Foshan (佛山, berarti Gunung Budha) merupakan kota kuno setingkat prefektur (kota besar) yang terletak tak jauh dari kota Guangzhou, ibukota Provinsi Guangdong di belahan tenggara China. Luas wilayah Foshan adalah sekitar 3850 km2dengan penduduk lebih dari 7,2 juta jiwa. Foshan pun merupakan bagian dari Pearl River Delta Economic Zone yang membentang ke arah selatan Guangdong hingga Macao, meliputi daerah seluas 17.573 km², dan total populasi lebih dari 44,7 juta jiwa.
Pada jaman dulu Foshan disebut Jihua. Tercatat pada tahun 398M (masa Dinasti Jin), seorang pendeta dari India mendirikan sebuah kuil di Bukit Tapo. Kuil ini lama-kelamaan lapuk dan hancur termakan usia. Tetapi konon pada tahun 628M (Dinasti T'ang), penduduk Jihua melihat cahaya berpendar dari dalam bukit. Setelah digali, mereka menemukan 3 patung perunggu Budha dari tempat pendar cahaya itu terlihat. Penduduk kemudian mendirikan kuil sebagai rumah baru bagi ketiga patung tersebut. Sejak saat itulah Jihua berubah sebutan menjadi Foshan (Gunung Budha). Kota ini lalu berkembang menjadi pusat keagamaan di Delta Pearl River, dan dikenal juga dengan julukan Chancheng (Kota Zen, Zen adalah sebuah seni meditasi). Nama Chancheng bertahan hingga saat ini sebagai salah satu dari 5 distrik di Foshan (4 distrik lain adalah Sanshui, Nanhai, Shunde, dan Gaoming).
Beberapa tokoh terkenal dari Foshan di anataranya Wong Fei Hung (1847-1924) sang ahli bela diri legendaris, Ip Man (1893-1972) sang master Wing Chun sekaligus guru Bruce Lee, dan Wang Yue (2009-2011) yang kasus ketika gadis cilik ini tertabrak dan terlindas oleh beberapa mobil hingga akhirnya tewas sempat mendunia pada tahun 2011 silam.
Foshan awal musim semi (pertengahan Maret) 2016 menyisakan suasana musim salju ekstrim dingin yang melanda negara-negara belahan bumi utara sejak akhir 2015. Saking dinginnya, salju sempat turun di Foshan pada bulan Januari 2016, sesuatu yang sebelumnya hampir tak pernah terjadi di kawasan selatan China. Namun meski tak lagi bersalju, temperatur udara Maret 2016 itu tercatat lebih dingin dibanding pertengahan Maret biasanya.
Berjaket tebal menembus pagi 8 derajat celcius pukul 8.30 yang berkabut ketika itu, kami berjalan kaki dari hotel menuju Stasiun Foshan Metro (kereta bawah tanah) yang memang jaraknya cukup dekat. Kami sudah membawa payung hotel untuk berjaga-jaga jika hujan turun, tetapi qadarullah suasana hanya berkabut tebal tanpa turun hujan.
Bunga-bunga bermekaran di awal musim semi meski tampak banyak pula pepohonan sub-tropis yang masih meranggas. Saking tebalnya kabut, jarak pandang sangat terbatas.
Suasana pagi awal musim semi berkabut yang membeku ini mengingatkan kami akan sebuah puisi terkenal China kuno yang ditulis oleh Han Yu (768-....?), salah seorang pujangga paling berpengaruh jaman Dinasti T'ang yang memang tinggal di kawasan selatan China sejak tahun 777. Puisi berjudul 'Kabut Awal Musim Semi' tentang transisi musim dingin ke musim semi ini menceritakan kedamaian yang turun dari surga ke bumi lewat kabut dan gerimis :
Metro merupakan pilihan terbaik untuk bepergian di dalam kota Foshan yang seringkali macet saat rush hour pagi dan sore hari. Kami naik dari Stasiun Zumiao ke Stasiun Qiandeng Hu yang berjarak 6 stasiun (kami agak lupa tarifnya, namun kalau tidak salah sekitar 15 Yuan). Tak sampai 15 menit kami sudah tiba di stasiun tujuan. Berbeda dengan saat kembali ke hotel naik taksi yang membutuhkan sekitar 40 menit. Dari Stasiun Qiandeng Hu kami masih harus berjalan kaki sekitar 5 menit menuju Danau Qiandeng, yang namanya dipakai oleh stasiun metro terdekat.
Suasana naik kereta Metro Foshan yang nyaman, jangan khawatir dengan bahasa karena tulisan dan pengumuman di dalam kereta terdapat baik dalam bahasan Mandarin maupun Inggris (kiri); salah satu stasiun Metro Foshan (kanan)
Akhirnya kami tiba di Danau Qiandeng sekitar pukul 9.15. Awalnya kami tak menyadari bahwa danau di tengah kota ini begitu luas karena pandangan yang terhalang kabut tebal. Namun ternyata mengelilingi sebagian kecil danau ini saja butuh waktu lebih dari 30 menit. Lumayan sih hitung-hitung olahraga menghangatkan diri. Tetapi mungkin akan butuh waktu lebih dari satu jam. Tak banyak pengunjung lain yang ada di tepian danau pagi itu. Memang lebih banyak orang berdatangan ke sini pada sore dan malam hari.
Qiandeng Hu ('qian' (seribu) dibaca 'cien' dengan 'e' seperti pada kata 'enak'; dan 'deng' (lentera) dibaca 'teng' dengan 'e' seperti pada kata 'enam') secara harfiah berarti 'seribu lentera'. Hu sendiri berarti danau. Rekan China kami menceritakan bahwa saking luasnya danau ini, maka orang Foshan jaman dulu membayangkan bahwa akan diperlukan seribu (amat banyak) lentera untuk menerangi seluruh danau. Inilah asal kata qiandeng yang dipertahankan hingga saat ini.
Pohon beringin, jembatan, sepeda air yang terparkir rapi, serta beberapa pendopo di tengah danau merupakan beberapa pemandangan yang dapat dinikmati saat berjalan berkeliling di tengah dinginnya udara pagi itu.
Jika kita berjalan menyeberangi danau dan juga Jl. Denghu Xi, kita akan tiba di sebuah bangunan besar berjuluk the Public Square. Sebenarnya kita bisa membeli jajanan dan suvenir di sini, namun pagi itu ternyata kios-kios suvenir yang menurut informasi cukup banyak tersedia belum buka. Kami hanya bisa melihat-lihat sebentar Public Square dan hutan bambu yang berada di sana karena memang pagi itu tak ada apa-apa di dalamnya.
Public Square (kiri); hutan bambu (kanan)
Dari Public Square kami kembali ke area danau untuk menyelesaikan putaran kembali ke tempat awal. Seorang nelayan sempat tampak melintas membelah danau dari selimut kabut di kejauhan dengan perahu kecilnya saat kami sedang menyeberangi jembatan ke sisi lain danau.
Saat kembali ke tempat awal, kami baru melihat peta danau (foto di bawah). Ternyata area danau yang kami jelajahi (bergaris hitam dengan panah) hanyalah sedikit dari keseluruhan danau!
Danau ini secara umum berbentuk huruf L dengan lebar tak beraturan. Ada yang lebar dan ada pula bagian yang sempit. Pada bagian yang menyempit dibangunlah jembatan-jembatan penyeberangan.
Air danau cukup jernih dengan beberapa palung yang cukup dalam pada beberapa bagian danau. Pengelola memasang tanda 'Dilarang Berenang' di banyak tempat di sekeliling danau demi keamanan pengunjung.
Menurut rekan China kami biasanya ada komunitas taichi dan kungfu lokal yang biasa berlatih pernapasan di sekeliling danau. Tapi mungkin karena udara sedang berkabut dan sesekali gerimis turun, komunitas ini pagi itu tak terlihat.
Danau ini memiliki saluran pembuangan air berupa sungai yang cukup lebar (ke sebelah kanan pada peta). Entah ke mana sungai ini mengalir, mungkin akhirnya menyatu dengan Pearl River, terus mengalir ke pesisir di sebelah selatan.
Pada malam hari biasanya pengelola menyalakan lentera/lampion di sekeliling dan pendopo tengah danau yang membuat suasana tentunya menjadi lebih semarak.
Setelah beristirahat sejenak, dengan berat hati kami meninggalkan Qiandeng Hu yang damai. Tujuan jalan-jalan kami berikutnya adalah sebuah kawasan penghasil gerabah kuno yang bernama Ancient Nanfeng Kiln Cultural and Creative Zone (南风古灶, nán fēng gǔ zào), tepatnya di Shiwan Town, Distrik Chancheng yang tak terlalu jauh dari hotel kami menginap. Situs bertema sejarah dan budaya ini mendapat predikat AAAA alias sangat direkomendasikan oleh Departemen Pariwisata Foshan.
Menurut informasi yang kami gali, tungku pembakar gerabah kembar tertua di seantero China ini - Nanfeng dan High Kiln - telah dibangun pada masa Dinasti Ming (1506-1521), dan selama 500 tahun masih bekerja membakar gerabah hingga sekarang.
Ancient Nanfeng Kiln adalah satu dari sepuluh destinasi wisata unggulan di Foshan. Beberapa atraksi yang bisa kita saksikan di situs Nanfeng ini di antaranya Museum Keramik Shiwan, Shiwan Doll Street, Desa Keramik Internasional, Ancient Stove Banyan Tree (古灶神榕, gǔ zàoshén róng), Rumah Lin (林家厅, línjiā tīng, the Lin's House), Twin Dragon Kilns (龙窑, lóng yáo),Paviliun Yunyong (云涌亭, yún yǒng tíng), Kuil Beidi (北帝庙, běi dì miào), dll.
Kota Shiwan di mana Nanfeng Kiln ini berada sejak jaman Dinasti T'ang (tahun 618M) telah mulai berkembang menjadi pusat produksi gerabah. Pada masa awal Dinasti Ming (tahun 1368M), gerabah dari Shiwan dianggap sebagai yang terbaik di seluruh China, dan itu tak lepas dari tungku kembar Nanfeng yang juga dikenal sebagai 'Tungku Naga', terinspirasi oleh bentuknya yang besar dan memanjang mengikuti kontur sebuah bukit kecil tempatnya dibangun.
'Mulut' tungku-tungku ibarat naga ini menghadap ke selatan, sementara ujung utara tungku (di puncak bukit kecil ini) tumbuh pohon-pohon banyan (pohon benalu yang awalnya hidup pada beringin, lalu setelah benalu itu besar dan kuat justru 'mencekik' beringin inangnya hingga beringin mati dan pohon benalu yang kini tumbuh kuat dan besar itu hidup menggantikan sang inang). Sebatang pohon banyan raksasa berusia diperkirakan lebih dari 400 tahun masih hidup di sini. Memang batang pohon ini telah sedemikian rupa disangga dan diperkuat oleh beton agar tidak rubuh, namun wujud super besarnya memang spektakuler (foto sebelah kiri).
Topografi bukit dan keberadaan pohon banyan di utara ini membuat angin berhembus ke arah selatan, seolah keluar dari 'mulut tungku'. Angin ini membuat orang Shiwan kuno mengibaratkan tungku ini seolah bernapas layaknya naga. Dari sini muncullah istilah Nanfeng ('nan' berarti selatan, dan 'feng' dengan 'e' seperti pada kata 'enam' berarti angin) : angin selatan. Lebih-lebih saat tungku sedang membakar gerabah, angin panas dan percik bara api yang keluar dari 'mulut naga' di sebelah selatan benar-benar mengingatkan kita pada seekor naga yang sedang mengeluarkan api dari mulutnya....
Tiket masuk ke situs ini hanya 25 Yuan, dan jam bukanya 08:00-17:00. Loket tiket ada di sebelah kanan gerbang, penjaga duduk di sebelah kiri. Kita harus mengenakan gelang sebagai tanda memiliki tiket untuk masuk ke seluruh area di dalam kompleks situs ini secara gratis.
Pelataran luas tepat di dalam gerbang menyuguhkan pemandangan pepohonan meranggas khas awal musim semi. Keseluruhan tempat ini bersih sehingga nyaman untuk berjalan-jalan santai di sini.
Di sebelah kiri pelataran berdiri megah 'tungku naga kembar' Nanfeng. Melihatnya dari kejauhan saja sudah menimbulkan kekaguman tersendiri mengingat situs ini sudah berusia 5 abad namun masih tetap megah, kokoh, dan fungsional... Sayangnya karena memang matahari tak jua menampakkan diri meski hari beranjak siang walaupun kabut tak lagi setebal pagi harinya, foto-foto yang kami ambil tampak kurang cerah dengan latar belakang langit pucat,,,
Ancient Nanfeng Kiln adalah satu dari sepuluh destinasi wisata unggulan di Foshan. Beberapa atraksi yang bisa kita saksikan di situs Nanfeng ini di antaranya Museum Keramik Shiwan, Shiwan Doll Street, Desa Keramik Internasional, Ancient Stove Banyan Tree (古灶神榕, gǔ zàoshén róng), Rumah Lin (林家厅, línjiā tīng, the Lin's House), Twin Dragon Kilns (龙窑, lóng yáo),Paviliun Yunyong (云涌亭, yún yǒng tíng), Kuil Beidi (北帝庙, běi dì miào), dll.
Kota Shiwan di mana Nanfeng Kiln ini berada sejak jaman Dinasti T'ang (tahun 618M) telah mulai berkembang menjadi pusat produksi gerabah. Pada masa awal Dinasti Ming (tahun 1368M), gerabah dari Shiwan dianggap sebagai yang terbaik di seluruh China, dan itu tak lepas dari tungku kembar Nanfeng yang juga dikenal sebagai 'Tungku Naga', terinspirasi oleh bentuknya yang besar dan memanjang mengikuti kontur sebuah bukit kecil tempatnya dibangun.
'Mulut' tungku-tungku ibarat naga ini menghadap ke selatan, sementara ujung utara tungku (di puncak bukit kecil ini) tumbuh pohon-pohon banyan (pohon benalu yang awalnya hidup pada beringin, lalu setelah benalu itu besar dan kuat justru 'mencekik' beringin inangnya hingga beringin mati dan pohon benalu yang kini tumbuh kuat dan besar itu hidup menggantikan sang inang). Sebatang pohon banyan raksasa berusia diperkirakan lebih dari 400 tahun masih hidup di sini. Memang batang pohon ini telah sedemikian rupa disangga dan diperkuat oleh beton agar tidak rubuh, namun wujud super besarnya memang spektakuler (foto sebelah kiri).
Topografi bukit dan keberadaan pohon banyan di utara ini membuat angin berhembus ke arah selatan, seolah keluar dari 'mulut tungku'. Angin ini membuat orang Shiwan kuno mengibaratkan tungku ini seolah bernapas layaknya naga. Dari sini muncullah istilah Nanfeng ('nan' berarti selatan, dan 'feng' dengan 'e' seperti pada kata 'enam' berarti angin) : angin selatan. Lebih-lebih saat tungku sedang membakar gerabah, angin panas dan percik bara api yang keluar dari 'mulut naga' di sebelah selatan benar-benar mengingatkan kita pada seekor naga yang sedang mengeluarkan api dari mulutnya....
Tiket masuk ke situs ini hanya 25 Yuan, dan jam bukanya 08:00-17:00. Loket tiket ada di sebelah kanan gerbang, penjaga duduk di sebelah kiri. Kita harus mengenakan gelang sebagai tanda memiliki tiket untuk masuk ke seluruh area di dalam kompleks situs ini secara gratis.
Gelang Nanfeng (kiri). Jangan khawatir tersasar karena papan petunjuk arah sangat banyak di dalam area situs ini (kanan).
Pelataran luas tepat di dalam gerbang menyuguhkan pemandangan pepohonan meranggas khas awal musim semi. Keseluruhan tempat ini bersih sehingga nyaman untuk berjalan-jalan santai di sini.
Di sebelah kiri pelataran berdiri megah 'tungku naga kembar' Nanfeng. Melihatnya dari kejauhan saja sudah menimbulkan kekaguman tersendiri mengingat situs ini sudah berusia 5 abad namun masih tetap megah, kokoh, dan fungsional... Sayangnya karena memang matahari tak jua menampakkan diri meski hari beranjak siang walaupun kabut tak lagi setebal pagi harinya, foto-foto yang kami ambil tampak kurang cerah dengan latar belakang langit pucat,,,
Tungku kembar Nanfeng : di sebelah kiri tangga naik Shiwan adalah tungku High Kiln dan di sebelah kanannya Nanfeng Kiln. Namun secara keseluruhan kedua tungku kembar ini biasa disebut Nanfeng Kiln saja.
Seperti inilah wujud 'naga' tungku kembar Nanfeng. Tampak bagian bawah (kiri); dan terus naik ke atas (kanan)
Tungku Nanfeng masih menggunakan kayu bakar tradisional seperti desain awalnya. Tampak bagian ruang bakar tungku yang amat besar.
Puncak tungku kembar Nanfeng adalah cerobong asap pembakaran (kiri). Di sebelah kiri High Kiln terdapat sebuah pelataran - Forget Me Not Platform - berisi sebuah pohon yang penuh dengan ikatan kain merah berisi doa versi kepercayaan Chinese (kanan).
Selepas Forget Me Not Platform, kami menuju Rumah Lin (kanan). Rumah Lin seperti halnya tungku Nanfeng dibangun pada masa Dinasti Ming. Rumah ini pada awalnya adalah kuil keluarga Lin. Pada saat kekuasaan Kaisar Jiaqing dari Dinasti Qing (1796-1820), ketiga bersaudara Lin mencapai puncak karir masing-masing ketika Lin Shaoguang lulus ujian kerajaan tingkat tertinggi, Lin Longguang dan Lin Jinquang lulus ujian kerajaan tingkat provinsi yang pada saat itu merupakan pencapaian yang amat bergengsi. Ketiga Lin bersaudara merenovasi kuil keluarga mereka menjadi lebih besar di kawasan Shiwan yang sibuk saat itu sekaligus memberi nama Rumah Lin yang dipertahankan hingga sekarang. Rumah Lin saat ini merupakan referensi model rumah tradisional China yang lengkap dengan gerbang masuk, beranda, pekarangan tengah dan belakang yang terbuka, sayap kiri-kanan, loteng, dsb. Rekan China kami terlihat terharu dan berkata bahwa ia jadi teringat kembali akan rumah kakeknya manakala menjelajahi rumah Lin dengan segala perabotan, jendela, dan pintu kunonya...
Kami mendengar suara orang menyanyikan syair tradisional China ketika masuk ke dalam. Rupanya memang sedang ada yang berlatih untuk pertunjukan (kiri). Pada saat-saat tertentu dipentaskan drama tradisional China di Rumah Lin. Sayang saat kami berkunjung ke sana sedang tidak ada show (kanan).
Di sebelah Rumah Lin terdapat Kuil Kuno Beidi masa Dinasti Ming yang merupakan petilasan Beidi sang Dewa Utara ('bei' berarti utara; dan 'di' berarti dewa) menurut versi kepercayaan Chinese. Kuil ini diebut 'Gao Miao' (Kuil Tinggi) karena meski daerah berdirinya kuil ini rendah, namun pondasi kuil dibuat ekstra tinggi dari batu-batu besar. Kuil ini menjadi besar dan menarik banyak peziarah yang datang ke kota Shiwan kuno. Sebagian besar kuil kemudian terbakar musnah, kecuali sisa ruangan samping yang dapat kita lihat sekarang. Tampak patung besar Beidi di atas altar (kiri). Prasasti kuno Dinasti Ming yang selamat dari kobaran api dan hingga kini masih disimpan di dalam kuil (kanan).
Dari Kuil Kuno Beidi kami memasuki labirin pemukiman kuno kota Shiwan jaman Dinasti Ming dan Qing yang khas dengan tembok bata serta lorongnya yang sempit. Rumah-rumah kuno itu kini difungsikan sebagai kios-kios suvenir yang menjajakan aneka produk gerabah, makanan, kerajinan kaca, paper cut, dll. Di ujung labirin kami lihat telah dibangun kios-kios baru yang lebih modern.
Tak hanya gerabah desain tradisional yang dibuat di Nanfeng, kerajinan kaca modern (kiri); serta gerabah berdesain kontemporer (kanan) pun hidup di sini.
Terus berjalan ke selatan setelah melewati area labirin kota Shiwan kuno, kami tiba di Museum Keramik. Hiasan dinding di sini dibuat serba keramik (kiri). Terdapat sebuah sumur kuno Zhenniu Well yang menarik perhatian kami. Menurut legenda, seekor kerbau besar mengacau dunia dan dipenjarakan di dalam sumur sebagai hukumannya. Tetapi rantai pengikat kerbau ini masih menjuntak ke luar bibir sumur. Suatu ketika, seseorang mencoba menarik rantai ini keluar, namun kemudian terjadi gempa dahsyat. Orang itu terkejut dan meletakkan kembali rantai itu. Gempa berlalu, dan alam tenang kembali. Sejak saat itu tak seorangpun berani menarik rantai dari dalam sumur itu. Untuk mencegah orang lain menarik rantai, ujung rantai itupun diikatkan ke sebuah batu besar. Sumur itu kemudian dinamai Zhenniu (sumur penjara kerbau besar), dan lokasi sumur iu berada dinamai 'Zhengang' (kanan).
Gedung megah Museum Keramik dengan lukisan penghias dinding serba keramik yang menceritakan kehidupan masyarakat China kuno.
Di pelataran tak jauh dari Museum Keramik terdapat sebuah replika alat penggiling usu kedele kuno. Kacang kedele diletakkan di dalam sebuah batu penggilingan besar, batu ini kemudian diputar dengan tangan sehingga sedikit demi sedikit kedele di dalamnya tergerus dan mengeluarkan susu kedelenya. Mungkin agak sulit saat kita baru mencoba, tetapi begitu irama putaran batu penggilingan ini kita dapatkan, maka memutarnya pun menjadi lebih mudah (kiri). Tugu berisi relief 10 destinasi wisata unggulan Foshan. Nanfeng Kiln ada di deret paling atas-tengah; Qiandeng Hu pada deret kedua dari atas-kiri; dan patung raksasa Dewi Kwan Im pada deret ketiga dari atas-kiri; sementara yang lainnya kami tidak tahu (kanan).
Masih di seputaran Museum Keramik, tepatnya di area Historical Site of Pottery Production, terdapat sebuah gedung pertunjukan pembuatan gerabah tradisional dengan sistem putar seperti di Kasongan. Meski awalnya pengunjung duduk tertib di kursi-kursi panjang yang disediakan, akhirnya kami memilih mendekat ke depan agar bisa lebih jelas melihat. Menurut kami, apa yang dipertunjukkan di sini sama dengan demo serupa di Kasongan atau Plered, hanya saja fasilitas gedung dan sarana pendukung lain di sini jauh lebih baik dan nyaman.
Gerabah hasil karya sang master dipajang pula di sini, kami lihat ada yang bertahun 2013 (kiri). Beberapa suvenir gerabah yang dijual di sini (kanan).
Suvenir aneka paper cut.
Dan... berakhirlah acara jalan-jalan kami di Foshan hari itu. Tengah hari terlewati sudah. Suasana masih terkesan muram dengan kabut di kejauhan. Temperatur udara tak lagi sebeku pagi, namun tanpa jaket tubuh tetap terasa kedinginan...
*****
Hotel Golden City, Foshan, di mana kami menginap selama 2 hari berada di kota ini terkesan rajin berbenah. Sejak terakhir kali kami menginap di sini sekitar 5 tahun silam, kami lihat banyak perbaikan signifikan, terutama kamarnya yang kini tampak lebih nyaman.
Lobi hotel yang luas masih mengandalkan relief perunggu suasana Foshan jaman dulu. Pelayanan check in dan check out di sini cepat dan ramah. Terdapat beberapa toko suvenir di area lobi ini meliputi produk teh China, sirip hiu dan seafood kering lain, minuman, serta keramik. Toko 7-11 kini tersedia di samping hotel, memudahkan kita untuk mencari jajanan murah meriah (kiri). Suasana lorong kamar hotel (kanan).
Suasana kamar yang nyaman. Kami sangat menyukai bathtub di sini yang dilengkapi dengan semburan air untuk memijat tubuh saat kita berendam. WIFI kencang, tersedia di seluruh area hotel.
Sedikit kekurangan yang kami rasakan adalah Restoran Jepang tempat sarapan disediakan yang menurut kami terkesan gelap dan sempit. Menu sarapan juga tidak istimewa, terutama bagi kami yang harus memilih-milih hidangan halal sehingga pilihan menu bagi kami lebih terbatas lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar