Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Rabu, 18 Januari 2012

Kolaborasi : Anda Siap Berkolaborasi? (Are You Ready for Collaboration?)

Anda tentu sering mendengar istilah kolaborasi. Bahkan saat ini semua orang berlomba-lomba untuk berkolaborasi, atau paling tidak mengklaim dirinya kolaboratif. Tapi sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan kolaborasi?
Jika ditinjau dari akar bahasa, kata Inggris collaborate berarti bekerja dengan pihak lain untuk mencapai sesuatu. Pendeknya, co-labor mengandung makna ’bekerja bersama’. Kolaborasi bukan hanya dapat diadopsi oleh perusahaan atau organisasi resmi lain. Prinsip-prinsip kolaborasi pun bisa – bahkan seharusnya – dipraktikkan dalam keluarga. Keluarga yang kolaboratif sangat berpotensi untuk mencapai tujuan positif dalam setiap aspek hidup sehari-hari.
 
Dewasa ini kolaborasi mutlak dilakukan di segala bidang kehidupan. Kolaborasi bukanlah pilihan, karena memang tak mungkin dihindari. Kolaborasi bahkan berpotensi mengubah sesuatu yang mustahil menjadi mungkin dilakukan. Hal ini dapat dicapai lewat komunikasi, kepercayaan, serta kerjasama antar pihak yang sepakat untuk berkolaborasi.
 
Banyak perusahaan besar (yang bahkan saling bersaing dalam bisnis) sudah membuktikan dahsyatnya manfaat kolaborasi. Daihatsu dan Toyota misalnya. Meski sama-sama berkompetisi memperebutkan pasar permobilan nasional, kedua pabrikan ini justru mencetak sukses besar lewat proyek kolaborasi Xenia-Avanza. Atau dalam dunia perbankan, khususnya consumer banking. Contoh mudah, saat ini tak ada lagi bank yang tidak menggandeng bank lain dalam hal akses ATM. Silakan lihat kartu ATM Anda. Pasti di sana tercetak sederet logo yang mengisyaratkan kolaborasi kental demi mempermudah transaksi konsumen via ATM, di mana konsumen dapat memanfaatkan ATM milik bank lain (kompetitor) dalam bertransaksi meski konsumen tersebut tidak memiliki rekening pada bank pemilik mesin ATM tersebut. Fasilitas ini diberikan lewat kolaborasi yang dilambangkan oleh logo ATM Bersama misalnya. Bagi suatu bank, kolaborasi ini sangat menguntungkan karena mereka tak perlu membangun sekian banyak ATM di seluruh Indonesia. Bank-bank itu dapat saling memanfaatkan ATM milik sesama bank peserta fasilitas ATM Bersama.
Namun tentu saja kolaborasi semacam ini (coopetition merupakan istilah yang sering digunakan dalam terminologi kolaborasi dengan kompetitor) mutlak memerlukan perencanaan jitu agar sukses memperoleh hasil yang diinginkan. Xenia-Avanza misalnya. Kedua pabrikan tidak rakus berebut jatah pasar sebesar-besarnya. Maka, Xenia dikonsentrasikan untuk kelas 1000 cc, sedangkan Avanza untuk 1300 cc. Meski Xenia pun mengeluarkan varian 1300 cc, fokusnya tetaplah 1000 cc. Coopetition yang didesain apik semacam ini terbukti sukses dengan laris manisnya Xenia-Avanza di pasar mobil nasional. Hal ini tidak terjadi pada Suzuki APV dan Mitsubishi Maven misalnya. Karena keduanya sama-sama dipersenjatai mesin 1500 cc, APV-Maven tidak saling melengkapi layaknya Xenia-Avanza, tetapi justru bertarung memperebutkan segmen pasar yang sama. Jadi memang dibutuhkan analisis dan kreativitas yang prima untuk menjamin berhasilnya kolaborasi.
Dalam memulai kolaborasi, pihak-pihak terkait semestinya menetapkan dulu tujuan bersama yang ingin dicapai. Setelah tujuan itu jelas, kembangkan rasa saling percaya hingga level fundamental dan emosional sekalipun sehingga tiap pihak terkait seharusnya tidak canggung lagi menunjukkan kelemahan, kesalahan, bahkan perilaku, hingga mencapai suatu titik di mana semua pihak saling terbuka. Ini penting karena semua pihak yang saling percaya tak akan ragu untuk terlibat dalam dialog yang bergairah – bahkan konflik - dalam membahas berbagai hal dan keputusan kunci menuju keberhasilan.
Konflik janganlah ditabukan. Berbeda pendapat sah-sah saja terjadi. Kolaborasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersedia untuk terlibat dalam konflik sehat akan mampu menghasilkan kepercayaan yang tulus mengenai keputusan penting yang diambil, meski sebelumnya ada pihak yang tidak setuju. Rasa memiliki atas keputusan yang diambil melahirkan komitmen dalam melaksanakan tindakan bersama tersebut. Akhirnya, tindakan yang dikerjakan dengan sepenuh hati tentu sangat berpotensi untuk berhasil. Inilah langkah-langkah kolaborasi yang umumnya dilakukan.
Memang pada praktiknya, langkah konflik sehat yang mesti dilalui paling sering dipandang sebagai langkah yang paling sulit, namun menentukan berhasil-tidaknya kolaborasi. Dalam setiap konflik, tiap pihak terkait semestinya benar-benar memperhatikan keinginan pribadi dan keinginan pihak lain. Kolaborasi hanya dapat timbul jika seluruh pihak terkait mengoptimumkan kepentingan pribadi dan kepentingan pihak lain dalam waktu bersamaan. Jika salah satu pihak hanya mementingkan kepentingan pribadinya, pihak lain tentu akan letih terus-menerus mengalah. Kolaborasi pun tak bakal langgeng karena pihak yang terus terpaksa mengikuti keinginan pihak lain cenderung akan lari menghindar. Seringkali kolaborasi yang baik bahkan mampu menemukan metode baru yang sama sekali berbeda dengan keinginan pribadi pihak-pihak terkait. Jadi bukan ’my way’ atau ’your way’ yang dicari dalam kolaborasi, melainkan ’better way’.
Namun tak jarang, karena tiap pihak kesulitan mendapatkan ‘better way’, mereka cenderung sekedar melakukan kompromi, bukan kolaborasi. Kompromi biasanya lahir dari kesediaan untuk mengurangi sedikit keinginan pribadi dan mengakomodasi sedikit keinginan pihak lain. Jadi kedua pihak bersedia ‘rugi sedikit’. Kolaborasi berbeda. Dalam kolaborasi, baik keinginan pribadi maupun pihak lain sama-sama tercapai, namun lewat sebuah ‘better way’.
Lalu bagaimana mencari ‘better way’ itu? Dan apakah memang benar kolaborasi dapat diterapkan dalam lingkup sekecil keluarga?

Di bagian awal memang telah disinggung bahwa prinsip kolaborasi semestinya dipraktikkan dalam keluarga. Di sini perlu dibedakan antara kompromi dan kolaborasi. Memang tidak semua masalah harus diselesaikan lewat kolaborasi karena kolaborasi sungguh membutuhkan usaha lebih besar ketimbang kompromi. Hal-hal yang efeknya kecil dan relatif mudah diselesaikan tetap dapat diselesaikan hanya di level kompromi, contohnya masalah transaksional.
Coba bayangkan jika seorang tukang mangga keliling lewat di depan rumah, dan kita ingin membelinya. Penjual mangga tadi mungkin membuka harga Rp. 15.000/kg, sementara kita mau Rp. 10.000. Timbul konflik di sini. Lantas keinginan siapa yang akan diambil sebagai keputusan akhir? Dalam masalah transaksional begini, tawar-menawar biasanya berujung pada kompromi Rp. 12.500/kg. Kita dan penjual sama-sama sedikit mengalah demi mengakomodasi keinginan pihak lain.
Untuk mencapai level kolaborasi, kita dan si penjual harus mau berupaya lebih keras. Kedua pihak mesti menoleh ke akar penyebab mengapa kita mau harga beli Rp. 10.000, sementara penjual ingin harga jual Rp. 15.000. Alasan kita mungkin karena kita tidak yakin akan kualitas mangga yang dijual. Jika dijamin kualitasnya baik semua, bisa jadi dijual Rp. 20.000 pun kita masih mau membeli. Dan alasan si penjual mungkin karena tidak adanya jaminan penghasilan yang kontinyu sehingga ia berusaha menjual setinggi-tingginya tiap ada prospek jualan. Maka apabila besok pun tidak ada yang membeli mangganya, ia sudah memiliki sedikit simpanan hasil menjual mahal pada kita hari ini.
Cukup jelas bahwa sebenarnya harga bukanlah masalah utama. Akar penyebab itulah yang lebih utama, yang kemudian melatarbelakangi patokan harga tertentu. Jika sudah sampai di sini dan kedua pihak telah sama-sama memahami akar penyebabnya, kolaborasi bisa segera dimulai.
Kolaborasi yang diambil bisa berupa sistem langganan misalnya. Jadi, kita menjamin si penjual boleh datang menjual mangga tiap 2 hari ke rumah sehingga ada kepastian penghasilan baginya, sementara penjual pun memastikan bahwa ia hanya akan menjual mangga berkualitas baik pada kita. Maka, kedua akar masalah terselesaikan tanpa ada pihak yang merasa dikorbankan kepentingannya : kita dapat mangga berkualitas, penjual dapat kepastian penghasilan. Harga yang disepakati lewat ’better way’ langganan bisa jadi tetap Rp. 12.500, tapi bisa juga angka lain karena setelah berkolaborasi sebenarnya pihak-pihak terkait tidak lagi bicara di level harga, melainkan sudah ke tahap akar penyebab yang seringkali serba relatif alias tak bisa diukur dengan harga tertentu.
Namun sekali lagi memang kalau kita hanya sesekali membeli mangga dan penjual pun hanya sesekali melewati rumah kita, level kompromi sudah cukup. Tak perlu buang-buang energi untuk berkolaborasi dengan pihak yang tidak memiliki tujuan bersama secara jelas. Pendeknya, kita boleh memilih pihak mana yang layak diajak berkolaborasi, dan mana yang tidak perlu. Pihak yang layak diajak berkolaborasi tentulah harus memiliki tujuan bersama yang sejalan dengan kita.
 

Berbeda dengan masalah transaksional, di dalam keluarga seharusnya prinsip kolaborasi selalu diterapkan karena hubungan keluarga jauh lebih dalam ketimbang sekedar urusan membeli mangga. Bahkan hal kecil yang kerap mengganjal dalam keluarga pun seharusnya diselesaikan lewat kolaborasi agar tidak berlarut-larut.

Masalah belanja bulanan contohnya. Dalam keluarga single income di kota besar, ayah bekerja 5 atau 6 hari sepekan sehingga weekend benar-benar ingin dinikmatinya untuk beristirahat total. Bepergian keluar rumah pada weekend dengan segala resiko kemacetannya benar-benar bukan pilihan menarik bagi ayah. Di lain pihak, kesempatan untuk berbelanja bulanan – sekaligus rekreasi keluarga - pun hanya datang saat weekend itu sehingga si ibu tetap ingin berbelanja bulanan pada weekend. Bagaimana mengatasi konflik seperti ini dengan kolaborasi?
Sekali lagi, cobalah pahami akar penyebabnya, dan bukan sekedar masalah hari apa seharusnya berbelanja bulanan. Kepentingan ayah jelas tidak ingin terkena macet lagi – ditambah antri di kasir saat membayar belanjaan - setelah selama hari kerja terjebak kemacetan berjam-jam. Ayah sebenarnya mau saja diajak belanja bulanan ke mall hari apa pun, asal tidak terkena macet sehingga weekend tetap bisa dimanfaatkan untuk istirahat. Ibu berkepentingan untuk belanja bulanan dengan mobil - karena tentu barang yang dibeli tidak sedikit -, serta bepergian bersama seluruh anggota keluarga demi menjaga keharmonisan keluarga.
Pada titik ini, ibu bisa bertanya apakah hari Sabtu dan Ahad keduanya sama macetnya? Jika ternyata ayah memastikan bahwa hari Ahad tidak semacet Sabtu, keluarga itu bisa saja berbelanja bulanan pada ’saat tidak macet’, yaitu Ahad. Atau jika memang terpaksa harus berbelanja bulanan pada hari Sabtu, giliran ayah yang bertanya apakah ibu bisa menyiapkan seluruh anggota keluarga – terutama anak-anak - untuk berangkat pukul 8 pagi. Bila ibu memastikan bahwa ia bisa menjamin mereka sudah berangkat pukul 8 pagi, berbelanja begitu mall dibuka, dan membayar di kasir saat antrian pembeli masih pendek, ayah pun tak akan keberatan untuk berbelanja pada hari Sabtu. Sekali lagi, hari belanja sebenarnya tidak penting karena sejatinya yang diinginkan kedua pihak bukanlah hari tertentunya, tetapi tidak macet-antrinya, menggunakan mobilnya, serta mendukung keharmonisan keluarganya. Sepanjang ketiga akar penyebab ini terpenuhi, baik ayah maupun ibu sama-sama merasa ’menang’. Kolaborasi pun berujung pada kebaikan semua pihak alias ’better way’.

Itu baru hal belanja bulanan yang relatif kecil. Hal lain yang jauh lebih utama tentu butuh kolaborasi pula. Kuliah anak misalnya. Akar kepentingan orang tua adalah menyekolahkan anak dalam batas kemampuan/anggaran pendidikan yang telah mereka persiapkan sejak si anak masih kecil. Sementara akar kepentingan si anak adalah kuliah di universitas bermutu, namun logikanya membutuhkan biaya tinggi. Kolaborasi yang baik berangkat dari pemahaman kedua pihak akan akar kepentingan masing-masing, bukan dimulai dari pertanyaan ’anak akan kuliah di universitas apa?’.
Artikel mengenai makna nama-nama jurusan di perguruan tinggi dapat dibaca di sini
 
Si anak bisa saja mengawali kolaborasi dengan menyodorkan data kualitas pendidikan serta anggaran beberapa alternatif universitas pada orang tua. Orang tua pun bisa membuka wacana target level pendidikan yang ingin dicapai si anak. Maksudnya, jika anak ingin kuliah sampai level S2, ia bisa saja memilih kuliah S1 di universitas berkualifikasi baik namun dengan anggaran tidak terlalu mahal. Ia tidak perlu bernafsu kuliah di universitas terunggul dengan biaya selangit karena memang nantinya ia akan lebih menggunakan ijazah S2-nya dalam berkarya. Dan karena penerimaan S2 tidak mensyaratkan kelulusan dari universitas tertentu, mengapa harus memilih S1 yang mahal?
Kolaborasi yang dilandasi kemauan untuk saling memahami kepentingan pihak-pihak terkait seperti ini tentu akan melahirkan ’better way’ yang sering kali tidak terpikirkan sebelumnya. Bayangkan apa yang terjadi jika sejak awal si anak sudah berkeras ’saya harus kuliah di Universitas A’, dan orang tua pun tak kalah gigi membalas ’kamu tidak boleh kuliah di universitas A’. Kedua pihak sudah menentukan harga mati ’universitas A’ tanpa mau mencari tahu mengapa si anak ingin kuliah di universitas A, dan apa alasan orang tua mati-matian menentangnya. Kedua pihak tentu sangat berpotensi untuk memasuki suasana serba tidak enak, bahkan berujung kegagalan. Kita tidak menghendakinya, bukan? Maka, berkolaborasilah. 
Anda siap untuk itu?
Simak juga :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar