Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Rabu, 06 April 2016

Jalan-Jalan di Surabaya Pusat, Napak Tilas Pertempuran 10 November 1945 Arek Suroboyo

Berkunjung ke Kota Pahlawan Surabaya, salah satu spot favorit pelancong tentunya Tunjungan Plaza (TP) dan sekitarnya. Kawasan Surabaya Pusat ini menawarkan wisata belanja di salah satu mall terbesar Indonesia, aneka jajanan, serta tentunya spot sejarah perjuangan Arek Suroboyo pada jaman pergolakan mempertahankan kemerdekaan RI : Hotel Oranje/Yamato tempat terjadinya peristiwa heroik dirobeknya warna biru pada bendera Belanda menjadi Merah Putih pada 18 Sept 1945.
TP yang beralamat Jl. Jendral Basuki Rachmad 8-12, Surabaya (TP I-III) hingga Jalan Embong Malang 7-21, Surabaya (TP IV) adalah sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya, sekaligus plaza yang paling populer di masyarakat Kota Pahlawan. 
Mulai dibangun pada tahun 1983 hingga diresmikan pada 1986 (TP I), TP IV tercatat baru rampung pada tahun 2001.  TP secara total memiliki 4 bangunan utama yang saling terhubung (TP I-IV), dan saat ini dikenal sebagai pusat komersial Surabaya berkonsep ne stop family mall. Setidaknya diperlukan waktu seharian untuk menjelajahi seluruh tenant di kompleks TP I-IV! TP I dikenal juga sebagai Plaza East, TP II Plaza Central, TP III dan TP IV Plaza West. Pengembangan terakhir dari kompleks TP dikenal sebagai The Gallery (TP V) dengan konsep mewah dengan tenant brand-brand premium internasional seperti IMAX, LV, Tory Burch, Rolex, YSL, dll. Di atas TP V terdapat The Peak Residence. 
TP dengan total 9 lantai ini dinaungi oleh PT. Pakuwon Jati Tbk., yang juga membangun Pakuwon Trade Center dan Supermal Pakuwon Indah di wilayah pemukiman Pakuwon Indah di Surabaya Barat, Royal Plaza di Surabaya Selatan, sera East Coast Center, Food Festival, dan Pakuwon Town Square di Surabaya Timur, tepatnya di kawasan pemukiman Pakuwon City (dulu Laguna).

 Must have item : Bambu ulir rangkai daun maple, detil klik di sini...

Kawasan TP dan sekitarnya kami nilai sangat unik karena memadukan bangunan modern seperti TP, dealer otomotif, bank, hotel, dsb., serta gedung vintage era kolonial. Di seberang TP kami mendapati toko jadul Occasion serta Wing On Keradjinan Perak dan Antik, serta sedikit ke arah Jl. Embong Malang terdapat Monumen Pers Perjuangan Surabaya serta sebuah gedung antik bertuliskan Anno 1912 (Tahun 1912)... paduan yang menyenangkan.
Occasion (kiri); Wing On (kanan)
Monumen Pers Perjuangan Surabaya (kiri); Anno 1912 (kanan)
Dan... di seberang jalan dari Monumen Pers Perjuangan Surabaya tentunya terdapat Hotel Majapahit ternama. Hotel Majapahit adalah sebuah hotel mewah bersejarah di Jalan Tunjungan no. 65, yang dahulunya bernama LMS, lalu Hotel Oranje, dan kemudian Hotel Yamato.
Saat ini, Hotel Majapahit yang dibangun pada tahun 1910 oleh Sarkies Brothers dari Armenia tersebut sudah berubah menjadi hotel mewah bintang lima dengan total 143 kamar di lantai satu dan dua. Hotel ini sempat dikelola oleh Mandarin Oriental Hotel Group (1993~2006). Pada tahun 2006, hotel ini diakuisisi oleh PT Sekman Wisata. Sebagian besar wajah asli hotel masih dapat dilihat hingga saat ini, meskipun beberapa bangunan luar dan beberapa unsur interiornya telah direnovasi.

Insiden heroik perobekan bendera Belanda menjadi Merah Putih merupakan kulminasi dari rentetan peristiwa menyusul Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam jendela waktu yang sempit pasca kekalahan Jepang pada Perang Dunia II (16 Agustus 1945), Sukarno-Hatta mewakili bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan RI, lalu bergerak cepat mengeluarkan maklumat pemerintahan Soekarno tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia. Gerakan pengibaran Merah Putih tersebut makin meluas pula ke segenap pelosok kota Surabaya.
Pasca kekalahan Jepang tersebut, dirasa perlu untuk sesegera mungkin mengumpulkan dan memulangkan tawanan perang Jepang dan Eropa secara manusiawi. Untuk itu, dibentuklan Komite Kontak Sosial yang disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross), yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Pihak Indonesia awalnya menerima dengan baik kehadiran organisasi kemanusiaan ini untuk sesegera mungkin dapat menyelesaikan masalah tawanan perang dengan baik. Namun ternyata kepercayaan pihak Indonesia ini ditelikung oleh kegiatan politik opsir Sekutu (Inggris) dan Belanda yang menyusup bersama rombongan Intercross, dan berusaha menguasai kembali Indonesia.
Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta. Rombongan tersebut oleh administrasi Jepang di Surabaya ditempatkan di Hotel Yamato, sedangkan rombongan Intercross di gedung terpisah, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran).
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan W. V. Ch Ploegman pada pukul 21.00 tanggal 18 September 1945 mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah Karesidenan Surabaya pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sejak 1 September 1945 sedang berlangsung di Surabaya.

 Must have item : Pigura 3D Anggrek Bulan, detil klik di sini...

Kabar tersebut tersebar cepat di seluruh kota Surabaya, dan Jl. Tunjungan dalam tempo singkat dibanjiri oleh massa yang marah. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan. Di sisi agak belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang berjaga-jaga untuk mengendalikan situasi tak stabil tersebut.
Tak lama setelah mengumpulnya massa tersebut, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Ploegman dan kawan-kawannya, dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. 
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui berantakannya perundingan tersebut langsung mendobrak masuk ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera, lalu bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Peristiwa 19 September 1945 ini disambut oleh massa di bawah hotel dengan pekik 'Merdeka' berulang kali.
mobil Mallaby yang terbakar
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, suasana memanas. Laskar Indonesia kian intens berpatroli dengan dukungan seorang Komandan senior Jepang di Surabaya, Shibata Yaichiro, yang memutuskan untuk mendukung Republik Indonesia dan menyatakan bahwa ia siap membantu Indonesia dengan suplai persenjataan. Sayangnya pada tanggal 3 Oktober Shibata terpaksa menyerah kepada kapten AL Belanda, dimana ia kemudian memerintahkan tentaranya untuk memberikan senjata mereka yang tersisa kepada rakyat Indonesia. Seharusnya, milisi Indonesia memberikan senjata-senjata mereka yang telah terlanjur mereka terima dari pasukan Shibata kepada sekutu (Inggris), tapi mereka menolak melakukan hal tersebut.
Ketegangan ini sedikit reda ketika tanggal 26 Oktober 1945 Brigjen A.W.S. Mallaby mencapai sebuah kesepakatan dengan Mr. Suryo yang saat itu menjadi gubernur Jawa Timur bahwa tentara Inggris tidak akan menyuruh tentara atau milisi Indonesia untuk menyerahkan senjata mereka.
Namun celakanya, pada tanggal 27 Oktober 1945 sebuah pesawat milik Inggris dari Jakarta menyebarkan selebaran di atas Surabaya yang memaksa para tentara dan milisi Indonesia untuk menyerahkan senjata mereka. Hal ini membuat geram pemimpin tentara dan milisi Indonesia karena dinilai sebagai pelanggaran akan perjanjian yang telah dibuat oleh Mallaby sehari sebelumnya. 
Pada tanggal 28 Oktober, serangan terhadap tentara Inggris dilancarkan di Surabaya dan menewaskan sekitar 200 prajurit. Karena hal inilah, pihak Inggris (Jendral D.C. Hawthorn) meminta agar Soekarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin Harahap terbang ke Surabaya untuk bernegosiasi tentang gencatan senjata. Bahkan setelah gencatan senjata disepakati kedua pihak, pertempuran kembali berlanjut karena masalah komunikasi dan kedua pihak yang saling tidak percaya satu sama lain. Memang pada 29 Oktober 1945 tercapai kesepakatan gencatan senjata Indonesia-Inggris, walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigjen Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945. Ketika itu, sekitar pukul 20.30 Mobil Buick yang ditumpangi Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia dekat gedung Internatio ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayjen Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 pukul 06.00 yang meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Insiden terbunuhnya Mallaby sendiri hingga kini masih menjadi misteri.
serdadu India (Inggris) pada Surabaya 1945
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour Party), pada 20 Feb 1946 dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. 
Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... ".

Ultimatum 10 November tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan/milisi. Ultimatum ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan masif, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
adegan epik pidato Bung Tomo
Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka. Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu tiga pekan (27 Oktober - 20 November 1945), sebelum seluruh kota Surabaya perlahan jatuh di tangan pihak Inggris. 

Setidaknya 6000 pejuang dari pihak Indonesia gugur, 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya, dan 600 musuh (Inggris dan India) mati bersimbah darah. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang. Sangat benarlah komentar David Welch dalam buku Birth of Indonesia hal. 67 : "Tiada pertempuran yang dilancarkan Republik yang dapat disebandingkan dengan pertempuran Surabaya itu, baik dalam keberanian maupun kegigihannya."
Pasukan Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II dengan segala kebesarannya pun tampaknya tak menduga sengitnya perlawanan laskar Indonesia yang tak mau mundur barang sejengkal pun, sehingga pertempuran berlangsung amat lama dan berat.

Isi Pidato Bung Tomo dalam Rangkaian Pertempuran Surabaya, 1945
Bismillahirrahmanirrahim..
MERDEKA!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia
terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya
kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini
tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet
yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua
kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan
menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang
mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan
mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka
Saudara-saudara
di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan
bahwa rakyat Indonesia di Surabaya
pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku
pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi
pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali
pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan
pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera
pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di surabaya ini
di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing
dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung
telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol
telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana
hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara
dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini
maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran
tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri
dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya
Saudara-saudara kita semuanya
kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini
akan menerima tantangan tentara inggris itu
dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya
ingin mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa
ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini
dengarkanlah ini tentara inggris
ini jawaban kita
ini jawaban rakyat Surabaya
ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian
hai tentara inggris
kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu
kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu
kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu
tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita
untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada
tetapi inilah jawaban kita:
selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting!
tetapi saya peringatkan sekali lagi
jangan mulai menembak
baru kalau kita ditembak
maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka
Dan untuk kita saudara-saudara
lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka
semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara
pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
percayalah saudara-saudara
Tuhan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
MERDEKA!!!    



OK, kembali ke masa kini, kembali ke kawasan Tunjungan di Kota Pahlawan. Satu hal yang tak mampu dielakkan adalah arus modernisasi. Kawasan Tunjungan, tempat terjadinya pertempuran dahsyat ini telah bertransformasi menjadi pusat bisnis Surabaya. Salah satu yang amat dibutuhkan oleh masyarakat modern dalam mendukung aktifitasnya di daerah ini adalah hotel.
Dalam kunjungan terakhir kami ke Surabaya pada awal 2016 ini, kami mencoba 2 hotel berbeda di kawasan ini, masing-masing menginap 1 malam. Hitung-hitung mencoba hotel berbeda, serta tentunya menikmati kamar yang baru dipersiapkan setiap harinya.

Hotel Bekizaar terletak tepat di seberang TP, tak jauh dari deretan McDonalds dan KFC.  
Bangunan hotel bisnis ini jika dilihat dari depan tampak amat tipis tetapi tinggi menjulang. Kami suka dengan konsep 2 set meja-kursi bulat dengan payung besar di sisi kiri-kanan entrance. Terkesan hangat dan cozy.
Sedikit kesulitan kami pikir bisa datang dari kapasitas parkir mobil tamu hotel yang terbatas mengingat luas tanah hotel ini tidak terlalu lega. Hanya tersedia 1 jalur mobil di sebelah kiri entrance untuk masuk ke area parkir di bagian belakang. Mobil keluar lewat Jl. Simpang Pojok di belakang hotel menuju arah Hotel Inna Simpang. Area drop off taxi yang sempit juga bisa menyulitkan saat jalan di depan hotel macet.
Kami sengaja meminta kamar di lantai atas agar dapat melihat pemandangan kota. Sayangnya kamar kami tidak menghadap ke depan, melainkan ke samping yang berbatasan dengan gedung tinggi Bank Pundi tepat di sisi kiri hotel. 
Pelayanan check in dan check out di sini sigap dan ramah. AC di kamar yang kami tempati sempat bermasalah (tidak nyala) sehingga kami harus menghubungi petugas hotel. Untungnya problem ini cepat ditanggapi dan terselesaikan.
Kami memilih lantai 6 yang bebas rokok. Suasana lorong tampak bersih dan terang lewat pemilihan warna-warna muda. Lift naik-turun tidak ada masalah.
Kami tidak melihat ada masalah pada kamar hotel yang cukup luas ini (di luar AC yang awalnya tidak hidup namun segera teratasi). Kamarnya secara umum bersih dan nyaman. Ranjang king size juga OK. TV LCD 32 inch dan teko perebus air standar. WIFI kencang, tersedia di seluruh bagian hotel.

Kamar mandi minimalis dengan area basah (shower) di salah satu ujungnya. Air hangat lancar dan tersedia cukup melimpah, kebersihan kamar mandi baik, peralatan toliet juga lengkap.
Sarapan tersedia di Restoran Jaloe (apakah Anda melihat hubungannya : Hotel Bekizaar dengan Restoran Jaloe)? Menu cukup beragam dan lezat untuk ukuran hotel bisnis. Restoran ini pun cukup luas untuk menampung banyak tamu.

Hotel Fave Mex berada di Jl. Pregolan, seberang Polsek Tegalsari, dekat TP. Hanya butuh 5 menit jalan kaki dari hotel ini ke TP, melewati Polsek Tegalsari, Ranch Market, dan Nissan basuki Rachmad. Hotel bisnis ini dilengkapi diskotek di lantai atas, ada plus-minus tentunya bagi tamu yang suka atau tidak dengan hiburan malam seperti ini. Tersedia restoran Boncafe tepat di seberang Jl. Pregolan. Sarapan disediakan di resto hotel di lantai dasar.
Check in dan check out di sini lancar dan cepat. Kamar hotel nuansa pink kami nilai cukup baik untuk kelas hotel bisnis, meski lantai kayu kamar yang kami tempati berderit di beberapa tempat. Kamar mandi bersih, air hangat lancar, peralatan toilet juga lengkap. WIFI cukup kencang tersedia di seluruh area hotel.


 
Bagi yang suka koleksi mainan Happy Meal McD dan Chaky KFC, menginap di kedua hotel ini sangat pas karena kedua fast food ini hanya berjarak beberapa menit jalan kaki. Hotel Bekizaar hanya terpaut 50m dari McD dan 80m dari KFC. Dari Fave Mex memang agak lebih jauh karena kita harus menyebrangi Jl. Basuki Rachmad via JPO di depan Ranch Market. Sekitar 140m lah dari KFC. Yang jelas kita bisa selalu bersantap di kedua resto ini sambil terus mengumpulkan mainannya...
 

Monumen Pers Perjuangan Surabaya (MPPS)
Seperti yang kami singgung di atas bahwa terdapat MPPS tak jauh dari TP atau Hotel Majapahit, tepatnya di sudut Jl. Tunjungan dan Jl. Embong Malang. Monumen penting ini didirikan untuk mengenang perjuangan para wartawan selama masa perjuangan di Surabaya.

Sepintas lalu, bangunan ini tampak bagaikan adalah sebuah gedung. Padahal sebenarnya merupakan sebuah monumen... sama sekali bukan gedung. Di dalam monumen ini terdapat prasasti yang bertuliskan :  
“Di Gedung Ini Tunjungan 100 pada tanggal 1 September 1945 didirikan Kantor Berita Indonesia / Antara yang mengabdikan perjuangannya untuk kemerdekaan Republik Indonesia.
Pelaku-pelakunya adalah: Bung Tomo, R.M. Bintarti, Amin Lubis, Wiwiek Hidayat, Lukitaningsih, Hidayat, Samsul Arifin, Mashud, Jacub, Abd. Wahab, Tuty Agustina, Soewadji Garnadi, Sudjoko, Sukarsono, Sutoyo, Suwardi, Sumardjo, Petruk Sumadji, Fakih Hasan, Ali Urip, Mulyaningsih, Kusnendar, W.A. Saleh, Sumadi Gadio, Atmosantoso, Hasan Basri, Suwardi, Alimun, Sudarmo Kuntoyo, Samidjo, Rakhmad, Sofyan Tanjung, Moh Sin, Giman, Sumarsono, Wiryo Suman, Rifai, Ismail, Pepsia Bintarti, Sudardjo, Anwar Noris, dsb.
Tengara ini diletakkan pada 13 Desember 1985 pada saat dilakukan jumpa ulang ex warga Kantor Berita Indonesia-Antara Surabaya 1945.″ 

Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa dulu alamat monumen ini adalah Jl. Tunjungan 100. Sementara pada saat ini telah berganti menjadi Jl. Embong Malang No 2. 

Pada sebuah prasasti lainnya tertulis : 

“Setelah Kantor Berita Domei milik Jepang ditutup, para wartawan Indonesia mendirikan Kantor Berita Indonesia bertempat di gedung ini pada bulan Agustus 1945. Setelah diintegrasikan dengan Kantor Berita Nasional Antara, namanya menjadi Kantor Berita Indonesia Antara.”


Sebelum MPPS berdiri, sebelumnya tempat ini adalah rumah biasa. Pada tahun 1886 rumah itu berubah menjadi sebuah toko serba ada bernama Simpangsche Bazaar yang didampingi sebuah kafe di sebelahnya bernama Bierhal. Toko tersebut sempat juga direnovasi pada tahun 1904. Kemudian pada tahun 1925 Simpangsche Bazar dibongkar dan berubah menjadi sebuah toko mobil, yang ternyata tak bertahan lama. Pada tahun 1928, toko mobil itu berganti menjadi Toko Nam. Ketika Toko Nam pindah ke seberang jalan, bangunan itu kemudian dihancurkan dan dibangun bangunan baru yaitu Toko Kwang pada 1938. Bangunan itulah yang kini menjadi MPPS.
Setelah Jepang kalah perang (September 1945), instrumen pers kantor berita Jepang Domei seperti pesawat radio, transmiter dan receiver digunakan oleh pihak Republik Indonesia (para wartawan kantor berita Domei di Surabaya yang kemudian mendirikan Kantor Berita Indonesia) untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dengan menerbitkan buletin yang diberi nama Siaran Kilat. Semua dilakukan di gedung yang kini menjadi MPPS. 
Satu sosok penting yang tak boleh dilewatkan dalam MPPS adalah Bung Tomo. Sosok yang memiliki peran sentral saat pertempuran 10 November di Surabaya ini merupakan pendiri Kantor Berita Indonesia cabang Surabaya (Antara) yang diresmikan pada 1 September 1945. Setelah peristiwa keberhasilan melucuti senjata pasukan Jepang, Bung Tomo yang merupakan seorang wartawan bersama Jacob menuju Jakarta untuk bertemu Bung Karno dan Adam Malik untuk melaporkan keberhasilan melucuti persenjataan Jepang, dan menggabungkan Kantor Berita Indonesia di Surabaya sebagai bagian dari Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Permintaan penggabungan ini disetujui sehingga resmi berdirilah Antara cabang Surabaya di MPPS.
Kejadian terpenting yang berhasil direkam oleh para wartawan Surabaya dalam masa perjuangan itu tentunya insiden perobekan bendera Belanda menjadi bendera Indonesia di atap Hotel Yamato. Keberadaan kantor Berita ini amatlah penting dalam masa perjuangan kemerdekaan. Sebab dari sinilah berita-berita kemerdekaan diekspos ke luar negeri sehingga gigihnya perjuangan kemerdekaan bangsa ini bisa diketahui di luar sana.
Setelah insiden Yamato, pada 1 Oktober 1945, arek Surabaya mengambil alih gedung-gedung yang sebelumnya dikuasai Jepang, tak terkecuali kantor Berita Domei yang terletak di Alun-Alun Strat 30 (kini di Jl. Pahlawan 112 yang ditempati Gedung PT Pelni) yang kemudian dijadikan Kantor Berita Indonesia Surabaya yang sebelumnya beroperasi di MPPS. Meski demikian, bangunan MPPS di Jl. Embong Malang tersebut masih difungsikan untuk menerbitkan buletin Siaran Kilat.
Dulu MPPS ini tiap harinya ramai dikunjungi warga Surabaya yang ingin membaca berita terbaru. Di depan gedung, berita-berita tersebut ditempel agar bisa mudah dinikmati. 

Kini di belakang MPPS terdapat sebuah galeri Seiko, tempat penjualan jam bermerk Seiko dan Alba. Memang adanya dua merek ini seolah merancukan keberadaan MPPS karena kedua gedung yang berbeda ini menjadi seolah satu bangunan tunggal. Orang yang baru pertama kali berkunjung ke sini mungkin mengira gedung ini adalah gedung Seiko, bukan MPPS...