Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Selasa, 26 Desember 2017

Sunrise dan Sunset Tak Sengaja

Seperti yang beberapa kali kami singgung dalam artikel-artikel jalan-jalan di blog ini bahwa qadarullah kami agak kurang beruntung dalam memburu sunrise atau sunset yang bagus ketika mengunjungi spot-spot wisata, ternyata dalam beberapa kesempatan yang tak diduga-duga di sekitar rumah atau di beberapa lokasi lain yang sebenarnya rutin kami lewati, kami justru mendapatkan anugrah sunrise dan sunset yang menarik!
Beberapa momen kami dapatkan secara tak sengaja ketika kami berada tepat di jalan depan rumah, atau bahkan saat sedang berada di area menjemur pakaian di lantai atas rumah. Beberapa kami peroleh dalam perjalanan mengantar anak ke atau pulang dari sekolah... 
Prinsipnya : siapkan selalu kamera agar tak ketinggalan momen berharga yang hanya berdurasi paling lama 10 menit ini...
Let's check these out!

2 view sunset di Jl. Alun-Alun Utara perumahan kami sekitar pertengahan Maret 2017

View sunset yang sama (pertengahan Maret 2017) dari halaman Masjid Al A'raf Bumi Alam Hijau

 Sunrise akhir Juli 2017 di Perum Grand Wisata Bekasi (kiri atas); Sunrise pertengahan Juli 2017 di Kalimalang Bekasi (kanan atas)

Sunrise awal Agustus 2017 dari lantai atas rumah kami

 Sunrise awal Agustus 2017 di Jl. H. Djole depan perumahan kami saat mengantar anak ke sekoleh (kiri atas); sunset akhir Desember 2017 tepat di gerbang masuk perumahan kami (kanan atas)

Late sunrise akhir Juli 2017 saat terjebak macet di Kalimalang Bekasi

Late sunrise akhir Agustus 2017 di sekolah anak-anak kami, SD Islam Teratai Putih Global Bekasi. Kami ingat bahwa pagi itu awan berbentuk cukup unik menghalangi sinar matahari... 

Sunset awal Desember 2017 di Jl. Narogong Bekasi

Sunset akhir Desember 2017 di daerah Cakung, Jakarta Timur

Sunset akhir Desember 2017 di dekat Perum Harapan Baru Bekasi

Sunset akhir Deesember 2017 di Jl. Alun-Alun Utara perumahan kami

Sunset akhir Desember 2017 di Jl. Durian 12 di depan rumah kami. Foto diambil tepatnya dari depan lapangan/fasos-fasum RT 03.

Sunset akhir Desember 2017. Foto diambil tepatnya dari lapangan depan Masjid Al A'raf.

Late sunset akhir Desember 2017 dari area parkir Masjid Al A'raf ba'da shalat maghrib ke arah Jl. Alun-Alun Selatan perumahan

Late sunset akhir Desember 2017 dari area parkir Masjid Al A'raf ba'da shalat maghrib ke arah Sport Center Arena

Sunset akhir Desember 2017 dari serambi Masjid Al A'raf perumahan kami

Sunset akhir Desember 2017 saat melintas di Flyover Kranji, Bekasi. Tampak kubah dan menara Masjid Nurani menyembul di balik pagar jembatan di bagian kanan foto... 


Selasa, 10 Oktober 2017

Air Mancur Sri Baduga dan Alun-Alun Purwakarta

Situ Buleud yang kini populer dengan nama Taman Air Mancur Sri Baduga sekarang ini merupakan magnet wisata utama Kota Purwakarta.
Terletak sangat strategis di pusat kota (hanya sekitar 200 m sebelah timur Alun-Alun), danau berbentuk melingkar seluas sekitar 2 ha ini menampilkan atraksi air mancur menari setiap Sabtu malam.
Tak mengherankan bahwa Sabtu malam di pusat Kota Purwakarta saat ini selalu berarti lautan massa dan kepadatan lalu lintas. Tak hanya penduduk Purwakarta, pengunjung dari kota-kota sekitarnya pun berduyun-duyun datang memadati Situ Buleud.

Kami tiba di Purwakarta sekitar pukul 9 pagi. Karena pertunjukan air mancur baru berlangsung pada malam hari, maka pilihan yang ada adalah berkunjung ke area Alun-Alun.
Kita bisa memarkir mobil di area parkir depan Masjid Agung Baing Yusuf (foto sebelah kanan), atau parkir paralel sepanjang Jl. Dr. Kusumahatmaja (depan Lembaga Pemasyarakatan Purwakarta).
Sebenarnya Alun-Alun Purwakarta lebih cantik dinikmati saat malam hari dengan lampu-lampu aneka warnanya. Pada siang hari seperti saat kami datang Alun-Alun ini tampak tak terlalu istimewa. Tetapi tetap saja kesan bersih dan tertata rapi mencuat kuat saat kami berada di sana.

Pertama-tama kami menuju area Taman Mayadatar dan Taman Pancawarna yang berada di depan Kantor Bupati Purwakarta.
Lagi-lagi kami harus mengacungkan jempol ketika melihat kebersihan dan kerapihan lokasi-lokasi ini yang tampaknya memang didesain dan direncanakan dengan baik (foto sebelah kiri).
Akang-akang petugas berpakaian daerah yang berjaga di seputaran area ini tampak ramah membantu pengunjung, sekaligus cukup tegas memperingatkan untuk tidak menginjak rumput atau membuang sampah sembarangan.
Satu hal yang cukup menarik adalah melihat beberapa pengunjung yang memberi makan ikan-ikan berukuran cukup besar yang hidup di kanal-kanal sepanjang pedestrian ini seperti foto di bawah.


Tak banyak memang yang dapat dilakukan di seputaran lokasi taman-taman Kantor Bupati dan Alun-Alun Purwakarta pada siang hari selain berfoto-foto. Itu pun menurut kami kurang maksimal dibandingkan dengan jika kita datang ke sini pada malam hari... inilah rekomendasi kami.
Pun demikian setelah kami pindah dari area Kantor Bupati ke lapangan Alun-Alun, praktis ketika itu tak ada atraksi menarik di sana. Kami dan beberapa pengunjung lain ketika itu hanya bisa berfoto-foto seperti yang ditunjukkan oleh beberapa gambar di bawah.


Setelah berkeliling beberapa saat di Alun-Alun Purwakarta, kami menuju Warung Sate Maranggi Maskar Ajiiib yang berada tepat di seberang jalan sudut barat laut alun-alun (foto di bawah). Hanya tersedia tempat bagi maksimal 3 mobil dan beberapa sepeda motor di halamannya. Namun kita selalu bisa memarkir kendaraan di depan masjid agung, jadi tidak masalah juga sebenarnya.

Di dalam, kita dapat memilih untuk duduk di beberapa ruang lesehan yang tersedia. Ini adalah kali pertama kami menjajal sate maranggi. Makan sate sambil lesehan santai memang pas mantab. Begitu pun harga menu di sini tidak tergolong murah, ditambah dengan rasa bumbu sate maranggi yang subjektif bagi kami pribadi agak kurang cocok.

Setelah beberapa saat menyantap hidangan sate maranggi ajiiib yang kondang ini, terdengar adzan zuhur berkumandang dari masjid agung.
Kami bergantian menunaikan shalat karena sajian sate yang kami pesan memang belum habis.
Masjid Agung Baing Yusuf mengambil nama tokoh penyebar agama Islam di Purwakarta tahun 1800-an, R. Moch Yusuf (beliau berasal dari daerah Bogor) yang pada tahun 1826 mendirikan masjid agung di lokasi yang ketika itu masih berupa hutan.

Lokasi masjid yang saat ini menjadi Purwakarta ketika itu termasuk wilayah Karawang, dengan pusat pemerintahannya berada di Wanayasa. Baru pada tahun 1830-an pemerintahan Karawang dipindahkan ke lokasi sekitar masjid agung yang kemudian berkembang menjadi kota Purwakarta modern.
Meski telah berulang kali direnovasi, menurut pengurus DKM masjid agung, kubah dan empat tiang penyangganya masih asli. Saat ini Masjid Agung Baing Yusuf mampu menampung sekitar 3000 jamaah. Suasana di dalam masjid besar ini cukup adem, sangat mendukung aktivitas ibadah (foto sebelah kiri atas).
Setelah shalat dan menuntaskan sate maranggi, kami sekeluarga check ini di D'Cabin yang telah kami pesan sebelumnya. Detil Hotel Container D'Cabin klik di sini... 


Dari staf D'Cabin juga kami memperoleh beberapa informasi dan rekomendasi seputar waktu yang tepat untuk melihat pertunjukan air mancur Sri Baduga. Jadi, terdapat setidaknya 3 sesi pertunjukan air mancur yang masing-masing pertunjukanya berlangsung selama sekitar 15 menit. Sesi pertama dimulai setelah shalat isya, yaitu sekitar pukul 19.30. Jeda waktu antar sesi adalah sekitar 1 jam.
Staf D'Cabin menyarankan agar kami tidak memaksakan diri menonton sesi pertama karena biasanya sesi pertama ini paling padat pengunjung. Biasanya memang penonton sudah berdatangan ke area Situ Buleud setelah maghrib.
Pengunjung bisa melaksanakan shalat dulu di mushalla dalam area Situ Buleud, atau berjalan sedikit sekitar 200 m ke Masjid Agung Baing Yusuf. Perlu diingat bahwa kapasitas mushalla Situ Buleud sangat terbatas, pasti tidak nyaman. Pilihan terbaik adalah shalat di masjid agung. 
Setelah shalat maghrib inilah biasanya para pengunjung serentak menyerbu pintu masuk Situ Buleud. Pintu masuk hanya satu untuk menjamin ketertiban arus penonton. Pintu masuk ini berada di sisi timur situ (Jl. K.K Singawinata).
Kami yang datang dari arah Jl. R.E Martadinata via Gg. Tupai 1 harus melewati patung wayang menggendong ayam (kanan atas, mungkin diambil dari adegan cerita Ciung Wanara, CMIIW...) dahulu sebelum tiba di pintu masuk. Bisa dibayangkan kepadatan yang terjadi, meski akang-akang petugas kami pantau sudah sangat berupaya ekstra keras menjaga ketertiban pengunjung.

Belum lagi kerepotan mencari parkir kendaraan ketika itu, terutama mobil. Parkir motor sebenarnya tidak sulit karena motor bisa masuk hingga sisi situ yang memang ditutup untuk umum, tepatnya di sepanjang Jl. Siliwangi. Parkir mobil jauh lebih susah karena praktis mobil sama sekali tidak bisa masuk ke seputaran situ. Mobil harus parkir paralel sepanjang Jl. R.E Martadinata (seperti kami saat itu), atau di seputaran Alun-Alun, atau di jalan lain sekitar area ini.
Sesi kedua agak lebih baik situasinya karena sebagian penonton sesi pertama sudah bergerak pulang dan meninggalkan area situ. Maka kepadatan pengunjung dan parkir kendaraan akan sedikit berkurang. Ketika itu kami baru berangkat dari D'Cabin setelah shalat isya. Kami tiba di area situ sekitar pukul 20.00.








Aneka pemandangan pertunjukan air mancur seperti foto-foto di atas. Air mancur didesain mampu mengikuti ritme yang cukup rancak hingga syahdu dan perlahan. Posisi terbaik tentunya adalah dari depan patung Sri Baduga (sisi barat situ, arah Patung Badak).

Monumen Patung Badak di sisi barat Situ Buleud (Jl. Siliwangi)
Setiap selesai satu sesi pertunjukan, para petugas akan meminta pengunjung untuk keluar dari area situ untuk memberi kesempatan pengunjung lain masuk, jadi kita tidak bisa duduk terus di dalam untuk lanjt menonton sesi ke-2 dan ke-3. Cara ini bagus menurut kami karena menjamin setiap pengunjung dapat melihat pertunjukan, mengingat membludaknya pengunjung. 
Dari dalam area situ pengunjung akan diarahkan untuk keluar dari gerbang di sisi barat (Jl. Siliwangi). Pengunjung yang hendak melihat sesi berikutnya harus mau masuk dan mengantri lagi dari pintu masuk di sisi timur situ seperti saat akan masuk sebelumnya.
Kami ketika itu menonton sesi kedua, dan karena pengunjung di dalam situ sudah penuh kami mendapatkan tempat di belakang patung (sisi timur situ). Lokasi ini masih lumayan daripada di samping (sisi utara atau selatan) karena praktis dari utara atau selatan kita tidak bisa melihat air mancur berbanjar memanjang. Dari sisi timur dan barat kita dapat melihat jejeran air mancur seperti foto-foto di atas.

Produk bambu ulir
Ketika sesi kedua selesai, kami pun mengikuti arus pengunjung berjalan mengitari situ ke arah gerbang keluar. Kita tidak bisa berjalan cepat di sini karena padatnya pengunjung, namun karena itu juga lah kami qadarullah cukup beruntung karena menjelang tiba di gerbang keluar (masih berada di dalam area situ), ternyata pintu masuk sudah dibuka kembali. Akhirnya akang-akang petugas mempersilakan para pengunjung ex sesi ke-2 yang belum bisa keluar - termasuk kami - namun masih ingin menonton sesi ke-3 untuk langsung mengambil tempat duduk kembali. Dan ketika itu kami sudah berada di depan patung Sri Baduga (sisi barat situ)... Alhamdulillah, kami pun bisa duduk manis kembali menonton sesi ke-3.... yeay!

Selesai sesi terakhir malam itu, kami akhirnya keluar dari area situ... berbaur dengan lautan manusia yang tadi bersama-sama menonton pertunjukan. Dari gerbang ke luar ini kita akan melewati Monumen Patung Badak (foto di kanan atas). 
Di beberapa tempat pada dinding luar pagar pembatas situ terdapat ukiran tokoh-tokoh wayang seperti Arjuna di sebelah kiri bawah. Terkesan sangat tradisional memang...

Sekarang tiba giliran mencari jajanan karena perut sudah minta diisi. Di sepanjang sisi barat Jl. Siliwangi berjejer warung makan murmer yang bisa kita pilih sesuai selera. Selain warung, pedagang makanan kaki lima mau pun yang menggunakan sepeda motor cukup bervariasi... pokoknya tinggal pilih deh. 
Selain di sepanjang Jl. Siliwangi, beberapa resto tersedia pula sepanjang Jl. R.E Martadinata. Letaknya lebih jauh memang, tetapi boleh dicoba terutama bagi pengunjung yang memarkir mobilnya di sini, karena toh mereka pun harus menuju lokasi ini juga untuk mengambil mobil.

Benar pemikiran Kang Dedi Mulyadi sang Bupati Purwakarta saat itu, bahwa dibukanya pertunjukan air mancur Sri Baduga yang tergolong spektakuler memang akan menggulirkan aktivitas ekonomi Kota Purwakarta. Terbukti dengan menyemutnya pengunjung yang datang menonton setiap akhir pekan terpantau telah membuka peluang bagi warga Purwakarta dan sekitarnya untuk membuka aneka bisnis pendukung. Mulai dari kuliner, pertokoan, penginapan, hingga ke jasa parkir kendaraan pun ikut menikmatinya. Meski memang dampak kemacetan luar biasa saban akhir pekan di seputaran area situ pun tak terhindarkan... 

Suasana bubaran pengunjung pertunjukan air mancur

Kamis, 28 September 2017

D'Cabin dan Wisata Waduk Jatiluhur

D'Cabin Purwakarta merupakan hotel dengan konsep yang cukup unik mengingat kamar hotel ini terbuat dari container 20 feet yang sudah dimodifkasi sedemikian rupa menjadi kabin hunian yang nyaman. Harga D'Cabin ketika itu adalah Rp. 520rb/malam tanpa sarapan.
D'Cabin terletak di tepi Waduk Jatiluhur, tepatnya di area wahana air Jatiluhur Water Park. Menginap di D'Cabin memang berarti dapat menggunakan fasilitas wahana air ini dengan bebas. Ini memang menjadi salah satu keuntungannya.
Dari arah Jakarta, kita bisa berkendara via Tol Cipularang, lalu keluar di exit Jatiluhur-Ciganea-Cikalong. Setelah tiba di pertigaan jalan lama Purwakarta, belok ke kiri. Hanya sekitar 300 m setelah belokan tersebut kita sampai di pertigaan yang ditandai oleh patung tokoh pewayangan, ambil jalur ke arah kiri yang berkontur menanjak (Jl. Pramuka) sekitar 6 km terus hingga masuk kawasan waduk.
Hanya terdapat 4 unit container yang diwarnai biru dengan pola gelombang air di D'Cabin Purwakarta yang masing-masing diberi nama menurut 4 punakawan : Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Atap masing-masing container memiliki dek pandang ke arah waduk yang diberi pagar pengaman di keempat sisinya. Tangga putar untuk naik ke atas terdapat di sisi container (foto di bawah).

Pintu masuk ke dalam container didesain berupa pintu geser kaca yang juga berfungsi sebagai penerangan. Interior kabin sudah dilapisi material GRC serupa dinding ruangan biasa, tidak lagi menampakkan profil baja bergelombang khas container.
Tiap unit container memiliki ranjang susun sehingga mampu menampung cukup banyak tamu (foto di sebelah kanan).
Di sisi dinding yang berlawanan dengan posisi ranjang susun terdapat kulkas mini dan TV LCD (foto kiri bawah).
Di sisi ini juga terletak kamar mandi yang walaupun berukuran mini tetapi fungsional. Dinding kamar mandi di kabin ini telah dilapisi keramik seperti kamar mandi pada umumnya (foto kanan bawah). Air hangat di kamar mandi ini dari unit pemanas air listrik terpantau lancar dan memang cukup hangat.


Seperti yang telah disinggung di atas, D'Cabin terletak tepat di bagian atas area Jatiluhur Water Park. Terdapat susunan tangga batu yang menghubungkan pelataran D'Cabin dengan wahana air di bawahnya seperti yang ditunjukkan oleh foto di sebelah kiri bawah. Nyaman sekali bukan? Layaknya memiliki water park pribadi...
Sebenarnya terdapat loket pembayaran tiket untuk memasuki Kawasan Wisata Waduk Jatiluhur sebesar Rp. 20.000/orang. Tetapi pemegang lembar booking D'Cabin tak perlu membayar lagi untuk memasuki kawasan ini. Cukup tunjukkan saja booking D'Cabin kepada petugas di loket masuk, maka Anda akan diijinkan langsung masuk ke dalam.
Tiket masuk ke Jatiluhur Water Park sendiri adalah Rp. 35.000/orang. Tapi sekali lagi penyewa D'Cabin tak perlu membayar untuk bermain air bersama keluarga di sini.
Di bawah tampak beberapa suasana water park pada sekitar sore hingga menjelang waktu maghrib.





Satu hal yang menurut kami harus diperbaiki oleh pengelola D'Cabin adalah gerbang masuknya yang berkontur mirip polisi tidur, tetapi cukup tinggi sehingga kita hars berhati-hati mengemudikan mobil ketika melewatinya. Mobil Honda Freed yang kami gunakan ketika itu selalu kandas bagian kolongnya di gerbang masuk ini meski sudah berjalan sangat perlahan. Hanya ketika seluruh penumpang turunlah Freed kami tidak kandas... hadeuh. Tetapi mobil yang memiliki ground clearance lebih tinggi tentunya tak akan menjumpai masalah.
Kapasitas parkir D'Cabin hanyalah 4 mobil (foto kanan atas), persis sama dengan jumlah unit container yang ada di sini. Tampaknya memang hal ini sudah diperhitungkan oleh pengelola.

D'Cabin terletak tepat di sisi timur waduk, sehingga sebenarnya lokasi ini menawarkan keistimewaan pemandangan sunset bagi para tamu. Sayangnya entah mengapa di atas permukaan waduk pada petang itu tampak berkabut sehingga menghalangi cantiknya pemandangan mentari tenggelam.
Namun demikian kami tetap masih dapat menikmati sunset dari atap container. 
Tampak pula para pengunjung water park satu per satu meninggalkan area wahana air hingga akhirnya kosong.
Kami melaksanakan shalat maghrib, lalu bersiap pergi melihat pertunjukan air mancur di Situ Buleud yang kini populer dengan nama Taman Air Mancur Sri Baduga.
Perjalanan dari kawasan waduk ke kota Purwakarta cukup lancar hingga pertigaan Jl. A. Yani. Dari sini ke lokasi Situ Buleud lalu lintas cukup padat, apalagi setiap Sabtu malam ketika pertunjukan air mancur digelar. Jarak dari pertigaan Jl. Pramuka (patung wayang) ke Situ Buleud sekitar 3 km.
Kami kembali dari Situ Buleud ke D'Cabin sekitar pukul 22.00. Perjalanan kembali tentunya relatif lancar jaya karena sudah cukup larut. Area sekitar waduk cukup sepi namun tampaknya aman. Pelataran D'Cabin sendiri tampak cantik berhias lampu penerangan (foto di bawah). Meja makan yang tersedia di luar container dapat digunakan untuk minum kopi hangat atau makan jajanan lain. Pengelola menyediakan dispenser air panas yag dapat kita gunakan sewaktu-waktu.


Esok paginya setelah shalat subuh, sunrise memang tak terlihat dari D'Cabin karena tertutup pepohonan tinggi di belakang container. Namun tetap saja semburat kemerahan matahari terbit terlihat imdah saat terpantul oleh awan rendah di atas permukaan waduk.

Suasana matahari terbit di atas Waduk Jatiluhur
Terlihat beberapa staf pengelola water park mulai sibuk membersihkan kolam dan sekitarnya, karena hari Ahad biasanya ramai pengunjung. Anak-anak mempersiapkan baju renangnya untuk kembali bermain air pagi itu. Namun sebelum kembali berenang, kami berencana untuk berjalan-jalan di seputaran waduk terlebih dahulu.
Sepertinya aktivitas wisata waduk Jatiluhur baru berdenyut setelah pukul 8 pagi. Tampak beberapa mobil pengunjung mulai berdatangan, dan para pemilik perahu mulai berkeliling menawarkan jasa naik perahu pada para pengunjung.
Waduk Jatiluhur yang secara resmi bernama Waduk Ir. H. Juanda ini terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta. Waduk serbaguna seluas 8300 ha ini merupakan yang terbesar sekaligus pertama di Indonesia, terbentuk akibat dibendungnya aliran Sungai Citarum.
Bendungan raksasa ini (foto kiri bawah) mulai dibangun oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 hingga diresmikan pada 26 Agustus 1967 oleh Presiden Soeharto, menghasilkan potensi air sebesar 12,9 miliar m3. Potensi air sebesar ini terutama digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA) lewat 6 unit turbin yang dimilikinya dengan output daya hingga 187,5 MW. Total per tahun PLTA Jatiluhur menghasilkan rata-rata 1000 juta kWh listrik yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II.

Selain fungsi PLTA, waduk ini memasok irigasi untuk sekitar 242.000 ha sawah di sepanjang daerah aliran Citarum, sebagai sumber air minum baku DKI dan daerah lain yang dilaluinya, fungsi pengendalian banjir bagi daerah Karawang dan sekitarnya, perikanan darat (keramba jaring apung), dan tentunya potensi pariwisata.
Waduk Jatiluhur dikenal memiliki sistem limpasan air terbesar di dunia, dengan menara pelimpah air utamanya yang berbentuk khas setinggi 110 m dan diameter 90 m. Puncak menara pelimpah air ini hanya sekitar 4 m saja yang terlihat menyembul di atas permukaan waduk (foto di bawah), sementara sebagian besar sisanya terletak di bawah air sehingga nyaris tak pernah diketahui bentuknya oleh masyarakat.
Debit air yang masuk ke dalam menara ini harus dikendalikan agar senantiasa stabil. Limpasan air ke dalam menara inilah yang kemudian akan menggerakkan turbin pembangkit listrik. Karena fungsinya yang amat penting inilah maka tak sembarang orang diperkenankan untuk mendekati area menara pelimpah air ini.

Kami berjalan kaki saja dari D'Cabin. Cukup menyeberangi jalan di depan water park, dan kami sudah masuk ke area tepian waduk.

Dermaga tempat sandarnya perahu yang dapat disewa untuk mengitari waduk disebut dermaga biru. Entah mengapa disebut demikian, mungkin karena birunya air waduk...
Sayang seribu sayang, banyak sampah berserakan di sekitar dermaga ini. Hadeuh... kapan ya kebiasaan membuang sampah sembarangan ini hilang?

Kami segera menaiki salah satu perahu (foto di samping kanan). Pengemudi kemudian segera menjalankan perahunya dengan kecepatan sedang memutari waduk menuju area keramba apung.
Keramba-keramba itu tampak saling berdekatan, membentuk kelompok-kelompok yang saling terhubung. Rumah-rumah kayu penjaga keramba terlihat menyembul tinggi di atas permukaan waduk (foto di bawah). Beragam jenis ikan air tawar dibudidayakan di sini, meliputi ikan mas, nila, mujair, dll.
Belakangan karena jumlah keramba di waduk ini terlalu banyak bahkan hingga melebihi kapasitasnya, pemerintah akan menertibkan keramba berlebih. Bagaimana pun, ikan budidaya akan menghasilkan sampah biologis yang jika jumlahnya terlalu banyak akan mengganggu kualitas air Waduk Jatiluhur.

Akhirnya... dipandang dari sisi mana pun, Waduk Jatiluhur memang indah. Tentunya potensi wisata waduk yang luar biasa ini harus dijaga agar bertahan hingga waktu yang sangat lama...