Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Selasa, 10 Oktober 2017

Air Mancur Sri Baduga dan Alun-Alun Purwakarta

Situ Buleud yang kini populer dengan nama Taman Air Mancur Sri Baduga sekarang ini merupakan magnet wisata utama Kota Purwakarta.
Terletak sangat strategis di pusat kota (hanya sekitar 200 m sebelah timur Alun-Alun), danau berbentuk melingkar seluas sekitar 2 ha ini menampilkan atraksi air mancur menari setiap Sabtu malam.
Tak mengherankan bahwa Sabtu malam di pusat Kota Purwakarta saat ini selalu berarti lautan massa dan kepadatan lalu lintas. Tak hanya penduduk Purwakarta, pengunjung dari kota-kota sekitarnya pun berduyun-duyun datang memadati Situ Buleud.

Kami tiba di Purwakarta sekitar pukul 9 pagi. Karena pertunjukan air mancur baru berlangsung pada malam hari, maka pilihan yang ada adalah berkunjung ke area Alun-Alun.
Kita bisa memarkir mobil di area parkir depan Masjid Agung Baing Yusuf (foto sebelah kanan), atau parkir paralel sepanjang Jl. Dr. Kusumahatmaja (depan Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta).
Sebenarnya Alun-Alun Purwakarta lebih cantik dinikmati saat malam hari dengan lampu-lampu aneka warnanya. Pada siang hari seperti saat kami datang Alun-Alun ini tampak tak terlalu istimewa. Tetapi tetap saja kesan bersih dan tertata rapi mencuat kuat saat kami berada di sana.

Pertama-tama kami menuju area Taman Mayadatar dan Taman Pancawarna yang berada di depan Kantor Bupati Purwakarta.
Lagi-lagi kami harus mengacungkan jempol ketika melihat kebersihan dan kerapihan lokasi-lokasi ini yang tampaknya memang didesain dan direncanakan dengan baik (foto sebelah kiri).
Akang-akang petugas berpakaian daerah yang berjaga di seputaran area ini tampak ramah membantu pengunjung, sekaligus cukup tegas memperingatkan untuk tidak menginjak rumput atau membuang sampah sembarangan.
Satu hal yang cukup menarik adalah melihat beberapa pengunjung yang memberi makan ikan-ikan berukuran cukup besar yang hidup di kanal-kanal sepanjang pedestrian ini seperti foto di bawah.


Tak banyak memang yang dapat dilakukan di seputaran lokasi taman-taman Kantor Bupati dan Alun-Alun Purwakarta pada siang hari selain berfoto-foto. Itu pun menurut kami kurang maksimal dibandingkan dengan jika kita datang ke sini pada malam hari... inilah rekomendasi kami.
Pun demikian setelah kami pindah dari area Kantor Bupati ke lapangan Alun-Alun, praktis ketika itu tak ada atraksi menarik di sana. Kami dan beberapa pengunjung lain ketika itu hanya bisa berfoto-foto seperti yang ditunjukkan oleh beberapa gambar di bawah.


Setelah berkeliling beberapa saat di Alun-Alun Purwakarta, kami menuju Warung Sate Maranggi Maskar Ajiiib yang berada tepat di seberang jalan sudut barat laut alun-alun (foto di bawah). Hanya tersedia tempat bagi maksimal 3 mobil dan beberapa sepeda motor di halamannya. Namun kita selalu bisa memarkir kendaraan di depan masjid agung, jadi tidak masalah juga sebenarnya.

Di dalam, kita dapat memilih untuk duduk di beberapa ruang lesehan yang tersedia. Ini adalah kali pertama kami menjajal sate maranggi. Makan sate sambil lesehan santai memang pas mantab. Begitu pun harga menu di sini tidak tergolong murah, ditambah dengan rasa bumbu sate maranggi yang subjektif bagi kami pribadi agak kurang cocok.

Setelah beberapa saat menyantap hidangan sate maranggi ajiiib yang kondang ini, terdengar adzan zuhur berkumandang dari masjid agung.
Kami bergantian menunaikan shalat karena sajian sate yang kami pesan memang belum habis.
Masjid Agung Baing Yusuf mengambil nama tokoh penyebar agama Islam di Purwakarta tahun 1800-an, R. Moch Yusuf (beliau berasal dari daerah Bogor) yang pada tahun 1826 mendirikan masjid agung di lokasi yang ketika itu masih berupa hutan.

Lokasi masjid yang saat ini menjadi Purwakarta ketika itu termasuk wilayah Karawang, dengan pusat pemerintahannya berada di Wanayasa. Baru pada tahun 1830-an pemerintahan Karawang dipindahkan ke lokasi sekitar masjid agung yang kemudian berkembang menjadi kota Purwakarta modern.
Meski telah berulang kali direnovasi, menurut pengurus DKM masjid agung, kubah dan empat tiang penyangganya masih asli. Saat ini Masjid Agung Baing Yusuf mampu menampung sekitar 3000 jamaah. Suasana di dalam masjid besar ini cukup adem, sangat mendukung aktivitas ibadah (foto sebelah kiri atas).
Setelah shalat dan menuntaskan sate maranggi, kami sekeluarga check ini di D'Cabin yang telah kami pesan sebelumnya. Detil Hotel Container D'Cabin klik di sini... 


Dari staf D'Cabin juga kami memperoleh beberapa informasi dan rekomendasi seputar waktu yang tepat untuk melihat pertunjukan air mancur Sri Baduga. Jadi, terdapat setidaknya 3 sesi pertunjukan air mancur yang masing-masing pertunjukanya berlangsung selama sekitar 15 menit. Sesi pertama dimulai setelah shalat isya, yaitu sekitar pukul 19.30. Jeda waktu antar sesi adalah sekitar 1 jam.
Staf D'Cabin menyarankan agar kami tidak memaksakan diri menonton sesi pertama karena biasanya sesi pertama ini paling padat pengunjung. Biasanya memang penonton sudah berdatangan ke area Situ Buleud setelah maghrib.
Pengunjung bisa melaksanakan shalat dulu di mushalla dalam area Situ Buleud, atau berjalan sedikit sekitar 200 m ke Masjid Agung Baing Yusuf. Perlu diingat bahwa kapasitas mushalla Situ Buleud sangat terbatas, pasti tidak nyaman. Pilihan terbaik adalah shalat di masjid agung. 
Setelah shalat maghrib inilah biasanya para pengunjung serentak menyerbu pintu masuk Situ Buleud. Pintu masuk hanya satu untuk menjamin ketertiban arus penonton. Pintu masuk ini berada di sisi timur situ (Jl. K.K Singawinata).
Kami yang datang dari arah Jl. R.E Martadinata via Gg. Tupai 1 harus melewati patung wayang menggendong ayam (kanan atas, mungkin diambil dari adegan cerita Ciung Wanara, CMIIW...) dahulu sebelum tiba di pintu masuk. Bisa dibayangkan kepadatan yang terjadi, meski akang-akang petugas kami pantau sudah sangat berupaya ekstra keras menjaga ketertiban pengunjung.

Belum lagi kerepotan mencari parkir kendaraan ketika itu, terutama mobil. Parkir motor sebenarnya tidak sulit karena motor bisa masuk hingga sisi situ yang memang ditutup untuk umum, tepatnya di sepanjang Jl. Siliwangi. Parkir mobil jauh lebih susah karena praktis mobil sama sekali tidak bisa masuk ke seputaran situ. Mobil harus parkir paralel sepanjang Jl. R.E Martadinata (seperti kami saat itu), atau di seputaran Alun-Alun, atau di jalan lain sekitar area ini.
Sesi kedua agak lebih baik situasinya karena sebagian penonton sesi pertama sudah bergerak pulang dan meninggalkan area situ. Maka kepadatan pengunjung dan parkir kendaraan akan sedikit berkurang. Ketika itu kami baru berangkat dari D'Cabin setelah shalat isya. Kami tiba di area situ sekitar pukul 20.00.








Aneka pemandangan pertunjukan air mancur seperti foto-foto di atas. Air mancur didesain mampu mengikuti ritme yang cukup rancak hingga syahdu dan perlahan. Posisi terbaik tentunya adalah dari depan patung Sri Baduga (sisi barat situ, arah Patung Badak).

Monumen Patung Badak di sisi barat Situ Buleud (Jl. Siliwangi)
Setiap selesai satu sesi pertunjukan, para petugas akan meminta pengunjung untuk keluar dari area situ untuk memberi kesempatan pengunjung lain masuk, jadi kita tidak bisa duduk terus di dalam untuk lanjt menonton sesi ke-2 dan ke-3. Cara ini bagus menurut kami karena menjamin setiap pengunjung dapat melihat pertunjukan, mengingat membludaknya pengunjung. 
Dari dalam area situ pengunjung akan diarahkan untuk keluar dari gerbang di sisi barat (Jl. Siliwangi). Pengunjung yang hendak melihat sesi berikutnya harus mau masuk dan mengantri lagi dari pintu masuk di sisi timur situ seperti saat akan masuk sebelumnya.
Kami ketika itu menonton sesi kedua, dan karena pengunjung di dalam situ sudah penuh kami mendapatkan tempat di belakang patung (sisi timur situ). Lokasi ini masih lumayan daripada di samping (sisi utara atau selatan) karena praktis dari utara atau selatan kita tidak bisa melihat air mancur berbanjar memanjang. Dari sisi timur dan barat kita dapat melihat jejeran air mancur seperti foto-foto di atas.

Produk bambu ulir
Ketika sesi kedua selesai, kami pun mengikuti arus pengunjung berjalan mengitari situ ke arah gerbang keluar. Kita tidak bisa berjalan cepat di sini karena padatnya pengunjung, namun karena itu juga lah kami qadarullah cukup beruntung karena menjelang tiba di gerbang keluar (masih berada di dalam area situ), ternyata pintu masuk sudah dibuka kembali. Akhirnya akang-akang petugas mempersilakan para pengunjung ex sesi ke-2 yang belum bisa keluar - termasuk kami - namun masih ingin menonton sesi ke-3 untuk langsung mengambil tempat duduk kembali. Dan ketika itu kami sudah berada di depan patung Sri Baduga (sisi barat situ)... Alhamdulillah, kami pun bisa duduk manis kembali menonton sesi ke-3.... yeay!

Selesai sesi terakhir malam itu, kami akhirnya keluar dari area situ... berbaur dengan lautan manusia yang tadi bersama-sama menonton pertunjukan. Dari gerbang ke luar ini kita akan melewati Monumen Patung Badak (foto di kanan atas). 
Di beberapa tempat pada dinding luar pagar pembatas situ terdapat ukiran tokoh-tokoh wayang seperti Arjuna di sebelah kiri bawah. Terkesan sangat tradisional memang...

Sekarang tiba giliran mencari jajanan karena perut sudah minta diisi. Di sepanjang sisi barat Jl. Siliwangi berjejer warung makan murmer yang bisa kita pilih sesuai selera. Selain warung, pedagang makanan kaki lima mau pun yang menggunakan sepeda motor cukup bervariasi... pokoknya tinggal pilih deh. 
Selain di sepanjang Jl. Siliwangi, beberapa resto tersedia pula sepanjang Jl. R.E Martadinata. Letaknya lebih jauh memang, tetapi boleh dicoba terutama bagi pengunjung yang memarkir mobilnya di sini, karena toh mereka pun harus menuju lokasi ini juga untuk mengambil mobil.

Benar pemikiran Kang Dedi Mulyadi sang Bupati Purwakarta saat itu, bahwa dibukanya pertunjukan air mancur Sri Baduga yang tergolong spektakuler memang akan menggulirkan aktivitas ekonomi Kota Purwakarta. Terbukti dengan menyemutnya pengunjung yang datang menonton setiap akhir pekan terpantau telah membuka peluang bagi warga Purwakarta dan sekitarnya untuk membuka aneka bisnis pendukung. Mulai dari kuliner, pertokoan, penginapan, hingga ke jasa parkir kendaraan pun ikut menikmatinya. Meski memang dampak kemacetan luar biasa saban akhir pekan di seputaran area situ pun tak terhindarkan... 

Suasana bubaran pengunjung pertunjukan air mancur