Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Selasa, 29 Januari 2019

Jalan-Jalan ke Dusun Bambu, Lembang

Kami berangkat dari Bumi Alam Hijau Bekasi setelah shalat subuh (disarankan sudah berangkat paling lambat pukul 06:00) pada awal Februari 2019 lalu.
Dusun Bambu sendiri adalah lokasi wisata bertema nature, khususnya alam dataran tinggi Priangan, dengan balutan budaya khas Sunda yang kental.
Tempat ini bisa dikatakan one stop bagi seluruh anggota keluarga... Anak-anak hingga orang dewasa akan menemui lokasi atau ragam aktivitas di Dusun Bambu yang sesuai bagi golongan usia mereka.
Penamaan 'Bambu' secara konsisten kian menguatkan positioning ini, mengingat bambu merupakan suatu bahan yang tak dapat dipisahkan dari kebudayaan tradisional Sunda.
Bambu digunakan mulai dari bahan pembuatan rumah, ornamen dan perabot rumah tangga, alat-alat dapur, hingga ke seni angklung dan seruling khas Priangan.

Terdapat setidaknya 3 rute dari Bekasi ke lokasi Dusun Bambu di bilangan Kec. Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, dengan waktu tempuh seluruh opsi rute sekitar 3 jam. Pilih keyword Google Maps lokasi tujuan : 'Dusun Bambu Lembang' :

Opsi 1 : Keluar tol di exit Cimahi (sebelum exit Pasteur), via Kota Cimahi - Jl. Kol. Masturi
Opsi 2 : Keluar tol di exit Pasteur, via Setiabudi, Jl. Raya Lembang (lewat kampus UPI) - Jl. Kol. Masturi 

Opsi 3 : Keluar tol di exit Padalarang, via Jl. Ciloa - Jl. Cimenteng - Jl. Kol. Masturi

Ketiga opsi rute tersebut akan membawa kita ke Jl. Kolonel Masturi sebagai akses utama ke Dusun Bambu. Kami ketika itu memilih rute opsi 3. Kondisi medan opsi 3 selepas exit Padalarang dan masuk ke jalur Jl. Ciloa berupa jalan aspal yg relatif mulus, lebarnya masih sangat memadai untuk 2 mobil jalan berdampingan. Kontur medan ini naik-turun, dengan beberapa trek menanjak cukup curam. Tapi secara keseluruhan rute ini relatif mudah dilalui oleh pengemudi rata-rata.
O ya... meski sering mendapat embel-embel 'Lembang', sebenarnya Dusun Bambu berada di wilayah Kec. Cisarua, bukan di Kec. Lembang. Tapi memang keduanya sama-sama berada di Bandung Utara sih, sehingga mungkin orang-orang lebih klik dengan penamaan Lembang...

Jalan masuk ke lokasi Dusun Bambu dari Jl. Kol. Masturi ditandai oleh Baliho Daun Bambu dan Gapura bertuliskan 'KOMANDO' seperti foto di bawah. Teruslah melajukan kendaraan ke lokasi Dusun Bambu sekitar 400-500 m melewati gapura.

Dari akses masuk tersebut, lokasi Dusun Bambu adalah di sebelah kanan jalan. Kami melewati loket pengambilan tiket mobil, lalu menuju ke area parkir mobil. Di loket masuk kita belum perlu langsung membayar, baru saat pulang dan melewati loket exit lah kita akan dimintai uang parkir.
Biaya parkir mobil di sini adalah Rp. 15.000 seperti foto tiket parkir di sebelah kanan yang berlaku seharian.

Denah lokasi Dusun Bambu lengkap adalah seperti peta di bawah. Kontur kawasan Dusun Bambu sebagaimana terlihat pada peta tersebut adalah meninggi ke arah belakang. Kami ketika itu memarkir mobil di Area Parkir P1 (parkiran bawah).
Kapasitas kendaraan (mencakup baik bus, mobil pribadi, maupun sepeda motor) di Area P1 terbilang sangat besar sebenarnya. Andaikata Area P1 ini sampai penuh pun, kita bisa menuju Area P2 (parkiran atas) untuk menyimpan kendaraan.
Tetapi tentu saja akan lebih nyaman parkir di A1 karena lokasinya lebih dekat ke pintu masuk Dusun Bambu di mana mobil shuttle tersedia untuk membawa pengunjung ke dalam.


Suasana jalan akses yang hijau dan asri di sekitar pintu masuk Dusun Bambu diperlihatkan oleh foto di bawah. Ketika itu berdekatan dengan momen Imlek, sehingga pernak-pernik berwarna serba merah cukup dominan di sana-sini.

Dekat pintu masuk terdapat tugu selamat datang raksasa yang tentunya terbuat dari bambu (foto kiri bawah). Sebelum masuk, pastikan kita tidak membawa makanan-minuman karena ada dendanya! (foto kanan bawah).

Pintu masuk Dusun Bambu ditunjukkan oleh foto di bawah. Dari pintu ini kita harus belok ke arah kiri untuk menuju loket tiket masuk. Toilet berada di arah kanan lalu turun ke bawah dengan tangga.

Harga tiket masuk adalah Rp. 25.000/orang, sedangkan anak-anak yang bertinggi badan masih di bawah 80cm tidak dikenakan biaya. Loket tiket ini (foto sebelah kiri) buka pukul 08:00 - 20:00, sementara jam operasional Dusun Bambu sendiri adalah pukul 09:00 - 21:00.
Jangan lupa untuk menyimpan baik-baik tiket masuk Anda (foto sebelah kanan), karena saat keluar nanti, 2 tiket masuk dapat ditukar dengan 1 bibit tanaman yang dapat dibawa pulang ke rumah (selama persediaan masih ada lho, ya...).
Ketentuan lain mencakup larangan membawa hewan peliharan dan tikar/alas duduk atau sejenisnya ke dalam area Dusun Bambu.

Dari loket masuk, pengunjung diarahkan untuk menyusuri lorong menuju 'halte' mobil shuttle seperti diperlihatkan oleh foto di atas. Mobil shuttle itu adalah Grandmax yang dimodifikasi baknya agar dapat ditumpangi dengan cukup nyaman.

Di seberang halte mobil shuttle terdapat model sawah tradisional Sunda yang bisa jadi sudah sulit dijumpai anak-anak jaman now. Lumayan sih untuk nostalgia suasana di kampung dulu, saat kami masih kecil dan mainnya ya di mana lagi kalau bukan di sawah atau lapangan sekitar rumah... Padinya ketika itu tampak tumbuh subur seperti ditunjukkan oleh foto di atas dan di bawahnya.


Di atas area sawah tadi terdapat 'lorong bambu' yang menarik juga untuk dijadikan latar berfoto ria (foto di bawah).

Setelah semua tiba, kita masuk ke dalam Dusun Bambu bersama-sama. Tiket masuk sudah include iuran rihlah, jadi tidak perlu membeli tiket sendiri lagi.
Kita akan turun dari mobil shuttle di bundaran dengan landmark berupa tugu bambu mirip yang berada di pintu masuk - meski ukurannya lebih kecil - seperti foto di bawah. Bundaran ini berada di depan Kampung Layung.

Dari bundaran ini kita sudah dekat dengan spot foto utama Dusun Bambu yaitu danau di dekat restoran sunda Purbasari berada. Kita juga bisa naik perahu Sampan Sangkuriang berkeliling danau dengan santai. Foto-foto seputaran danau ditunjukkan di bawah...





Lokasi foto-foto sejatinya adalah semacam anjungan berbentuk lingkaran seperti foto di atas. Rangkanya berupa konstruksi baja dengan lantai berbahan kayu keras yang masih tampak kuat. Tampaknya cukup kokoh untuk dinaiki banyak pengunjung dengan aman, karena kami tidak melihat ada papan informasi berapa maksimum jumlah pengunjung yang boleh naik ke anjungan ini secara bersamaan.
Sekali lagi karena naunsa imlek, maka dekorasi utama di anjungan ini saat itu adalah pohon mei hwa buatan, dan beberapa bunga teratai apung di sekelilingnya..
Di pinggiran anjungan sebenarnya terdapat pula teratai hidup yang ketika itu tengah mekar berbunga.
Budget yang akan terkuras untuk menyewa saung-saung resto Purbasari yang tampak mengelilingi sisi danau di seberang anjungan memang cukup tinggi... jadi ketika itu kami tidak menanyakannya lebih detil. Kapasitas tiap saung sekitar 6 orang.
Lapangan rumput berdesain terasering di atas danau ketika itu tampak didekorasi uang-uang kepeng tiongkok kuno yang tentunya tak akan dilewatkan para penggemar selfie...

Naik sedikit dari lokasi tepian danau, kita akan menjumpai cafe Burangrang (foto di bawah), yang masih tampak sepi pagi itu.

Di lantai bawah cafe Burangrang terdapat beberapa stand jajanan, trek naik ke sky bridge tempat resto Lutung Kasarung yang bergaya sarang burung berada, dan tentunya arena permainan anak Rabbit Wonderland.

Trek lain ke sky bridge
Suasana sky bridge
Dinding resto Lutung Kasarung tampak berupa anyaman ranting-ranting pohon berbentuk bulat yang berada di belakang kedua model. Sejatinya anyaman ranting itu sengaja dipasang menyelimuti ruangan makan berkapasitas 4 orang. 
Rabbit Wonderland adalah arena permainan anak berbayar (Rp. 35.000 per orang) yang populer di Dusun bambu. Anak-anak biosa bermain dengan kelinci-kelinci gemuk yang tinggal di sini serta memberi makan hewan-hewan lucu tersebut. Labyrinth (foto-foto di bawah) sesuai namanya berupa labirin mini untuk anak-anak.



Jika haus atau butuh jajanan lain, disarankan berbelanja di Pasar Khatulistiwa saja (foto-foto di bawah) karena harganya murah meriah, alias setara dengan harga-harga di toko swalayan dekat rumah kita. Memang banyak juga kios-kios lain di dalam Dusun Bambu yang menjual jajanan, tetapi harganya ya lebih mahal seperti umumnya harga di tempat wisata.




Selain menyediakan menu-menu makanan yang bisa disantap di tempat, Pasar Khatulistiwa juga menjual aneka suvenir.

Mushalla berada di sebelah utara Pasar Khatulistiwa. Konturnya sedikit menanjak ke arah kanan. Kapasitasnya cukup besar. Di Mushalla Dusun Bambu ini ruang ibadah pria sudah didesain terpisah dari wanita sehingga sesuai sunnah.
Jalan di depan mushalla dilalui mobil shuttle. Jadi jika setelah shalat kita hendak langsung menuju pintu keluar, kita bisa menunggu mobil yang lewat dan menumpang hingga di depan. Tapi jika memilih berjalan kaki saja pun tak mengapa, karena kontur tanah menuju ke arah luar sebenarnya menurun.

Sementara jika kita ingin menuju Taman Bunga Arimbi, dari Pasar Khatulistiwa kita mengambil jalan yang agak menanjak ke arah kiri.
Yang cukup khas dari Taman Bunga Arimbi adalah penataan dan cara penanaman vegetasi di sini yang diatur berselang-seling sesuai warnanya. Dari kejauhan akan tampak indah layaknya jalur-jalur pita berwarna-warni (foto di samping kanan).
Selain lanskap taman bunga yang digarap dengan serius, kebersihan area taman ini pun kami acungi jempol... Kami tak mendapati sampah berserakan (biasanya pembungkus jajanan) atau dedaunan kering berguguran.


Di sebelah kiri Taman Bunga Arimbi kita menjumpai lapangan luas yang ditutup rumput sintetis seperti di Alun-Alun Bandung bernama Tegal Pangulinan. Lapangan ini memanjang arah utara-selatan, dan dapat dipergunakan secara gratis oleh pengunjung. Ketika itu bagian utara dari Tegal Pangulinan tampak sedang disewa oleh sebuah perusahaan untuk acara Family Gathering (foto di bawah). Jadi pengunjung lain hanya bisa menggunakan bagian selatan lapangan ini.

Saat itu bagian selatan lapangan tampak menyediakan arena trampolin anak Bamboo Jumpark (berbayar, kami lupa tepatnya berapa tapi tidak mahal). Selain itu ada juga karusel, kereta-keretaan, serta beberapa permainan anak berbayar lain (foto-foto di bawah).


Tegal Pangulinan menjadi spot terakhir kami di Dusun Bambu. Setelah shalat zuhur, kami meninggalkan tempat wisata ini pada sekitar pukul 14:00.

Anggrek bulan dgn vas kayu isi 6 tangkai, detil klik di sini...
Jika Anda memilih opsi menginap di Bandung, maka kawasan seputar Jl. Cihampelas cukup kami rekomendasikan.
Alasan pertama adalah letaknya yang relatif tidak jauh dari Lembang (walaupun jika qadarullah sedang macet maka tetap butuh watu lama untuk sampai di Cihampelas).
Faktor berikutnya tentunya karena sangat banyak opsi kegiatan jalan-jalan lain yang dapat kita lakukan di sini, terutama jika Anda ingin berburu pakaian.

Selain berbelanja pakaian, Jl. Cihampelas pun menyediakan banyak tempat makanan yang maknyuss, ber-sky walk di Teras Cihampelas (foto di bawah), serta aneka toko oleh-oleh khas Paris van Java.


Rabu, 02 Januari 2019

Jalan-Jalan ke Dieng : Batu Pandang Ratapan Angin dan Dieng Plateau Theater


9. Batu Pandang Ratapan Angin (BPRA)

Setelah checkout dari Homestay Cahaya di Desa Sembungan, kami berpindah ke lokasi berikutnya yaitu BPRA yang berjarak sekitar 5 km dari Sembungan. Mengendarai mobil hanya butuh sekitar 15 menit untuk tiba di area parkir BPRA yang sebenarnya menyatu dengan spot Dieng Plateau Theater (DPT). Praktis kita bisa sekaligus masuk ke 2 lokasi ini tanpa harus repot memindahkan kendaraan.
Menurut catatan, kami tiba di area parkir DPT pada sekitar pukul 09:20. Ketika itu belum terlalu banyak mobil yang masuk ke parkiran DPT yang sebenarnya tidak terlalu luas itu, sehingga kami masih cukup leluasa memilih tempat parkir. Dari sini kita bisa langsung menuju ke gedung DPT terlebih dahulu, atau naik tangga berjarak sekitar 50 m ke sebelah kanan area parkir menuju pos masuk BPRA. Ketika itu kami memilih untuk menuju BPRA duluan...

Tiket masuk BPRA adalah sebesar Rp. 10.000 per orang seperti scan di sebelah kiri.
Konsep spot BPRA adalah wisata alam berupa pemandangan menakjubkan Telaga Warna dan Telaga Pengilon dilihat dari ketinggian sekitar 2010 m DPL arah selatan kedua danau kecil tersebut.
Selain jualan utama berupa pemandangan telaga kembar tersebut, pengelola tampaknya sudah memikirkan tambahan atraksi buatan berupa spot-spot selfie di sepanjang trek naik ke cadas di puncak bukit yang diberi nama BPRA tersebut,
Flying Fox BPRA @ Rp. 20.000 per orang, serta spot yang belakangan juga populer sebagai salah satu tempat berburu matahari terbit yaitu Jembatan Merah Putih.

Anggrek bulan isi 6 tangkai dengan vas kayu, detil klik di sini...
Jembatan Merah Putih merupakan sebuah jembatan gantung sepanjang sekitar 50 m yang menghubungkan puncak-puncak 2 buah bukit tak jauh dari BPRA. Saking populernya, pada high season kita harus antri lama untuk dapat berfoto di atas Jembatan Merah Putih berlatar belakang telaga.

Waktu itu, setelah membeli tiket masuk, kami sempat mampir ke warung yang berada di dekat loket, sekedar untuk minum teh hangat dan penganan ringan. Harga di warung ini ini tergolong sangat murah meriah.
Sekitar pukul 10:00, barulah kami menaiki trek berupa tangga ke ketinggian bukit untuk menuju ke BPRA. Jaraknya sih sepertinya hanya berkisar 100-an m, tetapi karena konturnya menanjak cukup curam seperti ditunjukkan 2 foto di bawah, maka membutuhkan waktu tak kurang dari 10 menit untuk tiba di atas.

Asal mula penamaan 'ratapan angin' menurut petugas setempat adalah suara berupa desiran atau siulan angin yang bertiup di sekitar cadas yang menjulang dikelilingi pepohonan serta belukar. Sayangnya pada saat kami berada di atas sana, angin sedang malas bertiup sehingga sama sekali kami tak dapat merasakan sensasi ratapan angin yang menjadi nama spot wisata alam ini.
Ketika itu langit pagi sangat cerah. Lagi-lagi kami menemui sedikit kendala saat mengambil foto ke arah telaga, karena sudut datang matahari berada nyaris tepat di belakang objek BPRA. Sedikit tricky untuk membuat hasil foto kami saat itu tidak over exposed.
Sepertinya pada bulan Juli seperti saat kunjungan kami itu, waktu yang lebih ideal untuk mendapatkan foto BPRA terbaik justru pada sore hari, di mana matahari akan ada di depan objek sehingga langit akan tampak lebih biru dan indah...
Tadinya kami sempat penasaran bagaimana cara mengambil foto khas BPRA seperti yang kami ambil ketika itu? Dan mengapa nyaris seluruh foto BPRA yang kami lihat sudutnya serupa? Ternyata jawabannya sangat mudah : karena ternyata pihak pengelola sudah membangun suatu anjungan beton bagi fotografer sedikit di atas posisi objek yang berada di atas cadas batu pandang. Fotografer naik ke atas anjungan, dan objek foto naik ke atas BPRA... itulah mengapa sudut fotonya selalu tak jauh berbeda...  


Cadas batu pandang itu sudah diberi undakan untuk memudahkan model menaikinya, bahkan di sebelah kanan bawah foto tampak telah pula dipagari agar aman bagi pengunjung. Jadi jangan dibayangkan bahwa model harus bersusah-payah mendaki cadas tersebut layaknya pemanjat tebing... pengelola sudah memudahkan dengan fasilitas-fasilitas ini. Begitu pun, tetap berhati-hati dan jaga keselamatan karena potensi terjatuh ke bawah lereng tetap ada. Jangan berdesakan atau berebutan saat menunggu giliran naik ke BPRA.

Selain berlatar belakang langit cerah, kemungkinan lain cuaca saat datang ke BPRA adalah mendung atau bahkan berkabut, mengingat Dieng adalah daerah pegunungan yang sangat mungkin mengalami kabut. Hasil foto di BPRA saat berkabut adalah seperti contoh foto di sebelah kanan (sumber : www.wisatadieng.net). 
Suasananya memang sangat berbeda, tergantung pada Anda, suka yang mana...


Kami berada di seputaran puncak bukit dekat batu pandang hingga sekitar pukul 10:30. 
Dalam perjalanan turun kembali untuk menuju Dieng Theater, kami melihat bahwa di kiri-kanan trek menanjak ini sesekali terlihat pohon mirip pepaya seperti foto di sebelah kiri. Ternyata itulah pohon carica (baca : karika) yang kini terkenal sebagai buah segar atau manisan oleh-oleh khas Dieng.
Pohon carica (Vasconcellea cundinamarcensis) di sini tampak subur, konon karena lingkungan Dieng cocok sebagai tempat hidup tumbuhan yang sebenarnya berasal dari pegunungan Andes, Amerika Selatan ini. Pepaya gunung ini dibawa oleh kolonial Belanda ke Dieng pada masa menjelang Perang Dunia II.


10. Dieng Plateau Theater (DPT)
Spot yang diresmikan oleh - ketika itu - Presiden SBY pada April 2006 ini merupakan objek wisata ber-genre edukasi. Pengunjung akan disuguhi film dokumenter berdurasi 23 menit mengenai sejarah, kondisi geografis, budaya, serta hal-hal lain tentang Dataran Tinggi Dieng.
Desain bangunan teater ini cukup unik dan khas, seperti ditunjukkan oleh foto di bawah.

Teater berkapasitas sekitar 100 orang ini memiliki jam operasional cukup panjang, yaitu mulai pukul 07:00 hingga 18:00 setiap harinya. Tergantung pada preferensi Anda, namun ketika itu anak-anak kami kurang berminat untuk menonton film dokumenter sehingga kami tidak ikut membeli tiket masuk teater walaupun cukup murah yaitu hanya Rp. 4000 per orang.
Sebenarnya bagi Anda yang datang ke Dieng lewat kota Wonosobo dan melewati Tol Garung, Anda akan dikenai Tiket Masuk Kawasan Dieng seharga Rp. 10.000 per orang yang sudah mencakup pula tiket masuk Dieng Theater ini, sehingga Anda tidak perlu lagi membeli tiket tersendiri di loket teater. Namun karena kami ketika itu datang lewat arah Kebun Teh Tambi, kami tidak melewati Tol Garung sehingga tidak memiliki Tiket Kawasan. Jika kami ingin masuk teater maka harus membeli tiket Rp. 4000 itu.

Saat itu sebenarnya loket masuk teater cukup lengang seperti foto di samping kiri. Jika ingin masuk kami harus menunggu batch yang waktu itu sedang sekitar separuh jalan menonton film di dalam.
Karena tidak jadi masuk ke dalam teater, kami beralih ke wisata yang cukup ekstrim di halaman teater. Anak-anak rupanya lebih suka pilihan ini ketimbang film dokumenter.
Di sini tersedia 2 macam 'permainan ketinggian' yaitu Sepeda Terbang dan Flying Fox. Pengelola 2 wisata ekstrim ini adalah Catstones Dieng Foundation.
Sepeda Terbang (Flying Cycle) sebenarnya lebih ke spot foto sih... Cukup ekstrim karena berupa sepeda yang dijalankan di atas kabel baja yang merentang sejauh 107 m. Tubuh pengunjung harus diikat dengan safety harness agar aman. Beban maksimum yang diijinkan adalah 100 kg. Lintasan Sepeda Terbang ini diklaim sebagai yang pertama di Jawa Tengah.
Harga tiket Sepeda Terbang adalah Rp. 25.000 per orang, sudah termasuk biaya fotografer profesionalnya.
Sementara wahana Flying Fox Dieng ini menurut data pengelola merupakan flying fox dengan lintasan terpanjang di Jawa Tengah, tepatnya sepanjang 350 m. Beban maksimal yang mampu ditanggung sistem tali pengaman di sini mencapai 250 kg.
Dengan kemiringan lintasan sekitar 40 derajat, kita akan meluncur ke titik finish di bawah selama sekitar 48 detik. Sangat lama untuk ukuran flying fox...
Harga tiket Flying Fox Dieng adalah Rp. 35.000 per orang, sudah tremasuk biaya transportasi dengan sepeda motor dari titik akhir di bawah kembali ke lokasi start di Dieng Theater.

Sepede Terbang Dieng

Flying Fox Dieng
Setelah menjajal Flying Fox, kami meninggalkan area Dieng Theater untuk pindah ke lokasi selanjutnya yaitu Telaga Warna...