman, tepatnya di Jl. Gang Warung, Kranggan, terdapat Kawasan Pecinan Semarang yang setiap Jumat, Sabtu, dan Ahad malam (18.00 - 23.00 WIB) disulap menjadi Pasar Semawis yang menjajakan aneka hidangan dengan harga terjangkau.
Semawis adalah pasar malam yang awalnya digagas oleh perkumpulan Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata). Menyusul momen ditetapkannya Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional, pada 2004 diadakanlah Pasar Imlek Semawis di lokasi ini. Mulai 2005 Pasar Semawis menerapkan format pasar malam akhir pekan outdoor hingga saat ini.

Pada pagi hari, daerah ini sama saja dengan yang lain. Mulut Jl. Gang Warung yang ditandai oleh gerbang khas pecinan digunakan oleh bakul-bakul sayuran untuk berdagang. Sama sekali tak terlihat adanya geliat pusat kuliner di sana (foto di atas).

Tenda kios-kios jajanan pun tampak sepi pada pagi hari, berjejer di kiri-kanan jalan. Hanya tulisan 'Waroeng Semawis' dan 'Pusat Jajan Semarangan' yang menandakan bahwa inilah Semawis (foto sebelah kanan).
Namun saat Pasar Semawis buka kira-kira setelah maghrib, suasana berubah menjadi meriah.
Pasar Semawis yang tercatat sebagai pusat kuliner terpanjang di Kota Lunpia ini menjajakan aneka hidangan seperti nasi pela, nasi gudeg, nasi pindang, babat gongso, bakmi jowo, aneka hidangan oriental khas Gang Warung, es marem, pisang plenet, soto, aneka bubur, sate, ayam goreng, es puter, serabi, hingga menu-menu steamboat yang menarik untuk dicicipi. Bagi kaum muslimin kami sarankan untuk memastikan kehalalan menu hidangan saat memesan pada penjualnya. Cukup banyak menu yang halal tersedia di sini.
Akses menuju Semawis cukup banyak. Kita bisa memilih masuk lewat Jl. Wotgandul Barat ke Jl. Plampitan; atau lewat Jl. Gajah Mada ke Jl. Wahid Hasyim dan parkir di Jl. Beteng. Jalur lain adalah lewat Pasar Johar/Jurnatan via Jl. Pekojan dan pakir di Gang Pinggir.
Saat Pasar Semawis digelar, beberapa jalan di kawasan pecinan akan ditutup salah satu ujungnya, yaitu Gang Besen, Gang Tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, dan Gang Baru. Jalan-jalan itu dapat digunakan untuk parkir kendaraan pengunjung.

Suasana malam hari yang ramai di Pasar Semawis (sumber foto : www.5berita.com dan www.lihat.co.id)

C. Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT)
MAJT dilihat dari pelataran masjid
Jika Masjid Kauman adalah masjid agung untuk level Kota Semarang, maka MAJT adalah masjid agung bagi level Provinsi Jawa Tengah, meskipun MAJT juga berlokasi di Kota Semarang.
Namun demikian keberadaan MAJT tak bisa dilepaskan dari Masjid Kauman mengingat pembangunannya berawal dari kembalinya tanah wakaf milik Masjid Kauman yang telah berhasil diinventarisasi ulang oleh pemerintah daerah setempat.
MAJT dibangun di atas salah satu petak lahan wakaf milik Masjid Kauman seluas 10 hektar yang berlokasi di Jl. Gajah Raya, Sambirejo, Kota Semarang.
MAJT dibangun sejak tahun 2001 hingga diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 November 2006. Luas bangunan masjid adalah 7669 m persegi. Tercatat bahwa sejak Juni 2017 masjid ini telah memiliki sebuah stasiun televisi yaitu MAJT-TV yang siarannya bekerja sama dengan TVKU Semarang.
MAJT mengadopsi arsitektur campuran Jawa, Timur Tengah, dan Romawi hasil karya Ir. H. Ahmad Fanani setelah memenangkan sayembara desain MAJT tahun 2001.
Langgam Jawa tampak pada desain limas atap, namun di sini terdapat modifikasi kubah besar khas Timur Tengah berdiameter 20 m di puncak limasan tersebut.
Empat menara setinggi 62 m dibangun di tiap penjurunya. Menara lain yang jauh lebih besar berjuluk Asmaul Husna setinggi 99 m dibangun terpisah dari bangunan masjid. Studio Radio Dakwah Islam (Dais) berkantor di bagian dasar menara ini. Sedangkan di lantai 2 dan 3 terdapat Museum Kebudayaan Islam. Naik ke lantai 18 berada Kafe Muslim yang dapat berputar keliling 360 derajat, sedangkan lantai 19 merupakan menara pandang dengan 5 buah teropong yang dapat digunakan untuk melihat pemandangan Kota Semarang, serta untuk melihat rukyatul hilal.

Sementara pengaruh gaya Romawi tampak dari struktur 25 pilar bergaya koloseum di pelataran masjid, yang sekaligus juga menyimbolkan jumlah 25 Nabi dan Rasul yang disebutkan di dalam Qur'an. Pada bagian gerbang yang melengkung ini tertulis dua kalimat syahadat, sementara di bidang datarnya berukirkan huruf Arab-Melayu 'sucining guno gapuraning Gusti' seperti tampak pada 2 foto di atas (sumber : situs Kemenag (foto atas kiri); www.majestad.wordpress.com (foto atas kanan)).
MAJT dilengkapi fasilitas wisma berkapasitas 23 kamar berbagai kelas untuk para peziarah yang membutuhkan tempat bermalam. MAJT pun memiliki koleksi Al Qur'an raksana berukuran 145x95 cm buah karya Drs. Khyatuddin dari Pondok Pesantren Al-Asyariyyah, Wonosobo. Selain itu masih terdapat bedug raksasa sepanjang 310 cm dan diameter 220 cm hasil karya para santri Pondok Pesantren Alfalah, Banyumas yang merupakan replika bedug Pendowo Purworejo. Terakhir, tongkat khatib MAJT tercatat sebagai hadiah dari Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah.

Icon MAJT tak bisa disangkal adalah 6 payung raksasa di area pelataran masjid yang dapat mengembang otomatis seperti di Masjid Nabawi, Madinah. Tinggi setiap payung elektrik ini adalah 20 m, dengan diameter 14 m. Payung ini dibuka setiap shalat Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha jika angin tak melebihi kecepatan 200 knot (foto atas kiri, sumber : www.3.bp.blogspot.com).
Bagian dalam MAJT terkesan adem dengan langit-langit atapnya yang tinggi, sehingga betah rasanya beribadah berlama-lama di dalamnya (foto kanan atas, sumber : www.beautifulmosque.com).

Selasa, 04 Juli 2017

Lava Tour Merapi, Jogjakarta

Merapi (2930 m DPL) disebut-sebut sebagai gunung api paling aktif di Indonesia, bahkan dunia. Menurut teori Reinout Willem van Bemmelen, seorang pakar geologi Belanda yang lahir di Batavia tahun 1904 dan menghabiskan waktunya meneliti kebumian tanah kelahirannya ini sebagaimana tertuang dalam buku terkenalnya : The Geology of Indonesia (1949), letusan hebat Merapi pada sekitar tahun 1000 M merupakan penyebab kemunduran kerajaan Mataram Kuno. Bencana hebat tersebut memaksa negara adidaya di masanya itu memindahkan kota kerajaannya dari Jawa Tengah ke kawasan Jawa Timur, menjauhi Merapi.


Di era modern, erupsi Merapi tahun 2006 dan akhirnya 2010 telah mengubah sama sekali wajah pedukuhan subur gemah ripah loh jinawi seputaran puncak Kaliadem menjadi dataran gersang nyaris tanpa kehidupan. 
Bambu ulir rangkai aneka model, detil klik di sini...
Rangkaian letusan ketika itu tak hanya menyemburkan awan panas (wedhus gembel) melainkan juga jutaan kubik material vulkanik berupa pasir dan bebatuan membara yang menumbangkan bukit Geger Boyo di bagian selatan kawah Merapi hingga menimbun kawasan Kaliadem, termasuk Bunker Kaliadem yang memang dibangun sebagai tempat perlindungan penduduk jika terjadi erupsi.
Bunker yang terbuat dari beton setebal 25 cm dan pintu besi tebal ini sebenarnya didesain untuk mampu melindungi manusia di dalamnya dari awan panas. Tetapi tak mampu menahan akumulasi udara panas dari material vulkanik 1000 derajat C yang menimbunnya hingga setebal 3 m ketika itu. Walaupun bunker masih berdiri kokoh, tetapi udara di dalamnya akan menjadi sangat panas di luar batas ketahanan manusia.

Aneka desain tabletop anggrek, detail klik di sini... 
Lava Tour Merapi bermula dari adanya masyarakat yang peduli dan kemudian mendatangi lokasi terdampak erupsi setelah letusan tahun 2010. Ketika itu jalan aspal mulus ke Kaliadem luluh lantak oleh material vulkanik.
Hanya jip offroad-lah yang bisa tembus hingga ke atas. Karena kian banyak masyarakat yang perlu naik ke atas, maka populasi jip pun bertambah hingga kemudian setelah suasana berangsur kondusif aktivitas ini beralih rupa menjadi wisata Merapi yang belakangan kian terorganisir sekaligus digemari para pelancong.

Peminat Lava Tour kami rekomendasikan menghubungi dulu penyedia jasa tour sebelum berangkat ke basecamp operator Lava Tour di kawasan Kaliurang, Jogjakarta bagian utara.
Kami ketika itu menggunakan jasa Pak Gendut sebagai driver (0822-26241746). Bisa juga sih dadakan mencari driver karena di seputaran Taman Kaliurang cukup banyak spanduk iklan driver atau bahkan jip offroad stand by di pinggir jalan.
Dari spot sebelumnya di Tebing Breksi dan Candi Ijo kami naik hingga ke loket tiket masuk ke kawasan Kaliurang.
Tepat di sebelah kanan jalan sebelum loket terdapat Masjid At-Taqwa di mana kami melaksanakan Shalat Jum'at dulu sebelum masuk ke dalam.

Masjid At-Taqwa ini cukup besar dan nyaman untuk shalat. Meski udara Kaliurang saat ini sudah tidak lagi sedingin beberapa tahun silam, setidaknya air di kawasan ini masih terasa maknyess di tubuh kita...
Sehabis Shalat Jum'at, barulah kami masuk ke kawasan.

Tiket masuk ke Kaliurang kami nilai tidak terlalu mahal. Pada hari kerja tiket mobil pribadi dipatok Rp. 4000/unit, pelancong dewasa Rp. 2000/orang, dan anak-anak Rp. 1000/orang. Pun pada hari libur tiket masuknya hanya berbeda sedikit seperti ditunjukkan oleh foto di bawah.
Ditambah adanya sumbangan Bulan Dana PMI @ Rp. 2000, Anda tentunya sudah dapat menghitung sendiri budget bagi kunjungan Anda sekeluarga ke sini.


Beres dengan urusan tiket di gardu loket masuk (foto di atas), kami naik terus menuju lokasi basecamp Pak Gendut yang terletak tak jauh dari Taman Kaliurang. Cukup banyak warung jajanan di sekitar taman, kami makan bakso dulu sebelum memulai Lava Tour.

Tiga foto di bawah menunjukkan suasana di sekitar Taman Kaliurang.



Setidaknya tersedia 3 paket Lava Tour yang bisa dipilih, mulai opsi Short Trip seharga Rp. 350.000/jip kapasitas max 5 orang hingga Long Trip @ Rp. 550.000/jip.
Terdapat banner berisi informasi detil tentang paket-paket tour di kantor basecamp Pak Gendut yang kami sambangi. Banner ini sangat membantu kami dalam memilih jenis perjalanan yang akan diambil.
Kami sarankan agar Anda benar-benar memperhitungkan ketersediaan waktu dan pos-pos kunjungan yang Anda ingin lihat. Maksudnya jangan asal mengunjungi sebanyak-banyaknya destinasi saja sedangkan Anda sebenarnya kurang berminat.
Ketika itu kami sebenarnya memiliki alokasi waktu yang memungkinkan untuk mengikuti paket Short atau Medium Trip. Tetapi menilik detil pos-pos yang akan dikunjungi, kami akhirnya memilih Short Trip karena memang lebih sesuai dengan destinasi yang kami ingin tuju.
Perbedaan mendasar dari Short Trip dan dua paket lainnya adalah adanya kunjungan ke spot petilasan dan makam Mbah Maridjan untuk pilihan Medium dan Long Trip.
Durasi perjalanan yang tercantum pada banner tersebut sebenarnya tidak mengikat, karena driver-driver jip offroad Merapi pada prinsipnya sangat fleksibel dan mengutamakan kepuasan wisatawan. Mereka tidak akan terburu-terburu mengakhiri perjalanan hanya demi mengejar/memenuhi durasi. Jika pun durasi aktualnya melebihi estimasi waktu yang tercantum, mas-mas driver ini tetap akan melayani kita dengan baik.
Satu paket lagi yang kami nilai sangat menarik dan suatu saat nanti patut kami jajal adalah Sunrise Trip seharga Rp. 400.000/jip kapasitas max 5 orang. Kami perkirakan jalannya Sunrise Tour Merapi tak akan beda jauh dengan Paket Sunrise Bromo yang pernah kami coba sebelum ini. Namun tentunya medan jalan ke Sunrise Point di Kaliadem ini tak sejauh ke Penanjakan di Bromo. Hmmm... tentunya sangat patut dicoba!
Ketika itu kami datang bertujuh, sehingga kami menyewa 2 unit jip offroad.

Kami sangat menyarankan Anda membawa kacamata dan masker (foto sebelah kiri) sebelum menjajal Lava Tour karena medan jalan menuju puncak Kaliadem penuh pasir dan debu bekas erupsi Merapi yang cukup mengganggu.
Topi boleh juga dipakai, terutama jika Anda bepergian pada siang hari seperti kami saat itu. Pastikan juga batere kamera atau HP Anda full charged sebelumnya. Kita bisa mengisi batere dulu di basecamp jika memang diperlukan.
Setelah semua persiapan beres, kami pun mulai jalan. Yeay! Lava Tour Merapi, here we comes!!!



Pos 1 : Museum Mini Sisa Hartaku (MMSH)
Museum ini dulunya adalah sebuah rumah penduduk biasa di Desa Petung, Kepuharjo (berjarak sekitar 6~7 km dari puncak) yang masih tetap berdiri setelah tersiram hujan material vulkanik Merapi. Sisa rumah ini kemudian dijadikan tempat untuk mengumpulkan dan mengoleksi aneka barang milik penduduk sisa erupsi dan foto-foto terkait bencana Merapi sebagai peringatan dan bahan pelajaran bagi kita semua untuk lebih bersyukur dan memaknai kehidupan yang damai sebagai anugrah.

Di bagian depan bangunan museum yang tampak kusam dan muram karena memang dibiarkan apa adanya untuk menggambarkan efek merusak material vulkanik bertemperatur ekstra tinggi ini, kita sudah akan terhenyak melihat kerangka 2 ekor sapi yang ikut menjadi korban erupsi. Pak Gendut yang tak hanya menjadi driver tetapi juga berperan sebagai guide bercerita panjang lebar mengenai rangkaian erupsi Merapi tahun 2010. Periode rentetan aktivitas vulkanik yang dihitung sejak terdeteksinya peningkatan gejala kegempaan pada 20 September hingga puncaknya saat letusan hebat terjadi pada Jum'at dinihari 5 November yang menghasilkan kolom awan panas setinggi 4 km dan muntahan aneka jenis material vulkanik ke segala penjuru.

Produk partisi ruangan aneka model, detil klik di sini...
Tercatat sedikitnya 353 orang meninggal dunia - termasuk Mbah Maridjan - dalam erupsi 2010, meskipun sebenarnya pemerintah setempat telah mengupayakan segala cara untuk mengevakuasi sebanyak-banyaknya penduduk sejak akhir Oktober. Kebanyakan hewan ternak sayangnya tak sempat dipindahkan ketika itu.
Masih menurut kisah Pak Gendut, setelah erupsi reda, regu SAR perintis yang pertama kali mencapai lokasi bencana menemukan puluhan sapi ternak milik penduduk yang rupanya hanya terkena awan panas sehingga masih hidup namun sangat kesakitan akibat luka bakar nyaris di sekujur tubuh mereka. Team dari kesatuan TNI yang tergabung dalam regu penyelamat terpaksa menembak mati hewan-hewan ternak itu agar mereka tidak menderita lebih lama lagi. Sungguh mengenaskan...


Sebagian dari sisa barang-barang yang rusak terkena awan dan material panas. Jangankan benda dari plastik, bahkan botol kaca dan alat-alat dari logam pun tampak meleyot karenanya.

Pak Gendut in action, sangat bersemangat menceritakan kronologis erupsi Merapi dan upaya tak kenal lelah regu SAR ketika itu (kiri atas). Hewan ternak lain seperti ayam tak terhitung jumlahnya yang turut menjadi korban (kanan atas).
Karena saat ini dinilai tidak lagi aman untuk dihuni, maka Desa Petung, Kepuharjo, dikosongkan sejak erupsi 2010. Bekas Desa Petung ini kini hanya dijadikan lokasi wisata yang didatangi sesekali saja jika kondisi Merapi sedang memungkinkan.

Pos 2 : Spot Batu Alien
Batu raksasa ini sebenarnya berasal pula dari dapur magma Merapi, tentunya tak ada kaitannya dengan makhluk luar angkasa. Tapi karena ukurannya yang ekstra jumbo, penduduk kemudian menamainya demikian.

Lokasi ini - dan spot-spot lainnya di lingkung puncak Merapi ini - sekarang sudah tampak mulai kembali menghijau oleh vegetasi. Dulu saat erupsi keadaan tentunya amat berbeda : nyaris semua kehidupan hewan dan pepohonan habis terbakar dan tertimbun debu tebal. Tak ada hijau dedaunan, semua berganti butiran kelabu berbau asap.

Banyak orang yang mengantri untuk berfoto di batu tunggal segede gaban yang entah berapa ton beratnya ini, maka selalu tertiblah menunggu giliran. Terdapat peringatan untuk tidak mencoba menaiki batu besar tersebut, selayaknya anjuran ini dipatuhi demi untuk keselamatan bersama.

Langit yang semula cerah berangsur diselimuti awan gelap. Sayang sekali pucak Merapi di kejauhan selalu tertutup awan rendah sehingga kami tak memperoleh kesempatan untuk mengabadikan bentuk gunung legendaris ini secara utuh. Namun demikian kami tetap dapat melihat asap sulfatar abadi yang keluar dari puncak kepundennya.
Pada foto di atas tampak pula fasilitas menara untuk berfoto di spot Batu Alien. Namun karena pemandangan Merapi sedang jauh dari maksimal dan tarif untuk berfoto dari menara ini pun tergolong tidak murah, kami tidak menjajalnya.

Driver jip offroad rupanya memiliki banyak trik berfoto di lokasi Batu Alien yang memang cukup luas dan kaya spot selfie. Wisatawan tentunya senang-senang saja. Berikut 3 contohnya...

Mereka menamai trik ini Bukit Harry Potter. Di sini tersedia sebatang bambu yang rupanya digunakan seolah sapu terbang para murid Hogwarts. Prinsip dasar trik ini adalah foto levitasi.

Pak Gendut menggunakan kamera HP biasa kami untuk membuat foto panorama tanpa di-crop di atas. Entah bagaimana caranya, kami lupa bertanya, hadeuh....


Trik yang ketiga ini sebenarnya sangat sederhana. Cukup ambil sebuah kerikil kecil, lalu letakkan tepat di depan lensa kamera HP kita. Sementara di kejauhan, model kita berpose sambil mengangkat telapak tangan ke atas.
Kunci sukses trik ini adalah menempatkan kerikil kecil tadi sedemikian rupa sehingga tampak seolah-olah batu raksasa yang sedang diangkat oleh sang model. Jadi harus tepat di atas telapak tangan. Tapi tentu saja karena jarak fokus kamera adalah ke model, maka kerikil tapi akan tampak blur alias kurang fokus. Untuk menyiasatinya, pilihlah kerikil yang bertekstur halus sehingga ketidakfokusannya akan lebih tersamar.
Jenis kerikil bertestur dan bercorak seperti yang digunakan driver kami pada foto di sebelah kanan kami nilai kurang cocok karena ketidakfokusannya lebih kentara.
Selain beberapa trik foto yang dapat kita lakukan sendiri tadi, lokasi Batu Alien pun sebenarnya memiliki fasilitas spot foto berbayar yaitu bingkai foto berbentuk hati dari bambu yang berhiaskan bunga dan dedaunan.
Jarak spot Batu Alien di wilayah Kepuharjo ke puncak Merapi kurang lebih sama dengan dari Desa Petung (MMSH) yaitu 6~7 km.

Pos 3 : Bunker Merapi Kaliadem
Dari Batu Alien, kita begerak naik terus ke lokasi Bunker Kaliadem yang dulunya menjadi wilayah Desa Kinahrejo di mana Mbah Maridjan tinggal. Kinahrejo berjarak sekitar 4 km dari puncak Merapi.
Ngenes rasanya melihat kondisi jalan naik ke Kaliadem yang hancur total diterjang material vulkanik (foto sebelah kanan), meski pun sepanjang kanan-kiri jalan telah mulai adem menghijau kembali. Kini jalan yang sempat terkubur lahar dingin hingga kedalaman 1,5 m ini hanya bisa ditembus oleh jip ofroad atau motor trail. Sementara dulu jalan ini beraspal mulus dan menjadi urat nadi transportasi serta ekonomi masyarakat Kaliadem ke kota Jogja di bawah sana.
Jip offroad hilir mudik membawa wisatawan di jalur ini, menyisakan debu yang membumbung ke udara.
Ada kalanya kami perhatikan driver bercanda dengan penumpang dari golongan muda-mudi seperti foto di bawah. Jip offroad hijau itu sengaja diparkir dalam keadaan menanjak begitu, sementara sopirnya santai saja meninggalkan penumpang yang masih ribut berteriak-teriak antara senang dan ngeri di atasnya, hahaha...

Bunker Kaliadem yang legendaris ini mudah dikenali bahkan dari kejauhan sekalipun oleh adanya landmark besar di atasnya. Mulut bunker tampak sengaja didesain mengarah ke selatan, menjauhi puncak Merapi yang sore itu tampak kokoh terselimut awan mendung di belakangnya.

Pintu besar bunker terlihat seperti foto di bawah. Terdapat beberapa anak tangga ke dasar bunker. Beton bunker tampak masih kokoh, meski mungkin secara teknis sudah tak layak pakai lagi setelah terkubur lumpur vulkanik temperatur ekstra tinggi sejak erupsi pada November 2010 hingga saat berhasil ditemukan dan digali kembali dari dari timbunan 3 m pasir Merapi pada Maret 2013. Tidak mudah memang menemukan kembali lokasi bunker yang telah menjelma menjadi dataran pasir luas, tanpa ada satu penanda apa pun mengenai letak keberadaannya ketika itu.

Ruang dalam bunker gelap dan udaranya tentu tak sesegar di luar (foto di bawah). Foto-foto yang kami ambil di dalam kurang bagus karena minim pencahayaan. Bunker ini sebenarnya cukup luas dan mampu menampung sekitar 20 orang.
Di dalam bunker ternyata terapat banyak batu besar yang sengaja dibiarkan sebagai memori erupsi 2010, juga karena nyaris mustahil memindahkan batu sebesar itu ke luar.
Mungkin ketika erupsi, material vulkanik yang masih berbentuk lumpur lunak menerobos ke dalam bunker lalu membeku di dalam menjadi batuan jumbo yang bahkan lebih besar dari ukuran pintu masuknya.
Ruang kamar mandi yang menjadi saksi bisu tragedi ketika salah seorang dari 2 relawan yang terjebak di dalam bunker meninggal di dalamnya (diduga ia sengaja masuk ke kamar mandi untuk berendam mendinginkan diri di dalam air bak) masih ada walaupun tak lagi terawat. Secara keseluruhan bunker yang sekarang tak lagi fungsional sebagai tempat perlindungan ini dibiarkan apa adanya agar dapat menggambarkan suasana pasca erupsi.

Pos 4 : Kalikuning
Pos terakhir ini sengaja dipilih sebagai destinasi pamungkas agar dapat juga sekalian membersihkan jip setelah bermandi debu menembus jalan hancur ke Kaliadem... setidaknya demikian menurut Pak Gendut.
Tadinya kami tidak begitu ngeh kita akan melakukan apa di kali berdasar batu-batu yang sekilas tampak dangkal ini. Pak Gendut ternyata langsung tancap gas menyusur aliran Kalikuning yang berbentuk tapal kuda ini.
Oww... baru paham bahwa kita diajak wet offroad menyisir penggalan kali berbentuk melingkar sepanjang sekitar 300 m sekali putar ini! OK, ternyata sangat menyenangkan!

Sudahlah, jangan pedulikan percikan air yang mengguyur pakaian atau bahkan memancar dari kolong jip yang berlubang ketika jip pada beberapa lokasi memasuki 'palung' kali berkedalaman nyaris full ban. Dua-tiga kali putaran bahkan lebih, driver akan dengan senang hati melayani permintaan kita... asalkan betah berbasah-basah saja syaratnya.
Yup... setelah sebagian pakaian basah dengan suksesnya dan jip pun kinclong terbasuh air kali yang jernih, kami kembali ke basecamp di Kaliurang. Durasi total Short Trip kami ketika itu kurang lebih 3 jam. Cukup lelah tetapi enjoy tentunya.