Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Kamis, 28 September 2017

D'Cabin dan Wisata Waduk Jatiluhur

D'Cabin Purwakarta merupakan hotel dengan konsep yang cukup unik mengingat kamar hotel ini terbuat dari container 20 feet yang sudah dimodifkasi sedemikian rupa menjadi kabin hunian yang nyaman. Harga D'Cabin ketika itu adalah Rp. 520rb/malam tanpa sarapan.
D'Cabin terletak di tepi Waduk Jatiluhur, tepatnya di area wahana air Jatiluhur Water Park. Menginap di D'Cabin memang berarti dapat menggunakan fasilitas wahana air ini dengan bebas. Ini memang menjadi salah satu keuntungannya.
Dari arah Jakarta, kita bisa berkendara via Tol Cipularang, lalu keluar di exit Jatiluhur-Ciganea-Cikalong. Setelah tiba di pertigaan jalan lama Purwakarta, belok ke kiri. Hanya sekitar 300 m setelah belokan tersebut kita sampai di pertigaan yang ditandai oleh patung tokoh pewayangan, ambil jalur ke arah kiri yang berkontur menanjak (Jl. Pramuka) sekitar 6 km terus hingga masuk kawasan waduk.
Hanya terdapat 4 unit container yang diwarnai biru dengan pola gelombang air di D'Cabin Purwakarta yang masing-masing diberi nama menurut 4 punakawan : Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Atap masing-masing container memiliki dek pandang ke arah waduk yang diberi pagar pengaman di keempat sisinya. Tangga putar untuk naik ke atas terdapat di sisi container (foto di bawah).

Pintu masuk ke dalam container didesain berupa pintu geser kaca yang juga berfungsi sebagai penerangan. Interior kabin sudah dilapisi material GRC serupa dinding ruangan biasa, tidak lagi menampakkan profil baja bergelombang khas container.
Tiap unit container memiliki ranjang susun sehingga mampu menampung cukup banyak tamu (foto di sebelah kanan).
Di sisi dinding yang berlawanan dengan posisi ranjang susun terdapat kulkas mini dan TV LCD (foto kiri bawah).
Di sisi ini juga terletak kamar mandi yang walaupun berukuran mini tetapi fungsional. Dinding kamar mandi di kabin ini telah dilapisi keramik seperti kamar mandi pada umumnya (foto kanan bawah). Air hangat di kamar mandi ini dari unit pemanas air listrik terpantau lancar dan memang cukup hangat.


Seperti yang telah disinggung di atas, D'Cabin terletak tepat di bagian atas area Jatiluhur Water Park. Terdapat susunan tangga batu yang menghubungkan pelataran D'Cabin dengan wahana air di bawahnya seperti yang ditunjukkan oleh foto di sebelah kiri bawah. Nyaman sekali bukan? Layaknya memiliki water park pribadi...
Sebenarnya terdapat loket pembayaran tiket untuk memasuki Kawasan Wisata Waduk Jatiluhur sebesar Rp. 20.000/orang. Tetapi pemegang lembar booking D'Cabin tak perlu membayar lagi untuk memasuki kawasan ini. Cukup tunjukkan saja booking D'Cabin kepada petugas di loket masuk, maka Anda akan diijinkan langsung masuk ke dalam.
Tiket masuk ke Jatiluhur Water Park sendiri adalah Rp. 35.000/orang. Tapi sekali lagi penyewa D'Cabin tak perlu membayar untuk bermain air bersama keluarga di sini.
Di bawah tampak beberapa suasana water park pada sekitar sore hingga menjelang waktu maghrib.





Satu hal yang menurut kami harus diperbaiki oleh pengelola D'Cabin adalah gerbang masuknya yang berkontur mirip polisi tidur, tetapi cukup tinggi sehingga kita hars berhati-hati mengemudikan mobil ketika melewatinya. Mobil Honda Freed yang kami gunakan ketika itu selalu kandas bagian kolongnya di gerbang masuk ini meski sudah berjalan sangat perlahan. Hanya ketika seluruh penumpang turunlah Freed kami tidak kandas... hadeuh. Tetapi mobil yang memiliki ground clearance lebih tinggi tentunya tak akan menjumpai masalah.
Kapasitas parkir D'Cabin hanyalah 4 mobil (foto kanan atas), persis sama dengan jumlah unit container yang ada di sini. Tampaknya memang hal ini sudah diperhitungkan oleh pengelola.

D'Cabin terletak tepat di sisi timur waduk, sehingga sebenarnya lokasi ini menawarkan keistimewaan pemandangan sunset bagi para tamu. Sayangnya entah mengapa di atas permukaan waduk pada petang itu tampak berkabut sehingga menghalangi cantiknya pemandangan mentari tenggelam.
Namun demikian kami tetap masih dapat menikmati sunset dari atap container. 
Tampak pula para pengunjung water park satu per satu meninggalkan area wahana air hingga akhirnya kosong.
Kami melaksanakan shalat maghrib, lalu bersiap pergi melihat pertunjukan air mancur di Situ Buleud yang kini populer dengan nama Taman Air Mancur Sri Baduga.
Perjalanan dari kawasan waduk ke kota Purwakarta cukup lancar hingga pertigaan Jl. A. Yani. Dari sini ke lokasi Situ Buleud lalu lintas cukup padat, apalagi setiap Sabtu malam ketika pertunjukan air mancur digelar. Jarak dari pertigaan Jl. Pramuka (patung wayang) ke Situ Buleud sekitar 3 km.
Kami kembali dari Situ Buleud ke D'Cabin sekitar pukul 22.00. Perjalanan kembali tentunya relatif lancar jaya karena sudah cukup larut. Area sekitar waduk cukup sepi namun tampaknya aman. Pelataran D'Cabin sendiri tampak cantik berhias lampu penerangan (foto di bawah). Meja makan yang tersedia di luar container dapat digunakan untuk minum kopi hangat atau makan jajanan lain. Pengelola menyediakan dispenser air panas yag dapat kita gunakan sewaktu-waktu.


Esok paginya setelah shalat subuh, sunrise memang tak terlihat dari D'Cabin karena tertutup pepohonan tinggi di belakang container. Namun tetap saja semburat kemerahan matahari terbit terlihat imdah saat terpantul oleh awan rendah di atas permukaan waduk.

Suasana matahari terbit di atas Waduk Jatiluhur
Terlihat beberapa staf pengelola water park mulai sibuk membersihkan kolam dan sekitarnya, karena hari Ahad biasanya ramai pengunjung. Anak-anak mempersiapkan baju renangnya untuk kembali bermain air pagi itu. Namun sebelum kembali berenang, kami berencana untuk berjalan-jalan di seputaran waduk terlebih dahulu.
Sepertinya aktivitas wisata waduk Jatiluhur baru berdenyut setelah pukul 8 pagi. Tampak beberapa mobil pengunjung mulai berdatangan, dan para pemilik perahu mulai berkeliling menawarkan jasa naik perahu pada para pengunjung.
Waduk Jatiluhur yang secara resmi bernama Waduk Ir. H. Juanda ini terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta. Waduk serbaguna seluas 8300 ha ini merupakan yang terbesar sekaligus pertama di Indonesia, terbentuk akibat dibendungnya aliran Sungai Citarum.
Bendungan raksasa ini (foto kiri bawah) mulai dibangun oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 hingga diresmikan pada 26 Agustus 1967 oleh Presiden Soeharto, menghasilkan potensi air sebesar 12,9 miliar m3. Potensi air sebesar ini terutama digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA) lewat 6 unit turbin yang dimilikinya dengan output daya hingga 187,5 MW. Total per tahun PLTA Jatiluhur menghasilkan rata-rata 1000 juta kWh listrik yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II.

Selain fungsi PLTA, waduk ini memasok irigasi untuk sekitar 242.000 ha sawah di sepanjang daerah aliran Citarum, sebagai sumber air minum baku DKI dan daerah lain yang dilaluinya, fungsi pengendalian banjir bagi daerah Karawang dan sekitarnya, perikanan darat (keramba jaring apung), dan tentunya potensi pariwisata.
Waduk Jatiluhur dikenal memiliki sistem limpasan air terbesar di dunia, dengan menara pelimpah air utamanya yang berbentuk khas setinggi 110 m dan diameter 90 m. Puncak menara pelimpah air ini hanya sekitar 4 m saja yang terlihat menyembul di atas permukaan waduk (foto di bawah), sementara sebagian besar sisanya terletak di bawah air sehingga nyaris tak pernah diketahui bentuknya oleh masyarakat.
Debit air yang masuk ke dalam menara ini harus dikendalikan agar senantiasa stabil. Limpasan air ke dalam menara inilah yang kemudian akan menggerakkan turbin pembangkit listrik. Karena fungsinya yang amat penting inilah maka tak sembarang orang diperkenankan untuk mendekati area menara pelimpah air ini.

Kami berjalan kaki saja dari D'Cabin. Cukup menyeberangi jalan di depan water park, dan kami sudah masuk ke area tepian waduk.

Dermaga tempat sandarnya perahu yang dapat disewa untuk mengitari waduk disebut dermaga biru. Entah mengapa disebut demikian, mungkin karena birunya air waduk...
Sayang seribu sayang, banyak sampah berserakan di sekitar dermaga ini. Hadeuh... kapan ya kebiasaan membuang sampah sembarangan ini hilang?

Kami segera menaiki salah satu perahu (foto di samping kanan). Pengemudi kemudian segera menjalankan perahunya dengan kecepatan sedang memutari waduk menuju area keramba apung.
Keramba-keramba itu tampak saling berdekatan, membentuk kelompok-kelompok yang saling terhubung. Rumah-rumah kayu penjaga keramba terlihat menyembul tinggi di atas permukaan waduk (foto di bawah). Beragam jenis ikan air tawar dibudidayakan di sini, meliputi ikan mas, nila, mujair, dll.
Belakangan karena jumlah keramba di waduk ini terlalu banyak bahkan hingga melebihi kapasitasnya, pemerintah akan menertibkan keramba berlebih. Bagaimana pun, ikan budidaya akan menghasilkan sampah biologis yang jika jumlahnya terlalu banyak akan mengganggu kualitas air Waduk Jatiluhur.

Akhirnya... dipandang dari sisi mana pun, Waduk Jatiluhur memang indah. Tentunya potensi wisata waduk yang luar biasa ini harus dijaga agar bertahan hingga waktu yang sangat lama...

Rabu, 27 September 2017

Mengeksplorasi Sisi Syar'i Bangkok

Meski Bangkok cukup terkenal dengan wisata malam di beberapa red light district seperti Soi Cowboys, Nana Plaza, atau Patpong, ternyata kota ini pun cukup ramah terhadap pelancong yang ingin berwisata syar'i. Kami mendapatinya di kawasan Phayathai, tepatnya di Jl. Phetchaburi yang merupakan jalan utama arah timur-barat penghubung pusat kota ke Bandara Suvarnabhum. Pada sebuah penggal jalan ini, tak jauh dari persimpangan Ratchathewi atau hanya sekitar 700m sebelah barat kantor Kedutaan Besar RI, terdapat sebuah jalan kecil yang dalam bahasa Thai disebut Phetchaburi Soi 7 (Gang 7). Soi 7 ini yang kira-kira berukuran pas dilewati 2 mobil, merupakan kantung warga muslim Bangkok yang dulu ternyata bernama Soi Surau atau Gang Surau/Masjid.

Aneka produk bambu ulir rangkai, detil klik di sini...

Berdasarkan catatan sejarah, warga muslim dari Thailand Selatan mulai bermukim di Distrik Thungphayathai ini - tepatnya Soi Surau atau Soi 7 - sejak masa awal pemerintahan periode Kerajaan Rattanakosin pada tahun 1882. Komunitas warga muslim ini hidup berdampingan dengan penduduk Bangkok yang mayoritas Budha dengan damai. Dan sebagai penganut Islam, komunitas ini tentu membutuhkan sebuah masjid kecil sebagai pusat aktivitas ibadah dan kehidupan sehari-hari yang diberi nama Darul Aman, atau Tempat yang Aman.

Foto di atas (sumber : streetview googlemaps) memperlihatkan suasana mulut Soi 7. Masjid Darul Aman kurang lebih berada di sebelah kanan pengendara motor berjaket hitam yang menuju arah menjauhi kita. Meja-meja street food tampak di sebelah kiri foto. Pada siang hari tak banyak pedagang makanan jalanan yang berjualan di sini. Tetapi pada malam hari kawasan ini sangat hidup dengan pedagang makanan jalanan yang alhamdulillah-nya mayoritas adalah makanan halal.

Konstruksi asli Masjid Darul Aman mengadopsi desain rumah Thai tradisional yang disebut 'panya'. Seiring dengan pertambahan jumlah warga muslim di daerah ini, masjid kemudian direnovasi dan diperluas hingga mencapai bentuknya sekarang ini yang mampu menampung hingga 1000 jamaah. Selain digunakan sebagai masjid jami' oleh warga setempat, ternyata kami menjumpai banyak pula warga Indonesia yang melaksanakan shalat di sini, baik bersifat sesekali karena memang pas lewat di daerah ini, atau memang sudah sekian lama bermukim di Bangkok - seperti staff Kedutaan RI yang kami jumpai di sana - dan istiqamah menjadi jamaah Darul Aman.

Bagian depan sekaligus papan nama Masjid Darul Aman tampak pada foto di sebelah kiri bawah. Sedangkan plang masjid di mulut Soi 7 diperlihatkan oleh foto kanan bawah. Tampak plang masjid di bawah tiang dan jalinan kabel-kabel ruwet khas Bangkok.

Sementara pandangan bangunan masjid dan lingkungan sekitarnya terlihat pada foto di bawah yang kami ambil dari lantai 9 Hotel Bangkok City di seberang Soi 7. Masjid berlantai 2 ini cukup besar untuk ukuran Bangkok, kota di mana muslim merupakan minoritas. Kubah bercat emas tampak di bagian depan (barat) masjid, dan pada puncak menara masjid yang terletak di sebelah timur bangunan.

Memasuki halaman masjid, tersedia area parkir yang tak seberapa luas untuk sepeda dan motor (foto kiri bawah). Kita masuk ke dalam masjid via pintu teralis besi besar bercat keemasan yang tampak terbuka itu. Ruang shalat utama full AC terletak di bagian depan, sementara ruang/hall yang lebih luas tanpa AC berada di bagian belakang (foto kanan bawah).

Jika kita masuk dari sisi utara bangunan, kita akan diarahkan ke tempat wudhu (foto sebelah kanan). Sama saja dari sini pun kita bisa masuk ke ruang shalat utama atau hall luas tersebut.
Dari pengamatan kami ketika berkesempatan menunaikan shalat subuh, maghrib, dan isya di Darul Aman, alhamdulillah jumlah jamaah di masjid ini selalu terbilang cukup banyak untuk ukuran Bangkok... 4 atau 5 shaf kira-kira untuk shalat subuh dan isya, dan agak lebih sedikit untuk shalat maghrib, mungkin karena terbentur jam pulang kerja. Waktu shalat zuhur dan ashar kami tidak tahu karena memang tak berkesempatan mengalaminya secara langsung.
Jeda waktu antara adzan dan iqamat subuh sekitar 20 menit atau bahkan lebih. Cukup panjang untuk melaksanakan shalat sunnah dan ibadah lain, serta tentunya memberi waktu jamaah berdatangan seperti diperlihatkan oleh foto di bawah. Mengingat bahwa secara fisik memang tidak ada perbedaan antara bangsa-bangsa Asia Tenggara, maka kami merasa seperti sedang berada di masjid perumahan saja ketika itu.


Warga muslim Soi 7 memiliki akar dari Pattani, Yala, dan daerah-daerah lain di Thailand selatan. Komunikasi kami dengan saudara-saudara kita ini tentunya dapat dilakukan dalam bahasa Melayu. Bahasa Inggris nyaris tidak laku di sini. Penduduk setempat sangat suka bercakap-cakap hangat dengan para tamu dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang memang sangat banyak datang ke kawasan ini.
Selain dikunjungi karena keberadaan Masjid Darul Aman, daerah Soi 7 ini juga ramai didatangi wisatawan muslim untuk mencari makanan halal. Salah satu warung makan terdekat dari Darul Aman adalah Warung Ali Selatan (foto sebelah kanan) yang hanya berjarak sekitar 50 m ke utara masjid. Pak Ali menyediakan menu-menu khas melayu yang sama cita rasanya dengan hidangan di Indonesia. Ketika itu kami datang bertiga, memesan masing-masing sepiring nasi dengan lauk utama ayam/ikan dan minuman es teh manis/es jeruk. Total harga tak sampai 200 Baht (sekitar Rp. 60.000-an). 
Di sepanjang Jl. Phetchaburi, tepatnya di sekitar mulut Soi 7, bertebaran rumah makan halal lain. Salah satu yang sempat kami kunjungi adalah M-House (foto di bawah). Menariknya, M-House juga ternyata menyediakan penginapan murah meriah/hostel namun cukup aman yang berdasarkan pengamatan kami ternyata diminati juga oleh para pelancong backpacker asal Indonesia yang bersama-sama kami sedang makan malam juga di sini. Backpacker tampaknya akan menyukai tipe kamar asrama, kapasitas 3 ranjang susun atau 6 orang per kamar (khusus kamar pria atau wanita, tidak bisa campur) dengan kamar mandi di luar/share yang dijual mulai Rp. 140.000-an per orang.

M-House pun menyediakan menu melayu selain masakan Thai. Ketika itu kami memesan semacam martabak telur yang disajikan di atas hot plate, dan ice Thai tea (foto kiri bawah). Harga menu di sini pun tergolong murah. Tampak suasana bagian dalam M-House yang full Wi-Fi ini, dengan meja sebelah yang terlihat dipakai oleh rekan backpacker asal Indonesia yang kami singgung di atas (foto kanan bawah).

Selain di seputaran Phetchaburi, makanan halal cukup mudah dijumpai pula di mall Mah Boon Khrong (MBK), Siam. Salah satu restoran halal yang menjadi favorit kami beberapa tahun belakangan adalah Yana Restaurant @ MBK yang menyajikan menu makanan Thai dan internasional (foto sebelah kanan). 
Resto halal yang berada di lantai 5 MBK, tepat di seberang pujasera 'Food on Fifth' ini bersih, menunya lezat, dan harganya pun relatif rasional meski tentunya lebih mahal dibanding M'House, apalagi Warung Ali Selatan. Setiap menu di sini rata-rata harganya 60-100 Baht.
Meski beda lokasi dan rentang harga dengan Ali Selatan, di Yana pun kita tetap bisa nyaman berbahasa melayu dengan staf restoran. Mereka mengaku berasal dari Narathiwat, Thailand selatan. Masih terhitung tetangga dekat dengan daerah Pattani dan Yala, asal Pak Ali Selatan...

Resto Yana memiliki daya tampung pengunjung cukup banyak seperti yang ditunjukkan oleh foto di atas.
Pada saat buka puasa Ramadhan cukup sulit untuk mendapatkan tempat di sini karena Yana sudah menjadi tujuan warga muslim Bangkok maupun pelancong dari luar negeri untuk berbuka.
Kami mendapat informasi bahwa sesekali ada saja tamu yang membayari harga makanan buka puasa seluruh pengunjung Yana yang ketika itu sedang melaksanakan shaum. Tujuannya tentu untuk memperoleh keutamaan memberi makan orang yang berbuka puasa, in sya Allah...
Mengenai hidangan di Yana, favorit kami tak lain adalah tom yum - baik versi dengan santan seperti foto di atas, atau tanpa santan - sama-sama unik dan maknyus. Sedangkan ice Thai tea tetap menjadi salah satu pilihan minuman yang kami rekomendasikan di sini.

Ketika itu kami menginap di Bangkok City Hotel yang berlokasi dekat Phetchaburi Soi 7. Hotel berdesain minimalis dengan rate sekitar Rp. 450.000/hari ini bersebelahan dengan Hotel Samran Place.
Pelayanan dan kualitas hotel ini secara keseluruhan masih OK-lah, meskipun tidak juga tergolong terlalu istimewa.
Lorong-lorong di hotel ini terkesan agak gelap, mungkin menjadi masalah bagi sebagian orang meskipun bagi kami masih dalam batas toleransi. Kolam renang cukup OK dan bersih, namun sayang jam operasional kolam cukup terbatas. Tamu yang baru kembali ke hotel pada malam hari tak akan mendapat kesempatan menjajal kolam renang...
Foto bangunan hotel pada waktu setelah shalat subuh tampak pada foto kiri bawah. Sementara pemandangan malam hari ke arah jembatan layang Ratchathewi yang masih sibuk dari jendela hotel diperlihatkan oleh foto di kanan bawah.

Jika kita hendak menuju Masjid Darul Aman, kita mesti menyeberangi Jl. Phetchaburi via JPO yang berada di depan gerai Seven Eleven di sebelah kiri hotel. Hanya butuh tak sampai 10 menit jalan kaki santai... tak jauh memang. Sepulang dari masjid, dari atas JPO kami sempat memotret suasana jalan raya yang mulai ramai meski matahari belum sepenuhnya terbit (foto di bawah).

Satu hal yang cukup menarik yang kami sadari sejak pertama kali masuk ke kamar adalah bahwa kami memiliki tetangga keluarga merpati yang bersarang di langkan luar jendela kamar kami (foto di sebelah kiri).
Keluarga merpati ini tampak tak terpengaruh oleh hiruk-pikuk kendaraan di jalan raya di bawah sana. Meski sangat padat, kondisi kemacetan di Bangkok relatif tak separah di Jakarta. Kemacetan tentunya ada, tetapi relatif lebih cepat terurai.
Hal ini tercapai kemungkinan karena sudah aktifnya jaringan transportasi publik berupa MRT/skytrain sejak beberapa tahun lalu yang cukup efektif mengurangi minat warga Bangkok untuk membawa kendaraan sendiri. Mudah-mudahan pembangunan masif jaringan transportasi publik belakangan ini di Jakarta pun akan efektif dalam mengurai benang kusut kemacetan ibukota belakangan ini.

Kondisi kamar hotel ini minimalis namun fungsional sebagaimana layaknya hotel bisnis. Koneksi internet lancar dan cepat. Tersedia bath tub di kamar mandi. Sedikit masalah mungkin timbul saat sarapan pagi, mengingat area restoran hotel ini terbilang sempit dengan daya tampung tamu cukup terbatas.


Alun-Alun Bandung

Idul Fitri 1436H (Juli 2015) lagi-lagi kami lewatkan di Bandung. Menikmati jalan raya Bandung yang lengang ditinggal mudik sebagian penghuninya pagi sehari sebelum Lebaran, kami sekeluarga dan mertua menyempatkan diri berkunjung ke Alun-Alun Bandung yang sejak diresmikan pada akhir Desember 2014 terbukti menjadi magnet bagi pengunjung dari Bandung sendiri maupun dari kota-kota sekitarnya.

Nuansa Konferensi Asia-Afrika Bandung 2015 (peringatan 60 tahun KTT Asia-Afrika 1955) masih kental terasa di seputaran Alun-Alun. Spanduk dan bola-bola beton dengan bendera negara-negara KAA masih bertebaran di sana-sini. Gedung KAA memang terletak di Jalan Asia-Afrika, tak jauh dari Alun-Alun, Jalan Braga, dan Hotel Savoy Homan. Terdapat tugu peringatan KAA berisi nama-nama negara pesertanya di sebelah timur Alun-Alun. Banyak yang berfoto selfie di sini selain kami.


Kami datang dari arah Jl. Asia-Afrika, parkir di lahan kosong ex Palaguna yang telah dibongkar. Alun-Alun Bandung sebenarnya memiliki parkir basement yang berada tepat di bawah lapangan Alun-Alun itu sendiri. Kita harus datang dari arah selatan (Jl. Dewi Sartika atau Jl. Dalem Kaum) untuk masuk ke parkir basement ini. Jika kita datang dari Jl. Asia-Afrika, kita harus memutar dulu via Jl. Otto Iskandar Dinata ke Jl. Dalem Kaum. Foto di bawah adalah pintu keluarnya.

Aneka produk bambu ulir, detil klik di sini...

Di sisi utara Alun-Alun ini terdapat pula halte bus dengan huruf kapital merah dan putih bertuliskan ALUN-ALUN BANDUNG yang belakangan menjadi icon.

Masih di sisi utara Alun-Alun, terdapat gedung tua berarsitektur kolonial dan Menara BRI yang menjulang. Keduanya saling bersebelahan.


Terdapat area bermain anak di plasa utara Alun-Alun, sementara di plasa timurnya terdapat banyak bangku untuk duduk-duduk. Tong sampah sebenarnya cukup banyak tersedia, sayang masih ada saja yang membuang sampah sembarangan...

Kita harus melepas alas kaki untuk masuk ke lapangan rumput sintetis Alun-Alun. Menurut kami sih aman-aman saja meninggalkan alas kaki di pinggir plasa. Atau kalau mau lebih aman ya masukkan saja alas kaki ke dalam kantung plastik, dan kita bawa ke lapangan rumput. 

Rumput sintetis sendiri dipilih karena tidak akan rusak/mati terinjak pengunjung (sementara Alun-Alun Bandung dikunjungi oleh banyak orang setiap harinya), serta tidak membutuhkan tanah yang berat dan membebani plafon area parkir basement di bawahnya. 
Pemandangan Masjid Raya Bandung di sisi barat pagi itu cukup spektakuler dengan langit biru bersih tanpa sepotong pun awan. Udara yang masih cukup sejuk membuat kami betah berlama-lama beraktivitas di sini. Sayang aroma rumput sintetis yang basah/lembab agak apek. Mungkin sudah perlu dicuci bersih setelah digunakan sekian lama, ya.

Banyak pedagang menjajakan aneka permainan anak seperti bola nuansa bendera-bendera negara, pesawat-pesawatan, layangan, dsb. Harganya tidak mahal, berkisar Rp.10rb saja per buahnya. Anak-anak kami membeli bola dan pesawat-pesawatan. Mas-mas penjualnya juga baik, tetap mau memperbaiki pesawat-pesawatan anak kami yang tidak bisa terbang lurus meski sudah beberapa lama dimainkan.

Kakeknya anak-anak kemudian masuk ke masjid untuk shalat dhuha. Anak-anak  ikut-ikutan menuju area pintu masuk dan selasar masjid. Meski di luar cukup terik, di selasar ini terasa lebih sejuk.

Dari area pintu masuk masjid, kami menyusuri sisi selatan Alun-Alun untuk menuju ke tempat semula di plasa timur. Di sisi selatan ini terdapat petak-petak berisi bunga aneka warna kuning-merah-hijau yang terlihat indah jika sedang bermekaran. Di sini terdapat pula pintu masuk parkir basement (arah Dalem Kaum) yang tadi kami singgung.

Sepanjang sisi selatan Jl. Asia-Afrika dekat Alun-Alun pun dapat dijadikan lokasi berfoto yang menarik semenjak disediakannya bangku-bangku taman outdoor bagi pengunjung di trotoarnya yang lebar. Kebersihan area ini cukup terjaga. Sayangnya area di bawah jembatan penyeberangan orang ke arah Jl. Cikapundung Barat beraroma agak pesing. Perlu upaya lebih keras dari Dinas Kebersihan untuk memperbaikinya.

Asyiknya, saat ini kita bisa berfoto dengan cosplayer jalanan pula yang stand by di bagian utara Alun-Alun. Tapi jangan salah, meski judulnya cosplayer jalanan, tetapi kualitas kostum dan gaya mereka terkategori juara juga lho...
Anak-anak sempat berfoto dengan Kakashi, Iron Man, dan Optimus Prime di sini. Selain ketiganya, terdapat beberapa pilihan tokoh animasi lain semisal Power Ranger, Naruto, Anna Frozen, hingga Pikachu. Cosplayer di sini tidak mematok tarif tertentu untuk berfoto bersama mereka. 


Alun-Alun Bandung sendiri tercatat telah mengalami beberapa kali perubahan besar. Dari beberapa sumber/website yang kami baca, setidaknya beginilah evolusi itu berlangsung :

  Alun-Alun jadul berupa ruang terbuka tempat berkumpulnya manusia untuk upacara atau kegiatan publik lain. Inilah sejatinya fungsi alun-alun. Tampak di latar belakang Masjid Agung Bandung masih memiliki atap limas berundak (foto dari www.bandungtempodoeloe.blogspot.com).

Alun-Alun Bandung tahun '80-an sudah bukan lagi ruang terbuka, tetapi berdesain pulau-pulau. Masjid Agung tampak memiliki tangga penyeberangan langsung ke Alun-Alun, dan jalan raya di sisi barat Alun-Alun (Dewi Sartika ke Banceuy) masih aktif.

 Alun-Alun Bndung tahun 2007, sudah memiliki parkir basement dan masih mengadopsi desain pulau-pulau. Masjid sudah diperluas ke depan hingga jalan di sisi barat Alun-Alun ditutup (foto dari www.covesia.com).

 Alun-Alun Bandung versi penghujung 2014 dengan semangat kembali ke konsep ruang terbuka tempat manusia berkumpul. Menara masjid sebenarnya memiliki lift yang dapat dinaiki. Dari atas kita bisa melihat pemandangan kota Bandung dari ketinggian. Kami pernah naik ke atas menara ini beberapa tahun lalu, namun saat Lebaran 2015 ini tidak (foto dari Koran Sindo).
***

Share info : salah satu opsi hotel yang nyaman di bilangan Jl. Lingkar Selatan Bandung adalah Hotel Horison Bandung (tak jauh dari perempatan Buah Batu). Hotel ini memang tidak baru lagi, tetapi kamarnya masih bersih dan terawat. Kolam renang olympic size untuk dewasa dan yang lebih kecil untuk anak-anak menjadi faktor plus tersendiri. Pilihan menu breakfast cukup beragam dan enjoyable. Di kiri-kanan hotel terdapat banyak pertokoan dan restoran jika Anda membutuhkan keperluan sehari-hari, atau menu makanan yang tidak tersedia di hotel dan harganya lebih ramah di kantong.

Kapasitas parkir Horison Bandung sangat memadai. Dari arah pintu masuk memang seolah area parkir tidak terlalu luas, tetapi sebenarnya di sebelah kanan (arah pintu keluar) masih terdapat area parkir yang lebih luas. Hotel ini mengadakan shalat jum'at pula sehingga tamu hotel tak perlu repot mencari masjid di luar. Secara keseluruhan Horison Bandung recommended.