Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Rabu, 06 Februari 2019

Jalan-Jalan ke Dieng : Telaga Warna dan Telaga Pengilon

11. Telaga Warna & Pengilon
Jika dari Batu Pandang Ratapan Angin kita berfoto dengan latar belakang Telaga Warna, maka kini kami turun ke bawah menuju lokasi telaga itu sendiri.
Kawasan Telaga Warna yang berada di ketinggian 2000 m di atas permukaan laut ini sebenarnya merupakan sistem danau kembar yang masing-masing dinamai Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Keduanya seolah bergandengan, hanya dipisahkan oleh pembatas alami berupa sejalur sempit tanah yang ditumbuhi semak dan perdu rapat. Namun meski bersebelahan, karakter kedua danau ini sangat berbeda.
Telaga Warna - seperti namanya - memiliki air dengan kandungan belerang yang senantiasa berubah-ubah warna, tergantung pada temperatur, kadar sulfur, dan sudut cahaya matahari. Aroma khas belerang senantiasa terciaum dari Telaga Warna, terutana di area mirip pesisir pantai (timur laut telaga). Aspek fisik Telaga Warna ini mirip dengan Objek Wisata Kawah Putih di Ciwidey, Bandung.
Sebaliknya Telaga Pengilon (artinya 'berkilau') memiliki air jernih layaknya kaca/cermin raksasa yang memang terlihat berkilauan tertimpa cahaya mentari. Hal ini sekaligus menandai minimnya kandungan sulfur di danau yang terletak di tenggara Telaga Warna ini. Bisa dikatakan faktor pembeda penampilan dua telaga ini sebenarnya adalah kadar sulfurnya.

Kami tiba di area parkir mobil kawasan Telaga Warna pada sekitar pukul 11:00. Area parkir ini berada di seberang jalan gerbang masuk kawasan. Foto gerbang masuk dari area parkir adalah seperti di atas. Baya parkir mobil di sini Rp. 5000 saja seperti biasa,

Pada loket masuk ini sudah tertera harga tiket dengan jelas. Rinciannya seperti fisik karcis yang kami terima (untuk wisatawan domestik dan hari biasa) adalah Rp. 5000 + 6500, dan seperti biasanya ditambah biaya asuransi Rp. 1000, sehingga genap Rp. 12.500 sebagaimana tertera pada kaca loket.

Masuk ke dalam gerbang, tampak suasana kawasan ini tertata rapi dan cukup bersih. Tempat sampah tersedia di banyak tempat, meski - sayangnya - tetap ada saja sampah yang berserakan di sana-sini. hadeuh...
Sebelum Anda mengeksplorasi lebih jauh kawasan telaga yang cukup luas ini, kami sangat menyarankan Anda untuk berhenti sejenak mempelajari peta wisata yang tersedia tak jauh dari pintu masuk seperti foto di bawah.

Tampak bahwa kita masuk dari gerbang yang berada di sudut barat daya Telaga Warna (lokasi no. 12). Jika kita berbelok ke jalan lingkar sebelah kiri, kita akan memutari sisi barat Telaga Warna menuju ke area pesisir (lokasi no. 7). Sebaliknya jika kita berbelok ke kanan, kita dapat menuju ke Telaga Pengilon dan beberapa situs kuno yang berada di lahan sempit di antara kedua telaga (Kompleks Pertapaan Mandalasari). 

Rute ke arah kiri akan membawa kita ke banyak spot foto yang menarik di sepanjang sisi barat Telaga Warna. Satu di antara yang sepertinya menjadi favorit (ditandai oleh cukup panjangnya antrian pengunjung yang ingin berfoto...) adalah batang pohon tumbang di tepi danau yang dapat kita naiki seperti foto di bawah. Lokasi spot ini hanya beberapa meter dari arah gerbang masuk.
Kita bisa berfoto dengan kamera sendiri, atau bisa juga menggunakan jasa tukang foto yang stand by di spot ini. Kalau dulu tukang foto mengandalkan kamera polaroid, sekarang sih kamera digital biasa dengan hasil cetak di atas photo paper. Harganya murah meriah : 1 kali foto dan cetaknya 1 lembar hanya Rp. 5000. Kami pikir bagus juga menggunakan jasa mereka untuk mendukung wisata daerah... Hasilnya ya 2 foto di atas itu...
Ketika itu kami berfoto dulu di spot batang pohon tumbang ini, baru kemudian berkeliling. Maksudnya agar Pak Tukang Foto punya waktu untuk memproses dan mencetak foto-foto kami. Lalu ketika pulang kami bisa langsung mengambil hasil fotonya tanpa harus menunggu lama lagi.
Tampak bahwa air telaga berwarna biru kehijauan saat itu. Terutama di tepiannya, kita dapat melihat serpih belerang berwarna kekuningan menghiasi perairan telaga.


Mengelilingi telaga ke arah utara, kita dapat berjalan santai dengan cukup nyaman di atas trek paving block yang rata dan bersih (foto di atas). Lebar trek rata-rata sekitar 120 cm.
Di sepanjang trek kami melihat cukup tersedia tong sampah, jadi selalu jaga kebersihan, ya...
Terdapat pula sebuah toilet umum gratis di trek ini. Kondisinya bersih karena terlihat masih cukup baru.
Beberapa badut dengan kostum aneka rupa juga terlihat di trek jalan santai ini, contohnya badut berkostum beruang 'BEAR' seperti foto di samping kanan.
Meski anak-anak kami sudah agak terlalu tua untuk berfoto dengan badut, tetapi karena ketika itu mereka agak kasihan dengan para badut yang tampak tak kunjung mendapatkan tamu untuk berfoto bersama mereka, akhirnya anak-anak kami pun berpose juga dengan si 'BEAR'. Hanya Rp. 5000, murah meriah... 

Mendekatri ujung trek sisi barat telaga, kita akan tiba di landmark 'TELOGO WARNO' dari bahan stainless steel seperti foto di atas. Landmark ini cukup panjang, pokoknya muat deh kalau mau dipakai sebagai latar belakang foto rombongan se-RT...
Akhirnya tiba di area pesisir (lokasi no. 7)... tanah tepi telaga ini cukup landai dan luas, meski sayangnya terlihat sampah di banyak lokasi. Jika tidak karena bau belerang yang cukup menyengat, sepertinya akan banyak yang mendirikan tenda untuk menginap di sini... 
Ini adalah ujung trek di sisi barat Telaga Warna. Kami berbalik arah, kembali menuju ke gerbang masuk.

Rute ke arah kanan akan membawa kita ke beberapa situs kuno yang mungkin disukai oleh pengunjung yang meminati sejarah. Dari posisi start sebelumnya di dekat gerbang masuk, trek paving block ke arah kanan akan bercabang 2 : jika terus akan menuju ke sisi selatan Telaga Pengilon; dan jika belok kiri menuju trek yang lebih alami (foto di bawah) akan menuju ke beberapa situs kuno di Kompleks Pertapaan Mandalasari yang oleh sebagian orang dipercaya memiliki manfaat tertentu. 

Situs Batu Tulis ditandai oleh Arca Gajahmada yang dicat keemasan (foto di samping kanan), serta sebongkah batu besar yang konon jika dilihat dari samping sepintas akan menyerupai perwujudan Semar.
Menurut cerita masyarakat, tempat ini dulu digunakan oleh Eyang Purba Wasesa (leluhur masyarakat Dieng) untuk bermeditasi mendapatkan pencerahan (sumber informasi kami sarikan dari artikel pada website indonesiakaya(dot)com).
Tempat ini dulu kerap dikunjungi oleh para orang tua dan anak usia sekolahnya yang mengalami kesulitan dalam pelajaran atau studi, dengan harapan agar pelajar tersebut menjadi lebih pandai dan lancar dalam menempuh studinya.

Situs Goa Sumur memiliki landmark berupa patung sosok wanita yang membawa kendi berbentuk pancuran air. Arca ini juga dicat berwarna keemasan (foto di sebelah kiri).
Di dalam situs ini terdapat sebuah mata air jernih yang terkenal dengan nama Sendang Kamulyaan.
Sendang ini mengeluarkan sumber air tirta perwitasari atau tirta amerta, yang dianggap suci oleh saudara-saudara kita penganut agama Hindu.
Sebelum diadakannya upacara keagamaan Melasti atau Nyepi, umat Hindu dari Bali akan khusus datang mengambil air ke sumber mata air ini untuk keperluan kelengkapan jalannya upacara. 


Berikutnya adalah Situs Goa Jaran. Dalam Bahasa Jawa 'jaran' berarti kuda. Goa ini dipercaya dijaga oleh seorang sakti bernama Resi Kendali Seto yang dapat pula diartikan sebagai 'penunggang kuda putih'.
Konon dahulu ada seekor kuda betina berwarna putih yang memasuki goa yang tampak berupa celah sempit pada foto di sebelah kanan.. Keesokan harinya ketika kuda itu keluar dari goa, ternyata kuda putih tersebut sudah berada dalam keadaan mengandung.
Oleh karena itu, situs yang pada bagian depannya ditandai oleh arca sosok berkepala tiga yang dicat emas ini dahulu kerap didatangi oleh pasangan yang sulit memiliki keturunan.

Situs Goa Pengantin dinamakan demikian karena terdiri dari dua gua yang tak seberapa besar yang memiliki pintu masuk saling bersisian layaknya sepasang mempelai.
Foto di sebelah kiri memang tidak terlalu jelas menunjukkan mulut goa kembar ini karena sudut pencahayaan membuat mulut goa sebelah kiri terlihat over exposed
Secara umum batu di mana papan 'Goa Pengantin' diletakkan merupakan pembatas antara kedua goa tersebut. Mulut goa sebelah kanan terlihat cukup jelas, dan sepertinya goa ini lebih besar dibandingkan yang sebelah kiri. Sementara mulut goa sebelah kiri agak sedikit lebih tinggi dan sempit dibandingkan goa sebelah kanan. Tetapi kami tidak tahu bagaimana kondisi dan ukuran bagian dalam kedua goa tersebut.
Goa Pengantin merupakan situs paling muda di kompleks ini. Diberi nama 'Pengantin' pada tahun 2005 oleh Departemen Pariwitasa dan Budaya Wonosobo menyusul adanya laporan bahwa pasangan yang berziarah ke goa ini cukup banyak yang berlanjut ke jenjang pernikahan. 

Menjelang pukul 12:00, kami mengakhiri kunjungan ke area Telaga Warna. Kami kembali ke arah gerbang masuk, mengambil foto, lalu menuju area parkir mobil. Agak galau juga sebenarnya karena kami belum mengeksplor kawasan sekitar Telaga Pengilon... Tapi mau bagaimana lagi, selain karena kaki yang sudah pegal diajak hiking sejak kemarin, kami juga harus berhitung tentang waktu tempuh (plus kemacetan luar biasa di Tol Jakarta-Cikampek) untuk kembali ke Bekasi siang itu.

12. Masjid Jami' Baturrohman, Dieng
Dari Telaga Warna, kami melaju ke arah utara hingga bertemu dengan Masjid Baturrohman yang besar dan megah di sebelah kiri jalan. Parkiran mobil masjid ini luas dan nyaman. Adzan zuhur lantang berkumandang ketika kami tiba di sana.


Dan lagi-lagi, wudhu menjadi tantangan besar di Dieng. Pun ketika itu meski tengah hari bolong dan matahari bersinar terik, air wudhu tetap saja maknyesss.... dingin pol! Apalagi karena masjid ini memiliki kolam kecil yang harus kita lewati untuk menuju tempat wudhu... kaki benar-benar terasa membeku saat melintasi kolam kecil ini.
Masjid besar ini memiliki arsitektur luar yang menarik dan megah. Langit-langit bangunan ini tinggi menjulang, membuat udara di bagian dalamnya kian sejuk saja terasa.
Dinding bagian dalamnya didominasi keramik warna krem hingga interior masjid terkesan terang meski lampu tak dinyalakan. Terbantu pula dengan keberadaan jendela besar berdesain vertikal yang membantu pencahayaan maksimal dari luar ke dalam bangunan.
Langit-langit masjid dilukis layaknya langit biru berhiaskan awan berarak. Tampak cukup kontras dengan lantai yang dilapisi karpet tebal berwarna merah tua.
Shalat zuhur ketika itu tidak terlalu banyak didatangi jamaah. Kalau tidak salah hanya sekitar 3 shaf saja. Biasanya memang shalat maghrib atau isya akan lebih ramai.
Kami melaksanakan shalat zukur jamak ta'dim ashar di sini. Setelah shalat kami sempat berjemur dulu beberapa menit di pelataran luar masjid karena di dalam memang dingin sekali....
Sekitar pukul 12:30 kami meninggalkan Masjid Baiturrohman yang damai ini, melaju ke barat kembali ke Bekasi. Mengandalkan panduan Google Maps, kami diarahkan menuju Batang via Jl. Tlagabang, meski semua suami hendak melewati jalur Kajen. Ternyata medan jalan via Tlagabang-Bandar (Sikembang)-Batang ini cukup menantang karena selain medannya naik-turun tajam, beberapa segmen jalan sedang hancur-hancuran sehingga kami harus ekstra hati-hati.

Anggrek bulan isi 6 tangkai dengan vas kayu, detil klik di sini...
Rute dari Dieng ke Batang mungkin masih mending karena secara umum kita terus menurun (meski kondisi rem juga harus diwaspadai agar tidak overheat); sebaliknya rute Batang ke Dieng yang menanjak tentunya jauh lebih sulit.
Sepertinya memang rute via Kajen akan lebih landai dan nyaman dilalui bersama keluarga, meski dari Google Maps rute ini memang lebih jauh dan butuh sekitar 45 menit ekstra. Terutama saat akan naik ke Dieng, rute via Kajen ini bisa dipertimbangkan.
Pengalaman kami ketika itu, kami melintasi Bandar pada sekitar pukul 5 sore, lalu masuk Tol di Brebes Timur menjelang maghrib. Sekitar pukul 11 malam seingat kami, kami sudah tiba di rumah di Bekasi. Kondisi tol secara umum cukup lancar, kecuali seperti biasa saat tiba di daerah Karawang Timur di mana kemacetan parah dimulai... 

Manisan Buah Carica adalah salah satu oleh-oleh yang kami beli di Dieng. Tekstur manisan buah ini cukup padat dan keras. Sepertinya cara penyajian berbentuk manisan buah dalam sirup ini memang salah satu opsi penyajian terbaik buah carica.
Paket manisan buah carica ini dikemas dalam wadah plastik kapasitas 110 g. Mereknya Dwarawati dengan tagline Carica in Syrup.
Enam wadah cup plastik dipaketkan ke dalam kotak karton. Pas memang untuk dijadikan buah tangan khas Dieng.
Di bagian tutup atas cup plastik tersedia tempat untuk menuliskan waktu kadaluwarsa produk, tetapi kami tidak menjumpai cetakan batas expired-nya. Mungkin karena pengolahan dalam bentuk manisan memang cukup awet dan lama batas kadaluwarsanya.
Sekali lagi, kalau soal rasa sih memang tergantung pada selera. Namun menurut kami, cita rasa manisan buah carica ini cukup pas, dan tentunya pantas untuk dijadikan oleh-oleh andalan dari Dieng.
Harga set 6 cup manisan carica dalam kotak karton seperti foto di sebelah kanan atas dijual seharga Rp. 22.000.
Untuk set 6 cup tanpa kotak karton (hanya dengan kemasan kantung plastik) ditawarkan seharga Rp. 18.000. Tapi jika kita membeli minimal 6 kantung, maka boleh diskon menjadi Rp. 90.000 per 6 kantung (atau Rp. 15.000 per kantung). Di seputaran Bukit Sikunir kami perhatikan manisan carica set 6 cup dengan kemasan kantung plastik ini sudah dijual Rp. 15.000 per kantung (walaupun hanya beli 1 kantung).
Harga memang variatif, tapi sepanjang pengamatan kami juga sepertinya ditentukan oleh isinya : harga lebih murah biasanya isinya juga lebih sedikit.