Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Senin, 21 Mei 2012

Jalur Purwakarta Lama... Radiator Springs Versi Indonesia

Masih ingat alur cerita film animasi Disney Cars? Film anak-anak dengan tokoh utama mobil Nascar Lightning McQueen ini berkisah tentang sebuah kota bernama Radiator Springs yang terletak di jalur jalan raya lama Route 66. Kota pelintasan yang tadinya ramai disinggahi pelancong ini berubah menjadi kota sepi yang terlupakan, yang bahkan telah terhapus dari peta sejak jalan tol Interstate 40 dioperasikan. Jalan tol yang melintas tak jauh dari Radiator Springs ini memang menghemat waktu tempuh dan sangat membantu kelancaran bahkan kecepatan berkendara. Namun akibatnya, Radiator Springs menjadi kota yang nyaris mati.
Kesan ini kami tangkap saat Ahad pagi kemarin (20 Mei) kami sekeluarga sengaja mengambil rute jalan lama Purwakarta saat kembali dari rumah orang tua suami kami di Bandung ke Bekasi. Yah... bukan ide kami sih, tetapi suami. Dia yang tiba-tiba ingin mengambil rute ini. "Sekali-sekali lah, sudah beberapa tahun tidak pernah lewat sini. Pengin tahu saja sekarang suasananya seperti apa," demikian alasannya.
Yah, kami sih ngikut saja, dengan catatan bahwa suami kami tidak boleh ngomel-ngomel jika ternyata nantinya terjebak macet di jalur lama ini :-).

=========================================================================
Must have items sista...
Ranting inul bunga mawar silkworm cocoon-like magenta tipe-C minimalis, Rp. 175.000/set
 =========================================================================

Keluar di pintu tol Padalarang, kami sudah agak dag-dig-dug karena lalu lintas sedikit tersendat. Waduh... nanti suami jadi ngomel nggak ya? Alhamdulillah selepas belok kanan di pertigaan menuju Purwakarta dan melewati pasar, lalu lintas menjadi lancar. Ya, lancar sekali! Hampir sama dengan situasi Route 66 saat McQueen berkendara bersama Sally menuju perbukitan karang, melewati air terjun, dan memandang sendu hiruk pikuk jalan tol Intersate 40 di kejauhan. Tak ada bus AKAP yang lewat. Truk-truk pun tidak terlalu banyak. Apalagi mobil pribadi. Hanya sepeda motor, elf dan angkot yang masih rutin melintas. Medan jalan yang hampir seluruhnya mulus, cenderung lengang (padahal saat itu hari Ahad lho...), dan sedikit berkelok... dilibas dengan santai oleh suami kami yang tampaknya pun sangat enjoy. Suami sama sekali tidak mengumbar gas... yah, kecepatan sedang 40 ~ 50 km/jam memang paling enak untuk menikmati perjalanan. Dalam hati kami membenarkan dialog antara Sally dan McQueen tentang perbedaan melaju di jalan tol dengan menikmati berkendara di jalur lama : di jalur lama kita menikmati perjalanan, perjalanan bukanlah melulu tentang kecepatan, tapi juga tentang merasakan tiap tikungan... flow with it, not just across it.
Di sepanjang jalur lama ini, kami dan suami banyak bernostalgia saat dulu kerap melintas di sini sebelum Tol Cipularang beroperasi. Anak-anak pun tampak menikmati pemandangan sambil mendengarkan cerita kami tentang tempat-tempat yang kami lewati. Mulai dari Perkebunan Teh Panglejar, Cikalong Wetan, Darangdan, hingga SPBU dan masjid tempat kami dulu biasa berhenti untuk beristirahat dan shalat. Pemandangan yang agak mengenaskan adalah rumah-rumah makan di sepanjang jalan yang terlihat sepi pengunjung, bahkan banyak pula yang telah gulung tikar. Kami masih mengenali rumah makan yang dulu dijadikan checkpoint bus Primajasa yang saat itu kerap kami tumpangi. Dan, yah... rumah makan ini pun telah tutup. Kondisinya tampak tak terawat. Amat berbeda dengan masa jayanya beberapa tahun lalu.
Setelah sekitar setengah jam melaju, tiba di pertigaan Plered, kami tertarik untuk sejenak melongok ke dalam. Ke daerah Plered yang terkenal pula dengan kerajinan gerabahnya (sama dengan Kasongan di Jogja). Suami kami membelokkan mobil ke kiri, persis pada monumen pintu masuk penanda kawasan Plered.
Monumen Pintu masuk Kawasan Plered (Tugu Plered)

Tak sampai 500 meter menyusuri jalan aspal mulus Anjun ke arah dalam, sudah mulai terlihat rumah-rumah penduduk di kiri-kanan jalan yang disulap menjadi showroom kerajinan gerabah Plered. bagi kami yang terbiasa dengan gerabah Kasongan, gerabah Plered terkesan berbeda dalam hal desain, gaya, motif, dan finishingnya, walaupun keduanya sama-sama berkualitas prima. Gerabah Plered tampak lebih berkilauan dengan finishingnya yang glossy (glazuur). Agak berbeda dengan kebanyakan gerabah Kasongan yang mengandalkan warna-warna solid namun tidak glossy.
Berikut kami sertakan foto-foto yang kami ambil di sebuah showroom gerabah di jalan Anjun, Plered.

Seorang ibu paruh baya pemilik showroom yang tampak masih enerjik untuk ukuran usianya banyak memberi informasi pada kami mengenai gerabah Plered yang dijualnya. Ia memiliki bengkel pembuatan dan pembakaran gerabah sendiri yang terletak tak jauh dari showroom-nya sehingga desain dan harga gerabah produknya dapat diatur sesuai dengan tren dan kondisi. Namun demikian, tetap cerita pilu penurunan drastis jumlah pengunjung showroom terbetik juga, menyusul dioperasikannya Tol Cipularang. Saat ini, menurutnya belum tentu setiap hari ada pengunjung yang mampir ke showroom-nya, juga showroom-showroom lain. Betapa manakala ada mobil menepi, dalam hati ia bersorak : "customers!" Benar-benar versi nyata Radiator Springs!
Menurut Ibu tadi, Kecamatan Plered, Gandasoli, Citalang, dan Cirata merupakan desa-desa tua yang sejak jaman dahulu telah ditinggali manusia. Memang dari informasi lain, penggalian di kawasan Cirata menghasilkan penemuan berupa benda-benda batu, kapak persegi, alu/penumbuk padi dari batu, periuk dan belanga tanah liat, serta anjun (panjunan) tempat membuat gerabah. Asal mula nama Plered sendiri memiliki banyak versi. Menurut Ibu ini, Plered berasal dari kata Palered yang berarti pedati kecil yang ditarik oleh kerbau.
Sentra kerajinan gerabah dapat ditelusuri kembali ke tahun 1795. Dari data kolonial Belanda, di sekitar Citalang udah terdapat lio-lio (pembakaran genting dan batu bata). Bahkan di Anjun sudah tercatat adanya pengrajin gerabah. Kerajinan gerabah Plered kian berkembang sejak dibukanya pabrik glazuur Belanda bernama Hendrik de Boa di Warungkondang, Plered pada tahun 1935. Sempat mengalami pasang-surut saat pendudukan Jepang dan perkembangan kembali mulai tahun 1950-an, saat ini terdapat tak kurang dari 264 unit usaha gerabah yang mempekerjakan sekitar 3000 orang di kawasan Plered. Unit-unit usaha yang saat ini pun tengah berupaya untuk tetap bertahan setelah dibukanya Tol Cipularang.
Hampir satu jam kami habiskan untuk memilih-milih gerabah dan bertukar cerita dengan ibu pemilik showroom yang baik hati ini. Kami pun mohon pamit, diiringi puluhan kali ucapan hatur nuhun dari beliau.
Sayang, kami tak lagi dapat meneruskan berkendara di jalur lama layaknya Route 66 ini. Matahari kian meninggi, kami pun teringat janji yang harus kami kerjakan sesampainya di rumah di Bekasi sore nanti. Kembali menuju pertigaan Plered, kami berbelok ke arah kiri menuju Purwakarta. Sekitar 8 km melaju di jalur lama yang penuh kelokan ringan ini, kami tiba di pertigaan Pintu Tol Jatiluhur. Kami pun masuk tol dan menutup perjalanan yang amat menyenangkan ini dengan janji untuk kembali mengulanginya suatu saat nanti. Insyaallah.

Anda ingin pula mencoba? Tak ada salahnya bukan, meluangkan sekali waktu untuk menikmati perjalanan yang santai, yang tak melulu sekedar mengejar waktu tempuh dan kecepatan...
--------------------------------------------------------------------

Pigura 3D Anggrek Bulan Ungu & Putih, Rp. 75.000/pc

Pigura 3D Bunga Daisy Ungu, Rp. 75.000/pc

Main Yuk ke Rumah Sosis Bandung...

Long weekend kemarin (17 ~ 20 Mei 2012) kami sekeluarga berkunjung ke rumah orang tua suami kami di Bandung. Kebetulan suami kami dapat mengambil cuti pada tanggal 18 Mei, dan anak-anak pun libur pula sekolahnya.
Sejak dari Bekasi, anak-anak sudah ribut ingin berkunjung ke Rumah Sosis, arena wisata yang setelah sempat ditayangkan di salah satu TV swasta (dan kebetulan anak kami menontonnya) rupanya merebut perhatian anak-anak kami. Ya sudah, jadilah Jum'at pagi sekitar pukul 8 kami sekeluarga sudah mulai jalan dari rumah.

=====================================================
Must have items sista...
Ranting inul bunga mawar silkworm cocoon-like ungu tipe-C minimalis, Rp. 175.000/set
=========================================================================

Perjalanan dari rumah orang tua kami di daerah Margahayu Raya menuju lokasi Rumah Sosis di kawasan Setiabudi, Bandung Utara, memakan waktu sekitar 1 jam. Suami kami mengambil rute Kiaracondong - Gatot Subroto - Gedung Sate - Cipaganti, terus naik ke atas menuju Setiabudi. Lalu lintas sedikit tersendat di sekitar Terminal Ledeng, tetapi setelah itu lancar kembali. Lokasi Rumah Sosis dihitung dari Terminal Ledeng sebenarnya tidak terlalu jauh, menurut taksiran kami maksimal 1 km. Terletak di sebelah kiri jalan, terdapat spanduk besar dengan warna dominan merah dan kuning sebagai penanda jalan masuk ke lokasi. Jalan masuk ini tidak besar, hanya seukuran 2 jalur mobil saja. Area Rumah Sosis baru terlihat membesar alias ngantong di dalam.

Peta Lokasi Rumah Sosis

Setelah membayar parkir mobil Rp. 3000, kami masuk ke area parkir yang sebenarnya tidak terlalu luas. Kapasitasnya menurut taksiran kami hanya sekitar 40-an mobil saja. Jadi lebih baik memang datang agak pagi agar masih memperoleh parkir mobil. Sedangkan kapasitas parkir motor cukup memadai.

Tak menunda waktu, kami segera menuju ke pintu masuk. Di sana terdapat denah lokasi dan spanduk daftar harga permainan-permainan yang dapat dipilih oleh pengunjung. Untuk masuk ke dalam, pengunjung harus membeli tiket masuk sebesar Rp. 2000/orang.


Di dalam, anak-anak kami segera berlarian menuju kolam renang. Airnya memang dingin (apalagi di kawasan Bandung Utara), namun tak menghalangi keceriaan mereka. Rumah Sosis memiliki 2 kolam renang, yaitu kolam renang anak yang berukuran lebih kecil, serta kolam renang dewasa berkedalaman antara 1 hingga 2 meter yang berukuran lebih besar. Anak-anak sebaiknya bermain di kolam untuk anak yang dilengkapi aneka permainan seperti perosotan, ring basket, air tumpah, dan lain-lain.

Puas berenang, anak-anak mengajak untuk menikmati permainan lain. Kami mencoba beberapa di antaranya seperti Perahu Sosis yang amat anak-anak kami gemari. Dinda memilih perahu sosis berwarna kuning, sementara Dryar dan Abid berdua menaiki perahu berwarna merah.
Pandangan dari atas area bermain Rumah Sosis dan kolam pancing (di sebelah kanan)

Kolam Pancing

Arena ATV

Lorong Sesat (tapi dindingnya kok dari gedhek ya... didorong dari dalam saat panik tidak bisa menemukan jalan keluar bisa rubuh dong...)

Kafetaria tempat bersantap sosis sehabis letih berenang dan bermain

Tak terasa waktu terus berlalu. Kami pun harus mengakhiri kunjungan ke Rumah Sosis karena waktu shalat Jum'at kian dekat. Suami kami mengarahkan mobil ke Masjid Salman ITB, mungkin sambil nostalgia masa kuliah dulu... Sementara suami kami dan si sulung Dryar melaksanakan shalat Jum'at, kami, Dinda dan Abid si bungsu menunggu sambil duduk-duduk di Taman Ganesha, samping Masjid Salman. Di kolam Taman Ganesha, Dinda dan Abid berpura-pura sedang memancing ikan. Yah, bagus juga sih... jadi tidak terasa bosannya menunggu.
Nah, bagi anda yang berwisata ke Bandung, Rumah Sosis rasanya sangat layak dijadikan salah satu alternatif wisata yang sangat menghibur.


Jika Anda mau meneruskan perjalanan ke Lembang, mengapa tidak berkunjung juga sekalian ke De'Ranch? Tempat ini menawarkan suasana peternakan kuda jaman koboi dan indian di Amerika Utara.
Pengalaman kami main ke De'Ranch Lembang bisa dibaca di sini...

Share info : bagi Anda yang hendak berkunjung dan menginap di kawasan Bandung Utara, Hotel Sukajadi kami pikir sangat recommended sebagai alternatif tempat menginap yang value for money. Hotel bernuansa tradisional di tepi jalan Sukajadi atas (seperti namanya) ini extraordinary bersih, rapi, dan terawat, terutama untuk kamar-kamar yang baru direnovasi. Tak ada debu sedikit pun menempel di perabotan dan dindingnya. Keramahan staff hotel ini pun luar biasa jempol. Sangat worthed dengan room rate yang reasonable.
Area parkir di depan hotel tampak tak memadai, namun sebenarnya Hotel Sukajadi memiliki area parkir yang lebih luas dan nyaman di bagian belakang (dari Jl. Sirnamanah). Tak perlu khawatir, staff hotel dapat membantu memindahkan mobil Anda ke belakang.

Konsep gallery hotel diterapkan di sini. Anda akan terkesan dengan banyaknya koleksi benda seni yang dipajang di dinding maupun di dalam lemari/show case yang bertebaran di seantero penjuru hotel. Beberapa lukisan/foto yang bertuliskan 'SALE' dapat dibeli. Anda tinggal menghubungi staf hotel.
Menu makanan dan restoran hotel ini juga memuaskan. Pokoknya Hotel Sukajadi bagi kami highly recommended. Info detil dan room rate dapat dilihat di url sukajadihotel(dot)com.

Another must have items... 
Pigura 3D Bunga Bola, Rp. 75.000/pc

Baca juga :