Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Kamis, 15 Juni 2017

Jelajah Lombok Hari Kedua : Desa Sade, Pantai Kuta - Mawun - Selong Belanak

Hari kedua di Lombok, dari kota Mataram kami mengambil rute ke arah selatan menuju desa adat Sasak Sade, lalu terus ke barisan pantai di selatan pulau. 
Sebenarnya tersedia banyak sekali pantai cantik di sisi selatan pulau ini yang siap untuk dijelajahi. Jika Anda memiliki waktu cukup longgar, maka dua-tiga hari pun mungkin belum cukup... Apalagi kami yang ketika itu praktis hanya punya waktu sehari. Maka kami memutuskan untuk hanya bertandang ke tiga pantai saja di antaranya yaitu Kuta Lombok, Mawun, dan Selong Belanak.
Karena hari itu adalah hari Jum'at, maka kami pun tak lupa mengalokasikan waktu untuk sahalat Jum'at di salah satu spot tujuan.

Peta perjalanan hari kedua kami : looping ke bagian selatan pulau.

Desa Sade
Dari Kota Mataram kami start sekitar pukul 8.00 mengambil rute melewati Bandara Praya ke arah tenggara. Hanya butuh sekitar 50 menit kami sudah tiba di lokasi Desa Sade yang terletak di sebelah kiri Jalan Kuta Lombok. Perlu diperhatikan bahwa sekitar 2 km sebelum Desa Sade, di sebelah kanan jalan terdapat Desa Ende yang juga menjadi tujuan wisata budaya. Namun kami hanya singgah ke Desa Sade.

Foto gerbang masuk ke Desa Ende (sumber : streetview Googlemaps)

Parkir kendaraan Desa Sade terdapat di sebelah kanan (barat) jalan. Di sini terdapat spot selfie populer Desa Sade berupa landmark berbentuk rumah Sasak yang sering kami jumpai di web. Kita kemudian harus menyeberang jalan untuk memasuki Desa Sade. Tidak ada tarif tiket khusus untuk mengunjungi Desa Sade, wisatawan hanya diminta untuk mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan sukarela untuk dana desa.

Landmark bertuliskan 'Welcome to Sasak Village Sade, Rambitan, Lombok' yang populer di kalangan traveler.

Gapura masuk ke Desa Sade yang juga berbentuk rumah Sasak, terdapat di sisi timur jalan.

Suasana hangat dan ramah kami jumpai sejak dari saung yang difungsikan juga sebagai balai pertemuan warga, yang berada tepat setelah melewati Gapura Desa. Jalan desa tampak bersih, demikian pula kondisi keseluruhan desa secara umum.

Buku tamu dan kotak sumbangan dana desa ditempatkan di atas sebuah meja yang berada di ujung saung (foto sebelah kiri). Kami mengisi buku tamu sembari membaca beberapa data pengunjung sebelum kami yang ternyata memang beralamatkan asal kota-kota seluruh Indonesia, bahkan manca negara.
Sekali lagi tidak dipatok tarif khusus. Sumbangan dana desa bisa berapa saja alias seikhlasnya.
Sade adalah salah satu dusun di Desa Rambitan, Pujut, Kabupaten Lombok Tengah yang terkenal sebagai tujuan wisata internasional karena kegigihan penduduknya dalam mempertahankan adat Suku Sasak. Awalnya memang berkembang dari informasi mulut ke mulut para traveler, Desa Sade yang kian ternama pun akhirnya mendapat dukungan penuh dari Dinas Pariwisata Lombok Tengah sebagai desa wisata andalan.
Desa Sade seluas sekitar 6 hektar ini dapat dikatakan merupakan cerminan suku asli Sasak Lombok menyusul teguhnya penduduk desa ini memegang teguh keaslian desanya. Meski terletak tepat di sisi jalan raya beraspal mulus dan derasnya pembangunan via Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Desa Sade tetap mampu menyuguhkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok terutama lewat desain rumah tradisional yang hingga kini masih dihuni.
Foto lumbung padi di sebelah kanan bawah bisa menjadi contoh desain bangunan tradisional yang masih digunakan oleh penduduk Sade. Bangunan lumbung padi ini sendiri disebut Berugaq oleh warga Sade.
Atap bangunan berbahankan ijuk atau rumbia yang sebenarnya memang cocok untuk bangunan daerah tropis, mengingat bahan ini tidak menyebabkan udara di dalam rumah pengap/panas, tetapi cukup baik pula dalam menahan kebocoran air hujan.
Rangka dan reng atap menggunakan bahan bambu yang disatukan satu sama lain dengan cara diikat alias tanpa paku.
Dinding bangunan terbuat dari anyaman bambu yang juga bersifat tidak panas untuk rumah di daerah tropis.
Sedikit berbeda untuk lantainya, jika lumbung Berugaq di samping kanan berupa panggung dengan lantai dari rangka bambu, maka rumah tinggal bukanlah berdesain panggung, melainkan rumah tapak yang langsung beralaskan tanah. Bagian bawah lumbung walaupun tidak luas ternyata sering digunakan sebagai tempat berkumpul/duduk-duduk oleh warga.
Orang Sasak menyebut rumah sebagai 'bale'. Terdapat setidaknya 7 jenis bale berdasarkan fungsinya yaitu : Bale Tani, Jajar Sekenam, Bale Bonter, Bale Beleq, Bale Berugaq, Bale Tajuk, dan Bale Bencingah.
Di Sade terdapat 152 kepala keluarga yang tinggal turun temurun di sini. Dulu warga Sade menganut Islam Watu Telu, yaitu yang hanya mendirikan shalat 3 kali sehari. Namun seiring dengan da'wah sunnah yang kian meluas, penduduk Sade sudah meninggalkan Islam Wetu Telu dan beralih melaksanakan Islam sepenuhnya sesuai syariat Nabi Muhammad SAW.
Ada kebiasaan unik warga Sade yaitu mengepel lantai tanah bale mereka dengan kotoran kerbau. Kebiasaan ini muncul sejak plester semen belum dikenal, dan masih bertahan hingga sekarang. Walaupun sebagian warga Sade sudah memplester lantai rumahnya dengan semen, tetapi kebiasaan mengolesi kotoran kerbau masih dilakukan. Konon cara ini membuat nyamuk tak mau masuk ke dalam rumah, sekaligus membuat rumah lebih hangat di malam hari. Secara fisik, campuran kotoran kerbau membuat tanah menjadi lebih liat dan mantap untuk dipijak. Meski kotoran kerbau tersebut tak dicampur dengan bahan apa pun selain sedikit air, tetapi di dalam rumah tak ada bekas bau yang tercium!
Rumah Sade memiliki satu pintu depan yang ukurannya lebih kecil dibandingkan pintu rumah biasa. Tingginya hanya seukuran tinggi orang dewasa, jadi pas kepala kita, bahkan mungkin lebih rendah lagi. Orang yang masuk ke dalam rumah biasanya harus membungkuk agar kepalanya tidak membentur.
Ukuran rumah Sasak adalah sekitar 8x6m, yang disekat menjadi 2 ruangan yaitu bale luar dan bale dalam. Bale luar adalah tempat menerima tamu sekaligus kamar tidur laki-laki. Bale dalam letaknya di belakang bale luar dan dihubungkan dengan 3 anak tangga. Terdapat pintu masuk ke bale dalam yang ukurannya lebih kecil lagi, kira-kira hanya setinggi 1m. Di bale dalam ini terdapat tungku masak dan kamar tidur bagi wanita. Bale dalam digunakan pula untuk melahirkan bayi suku Sasak. Bale dalam tidak berjendela.
Penghidupan warga Sade selain bertani saat ini terdongkrak pula oleh pariwisata. Wanita-wanita Sade sejak dahulu terkenal sebagai pembuat kain tenun Lombok yang handal. Mereka sampai saat ini masih menggunakan alat tenun tradisional. Membutuhkan waktu lama untuk membuat sehelai selendang tenun Lombok dengan cara ini. Tetapi justru di situlah uniknya. Kain tenun Sade dibuat manual sehingga unik dan berkualitas tinggi. Kain-kain tenun itu dipajang di rumah-rumah tinggal warga yang bagian depannya dijadikan showroom seperti ditunjukkan oleh foto di sebelah kiri atas, serta workshop menenun yang dapat disaksikan langsung oleh pelancong yang berkunjung ke sini. Menarik sekali!


Selain kain tenun Lombok, aneka suvenir semacam kalung, gelang, hiasan rambut, hingga pakaian dijual pula di Sade. Desa Sade tentunya akan menjadi spot wisata yang menarik terutama bagi pelancong yang memiliki ketertarikan pada aspek budaya dan kehidupan manusia.


Pantai Kuta Lombok
Hanya butuh waku kurang dari 20 menit untuk mencapai Pantai Kuta dari lokasi Desa Sade. Kuta terletak di semacam teluk, sehingga kita bisa melihat 'pagar' bukit melingkupi sisi kanan-kiri pantai. Landmark Kuta Lombok yang terkenal tentunya menjadi penanda bahwa kita sudah tiba, sekaligus spot foto populer bagi wisatawan.
Tiket masuk ke sini adalah Rp. 10.000/mobil kecil, sudah termasuk parkir mobilnya. Kita membayar langsung kepada petugas di area parkir. Terdapat area parkir mobil di luar pagar, atau kita pun bisa juga masuk ke dalam jika sedang tidak penuh tentunya.

Landmark Pantai Kuta Lombok yang pagi menjelang siang itu benar-benar top cerahnya.

Pantai Kuta Lombok berkontur landai sehingga cukup aman bagi anak-anak. Pantai ini memiliki pasir putih dengan tekstur campuran antara kasar hingga halus. Sebagian butirannya berupa pecahan terumbu berukuran relatif besar-besar sehingga agak kurang nyaman untuk bermain-main tanpa alas kaki di pasirnya. Namun demikian jika menggunakan alas kaki pun kadang butiran kasar ini justru terselip di antara telapak kaki dan permukaan atas alas kaki. Tetapi jika sudah nyebur ke laut, hal pasir bertekstur kasar ini sudah tidak lagi menjadi masalah...

Gugusan cadas di Pantai Kuta Lombok dengan arah pandangan ke barat.

Pantai Kuta Lombok digunakan pula untuk aktivitas parachute surfing, alias berselancar air dengan parasut sebagai tenaga penariknya. Kami menyaksikan beberapa parachute surfer sedang beraksi di pantai bagian barat. Kadang aktivitas ini disebut pula kite surfing.

Gugusan cadas yang sama dengan arah pandangan ke laut lepas di selatan.

Bongkah cadas dengan sebatang pohon yang tumbuh di antaranya ini tampaknya juga menjadi spot foto incaran para pelancong...

Pantai Kuta Lombok dengan arah pandangan ke timur.

Di sepanjang Jl. Pariwisata Pantai Kuta - tepat di tepian pantai - bertebaran homestay, hotel, restoran, ATM, toko swalayan, serta penyedia jasa selancar dan aktivitas pantai lain. Fasilitas-fasilitas ini tentunya mempermudah wisatawan yang bertandang ke sini.

Landmark lain Pantai Kuta Lombok yang juga populer : Kuta Mandalika. Tak jauh dari landmark ini terdapat pintu masuk bagi mobil yang ingin parkir di area dalam pagar. Tadinya kami memarkir mobil di luar pagar, tetapi karena kemudian ingin duduk-duduk di salah satu saung yang berada di dalam pagar, maka kami pun memindahakan mobil ke dalam.

Sembari menunggu bapak-bapak melaksanakan shalat Jum'at, kami memilih bersantai di saung yang tersedia di sepanjang Pantai Kuta. Cukup banyak anjing liar berkeliaran di sini, tapi mereka tidak mengganggu. Beberapa pedagang suvenir (kaos, kain tenun, dan aksesoris semacam gelang) menghampiri kami di saung untuk menawarkan dagangan. Setelah bapak-bapak kembali dari masjid, kami bersantap siang di saung ini.



Bapak-bapak melaksanakan shalat Jum'at di Masjid Jami' Tambihul Ghafilin yang berada di sisi barat Jl. Raya Kuta, tak jauh dari lokasi Pantai Kuta.
Kami sebenarnya sudah melewati masjid ini ketika baru saja datang ke Pantai Kuta dari arah Desa Sade.
Masjid ini berukuran cukup besar sebagaimana umumnya masjid di seantero Lombok yang umumnya memang megah dan bagus-bagus.
Selain orang Indonesia, suami berkata bahwa ada orang bule pula yang menunaikan shalat Jum'at bersama ketika itu di Tambihul Ghafilin. 
Tampak bangunan masjid pada foto di sebelah kanan atas (sumber foto : streetview Googlemaps).

Kami memang sengaja tidak nyebur di Pantai Kuta ini, hanya sebatas membasahi kaki saja.
Pertama karena agak repot terpotong waktu shalat Jum'at, dan kedua karena setelah spot ini kami masih akan menuju pantai lain di sisi selatan pulau. Agak repot juga kalau sudah basah-basahan di spot pertama.
Kami sengaja membawa makan siang dari rumah. menunya adalah ikan bakar yang kami beli di lokasi penyewaan perahu ke Gili Nanggu pada hari sebelumnya. Setidaknya ada 2 alasan : pertama karena kami sekeluarga kurang suka dengan masakan pedas, sementara menu makanan di Lombok umumnya pedas-pedas. Kedua karena harga makanan jadi di restoran tempat wisata di Lombok biasanya tidak tergolong murah, kecuali jika beruntung menemukan menu murah-meriah-enak seperti di lokasi penyewaan perahu ke Gili Nanggu itu. Saran kami apabila memungkinkan bawa saja makanan dan karpet dari rumah sehingga kita bisa menggelar piknik keluarga di lokasi tujuan. 
Setelah selesai makan siang di saung kami segera berkemas untuk pindah ke lokasi tujuan berikutnya : Pantai Mawun.
 
Aneka produk bambu ulir, detil klik di sini...
Pantai Mawun
Hanya butuh sekitar 15 menit saja berkendara santai kurang lebih 8 km ke arah barat dari Kuta ke Mawun. Pantai Mawun hampir sama dengan Kuta dipandang dari lokasinya yang juga berada di dalam sebuah teluk kecil. Topografi jalan dari Kuta ke Mawun adalah berbukit-bukit dengan beberapa tanjakan yang cukup curam. Namun karena kondisi jalan 2 jalur yang walaupun tidak terlalu lebar tetapi mulus dan sepi, maka berkendara di jalur ini cukup menyenangkan. Sepanjang jalan tampak cukup banyak turis asing berseliweran dengan motor sewaan.

Sama seperti di Kuta, tiket masuk ke Mawun diberlakukan Rp. 10.000/mobil kecil pula, sudah termasuk biaya parkir mobilnya. Kami tiba di Mawun sekitar pukul 13.30, saat matahari tengah cetar membahana...

Mengingat lokasinya yang juga berada di dalam teluk kecil, maka pemandangan Pantai Mawun seperti hanlnya Kuta juga mirip ditinjau dari adanya bukit cadas yang memagari sisi kanan-kiri pantai. Bedanya, teluk di Pantai Kuta berukuran lebih lebar (bukaannya ke laut lepas ada sekitar 2 km) dibanding teluk Mawun dengan bukaan ke laut lepas hanya di kisaran 500 m. Foto di atas menunjukkan celah sempit bukaan teluk Mawun yg diapit bukit cadas menghijau di kedua sisinya. 

Lengkung pantai sebelah barat tampak pada foto di atas. Secara umum pantai Mawun memiliki pasir putih bersih dengan air laut biru bening yang tak kalah bersihnya. Tekstur pasirnya kami nilai jauh lebih halus dibanding Kuta, walaupun masih ada sedikit sekali campuran butiran yang relatif kasar.

Terdapat banyak kursi malas dengan payung peneduh yang bisa disewa oleh pelancong seharga Rp.50.000 per payung, sudah termasuk 2 butir kelapa muda. Adanya barisan pohon besar peneduh ditemani hembusan angin yang cukup kencang membuat area santai yang cukup jauh dari bibir pantai ini sangat sempurna untuk duduk-duduk. Sepertinya memang Mawun lebih sesuai untuk dinikmati pemandangannya sambil bersantai dari kejauhan bibir pantainya..

Tampak lengkung pantai sebelah timur pada foto di atas. Hujan yang Allah turunkan beberapa hari sebelum kedatangan kami ke Lombok membantu menghijaukan kembali vegetasi di bukit cadas sebelah timur yang menjadi latar belakang foto... tampak segar sekali.


Aneka tabletop anggrek, detil klik di sini...
Di Mawun pun kami tidak nyebur ke laut. Masih dengan pertimbangan bahwa setelah dari sini kami akan pindah lagi ke lokasi pantai lain. Juga karena kami perhatikan kontur pantai Mawun lebih curam dibanding Kuta, dan debur ombak di sini cukup kencang. Meskipun demikian bukan berarti Mawun tidak aman direnangi lho... banyak pengunjung lain yang bermain air di sini dengan nyaman.
Kami hanya berada di Mawun selama sekitar 1 jam. Dari sini kami kembali berkendara sekitar 8 km ke arah barat menuju destinasi terakhir hari itu : Pantai Selong Belanak.


Pantai Selong Belanak
Topografi Jl. Mawun yang menghubungkan Pantai Mawun dengan Selong pun berbukit-bukit dengan kondisi yang sama dengan jalan dari Kuta ke Mawun. Pun di jalur ini kami melihat banyak turis asing berseliweran dengan motor. Setelah sekitar 20 menit kami tiba di Selong Belanak yang lagi-lagi ternyata berada di sebuah teluk kecil. Di sini pun tiket masuk diberlakukan Rp. 10.000/mobil kecil termasuk parkir. 
Jika kami bandingkan, pengelolaan Pantai Kuta adalah yang terbaik, disusul oleh Mawun. Fasilitas publik di Selong Belanak terkesan sedikit tertinggal dibanding 2 lainnya, termasuk hal kapasitas parkir mobil di sini yang jauh lebih sedikit. Namun demikian, begitu kami tiba di bibir pantainya... wow!!! Berdecak kagum kami melihat kondisi pantai Selong Belanak yang sepertinya memang sengaja diciptakan untuk bermain air dan berenang santai... pantai ini kami nilai sempurna! Tentunya jika ditunjang dengan peningkatan fasilitas, Selong Belanak akan menjadi double sempurna...
Bagaimana tidak, pantai ini memiliki pasir putih sejauh mata memandang bertekstur halus namun padat yang amat nyaman diinjak. Tak kami jumpai butiran pasir kasar yang bisa membuat kaki nyeri. Tekstur pasirnya yang halus namun padat pun membuat kaki tidak ambles ketika menjejaknya sehingga kita tetap bisa berlarian di pesisir ini dengan stabil.
Air laut di sini amat jernih dengan ombak yang tidak kencang. Kontur pantainya pun landai hingga jauh ke tengah laut, tidak ada bagian pesisir yang mendadak curam dan dalam. Sangat aman bagi anak-anak bermain air di sini. Perfecto!!!

Lagi-lagi lokasi Selong Belanak di dalam sebuah teluk kecil membuatnya dipagari oleh perbukitan cadas yang juga sedang segar menghijau ketika itu. Tampak di foto sebelah atas pemandangan pantai ke arah timur. Di sebelah kiri foto tampak puluhan kapal nelayan yang tengah sandar. Pemukiman nelayan sepertinya berada di sisi timur kawasan ini.

Sangat pas memang menjadikan Selong Belanak lokasi pantai terakhir. Kami akhirnya nyebur juga di pantai yang memang sangat cocok untuk bermain air ini. Karena ini adalah spot terakhir, maka dari sini kami dapat langsung bilas dan membungkus pakaian renang basah.

Agak sulit untuk mengambil foto pamandangan arah barat Selong Belanak karena ketika itu sudah mendekati pukul 16.00 sehingga matahari sudah condong ke barat. Sebagian besar foto yang kami ambil ke arah barat over exposed. Tampak deretan perbukitan di sisi barat pantai.

Kami berada di Pantai Selong Belanak ini hingga menjelang pukul 17.00. Puas tidak puas sih bermain air di sini, karena rasanya masih ingin berlama-lama mengakrabi debur ombaknya yang lembut, dan pasir putihnya yang lembut di kaki.
Tersedia beberapa kamar mandi untuk bilas di sini yang dikelola oleh penduduk. Tarifnya sama : Rp. 5000/orang. Terdapat pula beberapa restoran sea food serta cafe di pantai ini. Setelah bersih kembali, kami segera meninggalkan lokasi. Selesailah penjelajahan kami di hari kedua ini.
Total 4 spot wisata yang kami datangi sepertinya sudah cukup jika kita memang ingin menikmati masing-masing destinasi. Selain 3 pantai yang kami kunjungi, di sisi selatan Lombok ini sebenarnya masih ada spot populer lain seperti Pantai Tanjung Aan, Bukit Merese, Pantai Seger, Pantai Tampah, Pantai Semeti, dll. Pilihan kembali ke tangan kita : mengunjungi lebih banyak spot tapi hanya sebentar-sebentar, atau hanya beberapa destinasi yang telah kita seleksi sebelumnya dengan waktu cukup lama. 

Perjalanan pulang ke Mataram kami tempuh via rute Jl. Selong Belanak, terus ke arah utara hingga tiba di simpang tiga Jl. Bypass Bandara dekat BIL, tepatnya di daerah Batujai. Jarak sekitar 14 km ke Batujai ini membutuhkan waktu tak kurang dari 30 menit. Kondisi jalur ini kami dapati tak semulus sebelumnya, dan terkesan lebih sempit. Topografinya campuran antara naik-turun di dekat pantai, hingga landai mendekati Batujai/kota. Ada sebuah tanjakan yang sangat curam tak jauh dari Selong Belanak, gunakan gigi 1 di sini. Namun secara keseluruhan perjalanan tetap nyaman karena lalu lintas pun tidak ramai.

Kami menunaikan shalat ashar di Masjid Ummul Huda, Batujai, tepat di pertemuan dengan Jl. Bypass Bandara. Masjid besar ini rupanya memang sering dijadikan tempat shalat para traveler yang melintas di Jl. Bypass. Terbukti dengan cukup banyaknya mobil yang berada di area parkir masjid, dan jamaah yang juga melaksanakan shalat bersama kami.


Masjid Ummul Huda, Batujai, ketika kami menunaikan shalat ashar.

Sedikit catatan bahwa standar waktu shalat di Lombok memang agak telat waktunya karena Lombok berada di batas barat Waktu Indonesia Tengah (WITA). Mirip waktu shalat di Banda Aceh yang lebih akhir lah untuk kawasan WIB... 

Lombok Epicentrum Mall (LEM)
Tidak lengkap rasanya menjelajah Lombok kalau belum melihat-lihat mall-nya? Well, ini bukan semboyan kami sebenarya... tapi mungkin banyak traveler yang begitu. 
So, malam harinya - setelah istirahat dan shalat isya - kami menyempatkan diri main ke LEM yang berada di Jl. Sriwijaya, Mataram.


Mall 4 lantai ini besar dan nyaman. Area parkir mobil outdoor berkapasitas 676 mobil plus 1050 sepeda motor, malam itu tampak cukup penuh. Selain itu masih terdapat kapasitas 229 mobil indoor. Mall terbesar di Provinsi NTB ini baru dibuka pada pertengahan 2015. Luas lahan totalnya sekitar 7,6 hektar, dengan luas netto area mall 4,43 hektar.


LEM didesain dengan konsep Mall Keluarga. Dilengkapi tempat/tenant F&B berupa cukup banyak foodcourt dan cafe dari brand-brand terkenal yang banyak mengisi pusat perbelanjaan di banyak kota besar Indonesia. LEM pun memiliki area bermain anak serta atrium yang luas untuk berbagai event, pameran, atau bazaar seperti foto di atas.


Kami menyukai konsep desain interior LEM yang memiliki banyak facade yang terkesan ramah pada pengunjung, serta tentunya membuat nyaman dalam menjelajahi penjuru mall. Desain seperti ini pun membuat ruangan terkesan luas dan tidak sumpek.
Masjid yang amat besar untk ukuran mall terdapat di lantai atas. Luar biasa kami nilai komitmen manajemen LEM dalam memberikan fasilitas ibadah yang nyaman khususnya bagi pengunjung muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar