Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Senin, 07 Desember 2015

Menu Serba Pepes di Bendung Walahar Citarum, Karawang

Bendungan Walahar sebenarnya terletak tak jauh di selatan Tol Jakarta-Cikampek. Meskipun demikian, tempat ini seolah tak terdeteksi oleh radar kami, walaupun kami amat sering melintasi tol ini. Untuk menuju Bendungan Walahar, akses paling dekat adalah Pintu Tol Karawang Timur. 
Setelah keluar di Karawang Timur, kita harus belok kanan (arah Klari/Cikampek) sekitar 1,8km, lalu belok kanan di pertigaan Klari menuju arah selatan. Patokannya adalah Toko Ceriamart di sebelah kiri jalan. Kita akan melewati jembatan layang menyeberangi tol (Rest Area km 57 berada tepat di sebelah kiri jalan), lalu ambil arah ke kiri pada pertigaan berikutnya.
Saluran Irigasi Citarum sudah tampak di sebelah kanan kita. Terus saja menyusuri jalan cor lebar yang meski rusak di beberapa tempat namun secara umum relatif baik di sisi Saluran Citarum ini ke arah selatan (kami tandai dengan warna hijau lebar pada peta di bawah).
Kita akan melewati jembatan yg cukup lebar (masyarakat setempat menyebut jembatan ini Jembatan Texmaco), lalu Bendungan Kecil Walahar, hingga tiba di pertigaan Jl. Bend. Walahar (jika belok kiri menuju arah Kosambi), kita terus saja menyusuri Saluran Citarum via jalan yang menyempit selepas pertigaan ini. Jalan ini memang sempit (kami tandai dengan warna hijau muda pada peta di bawah), persis selebar 2 mobil crash, ditambah lagi banyak PKL di kiri-kanan jalan. Jalan pelan-pelan dan berhati-hati saja di sini. 

Hampir di ujung jalan sempit ini biasanya kita harus menunggu dulu mobil dari arah yang berlawanan lewat (ada pemuda setempat yang membantu membuka-tutup kendaraan dari arah bendungan dan yang akan menuju bendungan). Ketika kami akhirnya jalan, jelas saja kita harus bergantian lewat karena di sini terdapat jembatan ke arah kanan (menyeberangi Saluran Citarum) yang tidak muat dilewati 2 mobil crash. Jalan sempit ini (kami tandai dengan warna pink pada peta di sebelah kanan) berujung pada sebuah portal selebar pas 1 mobil yang harus dilewati jika kita ingin menyeberangi Bendungan Besar Walahar ke arah selatan. 

 Bendungan Kecil Walahar (kiri); jembatan ke arah kanan menyeberangi Saluran Citarum (kanan)

 Sembari melintasi jembatan ke arah kanan menyeberangi Saluran Citarum, kita bisa melihat mekanisme pembuka-tutup pintu air (kiri); portal pas mobil untuk masuk ke Bendungan Besar Walahar yang tampak kokoh dan bersih dengan cat kuningnya (kanan)

 Suasana sekitar portal di ujung utara Bendungan Besar Walahar. Terdapat prasasti bertuliskan 'Bendung Walahar, Kali Tjitarum, Mulai Dipakai 30 Nopember 1925, Untuk Mengairi Sawah Luas 87.396 ha'. Jelas terdapat rambu jalan bergantian di portal ini.

Di portal ini kami sempat bertanya pada petugas security yang berjaga : “Pak, di seberang ada apa, ya?” Maksud kami adalah apakah kita bisa parkir untuk turun ke sungai, atau ada danau/situ yang dijadikan tujuan wisata. Namun jawaban security tadi cukup membuat kami heran : “Ada pepes, Bu.”
Haaa? Pepes? Meski tak sepenuhnya paham tetapi kami coba saja menjalankan mobil menyeberangi bendungan ke arah selatan. Pengalaman menyeberangi bendungan via jalan berukuran 1 mobil ini cukup unik. Kita akan melihat 'lautan eceng gondok' di sebelah kiri, dan open space yang berisik dengan suara gemuruh air terjun dari bendungan ke arah kanan. Arah kanan (barat) inilah aliran Citarum yang sebenarnya, sementara aliran Saluran Irigasi Citarum ke utara yang telah kami lewati tadi sengaja dibuat untuk mengairi areal persawahan di Karawang. Lautan eceng gondok di sebelah kiri tadi tampaknya memang menumpuk di sekitar bendungan karena terbawa aliran Citarum dari Waduk Jatiluhur. Secara berkala eceng gondok di sini dibersihkan agar tidak kian menumpuk.

 Suasana bagian dalam Bendungan Besar Walahar (kiri); pemandangan ke open space sebelah barat bendungan (kanan)

 'Air terjun' ke arah open space sebelah barat bandungan. Sepertinya debit air sedang tidak terlalu besar, mungkin dampak kekeringan panjang tahun 2015 (atas)

 Beberapa pemuda-pemudi bermain air di bawah bendungan, ada pula yang memancing (atas)

 Ujung selatan Bendungan Besar Walahar (kiri); Bendungan Kecil Walahar dilihat dari kejauhan, tampak sebagian pengunjung piknik di tepian Saluran Citarum ini (kanan)

 'Lautan eceng gondok' di sisi timur Bendungan Besar Walahar (kiri); area permainan anak di saung pepes lain di sisi timur bendungan (kanan)

Barulah setelah melewati bendungan kami paham apa maksud 'Ada pepes' tadi, karena tepat di ujung jalan itu kami membaca plang rumah makan bertuliskan besar-besar 'RM Pepes Jambal Walahar Bp. H. Dirja'. Kami mengikuti saja mobil lain di depan yang langsung masuk ke arah rumah makan itu karena kebetulan saat itu memang sudah hampir tengah hari, pas waktunya makan siang.

 Plang Saung Pepes H. Dirja (kiri); jalan turun ke arah saung bawah (kanan)

Saung Pepes H. Dirja memiliki area parkir mobil yang tidak terlalu luas di depan, namun jika kita terus turun ke arah bawah, ternyata di bawah sini terdapat lebih banyak saung outdoor dan area parkir yang lebih luas. Kami sempat celingukan juga mencari pelayan untuk memesan makanan. Karena tidak juga menemukan pelayan, akhirnya kami naik saja ke saung indoor yang berada di atas. Di sini lebih mudah menemukan pelayan untuk memesan makanan, serta sepertinya juga makanan kita lebih cepat diantar karena letaknya tak jauh dari dapur. Benar saja, tak berapa lama pesanan sudah diantarkan ke saung kami.

 Area parkir yang lebih luas di saung bawah (kiri); saung outdoor di area bawah (kanan)

 Detil saung outdoor di area bawah (kiri); kami menempati salah satu saung indoor di area atas (kanan)

Model menu di sini mirip rumah makan Padang. Banyak piring kecil berisi makanan dihidangkan, kita bisa memilih apa yang kita mau, tidak perlu semuanya. Tapi ingat, jangan mengambil walaupun sedikit jika tidak benar-benar ingin menyantap sebuah menu, karena tetap akan di-charge penuh satu piring/porsi.


Nasi dikemas dalam bungkusan daun yang unik. Porsinya cukup untuk makan seorang dewasa. Pepes-pepesan sebagai menu andalan di sini dijual dengan harga cukup terjangkau antara Rp.4000/bungkus (pepes tau & oncom) hingga Rp.8000/bungkus (pepes jambal, peda, teri, ati ampela, dan jamur). Gurame bakar (porsi 3-4 orang dewasa) harganya relatif standar, Rp.80ribu-an/ekor dan waktu penyiapannya cepat, sementara ayam kampung bakar butuh waktu lebih lama dan harganya menurut kami di atas restoran lain, Rp.70ribu/ekor. Udang dan ikan balita goreng dijual Rp.15ribu-an/piring kecil. Minuman es teh manis standar, Rp.5000/gelas, sementara es jeruk dan kelapa muda Rp.12ribu/gelas. Satu menu pembuka yang menurut kami tidak perlu dimakan adalah otak-otak. Menu pembuka yang sifatnya lebih ke 'hidangan iseng-iseng' di sini dijual Rp.5000/pc, sementara otak-otak bungkus kecil yang sama dijual oleh tukang otak-otak yang lewat di depan rumah kami hanya Rp.1000/pc. Lebih worthed tambah jambal saja daripada iseng-iseng mencomot otak-otak karena harga per-pc-nya hampir sama, sementara otak-otak bungkus kecil itu kurang nendang.
Secara keseluruhan menurut kami taste hidangan di sini lebih cocok bagi orang dewasa. Anak-anak kami tampaknya kurang sesuai meski sebenarnya bumbu hidangan di sini amat meresap dan enak, sehingga mereka tidak makan terlalu banyak. Tapi ada saja sih anak-anak lain yang suka taste begini... semua kembali ke selera.
Tabletop anggrek latex dengan vas kayu, detil info rpoduk dan harga klik di sini
Rumah makan ini menyediakan toilet dan mushala yang bersih. Namun tampaknya kebersihan di saung-saungnya perlu ditingkatkan. Lebih baik jangan melihat ke langit-langit saung selama makan, untuk sebagian orang sarang laba-laba dan beberapa spot plak kecoklatan bisa mengurangi selera. Secara keseluruhan kami cukup enjoy bersantap siang di sini, namun untuk kembali lagi ke sini tampaknya kami akan pikir-pikir dulu. Faktor pengganjalnya adalah taste yang kurang sesuai untuk anak-anak, serta value for money di mana kami bisa mendapatkan hidangan dan lokasi yang setara dengan harga lebih murah. Serta tentunya makan pepes di sini tak ada bedanya dengan makan pepes di rumah makan lain karena untuk apa kita jauh-jauh ke tepian Citarum ternama jika kita sama sekali tidak melihat aliran tenang Citarum sembari bersantap... In my humble opinion, kedua hal ini – pepes dan Citarum – seharusnya secara bersamaan didapatkan oleh pengunjung yang sudah jauh-jauh datang.
Dan tampaknya kami harus membenarkan jawaban 'Ada pepes' tadi, karena tampaknya memang 'makan pepes' adalah jualan utama objek wisata Walahar ini. Tadinya kami berpikir bahwa jualan utama tempat ini adalah bendungan dan danau dengan beragam aktivitas/permainan air, sementara makan siang adalah kegiatan/keharusan penyerta saja. Kami bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk turun sekedar membasuh kaki dengan air Citarum – atau apakah kita boleh turun ke bawah atau tidak – karena informasi tentang ini tidak kami temui.
Berkaca dari pengalaman dinner by the river di Chao Praya misalnya, menurut kami akan lebih asyik jika kita bersantap di restoran lain yang berada tepat di tepi aliran Saluran Citarum, atau bahkan menggelar piknik sendiri di sini.
Minimnya informasi juga membuat kami mengurungkan niat pergi ke Situ Cipule sehabis santap siang. Satu orang berkata 'masih jauh' sedangkan yang lain berpendapat 'dekat kok'... waduh, mana yang benar ini? Jalan menuju Situ Cipule juga kami lihat tidak seberapa lebar, agak repot sepertinya jika sering crash dengan mobil lain. Apalagi mendung pun kian menebal... Akhirnya setelah shalat zuhur kami memutuskan untuk langsung pulang ke Bekasi.
Kembali melintasi bendungan dan portal, kami diarahkan untuk terus, tidak belok ke kanan menyeberangi jembatan seperti saat datang. Berbeda dengan jalan cor sempit namun mulus di sisi timur Saluran Citarum dari mana kami datang, jalan di sebelah barat saluran ini ternyata rusak parah, hampir seluruhnya terdiri dari jalan berbatu yang membutuhkan keterampilan mengemudi. Ditambah lagi dengan cukup padatnya pengunjung dan PKL... berhati-hati saja berkendara di trek ini. Jalan bumpy ini membawa kami hingga ke Jembatan Texmaco, kami lalu menyeberang ke sisi timur saluran kembali, lalu mengambil rute yang sama melewati Rest Area 57 ke Jalan Lama Klari menuju Pintu Tol Karawang Timur.
 Perbedaan kondisi jalan di sisi timur saluran yang sempit namun mulus (kiri); ujung selatan jalan yang juga tidak lebar di sisi barat saluran masih tampak mulus, tetapi selepas pohon besar yang tampak di kejauhan pada foto tersebut jalan cukup parah (kanan)

Demikian kurang lebih pengalaman kali pertama kunjungan kami ke Walahar. Jika suatu hari kami kembali datang kemari, kami lebih cenderung untuk mencoba restoran atau piknik di tepian Saluran Citarum dari pada bermobil menuju RM H. Dirja. Setidaknya jika kami berkunjung ke tepian saluran, kami tak perlu tersendat di jalan menuju Bendungan Besar Walahar yang memang tidak lebar, serta kami pun mendapatkan kedua atraksi 'pepes dan Citarum riverside' sekaligus...
Bendung Walahar menurut kami berpotensi untuk terus dikembangkan menjadi objek wisata yang menarik. Ke depannya kami harapkan potensi aktivitas perairannya dapat lebih diekspos dan dijadikan jualan utama situs ini. Letaknya yang terhitung dekat dengan pintu tol juga amat mendukung. Perbaikan dan pelebaran jalan - meski tak mudah - kami yakin akan menjadikan objek ini berkembang pesat. Semoga...

Bendungan Walahar
Bendungan Walahar terletak di Desa Walahar, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Bendungan Walahar atau sebagian masyarakat Karawang mengenal namanya dengan Parisdo Walahar merupakan bendungan peninggalan Belanda yang sangat kokoh untuk menahan banjir saat Citarum meluap. Di musim kemarau, pintu air yang terdapat pada bendungan ini berfungsi mengairi puluhan ribu hektar sawah di Karawang dan sekitarnya. Dari prasasti yang terdapat di dinding utaranya, bendungan besar ini sudah mulai beroperasi sejak tanggal 30 November 1925.
Bendungan yang membendung Citarum ini membentuk waduk seluas sekitar 15 hektar pada kawasan sekitar bendungan. Bangunan dam yang membendung sungai lebarnya sekitar 50m. Bangunan dam terdiri tiga susun. Bagian dasar merupakan bagian dam/pintu air, di atasnya terdapat jembatan dengan lebar jalan sekitar 3m. Di atas jembatan terdapat semacam bangunan yang terdiri dari beberapa ruangan dengan langit-langit berbentuk lengkung. 

Citarum
Citarum adalah sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat. Sungai dengan nilai sejarah, ekonomi, dan sosial yang penting ini sejak 2007 sayangnya menjadi salah satu dari sungai dengan tingkat ketercemaran tertinggi di dunia. Jutaan orang tergantung langsung hidupnya dari sungai ini, sekitar 500 pabrik berdiri di daerah alirannya, tiga waduk PLTA dibangun di alirannya, dan penggundulan hutan berlangsung pesat di wilayah hulu.
Kata 'Citarum' disusun oleh 'Ci' yang artinya sungai atau air, dan 'tarum' yang merupakan nama tumbuhan penghasil warna nila. Dari asal usul kata ini bisa disimpulkan bahwa pada zaman dahulu banyak tumbuhan tarum di sepanjang Citarum.
Panjang aliran sungai ini sekitar 300 km. Secara tradisional, hulu Citarum dianggap berawal dari lereng Gunung Wayang (tenggara Kota Bandung), di wilayah Desa Cibeureum, Kertasari, Bandung. Di sana terdapat tujuh mata air yang menyatu di suatu danau buatan bernama Situ Cisanti di wilayah Kabupaten Bandung yang merupakan hulu Citarum. Namun, berbagai anak sungai dari kabupaten bertetangga juga menyatukan alirannya ke Citarum, seperti Cikapundung dan Cibeet. Aliran kemudian mengarah ke arah barat, melewati Majalaya dan Dayeuhkolot, lalu berbelok ke arah barat laut dan utara, menjadi perbatasan Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten Bandung, melewati Kabupaten Purwakarta, dan terakhir Kabupaten Karawang (sekaligus menjadi batas dengan Kabupaten Bekasi). Sungai ini bermuara di Ujung Karawang.
Dalam perjalanan sejarah Tatar Sunda, Citarum berkaitan erat dengan Kerajaan Tarumanegara, kerajaan yang menurut catatan-catatan Tionghoa dan sejumlah prasasti pernah ada pada abad ke-4~7 M (dikenal di Tiongkok sebagai kerajaan Tolomo, diperkirakan berasal dari kata Taruma). Kompleks bangunan kuno abad ke-4, seperti di Situs Batujaya dan Cibuaya menunjukkan pernah adanya aktivitas permukiman di bagian hilir. Sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu dari abad ke-1 Masehi juga ditemukan di bagian hilir sungai ini.
Sejak runtuhnya Tarumanegara, Citarum menjadi batas alami Kerajaan Sunda dan Galuh, dua kerajaan kembar pecahan dari Taruma, sebelum akhirnya bersatu kembali dengan nama Kerajaan Sunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar