Tips :
- Karena pakaian kita kemungkinan besar akan basah di air terjun dan selama tracking menuju lokasi, jangan lupa membawa baju ganti sebelum berangkat. Baju ganti disimpan saja di dalam mobil, kita bisa berganti pakaian setelah tour selesai.
- Mengunakan topi merupakan pilihan yang baik.
- Lokasi air terjun adalah dataran tinggi, tetapi temperatur udara di sana tidak terlalu dingin. Tidak perlu membawa baju hangat, kecuali jika memang menginginkannya.
- Pakailah sandal gunung atau sepatu yang nyaman dan tidak mudah basah, karena tracking menuju Tiu Kelep akan menyeberangi sungai dangkal.
Perjalanan kami ke arah utara pada hari ke-3 ini melintasi kurang lebih seperempat total keliling pulau Lombok seperti gambar di atas. Perjalanan panjang Lombok-Senaru (sekitar 80km) ini membutuhkan waktu 3 jam sekali jalan. Oleh karena itu, kami memilih untuk mengambil paket tour Sendang Gile - Tiu Kelep saja dari operator tour yang banyak terdapat di Mataram. Lebih nyaman duduk manis di dalam mobil saja dengan sopir dari operator tour tentunya dibandingkan menyetir mobil sewa sendiri selama total 6 jam pergi-pulang.
Ketika itu kami memilih operator tour Pak Ketut di HP/WA 0812-3714898 dengan harga paket sehari Sendang Gile-Tiu Kelep Rp.950rb all in untuk 5-6 orang dengan jenis mobil Kijang Innova. Uang tanda jadi Rp. 200.000 kami transfer saja beberapa hari sebelumnya ke Pak Ketut. Tepat seperti yang dijanjikan, sekitar pukul 8 pagi, sopir (Pak Irwan, 0822-36520255) telah tiba di pick point rumah saudara kami di bilangan Pagutan, Kota Mataram.
Kami memang harus ketat terhadap jadwal karena malam itu juga kami harus ke Bandara BIL di Praya untuk pulang ke Bekasi dengan jadwal take off pukul 20.30 WITA.
Dari pick point kami menuju kawasan utara Mataram Pusuk via Jl. Raya Mataram-Pemenang yang berbukit-bukit. Sebenarnya sesuai jadwal tour kami akan mampir dulu di Pasar Gunung Sari. Ini adalah sebuah pasar tradisional biasa yang berada di utara Mataram. Pak Irwan bercerita bahwa justru turis bule yang senang berkeliling pasar untuk melihat aktivitas masyarakat. Tapi bagi kami sih buat apa? Akhirnya kami tidak mampir ke Pasar Gunung Sari ini, walaupun Pak Irwan menyarankan untuk setidaknya membeli kacang. Lho... kacang? Ya, kacang untuk memanggil monyet mendekat dan memberi makan mereka di Pusuk Monkey. Tapi melihat kondisi pasar yang agak becek sisa hujan semalam, kami tetap memilih untuk tidak berhenti di sini.
Pusuk Monkey
Menurut Pak Irwan 'pusuk' berarti puncak tertinggi. Pusuk adalah istilah untuk puncak perbukitan yang dilintasi Jl. Raya Mataram-Pemenang. Jalan ini kondisinya mulus walaupun tidak lebar seperti foto di bawah. Lalu lintas di jalur ini lebih ramai dibandingkan ke arah Pelabuhan Lembar atau deretan pantai di selatan Lombok, namun tetap saja masih lancar untuk ukuran Jakarta.
Jalan berkelok ini terus menanjak hingga ke kawasan Hutan Baun Pusuk. Sebenarnya di sepanjang jalan ada saja satu-dua ekor monyet terlihat di pepohonan di kanan-kiri jalan. Tampaknya ekosistem di daerah ini memang masih baik. Hewan liar pun masih hidup bebas di hutan tepi jalan raya yang memiliki udara sejuk dan segar ini.
Tepat di suatu lokasi di Baun Pusuk, Pak Irwan menepikan sejenak Innova-nya. Di sebelah kiri jalan yang berbatasan dengan jurang dan ruang terbuka ke arah pantai tampak segerombolan besar monyet tengah berkumpul. Selain kami terlihat pula sebuah mobil wisatawan lain sedang berhenti dan memberi makan kawanan monyet ini. Sayang sekali, sampah berserakan di spot ini. Mungkin sisa dari wadah makanan yang diberikan pengunjung sebelumnya...
Pandangan ke arah pantai di sebelah barat laut via ruang terbuka dari Baun Pusuk. Pelabuhan Bangsal yang merupakan gerbang penyeberangan ke Gili Trawangan berada di pesisir di bawah sana. Hutan Baun Pusuk yang memayungi Pusuk Monkey merupakan bagian dari Kawasan Hutan Gunung Rinjani. Sembari turun dari mobil dan mengambil gambar, kami merasakan bahwa udara di daerah ini memang masih alami dan segar (foto kiri atas). Seekor monyet betina berposes saat kami potret. Kawanan monyet di sini tidak agresif seperti di monkey forest lainnya yang pernah kami kunjungi. Meski sedang diberi makanan pun mereka tidak berebut. Berbeda dengan monyet di tempat lain, yang bahkan biasa menyandera barang-barang milik wisatawan untuk ditukar dengan makanan (foto kanan atas).
Air Terjun Sendang Gile
Jl. Pariwisata Bayan yang terus menanjak |
Air Terjun Sendang Gile sudah terlihat dari Pondok Senaru Cottage seperti pada foto di atas. Terbayang bahwa medan tracking ke sana adalah turun melewati kawasan hutan. Langit kian mendung, agak khawatir juga jika hujan turun di tengah jalan tentunya akan cukup merepotkan.
Loket masuk ke kawasan air terjun seperti biasa berbentuk rumah Sasak. Jaraknya hanya sekitar 100 m dari Pondok Senaru Cottage. Bersama kami ketika itu masuk pula beberapa kelompok pelancong, sebagian turis asing. Harga tiket masuk adalah Rp. 10.000/orang, ini sudah termasuk dalam harga paket tour (foto sebelah kiri atas).
Melewati loket kita diarahkan melalui jalur yang sudah nyaman dengan perkerasan batu. Tapi tetap saja konturnya naik-turun. Dari informasi yang kami peroleh, terdapat setidaknya 500 anak tangga diselingi trek datar di beberapa bagian. Diukur dari lokasi loket masuk, kita akan turun sekitar 40 m ke lokasi Sendang Gile. Perjalanan ke Sendang Gile kami nilai merupakan tracking ringan selama sekitar 15 menit (foto sebelah kanan atas).
Mendekati lokasi Sendang Gile nisacaya kita sudah akan dapat mendengar deru air yang jatuh menimpa sebuah kolam dan bebatuan di bawahnya. Gemuruh sekali. Siap-siap mulai berbasah-basah karena dalam radius sekitar 50 m kita sudah akan terciprat butiran air yang terhempas dari air terjun.
Selain dinamai Sendang Gile, penduduk Senaru menyebut pula air terjun ini 'Batu Ko' atau 'batu kerbau' karena banyaknya batu-batu besar di sekitar lokasi. Ada pula cerita kuno bahwa Sendang Gile adalah tempat mandi bidadari ketika turun ke bumi. Konon, mandi atau membasuh muka di sini akan membuat seseorang setahun lebih muda dari usia sebenarnya.
Hikayat lain menyebutkan bahwa konon nama ini berasal dari kisah seekor singa ganas yang mengganggu sebuah kampung. Penduduk kampung itu menyebutnya 'singa gila' atau 'sengang gile' dalam bahasa setempat. Seorang pemburu yang pemberani mengusir singa itu dan mengejarnya hingga jauh ke dalam hutan, di mana ia menemukan sebuah air terjun. Air terjun itu kemudian dinamainya Sengang Gile, yang lambat laun pelafalannya berubah menjadi Sendang Gile.
Cerita rakyat lain sepertinya merupakan versi dari kisah pemburu singa di atas. Konon seorang pangeran terpisah dari rombongannya dan dikejar oleh seekor singa gila. Pangeran itu kari ke dalam hutan dan bersembunyi di belakang sebuah air terjun yang kemudian dinamai Sendang Gile.
Secara fisik Sendang Gile merupakan air terjun dengan tinggi jatuh total sekitar 31 m dari dasar sungai yang terbagi menjadi 2 tingkatan. Tingkat pertama muncul dari atas tebing hingga menghempas ke dasar cekungan/kolam di bawahnya. Tingkat kedua dihitung dari kolam tersebut, di mana air meluncur ke bawah dan membentuk aliran sungai.
Secara geografis, Sendang Gile berada di ketinggian sekitar 600 m dari permukaan laut.
Pengunjung boleh mandi-mandi di bawah Sendang Gile. Di sekitarnya kami melihat pula fasilitas publik seperti mushalla, toilet, dan beberapa pedagang makanan-minuman ringan.
Sendang Gile berada cukup dekat dengan loket masuk dan relatif sangat mudah dicapai. Setiap pelancong hampir pasti akan menuju Sendang Gile. Tapi untuk terus ke Tiu Kelep, beda ceritanya. Dari Sendang Gile ke Tiu Kelep masih membutuhkan waktu sekitar 40 menit tracking medium dengan medan bervariasi : dari datar hingga medan hutan yang cukup ekstrim. Beberapa pelancong yang kurang menyukai tracking mungkin akan merasa cukup puas dengan Sendang Gile saja. Tetapi kami tidak dong... Tiu Kelep, here we come!
Tiu Kelep
Dari Sendang Gile, kita harus naik kembali menuju tempat kedatangan semula, tetapi tidak naik tangga batu lagi ke atas/menuju loket masuk. Dari percabangan jalan ini kita menyusuri jalan di sisi saluran irigasi, terus masuk ke dalam hutan seperti ditunjukkan oleh foto di bawah.
Terus menyusuri saluran irigasi... sampai di sini medannya masih datar dan relatif mudah dilalui...
Namun selepas itu medan tracking berubah drastis menjadi hutan alami. Pengunjung yang menyukai kegiatan alam bebas tentunya cocok dengan aktivitas menyusuri bebatuan, dan sesekali anak sungai dangkal ini. Kita bisa menikmati pemandangan hutan yang menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani lengkap dengan udara segar dataran tingginya.
Begitu pun kami mendapati bahwa beberapa manula - bahkan seorang di antaranya menggunakan tongkat - tetap bersemangat berjalan dan mampu menembus medan alami ini hingga ke lokasi Tiu Kelep.
Vegetasi dominan di pedesaan Senaru ini adalah pepohonan tropis seperti bajur (Pterocarpus sp.), ipil (Insiya biyuga), sentul (Sondarium), dan jati (Tektona grandis). Meski jalur ini dipadati oleh pohon rindang, kita tak perlu khawatir tersesat karena jalur ke Tiu Kelep ini sebenarnya cukup jelas dan cukup ramai.
Menyeberangi anak sungai dangkal... kami mencatat sedikitnya 3 kali kita mesti merendam kaki hingga kira-kira setengah betis. Dasar sungai kecil yang amat jernih ini adalah bebatuan, jadi mesti ekstra hati-hati menjaga keseimbangan juga ketika melintas agar tidak terjatuh.
Akhirnya, setelah sekian lama berjalan menembus belukar, kami mendengar suara gemuruh di depan... tanda bahwa Tiu Kelep sudah dekat.
Suasana di sekitar lokasi tampak selalu basah dan lembab, tentunya karena terbasahi titik-titik air yang terhempas dari air terjun.
Entah pada rintangan bebatuan yang ke sekian selepas saluran irigasi, kami dapat juga melihat wajah Tiu Kelep di kejauhan.
Percaya deh, segala letih perjuangan tracking medium ke sini langsung sirna, terbayar lunas oleh panorama air terjun terindah dan terbesar di seantero Lombok ini! Wow!!!
Foto di sebelah kiri menunjukkan saat pertemuan pertama dengan Tiu Kelep yang sebelumnya tersembunyi di balik tumpukan bebatuan dan batang pohon mati.
Jarak ke air terjun dari tempat ini kami perkirakan masih lebih dari 70 m, tapi wajah kami sudah mulai terbasahi oleh kabut titik-titik air yang menari-nari di udara.
Tiu Kelep secara fisik jelas lebih besar dari Sendang Gile, sedangkan jika mau jujur Sendang Gile sendiri sebenarnya sudah tergolong air terjun besar.
Tiu Kelep tampak terdiri dari satu air terjun utama, dan beberapa air terjun yang lebih kecil di sekitarnya.
Tinggi jatuh totalnya menurut informasi adalah tak kurang dari 45 m. Artinya sekitar 15 m lebih tinggi dari Sendang Gile. Energi hempasan airnya sangat kuat, mencipratkan butir-butir air yang menyebar ke segala penjuru sembari mengeluarkan suara gemuruh.
Kolam air di bawah Tiu Kelep sebenarnya kurang cocok lagi disebut ceruk karena ukurannya jauh lebih luas dibandingkan kolam di bawah Sendang Gile. Mungkin kolam Tiu Kelep sudah layak disebut danau kecil. Air di kolam ini sangat sejuk, hampir dingin bahkan.
Air tampungan di kolam Tiu Kelep kemudian mengalir ke bawah membentuk anak sungai yang antara lain mengaliri Sendang Gile seperti ditunjukkan pada foto di bawah. Namun menurut pemandu kami kita tidak bisa berepgian dari Sendang Gile ke Tiu Kelep - atau sebaliknya - via sungai ini karena medannya berat dan di beberapa tempat membentuk riam yang cukup curam dan deras. Satu-satunya cara untuk bepergian di anatara keduanya adalah lewat jalan yang kami tempuh.
Tiu Kelep sendiri dalam bahasa Sasak berarti 'kolam tinggi'. Nama ini menurut kami sangat wajar disematkan karena air terjun dan kolam Tiu Kelep memang berada di ketinggian kaki Rinjani.
Kami berada di kawasan hempasan Tiu Kelep ini selama sekitar 1 jam, sibuk berfoto-foto dan mengeksplorasi sudut-sudut lokasi ini yang bisa dijangkau. Kolam di bawah Tiu Kelep pada umumnya tidak dalam, hanya selutut orang dewasa, meski di beberapa tempat sepertinya ada yang lebih dalam. Dasar kolam ini adalah batuan seperti sungai dangkal yang kami seberangi sebelumnya.
Ketika kami bertandang ke sana, tampak cukup banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang juga datang.
Anak-anak sepertinya cukup puas dengan memandangi air terjun dari kejauhan sambil makan pisang goreng hangat yang kami beli di lokasi Sendang Gile. Tempat mereka duduk-duduk cukup terhalang oleh perdu sehingga cipratan air tidak terlalu membasahi pakaian. Sementara jika sudah keluar ke tempat terbuka, dijamin kita sudah akan langsung terhempas kabut air.
Sayangnya ketika itu cuaca mendung. Pemnurut pemandu kami, jika matahari bersinar dan sudut datangnya tepat, kita bisa melihat pelangi di bagian pertengahan hingga puncak Tiu Kelep.
Awan gelap yang kian tebal pula yang memaksa kami untuk mengakhiri kunjungan ke Tiu Kelep.
Perjalanan kembali ke loket masuk jelas membutuhkan perjuangan tersendiri karena kondisi fisik yang sudah cukup terkuras. Dari Tiu Kelep kita menempuh jalur yang sama dengan saat datang hingga ke jembatan saluran irigasi. Dari sini kita bisa menuruni tangga curam 30 undakan tadi, atau menerobos perut bukit lewat terowongan saluran irigasi. Kami memilih opsi kedua yang lebih cepat dan landai dibanding jalur saat kami datang.
Terowongan irigasi ini sebenarnya mudah dilalui. Airnya berkedalaman antara sebetis hingga selutut orang dewasa. Kita bisa berpegangan ke langkan saluran yang ada di sisi kiri-kanan terowongan. Atap terowongan lebih tinggi dari kepala orang dewasa sehingga kita tidak perlu menunduk. Di sini tidak ada lampu, namun kita bisa menggunakan lampu dari HP sebagai penerang.
Meski di beberapa bagian terowongan terdapat lubang tembus ke luar sebagai sumber cahaya alami dan ventilasi, namun secara umum tetap saja udara di dalam sini udaranya tidak sesegar di luar.
Setelah sekitar 10 menit berjalan beriringan perlahan di kegelapan, akhirnya kami keluar juga di sisi lain saluran yang berada dekat Sendang Gile.
Tapi jangan senang dulu... kita masih harus mendaki 500-an anak tangga lagi ke loket masuk, alias setidaknya masih 15 menit tracking mendaki. Kalau dari sini sih tidak ada pilihan jalur lain. Tangga naik ini adalah sati-satunya jalan ke atas. Ayo semangat!
Di jalur ini gerimis ringan mulai turun. Walaupun terasa makin berat saja perjalanan ke atas, namun sedikit demi sedikit toh akhirnya kami sampai juga di loket masuk. Yeay!
Di jalur anak tangga ini terdapat beberapa saung atau tempat landai yang bisa digunakan untuk istirahat sejenak. Tidak perlu memaksakan diri, kalau memang merasa lelah beristirahat saja dahulu. Kami pun setidaknya 2 kali berhenti di tempat-tempat ini.
Tiba kembali di Pondok Senaru Cottage, kami segera berganti pakaian kering di toilet. Cottage ini sebenarnya menawarkan hidangan makan siang di restorannya. Tetapi karena ketika itu sudah sekitar pukul 14 siang dan kami mengejar waktu ke bandara pada malam harinya, untuk menghemat waktu kami memilih membungkus makanan saja dan makan siang di mobil. Ketika itu kami hanya menumpang shalat saja di mushalla cottage.
Perjalanan kembali ke Mataram juga memakan waktu sekitar 3 jam. Kami sudah memperhitungkan bahwa kami seharusnya sudah akan tiba kembali di rumah sekitar waktu maghrib. Jadi masih cukup waktu untuk beristirahat sejenak dan berangkat ke bandara. Setelah menghabiskan makan siang di dalam Innova yang terus melaju kami sempat tertidur... zzzzz....
Bukit Malimbu
Pak Irwan memilih jalur Senggigi dalam perjalanan kembali ke Mataram. Jadi dari pertigaan jalan di Pemenang, Pak Irwan mengambil rute sebelah kanan menyusuri pantai, bukan ke dataran tinggi lewat hutan Pusuk lagi. Malimbu adalah sebuah bukit di tepi pantai yang sebenarnya sangat pas untuk menikmati sunset di Pantai Senggigi karena terletak di bagian barat pulau. Sayangnya karena hari itu mendung maka kami tak mendapatkan sunset yang bagus. Kontur jalan Senggigi juga naik-turun dan berkelok walaupun berada di tepi pantai, karena pantai di sini memang topografinya berbukit-bukit.
Kondisi jalan di jalur Senggigi secara umum baik dan mulus. Di beberapa spot tepi jalan yang populer sebagai tempat foto-foto disediakan jalur khusus untuk memarkir kendaraan seperti foto di atas.
Langit memang tampak kurang bersahabat dengan awan gelapnya, tapi tak mengurangi kecantikan pantai kawasan barat Lombok ini.
Di Bulit Malimbu, kami melihat pedagang mutiara khas Lombok menggelar dagangannya di tepi area parkir kendaraan. Mutiara asli atau imitasi bisa dipilih di sini tergantung budget.
Mutiara asli aneka warna dibandrol paling murah Rp. 50.000 untuk gelang tasbih kecil.
Berbeda dengan mutiara imitasi berbahan dasar plastik made in China yang walaupun tampak amat mirip mutiara asli tetapi hanya dijual Rp. 10.000-an.
Selain pedagang mutiara, di sini kami menjumpai pula penjual kaos Lombok dan kain tenun khas Sasak.
Anak-anak membeli jagung bakar di sini. Lumayan untuk menghangatkan perut setelah hampir 3 jam di dalam mobil.
Pantai Senggigi ternama tampak di kejauhan dari ketinggian Malimbu.
Masih dari ketinggian Bukit Malimbu kita juga bisa melihat ketiga Gili di belahan utara Lombok : Trawangan, Meno, dan Air. Kami memang tdak mengunjungi Gili Trawangan walaupun namanya sudah mendunia karena dengar-dengar turis asing di sini bebas berbikini. Kami memang lebih memilih Gili Nanggu, Sudak, dan Kedis di belahan selatan Lombok yang masih lebih konservatif dan alami.
Jarak Malimbu ke Mataram hanya di kisaran 12 km. Walaupun lalu lintas mendekati kota sore itu cukup padat, alhamdulillah perjalanan kami Allah lancarkan. Kami sudah tiba sebelum maghrib di rumah, tepat seperti yang kami harapkan. Pembayaran sisa biaya paket tour kami lakukan di rumah, langsung kepada Pak Irwan.
Walaupun demikian, menurut kami bepergian ke spot Senaru (apalagi Sembalun) yang cukup jauh dan membutuhkan waktu tempuh lama sebaiknya tidak diletakkan di hari terakhir menjelang kepulangan ke bandara. Bisa saja sebenarnya terjadi force majeur sehingga perjalanan kita terhambat dan kita akan mengalami kesulitan dengan pihak maskapai.
Ada baiknya merencanakan kunjungan ke lokasi wisata di seputaran Mataram atau paling jauh di lingkup Kabupaten Lombok Tengah saja di hari terakhir agar kita lebih mudah mengatur waktu. Jika kita mau pun, kita bisa minta lokasi drop off di Bandara, langsung dari spot wisata di Lombok Barat/Tengah. Dari deretan pantai-pantai di sisi selatan Lombok misalnya, mau tak mau memang kita harus melewati Jl. Bypass Bandara untuk kembali ke Mataram.
Satu lagi, 3 hari ternyata sangat-sangat-sangat tidak cukup untuk menjelajahi Lombok, mengingat banyaknya tujuan wisata yang patut disambangi! Kami menghabiskan 3 hari sementara cukup banyak spot lain yang belum terjamah.
Berarti in sya Allah kami akan kembali lagi ke Lombok... yeay!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar