Lawang Sewu adalah nama sebuah gedung tua bergaya art deco peninggalan Belanda yang sangat terkenal di Kota Semarang. Bangunan bercat putih ini berdiri tegak di sisi timur Bundaran Tugu Muda, tepatnya di mulut Jalan Pemuda. Kini Lawang Sewu telah direvitalisasi dan menjadi icon wisata dan budaya Kota Lunpia, salut!!!
Suami yang menempuh pendidikan tahap SMA di Semarang menceritakan bahwa dulu Lawang Sewu kumuh tak terawat. Walaupun terlihat megah di pusat kota, nyaris tak ada yang berani masuk ke dalamnya. Kesan angker sebagaimana umumnya bangunan peninggalan kolonial cukup kuat terasa - meski sekarang pun anggapan ini belum sepenuhnya hilang. Antara tahun 1991 - 1994 suami yang bersekolah di SMA 3 Jl. Pemuda ini selalu melewati Lawang Sewu tanpa pernah sekali pun singgah ke sana.
Aneka produk ranting inul rangkai, detil klik di sini... |
Ketika pada pagi hari Mei 2017 berkunjung ke sini, kami memarkir mobil di DP Mall yang terletak tepat di sebelah utara gedung bersejarah ini. Selain mengingat DP Mall memiliki area parkir yang cukup luas, juga karena kami akan lanjut makan siang di mall setelah selesai mengeksplorasi Lawang Sewu.
Hanya perlu berjalan santai sekitar 150 m dari DP Mall ke pintu masuk gedung tua ini. Kami memang praktis baru pertama kali ini jalan-jalan di Semarang, dan kami langsung jatuh cinta pada suasana kota di kawasan ujung selatan Jl. Pemuda ini yang tampak asri dan nyaman dengan pedestriannya yang lebar (foto kiri atas). Suasana pertokoan di depan DP Mall (kanan).
Loket masuk berada di seberang Tugu Muda. Kami sempat agak heran juga melihat logo PT Kereta Api Indonesia (KAI) di papan informasi tarif Lawang Sewu. Ramai pengunjung yang pagi itu datang berbarengan dengan kami walaupun bukan hari libur (foto kiri atas). Petugas loket masuk sigap melayani pengunjung. Kita bisa memilih menggunakan jasa guide atau tidak di loket ini, namun karena kami ingin lebih bebas berkeliaran sendiri saja, maka kami tidak bertanya panjang lebar tentang biaya jasa guide tersebut (foto kanan atas).
Sejarah Lawang Sewu memang tidak bisa dipisahkan dari geliat sarana transportasi perkeretaapian di Indonesia (Hindia Belanda saat itu).
Gedung ini dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij (NIS), yaitu kantor pusat perusahaan kereta api swasta yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia. Jalur kereta api ketika itu telah ada dan menghubungkan Semarang dengan Solo-Jogja (1867).
Direksi NIS di Den Haag menugaskan Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B. J. Quendag, duo arsitek kondang dari Amsterdam untuk merancang kantor perkeretaapian ini ujung Jl. Pemuda (dulu Bodjongweg), tepat di depan Bundaran Tugu Muda yang dulu dikenal sebagai wilhelminaplein. Rancangan gedung ini berangka tahun 1903.
Pembangunan dimulai pada 27 Februari 1904 hingga selesai pada Juli 1907. Gedung yang pertama kali dikerjakan adalah gedung percetakan dan rumah penjaga. Kemudian berlanjut ke bangunan utama. Setelah dipakai beberapa tahun, kantor diperluas dengan membangun gedung baru di sisi timur laut bangunan utama pada periode 1916 - 1918.
Pada jaman pendudukan Jepang 1942 - 1945, Lawang Sewu tercatat pernah digunakan sebagai kantor Riyuku Sokyuku (Jawatan Transportasi Jepang). Pertempuran Lima Hari di Semarang antara laskar Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) melawan Kempetai/Kidobutai Jepang yang bersejarah (14 - 19 Oktober 1945) pun mengambil latar di Lawang Sewu. Setelah masa kemerdekaan gedung ini beralih nama menjadi kantor DKARI (Djawatan Kereta Api RI). Lalu sempat berubah kembali pada saat Agresi Militer Belanda tahun 1946 menjadi markas tentara Belanda. Pada tahun 1949 digunakan oleh Kodam IV Diponegoro sebagai Kantor Badan Prasarana, dan sempat pula sebagai Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah.
Akhirnya pada tahun 1994 Lawang Sewu kembali diserahkan pada kereta api (saat itu Perumka, sekarang menjadi PT KAI). Gedung yang sarat cerita sejarah ini kemudian dipugar oleh PT KAI mulai tahun 2009 hingga selesai pada Juni 2011 dan diresmikan oleh Ibu Negara saat itu - Ibu Ani SBY - pada Juli 2011. Cukup jelas kiranya mengapa ada logo PT KAI di bangunan megah ini...
Penjelasan singkat seputar Lawang Sewu dan denah gedung dapat kita baca pada beberapa papan informasi yang dipasang di seputar kompleks bangunan.
Barisan pintu (dalam bahasa Jawa pintu disebut 'lawang') pada salah satu selasar gedung utama... sudah tampak banyak sekali bukan? Ini belum termasuk pintu-pintu - dan jendela-jendela tinggi yang juga dianggap sebagai pintu - di bagian lain dari Lawang Sewu, lho...
Jumlah pintu yang luar biasa banyaknya di gedung berlantai dua ini menginspirasi masyarakat Kota Lunpia untuk memberi julukan Lawang Sewu yang secara harfiah memang berarti 'pintu seribu'. Namun seperti halnya penamaan Kepulauan Seribu di mana jumlah pulaunya tercatat hanya 342 buah saja, dari informasi yang kami terima jumlah pintu di Lawang Sewu pun hanya 429 buah. Namun jika dihitung daun pintunya, tercatat ada lebih dari 1200 karena sebagian pintu memiliki 2 daun pintu, bahkan 4 daun pintu (terdiri dari 2 daun pintu jenis ayun (dengan engsel), dan 2 daun pintu lagi jenis geser/sliding door).
Bagian dalam Lawang Sewu ternyata kosong, nyaris tidak ada sisa furnitur kuno dan artefak lawas lainnya seperti halnya yang masih banyak dijumpai di Museum Fatahillah (Kawasan Kota Tua) Jakarta. Display foto dan gambar-gambar tentang sejarah Lawang Sewu yang dibingkai rapi seperti foto di atas merupakan produk baru.
Lorong pada lantai 1 yang dibatasi oleh dinding tebal khas bangunan jaman dulu terkesan agak gelap, namun suasananya sama sekali jauh dari kesan angker sebagaimana anggapan yang sering kami dengar sebelumnya. Tembok bercat putih dan lantai tampak bersih dan terawat (foto kiri atas).
Meja set antik pada foto kanan atas sepanjang pengamatan kami saat berkunjung ke Lawang Sewu merupakan furnitur pajangan satu-satunya yang ada di dalam gedung kuno ini.
Aktivitas utama yang dapat pengunjung lakukan selama mengeksplorasi Lawang Sewu tentunya berfoto-foto. Bangunan megah ini memang didesain dengan cantik, khas rancangan gedung abad pertengahan Eropa.
Tak hanya kami sekeluarga, para pelancong lain kami perhatikan juga asyik jeprat sana jepret sini mengabadikan tiap sudut Lawang Sewu.
Menurut informasi yang kami peroleh, cukup banyak pasangan yang menjadikannya sebagai lokasi foto pre wedding mereka.
Salah satu spot andalan gedung bersejarah ini yang juga menjadi lokasi favorit kami adalah ruangan berlangit-langit desain dome tinggi berbentuk melingkar yang berada tepat di titik pertemuan kedua sayap kanan dan kiri bangunan utama berbentuk L ini (foto sebelah kanan). Spot ini menghadap ke belakang bangunan utama, yaitu ke lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu.
Terdapat tangga naik di kanan-kiri ke lantai dua. Tangga batu kokoh ini sayangnya ditutup di ujung atasnya sehingga kita tidak bisa naik dari sini. Tangga naik ke lantai atas tersedia di bagian lain Lawang Sewu.
Kaca besar berhiaskan aneka ragam ornamen serta gambar menjadi pembatas ruang yang sebenarnya tak seberapa luas ini.
Sepertinya kaca hias ini didatangkan dari Eropa saat gedung ini dibangun lebih dari seabad lalu. Memang menurut data, hanya material batu alam, batu bata, dan kayu jati yang diproduksi di Hindia Belanda saat itu, sementara bahan bangunan lain diimpor. Para pengunjung sebaiknya tak melewatkan spot ini untuk berfoto-foto seru.
Lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu pada hari itu tampak ramai oleh siswa-siswi SMA Kolese Loyola yang sedang mempersiapkan panggung pentas seni sekolah. Terlihat beberapa set gamelan di atas panggung. Sepertinya pentas seni itu akan menampilkan pertunjukan budaya pula...
Keluar dari gedung utama menuju ke open space berupa lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu, kita akan diarahkan oleh papan petunjuk ke beberapa fasilitas di area ini (foto sebelah kiri).
Spot utama yang dapat kita kunjungi tentunya adalah Museum Pemugaran Lawang Sewu (diberi nama Gedung C oleh pengelola), dan gedung tambahan di sisi timur laut bangunan utama yang lantai bawahnya difungsikan sebagai ruang komersial berisi beberapa kios suvenir (diberi nama Gedung B).
Mushalla yang juga merupakan kebutuhan penting terdapat di lantai bawah sisi utara Gedung B.
Selain itu masih terdapat fasilitas tambahan seperti ruang menyusui, ruang P3K. Area merokok disediakan di sisi belakang Museum Pemugaran, jika ada yang membutuhkannya.
Sangat nyaman duduk-duduk santai di area publik terbuka ini, terutama dengan adanya barisan pohon besar peneduh yang terawat.
Kebersihan open space ini sangat terjaga. Tong sampah juga tersedia di cukup banyak tempat sehingga memudahkan pengunjung untuk membuang sampah di tempat yang seharusnya.
Selain berisi beberapa kios suvenir khas Lawang Sewu dan Semarangan secara umum, pedestrian di luar Gedung B sisi selatan juga tampak ditempati oleh beberapa lapak pedagang makanan - minuman ringan seperti yang ditunjukkan oleh foto di bawah. Pas memang jajan sambil sejenak beristirahat sebelum mulai lagi menjelajah isi Museum dan Gedung B.
Museum Pemugaran Lawang Sewu seperti namanya memang berisi sejarah dan informasi kronologis proyek revitalisasi kompleks bangunan ini.
Gedung C yang difungsikan sebagai museum tidak terlalu besar sebenarnya (seperti ditunjukkan oleh foto di sebelah kiri), tetapi sangat informatif dan fungsional karena isi/display barang-barang di dalamnya didesain dengan menarik.
Di sebelah kiri pintu masuk museum kita dapati beberapa kereta/trem kuno yang berhasil dikoleksi. Kami tidak tahu pasti apakah kereta konu ini masih berfungsi atau tidak.
Dinding display didesain bergelombang. Cukup menarik mencermati foto-foto dan narasi yang tersaji di sana. Setidaknya butuh waktu 30 menit lebih untuk membaca dan mencermati seluruh isi museum ini, termasuk beberapa artefak kuno yang ternyata masih bisa dikumpulkan sebagai koleksi museum seperti beberapa spesimen batu bata gedung asli yang diimpor dari Eropa, serta mesin-mesin sinyal perkeretaapian lawas full mekanik.
Informasi sejarah perkeretaapian Hindia Belanda hingga memasuki jaman kemerdekaan (kiri atas). Koleksi outdoor museum berupa gerbong trem kuno berwarna biru yang tampak cute (kanan atas).
Kalau yang di atas ini sih odong-odong berdesain kereta api kuno, hehehe...
Selesai di museum, kami naik ke lantai atas gedung tambahan (Gedung B). Gedung B ini tampaknya didesain dengan ventilasi dan penerangan yang lebih baik dari bangunan utama. Kami merasakan udara di dalam ruang-ruang gedung tambahan ini lebih segar, dan tentunya suasana terkesan lebih hidup karena lebih banyak cahaya yang masuk pula.
Secara umum kondisi ruang-ruang di Gedung B ini hampir sama dengan apa yang kita jumpai pada bangunan utama ditinjau dari segi tidak adanya barang koleksi kuno peninggalan jaman kolonial di dalamnya. Ruang-ruang besar di sini tampak lengang dan kosong (foto di atas).
Foto di samping kanan cukup jelas memperlihatkan suasana yang cukup pencahayaan pada lorong yang berada di bagian tengah bangunan. Tentunya berbeda dengan situasi yang terkesan lebih muram dan gelap yang kita jumpai di lorong-lorong bangunan utama.
Kamar-kamar yang ada di gedung tambahan ini juga ternyata kami amati sengaja didesain dengan memiliki pintu penghubung antar ruangan yang simetris, tepat berada di tengah. Kita dapat melihat barisan kusen-kusen pintu bagaikan tak berujung memanjang ke ruangan yang lebih jauh jika kita berdiri tepat di depan salah satu pintu...
Keluar dari bangunan tambahan ini, sebenarnya seluruh sudut kompleks Lawang Sewu telah kita jelajahi. Pengunjung akan diarahkan untuk berbelanja suvenir di lantai bawah Gedung B, atau langsung menuju arah ke luar kompleks.
Spot menarik yang masih dapat kita lihat sebelum menuju pintu keluar adalah sebuah lokomotif uap kuno berwarna hitam yang masih tampak kokoh dan bertenaga (foto di samping kiri).
Lokomotif tua seperti ini biasanya hanya kita lihat di film-film lawas. Namun di sini kita bisa menyentuh, bahkan menaikinya dan masuk ke ruang masinis. Tetapi ingat, tetap berhati-hati saat naik ke sini ya...
Gedung ini dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij (NIS), yaitu kantor pusat perusahaan kereta api swasta yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia. Jalur kereta api ketika itu telah ada dan menghubungkan Semarang dengan Solo-Jogja (1867).
Direksi NIS di Den Haag menugaskan Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B. J. Quendag, duo arsitek kondang dari Amsterdam untuk merancang kantor perkeretaapian ini ujung Jl. Pemuda (dulu Bodjongweg), tepat di depan Bundaran Tugu Muda yang dulu dikenal sebagai wilhelminaplein. Rancangan gedung ini berangka tahun 1903.
Pembangunan dimulai pada 27 Februari 1904 hingga selesai pada Juli 1907. Gedung yang pertama kali dikerjakan adalah gedung percetakan dan rumah penjaga. Kemudian berlanjut ke bangunan utama. Setelah dipakai beberapa tahun, kantor diperluas dengan membangun gedung baru di sisi timur laut bangunan utama pada periode 1916 - 1918.
Pada jaman pendudukan Jepang 1942 - 1945, Lawang Sewu tercatat pernah digunakan sebagai kantor Riyuku Sokyuku (Jawatan Transportasi Jepang). Pertempuran Lima Hari di Semarang antara laskar Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) melawan Kempetai/Kidobutai Jepang yang bersejarah (14 - 19 Oktober 1945) pun mengambil latar di Lawang Sewu. Setelah masa kemerdekaan gedung ini beralih nama menjadi kantor DKARI (Djawatan Kereta Api RI). Lalu sempat berubah kembali pada saat Agresi Militer Belanda tahun 1946 menjadi markas tentara Belanda. Pada tahun 1949 digunakan oleh Kodam IV Diponegoro sebagai Kantor Badan Prasarana, dan sempat pula sebagai Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah.
Aneka produk bambu ulir rangkai, detil klik di sini... |
Akhirnya pada tahun 1994 Lawang Sewu kembali diserahkan pada kereta api (saat itu Perumka, sekarang menjadi PT KAI). Gedung yang sarat cerita sejarah ini kemudian dipugar oleh PT KAI mulai tahun 2009 hingga selesai pada Juni 2011 dan diresmikan oleh Ibu Negara saat itu - Ibu Ani SBY - pada Juli 2011. Cukup jelas kiranya mengapa ada logo PT KAI di bangunan megah ini...
Penjelasan singkat seputar Lawang Sewu dan denah gedung dapat kita baca pada beberapa papan informasi yang dipasang di seputar kompleks bangunan.
Barisan pintu (dalam bahasa Jawa pintu disebut 'lawang') pada salah satu selasar gedung utama... sudah tampak banyak sekali bukan? Ini belum termasuk pintu-pintu - dan jendela-jendela tinggi yang juga dianggap sebagai pintu - di bagian lain dari Lawang Sewu, lho...
Jumlah pintu yang luar biasa banyaknya di gedung berlantai dua ini menginspirasi masyarakat Kota Lunpia untuk memberi julukan Lawang Sewu yang secara harfiah memang berarti 'pintu seribu'. Namun seperti halnya penamaan Kepulauan Seribu di mana jumlah pulaunya tercatat hanya 342 buah saja, dari informasi yang kami terima jumlah pintu di Lawang Sewu pun hanya 429 buah. Namun jika dihitung daun pintunya, tercatat ada lebih dari 1200 karena sebagian pintu memiliki 2 daun pintu, bahkan 4 daun pintu (terdiri dari 2 daun pintu jenis ayun (dengan engsel), dan 2 daun pintu lagi jenis geser/sliding door).
Bagian dalam Lawang Sewu ternyata kosong, nyaris tidak ada sisa furnitur kuno dan artefak lawas lainnya seperti halnya yang masih banyak dijumpai di Museum Fatahillah (Kawasan Kota Tua) Jakarta. Display foto dan gambar-gambar tentang sejarah Lawang Sewu yang dibingkai rapi seperti foto di atas merupakan produk baru.
Lorong pada lantai 1 yang dibatasi oleh dinding tebal khas bangunan jaman dulu terkesan agak gelap, namun suasananya sama sekali jauh dari kesan angker sebagaimana anggapan yang sering kami dengar sebelumnya. Tembok bercat putih dan lantai tampak bersih dan terawat (foto kiri atas).
Meja set antik pada foto kanan atas sepanjang pengamatan kami saat berkunjung ke Lawang Sewu merupakan furnitur pajangan satu-satunya yang ada di dalam gedung kuno ini.
Aktivitas utama yang dapat pengunjung lakukan selama mengeksplorasi Lawang Sewu tentunya berfoto-foto. Bangunan megah ini memang didesain dengan cantik, khas rancangan gedung abad pertengahan Eropa.
Tak hanya kami sekeluarga, para pelancong lain kami perhatikan juga asyik jeprat sana jepret sini mengabadikan tiap sudut Lawang Sewu.
Menurut informasi yang kami peroleh, cukup banyak pasangan yang menjadikannya sebagai lokasi foto pre wedding mereka.
Salah satu spot andalan gedung bersejarah ini yang juga menjadi lokasi favorit kami adalah ruangan berlangit-langit desain dome tinggi berbentuk melingkar yang berada tepat di titik pertemuan kedua sayap kanan dan kiri bangunan utama berbentuk L ini (foto sebelah kanan). Spot ini menghadap ke belakang bangunan utama, yaitu ke lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu.
Terdapat tangga naik di kanan-kiri ke lantai dua. Tangga batu kokoh ini sayangnya ditutup di ujung atasnya sehingga kita tidak bisa naik dari sini. Tangga naik ke lantai atas tersedia di bagian lain Lawang Sewu.
Kaca besar berhiaskan aneka ragam ornamen serta gambar menjadi pembatas ruang yang sebenarnya tak seberapa luas ini.
Sepertinya kaca hias ini didatangkan dari Eropa saat gedung ini dibangun lebih dari seabad lalu. Memang menurut data, hanya material batu alam, batu bata, dan kayu jati yang diproduksi di Hindia Belanda saat itu, sementara bahan bangunan lain diimpor. Para pengunjung sebaiknya tak melewatkan spot ini untuk berfoto-foto seru.
Lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu pada hari itu tampak ramai oleh siswa-siswi SMA Kolese Loyola yang sedang mempersiapkan panggung pentas seni sekolah. Terlihat beberapa set gamelan di atas panggung. Sepertinya pentas seni itu akan menampilkan pertunjukan budaya pula...
Keluar dari gedung utama menuju ke open space berupa lapangan di sisi dalam kompleks Lawang Sewu, kita akan diarahkan oleh papan petunjuk ke beberapa fasilitas di area ini (foto sebelah kiri).
Spot utama yang dapat kita kunjungi tentunya adalah Museum Pemugaran Lawang Sewu (diberi nama Gedung C oleh pengelola), dan gedung tambahan di sisi timur laut bangunan utama yang lantai bawahnya difungsikan sebagai ruang komersial berisi beberapa kios suvenir (diberi nama Gedung B).
Mushalla yang juga merupakan kebutuhan penting terdapat di lantai bawah sisi utara Gedung B.
Selain itu masih terdapat fasilitas tambahan seperti ruang menyusui, ruang P3K. Area merokok disediakan di sisi belakang Museum Pemugaran, jika ada yang membutuhkannya.
Sangat nyaman duduk-duduk santai di area publik terbuka ini, terutama dengan adanya barisan pohon besar peneduh yang terawat.
Kebersihan open space ini sangat terjaga. Tong sampah juga tersedia di cukup banyak tempat sehingga memudahkan pengunjung untuk membuang sampah di tempat yang seharusnya.
Selain berisi beberapa kios suvenir khas Lawang Sewu dan Semarangan secara umum, pedestrian di luar Gedung B sisi selatan juga tampak ditempati oleh beberapa lapak pedagang makanan - minuman ringan seperti yang ditunjukkan oleh foto di bawah. Pas memang jajan sambil sejenak beristirahat sebelum mulai lagi menjelajah isi Museum dan Gedung B.
Museum Pemugaran Lawang Sewu seperti namanya memang berisi sejarah dan informasi kronologis proyek revitalisasi kompleks bangunan ini.
Gedung C yang difungsikan sebagai museum tidak terlalu besar sebenarnya (seperti ditunjukkan oleh foto di sebelah kiri), tetapi sangat informatif dan fungsional karena isi/display barang-barang di dalamnya didesain dengan menarik.
Di sebelah kiri pintu masuk museum kita dapati beberapa kereta/trem kuno yang berhasil dikoleksi. Kami tidak tahu pasti apakah kereta konu ini masih berfungsi atau tidak.
Dinding display didesain bergelombang. Cukup menarik mencermati foto-foto dan narasi yang tersaji di sana. Setidaknya butuh waktu 30 menit lebih untuk membaca dan mencermati seluruh isi museum ini, termasuk beberapa artefak kuno yang ternyata masih bisa dikumpulkan sebagai koleksi museum seperti beberapa spesimen batu bata gedung asli yang diimpor dari Eropa, serta mesin-mesin sinyal perkeretaapian lawas full mekanik.
Informasi sejarah perkeretaapian Hindia Belanda hingga memasuki jaman kemerdekaan (kiri atas). Koleksi outdoor museum berupa gerbong trem kuno berwarna biru yang tampak cute (kanan atas).
Kalau yang di atas ini sih odong-odong berdesain kereta api kuno, hehehe...
Selesai di museum, kami naik ke lantai atas gedung tambahan (Gedung B). Gedung B ini tampaknya didesain dengan ventilasi dan penerangan yang lebih baik dari bangunan utama. Kami merasakan udara di dalam ruang-ruang gedung tambahan ini lebih segar, dan tentunya suasana terkesan lebih hidup karena lebih banyak cahaya yang masuk pula.
Secara umum kondisi ruang-ruang di Gedung B ini hampir sama dengan apa yang kita jumpai pada bangunan utama ditinjau dari segi tidak adanya barang koleksi kuno peninggalan jaman kolonial di dalamnya. Ruang-ruang besar di sini tampak lengang dan kosong (foto di atas).
Foto di samping kanan cukup jelas memperlihatkan suasana yang cukup pencahayaan pada lorong yang berada di bagian tengah bangunan. Tentunya berbeda dengan situasi yang terkesan lebih muram dan gelap yang kita jumpai di lorong-lorong bangunan utama.
Kamar-kamar yang ada di gedung tambahan ini juga ternyata kami amati sengaja didesain dengan memiliki pintu penghubung antar ruangan yang simetris, tepat berada di tengah. Kita dapat melihat barisan kusen-kusen pintu bagaikan tak berujung memanjang ke ruangan yang lebih jauh jika kita berdiri tepat di depan salah satu pintu...
Spot menarik yang masih dapat kita lihat sebelum menuju pintu keluar adalah sebuah lokomotif uap kuno berwarna hitam yang masih tampak kokoh dan bertenaga (foto di samping kiri).
Lokomotif tua seperti ini biasanya hanya kita lihat di film-film lawas. Namun di sini kita bisa menyentuh, bahkan menaikinya dan masuk ke ruang masinis. Tetapi ingat, tetap berhati-hati saat naik ke sini ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar