Putri Tujuh adalah dongeng atau cerita rakyat mengenai asal mula Kota Dumai di provinsi Riau.
Pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan
bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Raja Pamalayu Dumai Syaikh Sayyid Aziz Ibrahim dan Ratu
yang bernama Cik Sima.
Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal
dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang
paling cantik, namanya Mayang Sari.
Putri Mayang Sari memiliki kulit yang lembut bagai sutra,
wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai
delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal
terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan
Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di
lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh
putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang matayang sedang mengamati
mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya
yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri
tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran
terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri
Mayang Sari.
Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih,
“Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya,
ya.....d‘umai...d‘umai....”Kata-kata itu terus terucap dalam hati
Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang
Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang
putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut
mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada
Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh
Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga
Tanjung.
Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima
pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir
pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam
tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap
kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak
menerima pinangan terlebih dahulu. Mengetahui pinangan Pangerannya
ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran.
“Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan.Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.”
Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang
amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di
negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa
dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima
dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak
dapat dielakkan lagi. Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik
Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan
mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh
pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan
yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan
untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala.
Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu
tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima
semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung
dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas.
Melihat negerinya hancur dan
tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin
yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai. Pada suatu senja,
pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka
berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi
peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa
beribu-ribu buah bakau
yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak
sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan.
Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan
Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala. Melihat kedatangan utusan
tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit
langsung bertanya,
“Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”.
Sang Utusan menjawab,“Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan.
Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima itu, sadarlah Pangeran
Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut.
Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri
Empang Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat
persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya
Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa.
Mereka mati karena haus dan lapar.
Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau
bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan, Sedangkan perang
antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai
empat bulan. Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian
ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama
kemudian meninggal dunia.
Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap
dikenang dalam sebuah lirik yang diberi judul Tujuh Putri yang berbunyi:
“ |
|
” |
Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu
diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang
Sari atau Mayang Mengurai.
Pesanggrahan Putri Tujuh |
Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa tempat yang diyakini sebagai makam ketujuh putri yang dikenal sebagai Pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai.
Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang di abadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh, bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar