Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Rabu, 16 Juli 2014

Tips dan Cerita Perjalanan Umrah 1435 H (Bagian 2 : Makkah)

Umrah di Makkah

Perjalanan ke Makkah dari Madinah merupakan perjalanan umrah yang sebenarnya. Kami mulai meninggalkan hotel Shourfah di Madinah pada sekitar pukul 14. Kaum pria sudah memakai pakaian ihram sejak dari hotel. Suami kami menyarankan bagi kaum pria sudah mengenakan pakaian ihram bagian bawah (izzar) sempurna (tidak lagi mengenakan pakaian dalam) sejak dari hotel, jangan khawatir pakaian ihram akan terlepas dsb., karena kain ihram saat ini terbuat dari bahan handuk, jadi tidak licin seperti kain biasa. Kain jenis ini dengan cara pakai yang benar akan terpasang dengan cukup kuat ke tubuh, tidak mudah lepas. Sedangkan pakaian ihram bagian atas (ridaa) tinggal diselempangkan saja menutupi tubuh bagian atas dengan tatacara seperti gambar di samping kanan : selama perjalanan di dalam bus ke Makkah ridaa menutupi kedua bahu kanan-kiri seperti foto sebelah kanan, sedangkan ketika melihat Ka'bah dan mulai thawaf umrah dengan posisi idthiba' (hanya bahu kiri yang tertutup, sedangkan bahu kanan terbuka seperti pada foto sebelah kiri). Posisi idthiba' ini dipertahankan hingga thawaf umrah selesai, jadi ketika mulai sa'i, bahu kanan sudah tertutup kembali). Alas kaki yang digunakan adalah sandal.
Sedangkan bagi kaum wanita, sebenarnya tidak ada pakaian ihram khusus. Pakaian ihram wanita adalah pakaian sehari-hari yang tidak menampakkan bentuk tubuh, tidak berhias, tidak mengenakan cadar dan sarung tangan.
Sebelum berihram kita disunnahkan untuk mandi terlebih dahulu (termasuk bagi wanita yang sedang haid atau nifas), lalu memakai wewangian pada tubuh (wanita tidak memakai wewangian yang berbau terlalu menyengat) kecuali pakaian ihram. Jadi pakaian ihram itu sendiri tidak boleh terkena wewangian, termasuk pewangi pakaian yang bisa kita gunakan.

Setelah semua rombongan siap dengan pakaian umrah, kami berangkat mengambil miqat bagi penduduk Madinah, yaitu di Dzul Hulaifah yang terletak hanya sekitar 12 km dari Madinah/Masjid Nabawi. Miqat ini merupakan yang paling jauh jaraknya (450 km, sekitar 6 jam perjalanan bus) dari Makkah dibandingkan miqat lain seperti yang ditunjukkan oleh gambar di samping kanan.
Tiba di Masjid Dzul Hulaifah, kita disunnahkan melakukan shalat sunnah 2 rakaat seperti yang dilakukan Rasulullah SAW saat umrah. Hanya sebentar kami berada di masjid, kemudian kami meneruskan perjalanan.
Di atas bus, saat akan mulai perjalanan ke Makkah, kita memulai rukun umrah dengan mengucapkan niat umrah, dilanjutkan dengan talbiyah (membaca labbaik Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, innal hamda, wanni'mata, lakawal mulk, la syarikalah), perbanyaklah membaca talbiyah sepanjang perjalanan hingga saat melihat Ka'bah kita berhenti membaca talbiyah.
Sepanjang perjalanan kami melihat pemandangan di luar adalah batu-batu cadas yang kering. Luar biasa membayangkan perjalanan Rasulullah SAW dan para sahabat pada jamannya, naik unta atau berjalan kaki. Sementara kita bisa naik bus di atas jalan tol mulus, Rasulullah SAW dan para sahabat ketika itu membutuhkan waktu sekitar 7 hari perjalanan ke Makkah. Selama itulah, manusia-manusia paling mulia itu terbakar matahari dan bersusah payah dalam perjalanan, dengan hanya berpakaian ihram!

Subhanallah, alhamdulillah, dapat melihat langsung dan menyentuh Ka'bah...
Kami tiba di Makkah sekitar pukul 22, langsung makan malam dan check in di hotel, lalu bersiap-siap untuk mulai thawaf. Hotel kami kebetulan tepat berada di arah depan pintu Abdul Aziz Masjidil Haram, hanya sekitar 200 m jaraknya... bisa ditempuh beberapa menit dengan berjalan kaki saja.
Dari kamar hotel kami di lantai 17, kami bisa melihat Masjidil Haram dengan jelas.
Thawaf malam itu memakan waktu hanya sekitar 30 menit. Ketika melakukan thawaf umrah bersama rombongan, kami sarankan untuk selalu mengikuti rombongan, jangan memisahkan diri untuk mencoba mencium hajar aswad misalnya. Nanti masih banyak kesempatan ketika masing-masing melakukan thawaf sunnah. Kemudian, meski tiap rombongan umrah biasanya mencoba untuk stick together dalam formasi berkelompok, namun patut dipahami bahwa karena kerumunan manusia yang juga tengah sama-sama ber-thawaf di sekeliling Ka'bah, hampir mustahil untuk terus mempertahankan posisi berkelompok tersebut. Setidaknya suami-istri terus bergandengan/bersama agar tidak kehilangan pasangannya dalam situasi crowded ini. Nanti kita dapat berkumpul kembali dengan rombongan setelah selesai thawaf di belakang maqam Ibrahim yang cenderung lebih longgar.

Setelah meminum air zamzam dan shalat di belakang maqam Ibrahim, kami melanjutkan rukun umrah terakhir yaitu sa'i antara bukit Shafa dan Marwah. Bagi kaum lelaki disunnahkan untuk berlari-lari kecil sepanjang jarak yang ditandai oleh lampu hijau pada trek sa'i. Menurut catatan kami, butuh waktu sekitar 2 jam untuk menyelesaikan sa'i (7 kali bolak-balik Shafa-Marwah) diselingi doa yang cukup panjang di masing-masing bukit itu. Setelah sa'i, rukun umrah pun selesai. Tinggal melaksanakan tahallul saja.
Bukit Shafa dan Marwah saat ini sudah benar-benar menjadi bagian dari Masjidil Haram. Hanya sedikit bagian bukit yang dipertahankan, sementara sebagian besar sisanya sudah diratakan dan dialasi marmer untuk kemudahan ibadah. Foto di sebelah kanan memperlihatkan sedikit bagian bukit Shafa yang dipertahankan alami, diberi pagar kaca transparan, sementara sekelilingnya sudah rapi dan nyaman dilalui dengan lantai marmernya. Kondisi bukit Marwah saat ini kurang lebih serupa.

Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 4 dini hari ketika kami menyelesaikan sa'i. Kami serombongan beristirahat sejenak di luar masjid, bersiap-siap untuk melaksanakan shalat subuh. Betul-betul tidak tidur memang sejak tiba di Makkah... lelah tapi bersyukur karena rangkaian ibadah umrah ini hampir selesai.
 Tembok Masjidil Haram (kiri), narsis sejenak sambil beristirahat menunggu waktu subuh bersama sebagian anggota rombongan (kanan)

Tahallul (memotong rambut) adalah rukun umrah terakhir, sebagai penghalal/pembatal larangan-larangan selama umrah dan penanda berakhirnya rangkaian rukun umrah. Sama dengan shalat misalnya, ada ihram sebagai penanda awal rukun shalat yaitu takbiratul ihram, dan ada tahallulnya yaitu salam. Maka umrah pun diawali oleh ucapan niat umrah, dan diakhiri dengan tahallul.
Sementara kaum pria dari rombongan kami pergi menuju tukang cukur 10 riyal yang banyak terdapat di dalam pertokoan depan Masjidil Haram, kami para wanita kembali ke hotel bersama mutawwif. Kami dapat melakukan tahallul sendiri-sendiri di kamar hotel, karena bagi wanita memang cukup memotong seluruh ujung rambut bagian bawah sepanjang sekitar 1 ruas jari.
Sekitar 1 jam kemudian para pria kembali ke hotel. Cukup mengejutkan karena ternyata mereka semua kompak mencukur habis rambut (bahkan beberapa hingga licin/dikerok dengan pisau). Suami kami yang juga mencukur habis rambut berkata bahwa tukang pangkas Arab itu bekerja sangat cepat. Begitu duduk di kursi pangkas, tangan kiri mereka mencengkram bagian atas kepala, sementara tangan kanannya memainkan mesin cukur rambut dengan sangat cepat. Tak sampai 5 menit, satu kepala sudah plontos, hehehe...
Tahallul bagi pria sebenarnya dapat pula dilakukan dengan memotong sedikit rambut secara merata, jadi tidak habis pun dibenarkan menurut syariah.
Total jendral sejak mulai meninggalkan hotel untuk thawaf pada pukul 1 dini hari hingga selesai tahallul pada sekitar pukul 7 pagi, kami menghabiskan 6 jam untuk menyelesaikan rukun umrah di Masjidil Haram. Alhamdulillah, insyaallah diterima oleh Allah SWT...

Kegiatan Ba'da Umrah dan Situs Ziarah Seputaran Makkah

Hari itu merupakan hari bebas bagi kami. Kami dan suami menggunakannya dengan memperbanyak ibadah di Masjidil Haram... kapan lagi kesempatan langka ini terjadi, bukan? Sebelum shalat zhuhur kami melakukan thawaf sunnah, lalu sekali lagi sebelum ashar. Setelah shalat wajib biasanya jamaah thawaf membludak, sehingga lebih nyaman melakukan thawaf sebelum waktu-waktu shalat wajib. Perlu diperhatikan bahwa thawaf memerlukan waktu sekitar 30 menit, sehingga kita perlu memiliki spare waktu yang mencukupi sebelum waktu adzan.
Waktu isya saat itu adalah sekitar pukul 20. Setelah shalat isya, alhamdulillah akhirnya terlaksana juga mimpi kami untuk melakukan shalat tarawih di Masjidil Haram. Shalat tarawih dan witir di sini dilaksanakan total 23 rakaat, dengan salam setiap 2 rakaat. Satu hari shalat tarawih menghabiskan bacaan Qur'an 1 juz, sehingga dalam 1 bulan Ramadhan minimum khatam Qur'an 1 kali. Pada rakaat terakhir witir, dibacakan qunut yang panjangnya tidak kira-kira untuk ukuran Indonesia. Menurut ustadz pembimbing kami, panjangnya bacaan qunut tarawih awal-awal Ramadhan masih belum seberapa, istilahnya 'baru pemanasan'. Qunut akhir-akhir Ramadhan jauh lebih panjang, bahkan hingga membuat kaki gemetar karena berdiri terlalu lama... luar biasa semangat mereka! Dengan diselingi shalat jenazah, rangkaian shalat tarawih dan witir ini kami catat baru selesai menjelang pukul 12 malam.
Stamina memang mesti dijaga, karena pukul 2 dini hari praktis kita sudah harus bangun untuk makan sahur, lalu bergegas ke masjid paling lambat pukul 3 agar mendapatkan tempat yang enak di dalam Masjidil Haram. Waktu adzan subuh ketika itu adalah sekitar pukul 04.15. Karena saat itu musim panas, maka siangnya memang lebih lama. Waktu maghrib sendiri adalah sekitar pukul 19.00. Jadi durasi shaum per hari praktis 2 jam lebih lama dibanding durasi shaum di Indonesia : subuh 1 jam lebih cepat dan maghrib 1 jam lebih lama. Namun jangan berkecil hati, hanya dengan pertolongan Allah maka kita tetap akan mampu melaksanakan shaum sebaik yang kita mampu walaupun kondisinya lebih berat dibanding di Indonesia. Berserah dirilah hanya pada Allah, insyaallah Dia akan memudahkannya bagi kita.
Yang kami rasakan berbeda adalah karena kelembaban udara di sini sangat rendah dan temperatur sangat panas, badan hampir tidak pernah berkeringat. Berbeda dengan kondisi di Indonesia yang lembab, tubuh cenderung banyak berkeringat. Akibatnya, pakaian relatif tetap segar meski dipakai seharian. Kami pun tidak terlalu merasa haus.

Berbeda dengan kondisi Masjid Nabawi yang 'sudah jadi', maka suasana Masjidil Haram ketika itu kami rasakan masih serba darurat alias belum jadi karena proses renovasi dan perluasan masih terus berlangsung (proyeksi yang kami dengar paling cepat adalah hingga 2016). Akibat proses renovasi, debu di seputaran Masjidil Haram cenderung masih agak tebal, dan suasana lalu lalang jamaah di sini masih kacau. Bagaimana tidak, untuk menuju tempat shalat favorit di lantai dasar dari Shafa misalnya, kita harus naik dulu ke dalam, untuk kemudian turun lagi ke bawah, sementara sebenarnya dari Shafa ada jalan turun langsung ke lantai dasar, namun masih tertutup pagar pembatas renovasi. Semestinya setelah renovasi selesai, alur lalu lalang jamaah akan lebih teratur, insyaallah.
Penanda arah hotel kami adalah Jam Makkah, kami sarankan ketika pertama kali meninggalkan hotel menuju masjid, setelah sekitar 15 m berjalan, putar baliklah badan melihat dan mengingat-ingat suasana sekitar hotel karena hotel-hotel di sini semua tinggi dan sekilas terlihat serupa... ini agar kita tidak tersesat seperti banyak cerita jamaah yang tidak tahu cara kembali ke hotelnya (kiri) ; pemandangan ke arah Masjidil Haram dari jendela kamar kami di lantai 17, tampak gedung tinggi yang sebenarnya adalah Jam Makkah di bagian kiri foto dan crane proyek renovasi yang bekerja nyaris 24 jam di bagian kanan foto (kanan). 
Seorang anggota rombongan kami bertutur bahwa ia sempat berbincang dengan seorang Supervisor proyek yang berasal dari India ketika mereka hendak shalat bahwa proyek renovasi Masjidil Haram terus dikebut agar pemerintah Saudi dapat segera meningkatkan kapasitas/kuota jamaah haji, sementara pihak proyek pun sadar bahwa Masjidil Haram tak pernah sepi selama 24 jam sehingga kepada mereka pun ditekankan bahwa keselamatan jamaah merupakan hal yang utama sehingga mereka tak bisa seenaknya menutup area untuk dikerjakan. Namun kedua hal yang bertolak belakang ini tak pernah menghalangi pekerjaan mereka, alhamdulillah.

 Suasana menuju pintu masuk Abdul Aziz sekitar 1 jam sebelum adzan zuhur, tampak ujung-ujung crane proyek di latar belakang, jangan tanya teriknya di sini karena display termometer sempat menunjukkan angka 49 Celcius di luar ruangan, serta 30 C di dalam masjid (kiri); suasana di dalam Masjidil Haram bagian pria menjelang zuhur, tampak shaf sudah hampir penuh (kanan)

 Eskalator naik-turun ke lantai 3 Masjidil Haram, lantai 3 adalah atap masjid yang hanya diperuntukkan bagi jamaah lelaki (kiri) ; suasana setelah shalat subuh di lantai 3, temperatur udara dini hari mencapai sekitar 35 Celcius (kanan)

 Hampir sama dengan di Indonesia, setelah shalat banyak pula jamaah pria yang tidur-tiduran atau tidur pulas, tetapi lebih banyak lagi yang mengaji (kiri) ; banyak merpati di jalanan depan hotel kami, bisa jadi merpati-merpati itu betah tinggal di sini karena hewan dibiarkan hidup bebas di tanah haram ini, dan banyak yang memberi mereka makan/biji jagung (kanan)

Keesokan harinya kami mengikuti city tour seputar Makkah. Pada kesempatan ini kami mengunjungi lokasi Gua Tsur (gua tempat Rasulullah SAW dan Abu Bakar bersembunyi selama 3 hari dari kejaran kafirin Makkah saat hendak Hijrah ke Madinah), serta Gua Hira (tempat Rasulullah SAW menerima 5 ayat pertama Surat Al Alaq sekaligus pengangkatan dirinya sebagai rasul Allah).
 Gua Tsur (kiri) ; Gua Hira (kanan). Tak ada yang tampak istimewa dari kedua tempat bersejarah ini, mengingat pemerintah Saudi tidak memandang perlu untuk mengkhususkan keduanya karena memang tidak ada syariat untuk beribadah atau mengistimewakan kedua situs ini. Hendaknya kita selalu hanya beribadah sesuai syariat yang ditunjukkan Rasulullah SAW.

Sangat jauh berbeda dari bayangan kami sebelumnya, ternyata Gua Tsur dan Hira berada nyaris di puncak bukit... bukan di permukaan tanah seperti kebanyakan gua di Indonesia. Gua Tsur yang berketinggian 458 m bahkan lebih tepat dikatakan berada di puncak gunung kecil Jabal Tsur (lokasi ini terletak sekitar 4 km selatan Masjidil Haram). Pada foto kami, gua ini tak terlihat.
Terbayang bagaimana sulitnya Asma' binti Abu Bakar menaiki Jabal Tsur yang memiliki sudut kemiringan hingga 50 derajat ini untuk membawakan makanan bagi Rasulullah SAW dan ayahnya yang sedang bersembunyi, yang dengan perbuatannya ini Asma' dijuluki 'dzatun nithaqain' (si empunya 2 ikat pinggang) karena sepotong kainnya digunakan sebagai pembungkus makanan, sedangkan sepotong lainnya untuk pengikat pakaiannya. Untuk mencapai Gua Tsur dari tempat kami mengambil foto dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam karena medannya yang sulit.
Gua Hira pun tak terlihat pada foto kami karena tingginya pula. Gua Hira berada sedikit ke bawah dari puncak bukit bernama Jabal Nur (ketinggian 281 m), tepat menghadap arah Ka'bah. Pada foto kami, Gua Hira berada pada sisi kiri bukit yang terjal dengan sudut kemiringan nyaris 90 derajat. Walaupun tempatnya tidak terlalu tinggi, namun karena sangat terjal, dapat dibayangkan bahwa Rasulullah SAW adalah seseorang yang kuat fisiknya karena hampir mustahil seorang yang lemah sampai ke gua ini.
Gua Hira merupakan tempat yang sangat strategis bagi Rasulullah SAW ketika itu untuk merenung memikirkan akhlak kaumnya yang rusak, telah menyimpang dari millah Ibrahim yang diwariskan pada Nabi Ismail dan keturunannya hingga terus ke generasi Rasulullah SAW di Makkah saat itu, sambil memandang ke arah Ka'bah, rumah'rumah Abu Jahal, dan pembesar Quraisy lainnya. Gua Hira memang tidak terlalu jauh dari Ka'bah, hanya sekitar 6 km. Saat ini, dari lokasi Jabal Nur kita bisa melihat Jam Makkah sebagai penanda arah Ka'bah. Untuk mendaki Gua Hira dari lokasi kami mengambil foto diperlukan waktu sekitar 1 jam.

Kami berkesempatan pula mengunjungi Arafah dan sekitarnya. Sangat baik kami kira untuk mengetahui medan dalam perjalanan haji yang kelak dengan izin Allah SWT dapat pula kami jalankan.
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Jabal Arafah, atau yang lebih dikenal sebagai Jabal Rahmah. Dari penjelasan ustadz pembimbing, sebenarnya tidak ada dalil shahih yang menyebutkan tempat ini sebagai lokasi pertemuan Adam dan Hawa pertama kali di muka bumi setelah turun dari syurga. Juga tidak ada syariat untuk mendakinya, melakukan ibadah untuk meneladani Rasulullah SAW, apalagi menuliskan nama kita dan pasangan di tugu Jabal Rahmah dengan harapan langgengnya pernikahan sebagaimana yang banyak dilakukan jamaah. Jabal Rahmah adalah sebuah bukit granit di sebelah timur Makkah berketinggian sekitar 70 m. Saat ini telah dibangun tangga beton ke puncak bukit, di mana pemerintah Saudi mendirikan sebuah tugu batu setinggi sekitar 8 m, hanya sebagai penanda lokasi wisata, sama sekali tak ada kaitannya dengan peribadatan. Mendaki sekitar 160 anak tangga ke puncak bukit hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit saja, jauh berbeda dengan Gua Tsur dan Gua Hira yang 'penuh perjuangan'. Namun hendaknya mendaki Jabal Rahmah ini hanya kita niatkan sebagai sesuatu yang mubah saja, bukan dalam rangka ibadah.

 Suasana Jabal Rahmah. Hati-hati karena saat ini banyak orang (terutama dari Yaman) mencari nafkah dengan cara tidak baik di sini. Misalnya jasa foto polaroid, mereka meminta bayaran tak wajar hingga 150 riyal. Juga jasa berkeliling seputar bukit naik unta, awalnya mereka mengatakan hanya 5 riyal untuk naik unta, namun nanti saat turun unta mereka akan minta lagi hingga 50 riyal. Juga sewa ATV yang kami sama sekali tidak berniat bertanya berapa harganya... kami sarankan untuk berfoto hanya dengan kamera pribadi, serta jika mau naik saja ke bukit... tidak perlu teriming-iming jasa naik unta atau ATV di sini.

 Lokasi melempar jumrah (kiri); serta stasiun kereta dekat Mina (kanan). Keduanya merupakan lokasi di seputaran Arafah yang juga kami lewati.

Berbuka Puasa di Masjidil Haram

Hari-hari selanjutnya masih kami dan suami isi dengan memperbanyak ibadah di Masjidil Haram. Berbuka puasa sama sekali bukan masalah di Makkah dan Madinah. Penduduk kota-kota ini selalu berlomba-lomba memberi makan pembatal puasa pada semua orang. Jika kita mau, kita bisa mengisi kantung plastik penuh dengan makanan hanya dengan berjalan sekitar 200 m dari hotel ke masjid saat mendekati waktu maghrib. Di sepanjang jalan ini puluhan orang membagi-bagikan kurma, susu kotak, yoghurt, roti... apa saja untuk berbuka puasa. Namun saran kami tetap mendahulukan kurma dan air zamzam saat berbuka, baru kemudian mencoba penganan lain.
Foto di sebelah kanan memperlihatkan cara khas Masjidil Haram dan Nabawi menghidangkan takjil buka puasa, yaitu dengan alas plastik panjang. Sangat praktis karena setelah selesai berbuka, maka plastik dan sampah lainnya tinggal dibungkus, digulung, dan langsung dibuang. Karpet masjid pun tetap bersih. Foto itu suami kami ambil sewaktu baru kurma yang terhidang. Setelah itu sebenarnya rupa-rupa penganan lain dibagikan penduduk setempat, meliputi roti Arab (berisi daun rempah beraroma khas), minuman yang terlihat seperti kopi cream namun sebenarnya lebih mirip jamu (mungkin sebenarnya rempah pula yang dilarutkan), dll.
Berfoto di depan Ka'bah setelah thawaf wada'

Thawaf Wada'
Akhirnya, tiba juga saatnya kepulangan ke tanah air. Saatnya kami dan suami melakukan thawaf wada' (thawaf perpisahan). Thawaf wada' tidak wajib dalam umrah, tetapi melaksanakannya lebih utama.
Dalam umrah ini kami tidak berhasil menyentuh apalagi mencium hajar aswad. Kami hanya dapat mengusap Rukun Yamani serta dinding Ka'bah lainnya, mengingat padatnya jamaah di ring 1 dinding-dinding Ka'bah. Jika situasi tidak memungkinkan maka janganlah memaksakan diri mencium hajar aswad (sesuatu hal yang sunnah saja), apalagi sampai menyakiti orang lain sekedar untuk mendekati hajar aswad (haram menyakiti jamaah lain). Mendekati hajar aswad sekalipun merupakan hal yang sulit, apalagi menciumnya. Dari pengalaman kami, kita tak hanya terbawa arus putaran thawaf (berlawanan jarum jam), tetapi juga harus menghadapi orang lain yang mendekati dari arah luar maupun berlawanan arah.
Kami tidak pula menyarankan untuk membayar orang untuk membuka jalan ke arah hajar aswad. Dari cerita bapak dan ibu mertua kami, ketika beliau umrah, teman satu rombongannya ada yang menggunakan jasa pembuka jalan ke hajar aswad ini. Para pembuka jalan berkebangsaan Indonesia ini berkelompok sekitar 6 orang, mereka berada di dekat hajar aswad. Jika melihat orang Indonesia yang tampak ingin sekali mendekati hajar aswad, mereka awalnya akan menawarkan jasa dengan imbalan seikhlasnya. Jika kita mau, maka kita akan ditarik (lebih tepatnya mungkin diangkat) menuju hajar aswad, sementara kelompok mereka yang lain membuat barikade. Menurut cerita teman serombongan mertua kami, hanya sekejap ia merasakan sudah berada di hadapan hajar aswad, lalu kepalanya didorong ke bawah (tempat hajar aswad kira-kira berada setinggi pusar manusia dewasa). Anehnya, ia setelah kejadian itu kemudian bertanya kepada bapak mertua kami : "Apakah hajar aswad itu benar-benar batu? Tadi sewaktu saya cium kok agak lunak, ya?"
Bapak mertua kami tidak bisa menjawab karena hajar aswad memang benar-benar batu. Namun kemudian beliau berpikir dalam hati : "Wah, jangan-jangan yang dicium tadi bukan hajar aswad, melainkan sepatu askar yang memang selalu stand by di atas hajar aswad... Wallahu'alam."
Ending-nya... kelompok pembuka jalan tadi meminta imbalan 150 riyal!
Struktur 'rumah panggung' masjid terapung Laut Merah

Jeddah dan Sekitarnya

Pada hari terakhir rangkaian umrah kali ini, setelah packing kami bersiap meninggalkan Makkah menuju Jeddah. Jeddah adalah kota pelabuhan laut dan udara utama di Saudi yang terletak di tepi Laut Merah. Jeddah bukanlah tanah haram, kota ini lebih beraroma internasional. Meski tetap beriklim gurun, tetapi mungkin karena terletak di bibir pantai yang berangin kuat, udara di sini terkesan tidak sekering dan sepanas Makkah atau Madinah. Ditilik dari sejarahnya, Jeddah 2500 tahun lalu berawal dari desa nelayan, yang kemudian dibangun menjadi kota pelabuhan bagi Makkah dan sekitarnya oleh Khalifah Utsman bin Affan pada 647 M. Jeddah terus berkembang sebagai kota pelabuhan jamaah haji mengingat pada masa itu perjalanan haji terutama dilakukan lewat laut.
Masjid terapung Laut Merah
Di Jeddah kami menyempatkan diri mengunjungi masjid terapung Ar-Rahmah. Dahulu masjid ini bernama Masjid Fatimah, namun karena banyak yang menyebutnya Masjid Fatimah Az-Zahra, pemerintah Saudi kemudian mengubah namanya menjadi Ar-Rahmah agar tidak dikait-kaitkan dengan putri Rasulullah SAW tersebut.
Masjid ini tidak benar-benar terapung, namun memang dibangun seperti rumah panggung di bibir pantai Laut Merah. Kesannya terapung memang. Tidak ada keistimewaan dari sisi syariat untuk beribadah di masjid ini. Peziarah datang ke sini lebih karena keindahan arsitektur dan namanya yang sudah terlanjur termasyhur. Kemudian, Laut Merah sendiri ternyata tidak benar-benar berwarna merah seperti dugaan kami sebelumnya. Dari literatur kami ketahui bahwa nama Laut Merah berasal dari ganggang merah yang banyak hidup di sini. Namun saat kami berada di sana, bisa jadi populasi ganggang merah itu sedang tidak cukup untuk memerahkan Laut Merah.
Susana Pertokoan Balad

Selain masjid terapung, kami sempat pula berkunjung ke Pertokoan Balad dengan 'Ali Murah'-nya yang terkenal. Saat kami membandingkan harga, ternyata harga barang di sini banyak yang justru lebih mahal daripada di Madinah. Juga karena daftar oleh-oleh kami telah komplet sejak dari Madinah, jadi kami tidak berbelanja lagi di Balad.

Siang itu juga kami harus tiba di Bandara King abdul Aziz, Jeddah, untuk mengejar jadwal pesawat pulang ke Jakarta. Sayangnya ketika itu puasa, sehingga kami harus meninggalkan botol berisi air zamzam yang kami bawa dari Makkah di pemeriksaan boarding bandara. Di dalam ruang tunggu, kami menghabiskan beberapa lembar 10-an riyal yang tersisa di toko souvenir. Ketika membeli air mineral (AMDK), kami benar-benar sarankan untuk tidak membeli AMDK merek Evian. Sebagai pembanding, AMDK merek lain di bandara dijual seharga 2 riyal (di luar bandara hanya 1 riyal), tetapi Evian harganya 6 riyal di bandara. Kalau hanya ingin minum air mineral saja kenapa harus keluar 6 riyal, kan?
Dan berakhirlah perjalanan umrah Ramadhan kami. Benar kata orang, Makkah dan Madinah selalu menimbulkan kerinduan peziarah untuk berkunjung kembali. Kami dan suami pun merasakan hal yang sama, bahkan ketika kami belum lagi naik pesawat pulang...
 Loket boarding Bandara Jeddah yang siang itu lengang (kiri); tanda/gambar L dan P toilet Saudi yang 'agak kurang familiar' bagi orang Indonesia (kanan)

Tausiyah Lailatul Qadar
Selama perjalanan umrah ini, ustadz pembimbing kami 2 kali mengadakan tausiyah di hotel tempat kami menginap. Salah satu materi yang kami anggap penting adalah mengenai Lailatul Qadar. Ustadz pembimbing kami bersandar pada hadits Aisyah : " Rasulullah SAW beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dan beliau bersabda, yang artinya: "Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" " (HR: Bukhari 4/225 dan Muslim 1169).
Berbeda dengan kebiasaan kami selama ini untuk memfokuskan ibadah pada malam-malam ganjil (malam 21, 23, 25, 27, dan 29), ustadz kami menjelaskan bahwa hal itu hanya benar jika Ramadhannya 30 hari. Namun jika Ramadhan ternyata hanya 29 hari, maka malam ganjilnya bukan itu. Patokannya adalah 10 hari terakhir Ramadhan, lalu cari malam ganjilnya. 
Suami kami membuatkan tabel sebagai ilustrasi dari penjelasan ustadz kami sbb. :

Terlihat bahwa jika diambil 10 hari terakhir Ramadhan (angka 1 ~ 10 ber-background kuning), lalu perhatikan malam-malam ganjilnya (background hijau), maka akan terlihat perbedaan pada kasus Ramadhan 29 hari dan 30 hari. Meskipun pendapat ini hanya kami dengar dari ustadz kami tersebut dan kurang populer, kami mengambil ibrah bahwa yang paling selamat adalah : memperbanyak ibadah sejak malam ke-20 tanpa melihat ganjil-genapnya. Wallahu 'alam bissawab.

Semoga bermanfaat...

Baca juga :
Tips dan Cerita Perjalanan Umrah 1435 H (Bagian 1 : Madinah), klik di sini...

Must have item : Ranting inul bunga mawar silkworm cocoon-like ungu minimalis (vas kayu 45 cm) : Rp. 175.000/set

1 komentar: