Pagi 26 Des 2015, menuruti rekomendasi Pakde, kami berkunjung ke Pantai Jatimalang yang ternyata menjadi salah satu spot wisata pantai andalan Kabupaten Purworejo, Jateng. Jadilah keluarga kami konvoi 2 mobil ke sana. Pakde sebagai penunjuk jalan, sementara suami mengemudikan mobil yang satu lagi mengikuti. Pakde mengambil rute Jalan Parangtritis-Bantul-Jalan Daendels-Jatimalang. Jalan raya saat itu masih lengang, sekitar satu jam saja kami sudah tiba di Pantai Jatimalang.
Ada yang unik sekaligus miris saat kami melintasi Jalan Daendels di wilayah Kulon Progo, tepatnya wilayah yang direncanakan akan dijadikan Bandara Kulon Progo (daerah Sidorejo, Kragon, dan Glagah, Kec. Temon). Rupaya masih terjadi penentangan dari masyarakat setempat yang tak ingin direlokasi dari tempat tinggal dan tanah pertaniannya atas rencana pembangunan bandara ini. Maka di sepanjang tepi jalan kami dapat melihat puluhan plang masyarakat Wahana Tri Tunggal (WTT) yang selama ini gencar menyuarakan penolakan seperti kalimat-kalimat : 'Memangnya Padi Berasal Dari Mana?', 'Ora Adil', 'Lebih Baik Bertani Daripada Jadi Kuli', hingga 'Simbah Ora Gelem Dipindah'. Mudah-mudahan akan segera tercapai titik temu yang terbaik.
Kabupaten Purworejo merupakan daerah perbatasan Provinsi Jateng dengan DIY (Kab. Kulon Progo). Luas wilayahnya sekitar 1000 km2, dan jumlah penduduk 948.000 jiwa (sensus 2010) yang mayoritas berprofesi tani. Kabupaten yang beribukota di Kota Purworejo ini dilintasi oleh jalan raya Jalur Selatan Jawa serta jalur kereta api selatan dengan stasiun terbesarnya di Kutoarjo. Wilayah yang pada masa Kesultanan Jogjakarta abad ke-19 lebih dikenal dengan nama Kadipaten Bagelen ini kini memiliki 16 kecamatan, dengan Bagelen menjadi salah satunya. Kota Purworejo memiliki alun-alun seluas 6 hektar yang disebut-sebut adalah alun-alun terluas di Pulau Jawa.
Dari Jalan Daendels, kita harus belok kiri sekitar 1km sebelum tiba di kawasan Jatimalang. Terdapat pos retribusi tiket sebesar Rp.4000/orang yang harus kita lewati sebelum masuk ke area parkir kendaraan. Area parkir mobil cukup tertata rapi dan tidak terlalu ramai, walaupun ternyata pengunjung di pantai kami saksikan sudah cukup banyak. Di sepanjang jalan dari area parkir ke pantai cukup banyak kios yang menjajakan suvenir, baju pantai, hingga penganan.
Mewarisi karakteristik pantai laut selatan yang langsung berhadapan dengan samudera lepas, Jatimalang memiliki ombak yang kuat memecah pantai. Kami memilih ekstra hati-hati dalam mengawasi anak-anak yang tengah bermain di bibir pantai agar tetap berada di tepi. Sayangnya kami tidak melihat penjaga pantai di sini, maka sepertinya setiap orang harus waspada dalam menjaga keselamatannya sendiri.
Jatimalang memiliki pasir berwarna kecoklatan, tak jauh berbeda dengan Parangtritis atau Glagah Indah yang pernah kami kunjungi (artikel tentang Pantai Glagah Indah, Kulon Progo, dapat dibaca di sini...).
Langit yang semula mendung - bahkan sempat menurunkan gerimis ringan - berangsur cerah sehingga anak-anak tampak kian ceria... alhamdulillah.
Seperti juga di Pantai Glagah Indah, Jatimalang memiliki kolam-kolam pemandian anak-anak berisi air tawar. Terdapat beberapa kolam anak yang dioperasikan oleh pengelola berbeda. Saran kami, lihat dulu fasilitas, ukuran, dan keadaan kebersihan air tiap kolam sebelum nyebur, karena kita tidak bisa berpindah kolam setelah nyebur di salah satunya. Kolam pada foto di sebelah kanan atas misalnya, airnya lebih jernih dan memiliki sebuah perosotan anak, tetapi kolam di sebelah kirinya lebih luas dan perosotannya juga lebih bagus.
Bagus juga untuk nyebur di sini setelah bermain air di pantai, karena berarti sekalian membilas air laut dengan air tawar di kolam ini.
Terdapat banyak warung tradisional menjajakan cemilan dan air kelapa di sepanjang pantai (kiri); perahu-perahu nelayan tertambat di pantai bagian timur. Pantai di sini tidak sebersih pantai di sebelah barat yang banyak payungnya (digunakan untuk mandi-mandi pengunjung) karena mungkin memang dijadikan area pengangkutan hasil melaut. Banyak capit kepiting ukuran cukup besar berserakan, disamping potongan jala dan sampah lainnya (kanan).
Setelah bermain air di pantai dan membilas bersih anak-anak, rombongan kami meninggalkan Jatimalang menuju Kota Purworejo. Masih menuruti rekomendasi Pakde, beliau menyarankan kami berbelanja durian yang terkenal murah dan enak di Pasar Purworejo. Jarak Pantai Jatimalang ke pusat Kota Purworejo sekitar 15km.
Kecamatan Kaligesing, Bruno, Bagelen, dan Bener memang telah lama dikenal sebagai penghasil durian yang walaupun ukurannya tidak terlalu besar, tetapi manis dan pulen. Durian selain dijual langsung oleh masyarakat ke pembeli, sebagian besar dipasarkan oleh pedagang di Pasar Purworejo.
Dan benar saja, di Pasar Purworejo kami jumpai belasan bakul duren menggelar dagangannya di pinggir jalan. Sayangnya... mereka ternyata kompakan menaikkan harga memanfaatkan momen libur akhir tahun 2015! Akibatnya, harga durian di sana yang biasanya murah (hanya di kisaran Rp.15.000/durian ukuran agak besar) meroket hingga 3 kali lipat. Wah, ini sih sama saja dengan di Bekasi, pikir kami.
Akhirnya dengan kegigihan menawar, kami bisa juga membeli durian dengan harga hampir sama dengan harga normal. Sekarung durian sukses dibawa pulang ke rumah - walaupun ternyata setelah dibuka tidak semuanya manis... yang kurang manis dijadikan juice duren saja. Rasanya lumayan setelah ditambah gula.
Seorang bakul duren (kiri); suasana jalan raya di depan Pasar Purworejo (kanan)
Sekilas Purworejo
Kabupaten Purworejo memiliki motto Berirama : Bersih, Indah, Rapi, Aman, Makmur. Berdiri sebagai kabupaten berdasarkan UU No.13/1950. Kontur daerahnya berupa dataran tinggi (bagian dari Pegunungan Serayu) di utara dan melandai ke pantai selatan. Perbatasan dengan Kulon Progo di sebelah timur berupa Pegunungan Menoreh.
Catatan sejarah pemukiman tertua di daerah ini ditemukan di daerah Desa Boro Wetan, Kec. Banyu Urip berupa Prasasti Kayu Ara Hiwang bertanggal 5 Oktober 901 M. Bujangga Manik, seorang petualang Kerajaan Pakuan pada abad ke-15 melaporkan pula keberadaan daerah ini pada perjalannya dari Bali ke Pakuan. Hingga saat ini catatan berdirinya Kabupaten Purworejo masih diperdebatkan antara tanggal pada prasasti di atas, atau tanggal pelantikan bupati pertama Purworejo pada 30 Juni 1830, menyusul padamnya Perang Diponegoro (1825-1830).
Ketika itu, Kesultanan Jogjakarta kehilangan penguasaan atas daerah Kadipaten Bagelen kepada Hindia-Belanda. Oleh Belanda wilayah ini kemudian digabungkan ke dalam Karesidenan Kedu dengan status kabupaten dan nama Purworejo. Kota Purworejo dibangun sebagai pemukiman dan pemerintahan yang baru dengan tata kota rancangan insinyur Belanda saat itu. Di kota baru ini ditempatkanlah tentara Belanda asal Ghana, Afrika, yang dikenal pula dengan sebutan Belanda Hitam. Saat ini sejumlah bangunan tua bergaya Eropa peninggalan Belanda masih terawat dan digunakan, seperti Masjid Jami Purworejo (1834), dan rumah dinas bupati (1840).
Purworejo pun ternyata pernah difungsikan sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah semasa revolusi fisik (1945-1949) sebagaimana terungkap dalam buku 'Bunga Rampai Kisah-Kisah Kejuangan 45' yang berisi kumpulan kesaksian para pelaku sejarah perang kemerdekaan di Purworejo, seperti Jend. Sarwo Edhie Wibowo, dan Jend. Oerip Soemohardjo.
Wilayah Kec. Bruno yang berada di pegunungan dan memiliki hutan luas ternyata sempat menjadi lokasi persembunyian para pejuang kemerdekaan RI. Bahkan wilayah yang ketika itu relatif terpencil ini menjadi ibukota Prov. Jateng 'Dalam Pelarian' kurun 1948-1949, karena Semarang dikuasai Belanda. Dikutip di dalam buku itu, Gubernur Jateng saat itu - KRT Wongsonegoro - menempati rumah Dul Wahid, seorang penduduk Desa Kembangan. Keberadaan pemerintahan Prov Jateng di desan Kembangan, Bruno, didukung oleh Pemerintahan Militer masa Perang Kemerdekaan ketika itu, di mana terdapat satu batalyon TNI yang membawahi dua peleton dan empat kompi pasukan perang pimpinan R. Sroehardoyo.
Hal yang mengharukan adalah diadakannya upacara peringatan empat tahun RI Merdeka di Desa Kemranggen, Bruno, yang saat itu dihadiri oleh jajaran TNI dan masyarakat setempat. Dalam buku setebal 86 halaman tersebut dituliskan bahwa jejak-jejak pemerintahan Prov Jateng di Bruno masih bisa ditemui.
Baca juga :
Senang berbagi tips dan info tempat2 wisata negeri sendiri, mdh berguna bagi traveler semua...
BalasHapus