Ramadhan tahun ini, 1433 H (2012), tidak seperti Idul Fitri sebelumnya yang hampir selalu jatuh saat kami sekeluarga berada di Bandung, kami melaksanakan shalat Id di kampung halaman kami di Jogja. Tapi memang konsekuensinya, suami kami mesti mengambil cuti di awal (sebelum Hari Raya), lalu segera balik ke Bekasi untuk kembali masuk kerja setelah Lebaran. Biasanya, suami kami hampir selalu mengambil cuti di akhir (setelah Hari Raya) sehingga setelah shalat Id di Bandung, kami berangkat ke Jogja pada H+1. Sebenarnya ritual 'biasa' ini lebih kami sukai karena acara-acara silaturahim di Jogja lebih intens setelah Lebaran (H+2 hingga sekitar H+4) sehingga kami dapat mengikutinya. Tahun ini kami memang terpaksa absen dari silaturahim di Jogja karena pada H+1 kami sudah harus balik ke Bekasi.
Satu hal sederhana yang ternyata menarik perhatian anak-anak kami adalah mesin giling padi yang sering berlalu-lalang di jalan desa di depan rumah orangtua kami. Desa kami memang masih dipenuhi oleh areal persawahan. Hampir seluruh keluarga memiliki petak sawah yang masih terus berproduksi (meski dikerjakan oleh orang lain). Konsekuensinya, mesin penggiling padi memang dibutuhkan untuk memisahkan gabah dengan bulir beras setiap kali petak-petak sawah tersebut dipanen.
Mesin penggiling padi |
Desa kami, Widoro, secara geografis termasuk wilayah Kabupaten Bantul. Tetapi letaknya justru lebih dekat ke kota Jogjakarta (hanya sekitar 6 km ke selatan Ring Road Selatan) daripada ke kota Bantul sendiri. Meski banyak rute yang dapat ditempuh untuk menuju ke desa kami, suami lebih senang mengambil rute Ring Road Selatan, lalu belok ke arah selatan di perempatan Wojo, alias Jalan Imogiri Barat. Sesekali suami kami pernah juga belok ke selatan di perempatan Jalan Parang Tritis, tapi tetap lebih sering dari arah Imogiri karena jalannya memang lebih lebar dan nyaman dilalui mobil dibandingkan dari arah Parang Tritis. Desa kami terletak kurang lebih tepat di pertengahan antara Jalan Imogiri dan Parang Tritis yang paralel dengan orientasi utara-selatan. Dikelilingi areal persawahan, desa kami layaknya pulau di tengah lautan sawah.
Pemandangan persawahan yang mengelilingi desa kami, foto diambil oleh suami kami sambil mengemudikan mobil |
Kembali ke mesin penggiling padi, mesin ini dibuat oleh bengkel-bengkel made in Jogja untuk keperluan khusus menggiling padi. Dapat dipastikan bahwa setiap desa memiliki mesin seperti ini. Yah, karena memang pasarnya terbuka luas : para pemilik sawah yang hendak menggilingkan padi hasil panennya.
Harga mesin penggiling padi ini sekitar 20 juta rupiah per unit. Terdiri dari rangka dengan 3 buah roda yang menopang mesin giling di atasnya. Di bagian depan terdapat kursi sederhana (umumnya hanya terbuat dari batang kayu) sebagai tempat duduk pengemudi sekaligus operator mesin giling padi ini.
Kapasitas gilingnya adalah sekitar 50 kg padi tiap 15 menit. Umumnya tiap customer menggilingkan sekitar 200 kg padi setiap kali giling untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Maka, operator mesin giling ini menghabiskan sekitar 1 jam lebih di rumah tiap customer. Ongkos gilingnya tidak mahal, minimum hanya Rp. 150 per kg padi. Jadi jika tiap customer menggilingkan 200 kg padi, operator mesin menerima bayaran Rp. 30.000 per customer (kurang lebih 1 jam-an). Bisa dihitung lah omzet rata-rata per bulan sang operator sekaligus (biasanya) pemilik mesin giling padi ini. Cukup besar untuk ukuran income di Jogja, karena memang umumnya pemilik mesin giling sudah memiliki pelanggan tetap yang terus-menerus membutuhkan jasanya sepanjang tahun (jika dipukul rata sekitar 4 hingga 5 customer per hari). Tapi ingat, pemilik mesin giling ini pun mesti menyisihkan penghasilannya untuk biaya perawatan serta pajak mesin ke pemda setempat.
Dan saking senangnya dengan mesin giling padi ini, anak-anak kami tak hanya puas dengan melihat cara kerjanya, tetap juga minta diajak turut serta berkeliling desa dengan mesin ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar