Item Pigura 3D, detil klik di sini... |
Jalan Raya Cijulang yang kami lewati antara Kota Pangandaran ke Green Canyon kondisinya baik dan mulus. Tidak seperti beberapa tahun lalu ketika jalan di sini masih rusak parah. Pertigaan di mana kita harus belok kanan menuju pantai seharusnya tidak akan terlewati karena terdapat landmark besar bertuliskan Batu Hiu di sana.
Dari pertigaan Jl. Raya Cijulang ini ke pantai hanya berjarak sekitar 500m saja. Batu Hiu secara administratif termasuk wilayah Desa Ciliang, Kec. Parigi.
Rumah Konservasi Penangkaran Penyu merupakan spot yang Kang Dadi pilihkan terlebih dahulu. Rumah bercat oranye ini bertuliskan KPBL (Kelompok Penangkaran Biota Laut) Batu Hiu.
Gerbang penangkaran ini selalu terbuka pada pengunjung yang bersimpati pada upaya pelestarian penyu yang beberapa spesies-nya terkategori terancam (foto kiri bawah).
Gerbang penangkaran ini selalu terbuka pada pengunjung yang bersimpati pada upaya pelestarian penyu yang beberapa spesies-nya terkategori terancam (foto kiri bawah).
Tepat setelah memasuki gerbang, di sebelah kanan terdapat kios suvenir dengan merchandise serba penyu (foto sebelah kanan). Jangan lupa pula mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya karena penangkaran ini rupanya dikelola oleh perseorangan. Maka sebagian dana operasional upaya konservasi juga mengandalkan donasi suka rela dari pengunjung. Untuk memasuki dan melihat-lihat penangkaran penyu ini, pengunjung tidak dikenakan tiket masuk sepeser pun.
Konsep yang diusung oleh spot ini adalah wisata edukasi dengan pesan kecintaan pada alam yang kental. Pesan ini begitu kuat dan konsisten disampaikan oleh pengelola penangkaran penyu satu-satunya di Pangandaran ini, Bapak Asep dan keluarga beliau (mohon beribu maaf jika ada kesalahan penulisan nama karena kami saat itu lupa mencatat nama Bapak...) yang sejak 1982 telah mendedikasikan dirinya demi kelangsungan hidup penyu yang kian langka ini.
Peran pemerintah beliau rasakan masih sangat minim, namun ini tak menjadikan beliau dan keluarga patah arang. Hanya mengandalkan kepedulian keluarga, dan perlahan masyarakat sekitar yang kian mendukung, beliau tak pernah mengeluh untuk terus mengupayakan pelestarian ribuan ekor penyu yang telah ditangkarkan dan dilepasliarkan kembali ke samudra.
Cita-cita beliau sederhana : hanya ingin anak keturunannya dapat mengenal dan menyentuh penyu secara langsung, bukan hanya dari gambar atau cerita orang...
Penangkaran ini secara fisik memiliki kolam yang disekat menjadi 3 sektor seperti pada foto di sebelah kanan, masing-masing berisi penyu sesuai ukuran tubuh/umurnya. Kolam ini berada di bagian belakang area penangkaran.
Kolam sebelah kanan belakang berisi anak penyu/tukik yang telah menetas. Sayang saat kami berkunjung ke sana hanya ada sekitar 10 ekor tukik sampel penetasan karena penangkaran ini baru saja melepasliarkan tukik-tukik beberapa hari yang lalu. Bak berisi pasir laut tempat mengubur dan menetaskan telur-telur penyu sendiri berada di halaman depan. Nah, tukik-tukik yang telah menetas di bak inilah yang dilepaskan ke laut, kecuali 2 ekor sampel dari tiap batch penetasan yang selalu disimpan oleh penangkaran.
Kolam sebelah kanan depan berisi 3 ekor penyu ukuran besar (berat +/- 25kg) berusia sekitar 6 tahun. Penyu-penyu besar ini merupakan sampel penetasan yang disimpan oleh penangkaran sejak menetas. Ketiga penyu ini sama sekali belum pernah keluar dari kolam penangkaran sehingga ukuran tubuhnya jumbo. Menurut staff penangkaran, Di samudra lepas penyu rata-rata membutuhkan waktu 15 tahunan untuk tumbuh sebesar +/- 25kg seperti sampel tersebut, karena di alam liar penyu harus banyak bergerak sehingga sebagian besar porsi makanannya menjadi energi, bukan ditumpuk ke pertumbuhan tubuhnya. Penyu-penyu di kolam penangkaran memang tak mesti berjuang untuk hidup sehingga pertumbuhannya tubuhnya maksimal. Kemudian, kolam di sebelah kiri berisi penyu sampel yang lebih kecil, kurang lebih berat 1 hingga 5 kg.
Beginilah jika penyu sedang tidur : mengambang tak bergerak di permukaan air karena mereka tetap harus bernapas lewat lubang hidungnya ke udara, tidak seperti ikan yang tak perlu muncul ke permukaan (foto kiri atas). Kita bisa masuk ke dalam kolam untuk bermain-main dengan penyu di sini. Anak-anak awalnya malu-malu dan hanya mau mengelus-elus penyu yang diangkat oleh staf penangkaran, tetapi akhirnya semua nyebur juga ke dalam kolam berkedalaman air sebetis ini... (foto kanan atas).
Teknik menggendong penyu adalah sambil mengelus-elus bagian bawah lehernya agar penyu itu tenang. Jika tidak dielus-elus maka kedua sirip depannya akan meronta-ronta.
Tampak peta lokasi penyu bertelur di pesisir selatan Jawa, tepatnya di daerah Pangandaran yaitu dari spesies penyu hijau, lekang, sisik, tempayan, dan pipih (foto kiri atas); dan informasi mengenai penyu (foto kanan atas). Menurut staf penangkaran, dulu masyarakat gemar mengambil telur penyu untuk dikonsumsi. Namun sejak Pak Asep dan keluarga giat mengkampanyekan konservasi penyu, maka berangsur masyarakat tak lagi mengkonsumsi telur penyu. Bahkan Pak Asep sering mendapat bantuan informasi dari masyarakat tentang adanya penyu yang bertelur di pantai, sehingga Pak Asep dapat memindahkan telur-telur itu ke penangkaran untuk ditetaskan secara lebih aman dari gangguan hewan predator mau pun manusia. Masyarakat juga saat ini otomatis akan menyerahkan penyu-penyu yang tak disengaja tertangkap/terjaring nelayan saat melaut ke penangkaran untuk dirawat hingga kuat untuk dilepaskan kembali ke samudra. Terkadang penyu-penyu yang terjaring seperti ini mengalami luka atau stress sehingga butuh pemulihan.
Saat Pangandaran diterpa tsunami (Juli 2006), penangkaran yang berada di bibir pantai ini mengalami kerusakan serius. Akibatnya selama beberapa saat aktivitas konservasi penyu terganggu selama dilakukan renovasi fisik bangunan. Alhamdulillah bangunan baru dapat berdiri dengan kondisi yang bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Tembok belakang penangkaran merupakan hasil aktivitas CSR Daihatsu Indonesia yang terdorong untuk mendukung upaya konservasi setelah terdampak tsunami. Sebelum ditembok, staf penangkaran hanya menggunakan tembok darurat dari anyaman bambu yang rentan dimasuki hewan atau tangan-tangan jahil manusia. Tentunya ini berpotensi mengganggu penyu yang berada di penangkaran.
Adzan zhuhur telah berkumandang. Setelah cukup puas memperluas wawasan tentang penyu di penangkaran, kami melaksanakan ibadah shalat dulu di masjid sebelah penangkaran. Setelah itu kami pindah ke parkiran Pantai Batu Hiu yang hanya sekitar 100m dari lokasi penangkaran.
Peran pemerintah beliau rasakan masih sangat minim, namun ini tak menjadikan beliau dan keluarga patah arang. Hanya mengandalkan kepedulian keluarga, dan perlahan masyarakat sekitar yang kian mendukung, beliau tak pernah mengeluh untuk terus mengupayakan pelestarian ribuan ekor penyu yang telah ditangkarkan dan dilepasliarkan kembali ke samudra.
Cita-cita beliau sederhana : hanya ingin anak keturunannya dapat mengenal dan menyentuh penyu secara langsung, bukan hanya dari gambar atau cerita orang...
Penangkaran ini secara fisik memiliki kolam yang disekat menjadi 3 sektor seperti pada foto di sebelah kanan, masing-masing berisi penyu sesuai ukuran tubuh/umurnya. Kolam ini berada di bagian belakang area penangkaran.
Kolam sebelah kanan belakang berisi anak penyu/tukik yang telah menetas. Sayang saat kami berkunjung ke sana hanya ada sekitar 10 ekor tukik sampel penetasan karena penangkaran ini baru saja melepasliarkan tukik-tukik beberapa hari yang lalu. Bak berisi pasir laut tempat mengubur dan menetaskan telur-telur penyu sendiri berada di halaman depan. Nah, tukik-tukik yang telah menetas di bak inilah yang dilepaskan ke laut, kecuali 2 ekor sampel dari tiap batch penetasan yang selalu disimpan oleh penangkaran.
Kolam sebelah kanan depan berisi 3 ekor penyu ukuran besar (berat +/- 25kg) berusia sekitar 6 tahun. Penyu-penyu besar ini merupakan sampel penetasan yang disimpan oleh penangkaran sejak menetas. Ketiga penyu ini sama sekali belum pernah keluar dari kolam penangkaran sehingga ukuran tubuhnya jumbo. Menurut staff penangkaran, Di samudra lepas penyu rata-rata membutuhkan waktu 15 tahunan untuk tumbuh sebesar +/- 25kg seperti sampel tersebut, karena di alam liar penyu harus banyak bergerak sehingga sebagian besar porsi makanannya menjadi energi, bukan ditumpuk ke pertumbuhan tubuhnya. Penyu-penyu di kolam penangkaran memang tak mesti berjuang untuk hidup sehingga pertumbuhannya tubuhnya maksimal. Kemudian, kolam di sebelah kiri berisi penyu sampel yang lebih kecil, kurang lebih berat 1 hingga 5 kg.
Teknik menggendong penyu adalah sambil mengelus-elus bagian bawah lehernya agar penyu itu tenang. Jika tidak dielus-elus maka kedua sirip depannya akan meronta-ronta.
Tampak peta lokasi penyu bertelur di pesisir selatan Jawa, tepatnya di daerah Pangandaran yaitu dari spesies penyu hijau, lekang, sisik, tempayan, dan pipih (foto kiri atas); dan informasi mengenai penyu (foto kanan atas). Menurut staf penangkaran, dulu masyarakat gemar mengambil telur penyu untuk dikonsumsi. Namun sejak Pak Asep dan keluarga giat mengkampanyekan konservasi penyu, maka berangsur masyarakat tak lagi mengkonsumsi telur penyu. Bahkan Pak Asep sering mendapat bantuan informasi dari masyarakat tentang adanya penyu yang bertelur di pantai, sehingga Pak Asep dapat memindahkan telur-telur itu ke penangkaran untuk ditetaskan secara lebih aman dari gangguan hewan predator mau pun manusia. Masyarakat juga saat ini otomatis akan menyerahkan penyu-penyu yang tak disengaja tertangkap/terjaring nelayan saat melaut ke penangkaran untuk dirawat hingga kuat untuk dilepaskan kembali ke samudra. Terkadang penyu-penyu yang terjaring seperti ini mengalami luka atau stress sehingga butuh pemulihan.
Saat Pangandaran diterpa tsunami (Juli 2006), penangkaran yang berada di bibir pantai ini mengalami kerusakan serius. Akibatnya selama beberapa saat aktivitas konservasi penyu terganggu selama dilakukan renovasi fisik bangunan. Alhamdulillah bangunan baru dapat berdiri dengan kondisi yang bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Tembok belakang penangkaran merupakan hasil aktivitas CSR Daihatsu Indonesia yang terdorong untuk mendukung upaya konservasi setelah terdampak tsunami. Sebelum ditembok, staf penangkaran hanya menggunakan tembok darurat dari anyaman bambu yang rentan dimasuki hewan atau tangan-tangan jahil manusia. Tentunya ini berpotensi mengganggu penyu yang berada di penangkaran.
Adzan zhuhur telah berkumandang. Setelah cukup puas memperluas wawasan tentang penyu di penangkaran, kami melaksanakan ibadah shalat dulu di masjid sebelah penangkaran. Setelah itu kami pindah ke parkiran Pantai Batu Hiu yang hanya sekitar 100m dari lokasi penangkaran.
Pantai Batu Hiu bukanlah jenis pantai yang umum direnangi karena ombak di sini relatif besar. Pantai ini adalah tipe pantai untuk bersantai, menggelar tikar piknik, atau acara gathering. Panorama pantai ini indah, terutama jika dinikmati dari ketinggian bukit cadasnya yang hijau dan rimbun oleh pepohonan dan pandan wong yang khas.
Sebelum menaiki bukit cadas Batu Hiu, kita harus melewati 'terowongan' berbentuk mulut hiu yang menganga lebar. Tempat ini tentunya menjadi lokasi selfie favorit para pengunjung.
Lalu di mana 'batu hiu' sebenarnya yang menjadi cikal bakal nama pantai ini? Menurut Kang Dadi, ternyata 'batu hiu' adalah nama sebongkah karang yang berada sekitar 100m lepas pantai (ditunjuk dengan panah merah pada foto di bawah). Karang ini berbentuk mirip sirip ikan hiu. Foto di bawah juga memperlihatkan suasana bagian atas bukit cadas batu hiu yang rindang, pas untuk duduk-duduk santai.
Masih dari Kang Dadi, karang Batu Hiu itu dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tergerus ombak seperti juga yang terjadi pada Batu Layar.
Jika karang Batu Hiu ini suatu saat roboh, maka sepertinya tinggal gerbang berbentuk hiu raksasa itu saja yang menjadi penegas kesan 'hiu' di sini.
Selain beraktivitas di atas bukit cadas batu hiu, terdapat pula pantai dengan spot foto yang bagus berupa gua kecil yang dapat dieksplorasi di bawahnya (foto kiri bawah). Tapi sekali lagi disarankan untuk hati-hati karena ombak di sini cukup besar.
Masih di dekat gerbang ikan hiu raksasa, terdapat landmark Batu Hiu yang menarik (foto kanan bawah).
Kami tidak terlalu lama di sini karena memang aktivitas-aktivitas yang bisa dilakukan di pantai ini dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. Selain itu karena kami juga memutuskan untuk makan siang di Pangandaran saja, jadi kami pun segera kembali ke sana.
Pukul 13 lewat, kami tiba di RM seafood Bu Hj. Surman di kawasan Pantai Timur Pangandaran, tak jauh dari Cagar Alam. Hidangan seafood di sini recommended karena rasa dan bumbunya kami nilai pas. Kondisi bangunan dan interior RM cukup baik dan bersih. Terdapat 2 kamar mandi yang cukup besar dan bersih di dalam. Harga standar seafood lah, sekitar Rp.40.000 per orang.
Setelah makan siang kami check in dulu di hotel, lalu lanjut ke spot terakhir hari itu yaitu eksplorasi Cagar Alam. Kakung dan Mamak memilih beristirahat saja di hotel, mungkin agak lelah setelah dari pagi seru-seruan di Green Canyon dan Batu Hiu...
Untuk menuju Cagar Alam, kami berlima diajak (lagi-lagi) naik perahu dari Pantai Barat ke Pasir Putih. Hanya sekitar 10 menit saja berperahu kita sudah mendarat di Pasir Putih Barat. Dari sini kita mulai hiking ringan seputaran Cagar Alam...
Mendarat di Pasir Putih Barat dan memasuki Cagar Alam |
Tiket masuk Cagar Alam Pangandaran adalah Rp. 20.000/orang.
Tadinya terus terang kami agak ragu apakah anak-anak akan enjoy mengeksplorasi cagar alam ini. Tapi kenyataannya mereka sangat antusias berkeliaran di kawasan konservasi ini. Banyak yang bisa diamati dan dipelajari di sini, mulai dari keadaan lingkungan, tetumbuhan, satwa, dan beberapa situs seperti gua dan air terjun yang menanti untuk disinggahi.
Medan di sini naik turun, fisik harus prima... |
Cagar Alam Pangandaran diperkirakan awalnya adalah sebuah pulau kecil tersendiri, yang lambat laun menyatu dengan daratan Pangandaran akibat sedimentasi pasir dan bebatuan.
Tipe spot wisata seperti ini kami nilai sangat unik, karena level menarik-tidaknya sangat tergantung pada kita sendiri, terutama seberapa banyak waktu yang akan kita habiskan di sini. Jika kita hanya sekilas berjalan-jalan ringan, bisa jadi spot semacam ini dianggap kurang menarik.. Namun bila kita memiliki waktu cukup, maka akan semakin banyak juga objek yang bisa dijangkau yang seharusnya menambah penilaian plus terhadapnya.
Kang Dadi menerangkan bahwa setidaknya butuh 5 hari untuk menjelajahi seluruh kawasan cagar Alam. Peserta tour yang memiliki waktu sekitar 3 jam bisa menjelajahi 3 buah gua yang ada di sini, termasuk gua alami yang pernah dijadikan lokasi syuting film Mak Lampir, hiiiii....
Ketika itu sudah ashar dan kami tidak memiliki waktu yang cukup. Akhirnya kami hanya sempat mendatagi Gua Jepang yang lokasinya terhitung paling dekat dengan Pasir Putih Barat.
Hutan pantai dengan formasi baringtonia didominasi oleh tumbuhan jenis butun (Baringtonia asiatica), nyamplung, pandan laut, dan waru laut (foto kiri atas). Di daerah yang lebih jauh dari pantai dapat ditemui hutan tanaman jati emas dan mahoni, serta jenis-jenis epifit dan tanaman parasit.
Mendekati jembatan batu, kami mulai menemukan kelompok kera, jumlahnya banyak (foto kanan atas). Mereka hidup bebas di sini dan sepertinya tidak suka menyandera barang-barang milik turis untuk ditukar dengan makanan seperti yang pernah kami alami di Bali. Peran aktif peneglola Cagar Alam kami nilai juga penting untuk mencegah kera menjadi suka menambil barang pengunjung. Di sini kami banyak melihat spanduk larangan memberi makan satwa untuk mencegah satwa di sini menjadi tergantung pada pengunjung. Satwa-satwa di sini diharapkan tetap terbiasa mencari makan sendiri seperti layaknya hewan liar.
Jembatan batu berdesain lengkung (foto sebelah kiri). Seekor rusa mencari makan tak jauh dari kami (foto sebelah kanan). Menyenangkan melihat rusa-rusa di sini hidup bebas dan sepertinya tidak takut pada manusia. Mungkin karena manusia pun tak mengganggu mereka.
Menurut Kang Dadi, di sini hidup beragam satwa liar seperti kera (Macaca fascicularis), lutung (Trachipytecus auratus), landak, trenggiling, rusa (Cervis timorensis), banteng, kancil, burung tulumtumpuk (Magalaema javensis), burung kangkareng, ayam hutan, dan juga ular sanca.
Prasasti Gua Jepang (foto kiri atas). Lubang gua ini bukanlah Gua Jepang yang sebenarnya, melainkan semacam tempat penyimpanan saja (foto kanan atas).
Pada masa perang Dunia II tentara Pendudukan Jepang merencanakan kawasan Pangandaran sebagai benteng pertahanan jika tentara Sekutu menyerang dari laut selatan. Kenyataannya Sekutu datang dari utara, sehingga Gua Jepang ini selamat dari serangan dan kerusakan sampai sekarang.
Kita harus menggunakan lampu senter jika hendak masuk ke dalam Gua Jepang ini. Lampu senter disewakan oleh petugas Cagar Alam yang memiliki beberapa pos jaga di seputar kawasan konservasi seharga Rp. 10.000. Kami sempat kaget ketika masuk ke dalam gua yang gelap gulita ini karena saat lampu senter menyorot ke dalam kami melihat bayangan besar bergerak-gerak, yang setelah didekati ternyata adalah seekor rusa jantan berukuran besar yang sedang bersembunyi di dalam. Rusa itu sama sekali tak bersuara. Menurut kang Dadi adakalanya rusa dikejar-kejar anjing liar atau karena sebab lain kakinya terluka sehingga memilih menyendiri dulu selama beberapa waktu.
Udara di dalam gua terasa tidak enak dihirup, serta lembab. Gua Jepang ini memiliki ruang kecil di sebelah kiri (ditempati oleh rusa) dan kanan. Pintu keluarnya terletak di atas. Kita harus melewati ruangan dalam gua yang berkelok seperti labirin kecil, lalu menyempit mendekati pintu keluar yang menanjak.
Kang Dadi menambahkan bahwa di Cagar Alam Pangandaran terdapat bunga raflesia patma, sebagaimana yang tercantum pada lambang daerah Kabupaten Pangandaran (klik di sini untuk melihat lambang Kab. Pangandaran... ). Keberadaan raflesia patma ini sedikit banyak menyebabkan ditingkatkannya status kawasan konservasi ini dari sebelumnya Suaka Margasatwa (berdasarkan keputusan pemerintah kolonial No. 19 Stbl 669 tahun 1934) menjadi Cagar Alam (berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 34 tahun 1961).
Haaa? Bunga raflesia di sini? Kita tidak perlu jauh-jauh ke Bengkulu untuk melihat bunga parasit raksasa dari genus Rafflesia ini tumbuh di habitat aslinya? Tadinya kami sudah bersemangat '45 ketika Kang Dadi menceritakan hal ini. Sayang seribu sayang menurutnya butuh lebih dari 3 jam trekking untuk menuju ke habitat raflesia patma di tengah cagar alam dan pulang kembali ke pasir Putih Barat.
Suasana Pasir Putih Barat, di kejauhan tampak FV Viking yang ditenggelamkan |
Raflesia patma yang langka di cagar alam ini adalah tanaman endemik asli Indonesia yang tercatat hanya tumbuh di lima titik yang berada di dalam hutan primer Cagar Alam Pangandaran, di antaranya berada sekitar 100m dari air terjun cagar alam, dan sekitar 1km dari pintu masuk Pantai Timur, Jika kita sedang beruntung menemukan bunga raflesia yang sedang mekar, maka dari jarak sekitar 10m bau bangkainya yang khas sudah dapat tercium.
Malam harinya kami habiskan di hotel saja untuk beristirahat setelah hari yang seru dan penuh aktivitas ini. Kami sekeluarga hanya sejenak berjalan-jalan menikmati suasana Pantai Barat di malam hari yang terasa sepi karena hampir seluruh pelancong telah pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Sangat jauh berbeda dengan Sabtu malam yang meriah dan penuh pengunjung.
Tadinya anak-anak ingin mencoba berenang malam hari di kolam renang hotel. Namun qadarullah kolam renang sedang dibersihkan sehingga tak dapat digunakan oleh tamu. Bagus juga sih, karena akhir pekan yang penuh pengunjung sedikit banyak membuat air kolam perlu pembersihan, teruatam dari pasir pantai yang pasti terbawa dari laut.
Hotel Surya Kencana Seaside berlokasi hampir tepat bersebelahan dengan Bumi Nusantara, masih di seputaran Jl. Pamugaran Bulak Laut alias di tepi Pantai Barat. Kami mengambil kamar junior suite room kapasitas 4 orang seharga 500 ribu-an (dengan sarapan) yang ternyata amat luas. Diisi hingga 6 orang pun masih memadai karena 2 buah ranjang king size di sini ternyata besar-besar.
Check in/out cepat, pelayanan staff OK, area parkir kendaraan luas, dan lokasi tepat di tepi pantai adalah beberapa faktor plus hotel ini. Sayangnya free wifi tidak sampai ke kamar kami di lantai 2. Wifi hanya tersedia di lobby dan area sekitar kolam renang. Namun demikian tetap kami nilai hotel ini recommended.
2 ranjang king size yang nyaman membuat anak-anak betah leyeh-leyeh di dalam kamar (foto kiri atas). Sekali lagi, kami suka sekali dengan konsep hotel di Pangandaran yang umumnya memiliki balkon pribadi ke arah luar. Selain asyik buat duduk-duduk bersama keluarga, kita juga bisa menjemur pakaian renang setengah kering di sini. Semalaman diangin-angin dengan udara pantai cukup lah untuk mengeringkan pakaian (foto kanan atas).
Kamar mandi Surya Kencana tampak bersih dan peralatan mandinya dalam kondisi baik, walaupun belum dilengkapi bathtub (foto kiri atas). Lorong luar di depan kamar memberikan pool view (foto kanan atas).
Hari Keempat (Senin)
Setelah subuh, kami dan suami memilih bersantai sejenak di area kolam renang hotel yang masih sepi. Hanya ada seorang staf hotel yang menyelesaikan pembersihan kolam sejak malam sebelumnya. Suami tampak berbincang singkat dengan staf tersebut yang menjawab ini-itu dengan ramah.
Sarapan seperti biasanya tersedia pukul 7 pagi. Sambil menunggu sarapan siap, kami sarankan Anda meluangkan waktu sejenak berjalan pagi di tepi pantai yang masih relatif sepi. Seperti halnya pada pagi hari kedua, kami melihat sekelompok rusa yang keluar dari kawasan Cagar Alam. Kelompok rusa itu berjalan santai di tepian pantai. Sayang kami tidak dapat mengambil foto kawanan rusa itu karena hari masih agak gelap dan kelompok rusa itu berada agak jauh.
Komplit : jejak kaki rusa, anjing, manusia, bahkan bekas ban sepeda pun ada (foto kiri atas). Para pengunjung mulai berdatangan ke pantai meski hari masih pagi (foto kanan atas).
Bagian pantai di sini tampaknya cukup tenang. Mungkin karena sebagian kekuatan gelombang tertahan oleh semenanjung Cagar Alam tersebut. Hmmm, sayang sekali kemarin anak-anak belum sempat bermain air di pantai bagian ini. Lain kali lah jika qadarullah kami kembali berkunjung ke Pangandaran, anak-anak in sya Allah akan kami ajak ke sini.
Setelah sarapan selesai, anak-anak langsung bermain air di kolam renang Surya Kencana yang cukup besar ini. Kolam bagian anak-anak dipisahkan oleh tali dengan kolam bagian dewasa yang cukup dalam. Kondisi ubin/keramik kolam ini kami nilai baik, meski ada beberapa keping yang terlepas namun tampak sudah ditambal dengan semen sehingga tidak tajam.
Kami menghabiskan sisa pagi itu di kolam renang saja. Setelah selesai kami pun bersiap-siap check out dari hotel dan meninggalkan Pangandaran yang istimewa ini...
Perjalanan pulang ke Bekasi alhamdulillah lancar. Kami start dari Pangandaran sekitar pukul 10.30, dan sudah keluar tol Grand Wisata, Bekasi, ketika adzan maghrib berkumandang.
That's our story...
terimakasih infonya sangat membantu, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2KFWNkJ
BalasHapus