Rencana sebrilyan apa pun tetaplah nol
besar alias omong kosong tanpa upaya (baca : perjuangan) untuk
merealisasikannya.
Kalimat di atas tentunya sering kita
dengar. Pertanyaannya : apakah kita kemudian menindaklanjuti rencana
yang telah dibuat dengan aksi nyata? Upaya mewujudkan rencana kadang
tidak instan, selangkah demi selangkah, serba tak pasti, serta
seringkali menyakitkan. Keberanian menghadapi resiko itulah yang
membuat hidup bermakna, serta terlaksananya rencana di ujung puluhan
ketidakpastian yang telah dilalui menjadi hadiah luar biasa yang
patut dinikmati dan disyukuri. Meski demikian, jika rencana yang
telah dibuat, diperjuangkan, dan dipagari dengan doa pada Yang Kuasa
pada akhirnya tak juga tercapai, percayalah bahwa apa yang didapatkan
di ujung sana adalah yang terbaik yang telah Allah pilihkan untuk
kita, walaupun seringkali kita belum mampu mencernanya sebagai
anugerah terbaik.
You're never too young to have a plan
adalah tagline film drama romantis Have Dreams, Will Travel (2006)
yang dibintangi oleh Cayden Boyd (berperan sebagai Benjamin Reynolds,
seorang anak laki-laki 12 tahun dari kota kecil di Texas Barat) dan
AnnaSophia Robb (sebagai Cassie Kennington, gadis 13 tahun yang
eksentrik, open minded, dan selalu penuh rencana). Tagline ini secara
konsisten diulang-ulang sepanjang film, seolah menegaskan bahwa
manusia hanya hidup selama harapan dan mimpinya belum mati.
Film ini mengambil setting Texas tahun
1960-an, dengan teknik bertutur sudut pandang Benjamin (Ben), di mana ia
membacakan narasi tentang isi hati dan perjalanan hidupnya. Ben adalah anak yang diabaikan oleh kedua orang tuanya. Ibunya
secara berlebihan terobsesi pada bintang film Hollywood. Setiap sore
ia menonton film di teater. Sementara ayahnya terobsesi dengan kapal. Ia
menghabiskan setiap detik waktu luangnya membuat kapal setelah
bekerja di restoran kecil yang sekaligus menjadi tempat tinggal
keluarga ini. Ben menjalani hari-hari membosankannya dalam
kesendirian, nyaris tanpa perhatian orang tua. Hal ini membentuk
pribadinya menjadi anak tanpa semangat, tanpa impian, pendeknya
ia hanya menjalani hari demi hari dalam rutinitas kehidupan kawasan
selatan AS tahun '60-an yang datar.
Semua berubah ketika suatu malam
terjadi kecelakaan mobil hebat tepat di depan restoran ayah Ben.
Hanya seorang gadis sepantaran dirinya – Cassie – selamat dengan
hanya menderita patah lengan kiri, sementara kedua orang tua Cassie
yang juga berada di dalam mobil tewas. Orang tua
Ben kemudian merawat Cassie hingga tangannya sembuh. Cassie dan Ben
pun berteman dekat. Cassie tahu bahwa orang tua Ben berencana
mengantarkannya ke neneknya setelah sembuh, sementara ia sebenarnya
telah memiliki rencana lain. Celakanya – atau sebenarnya
'untungnya' – Ben ternyata masuk dalam rencana besar Cassie itu!
Insight-insight dalam film ini rasanya
lebih mengena jika kami tampilkan dalam bentuk dialog asli yang
muncul dalam film, agar pesan yang ingin kami deliver juga tampil
lebih orisinil.
Prolog
Ben : [narasi] I'm just a kid, there's
a lot I don't know. But one thing I do know, is that my folks should
never have married. And they definitely should never had a kid. But
they did. That happens. The randomness of life and all that.
Dan setelah kecelakaan mobil, Cassie
untuk sementara waktu menjalani perawatan di rumah orang tua Ben.
Banyak dialog tercipta antara Ben dan Cassie. Dialog yang membuat
hubungan keduanya bertambah dekat. Dialog Cassie, sang gadis kota
yang berpikiran maju mencengangkan Ben yang nota bene adalah 'anak
kampung' untuk ukuran AS saat itu.
Cassie : That was one goddamn doozy of
an accident, that's for sure.
Ben : [tiba-tiba berbalik arah menjauhi Cassie]
Ben : [tiba-tiba berbalik arah menjauhi Cassie]
Cassie : What? [tersenyum]. You never
heard anyone cuss before?
Ben : Well yeah, but... not from a girl.
Cassie : Well, I'm very flawed. Extremely flawed, if you want to know the truth.
Cassie : Well, I'm very flawed. Extremely flawed, if you want to know the truth.
Ben : [narasi] I looked up the word
“flawed” in the dictionary. I kind of knew what it meant but,
after reading the definition... I began to wonder if maybe I was
flawed too.
(catatan : cuss berarti perkataan kotor/buruk; flaw berarti kacau [aku sangat kacau])
(catatan : cuss berarti perkataan kotor/buruk; flaw berarti kacau [aku sangat kacau])
Tangan kiri Cassie yang patah kian
membaik, hingga suatu pagi Cassie tampak telah berpakaian rapi, bukan
lagi pakaian yang digunakannya selama terbaring di tempat tidur.
Ben : [terbangun dan melihat Cassie
menatapnya tajam]
Cassie : You're not screwing with me, are you?
Ben : What?
Cassie : You seem to like me, which is fine because I like you too. But if you're acting like you do because my parents are dead and you feel sorry for me, then that's just bullshit.
Ben : [menatap Cassie dengan pandangan tak mengerti selama beberapa saat]
Cassie : [melambaikan tangannya di depan wajah Ben] Hello?
Ben : No, I'm not screwing with you. I like you too.
Cassie : You're not screwing with me, are you?
Ben : What?
Cassie : You seem to like me, which is fine because I like you too. But if you're acting like you do because my parents are dead and you feel sorry for me, then that's just bullshit.
Ben : [menatap Cassie dengan pandangan tak mengerti selama beberapa saat]
Cassie : [melambaikan tangannya di depan wajah Ben] Hello?
Ben : No, I'm not screwing with you. I like you too.
Cassie mengajak Ben pergi bersamanya
menuju kediaman bibinya di Baltimore, itulah rencananya. Ben tak bisa
menolak, selain karena ia pun tak betah lagi tinggal bersama orang
tua yang sama sekali tak mempedulikannya, juga karena ia
mengkhawatirkan Cassie yang akan bepergian dengan lengan kiri belum
sepenuhnya pulih sejauh lebih dari 2000 km ke Baltimore di pantai
timur AS dari rumahnya di Texas... Bagaimana mungkin Cassie menempuh
perjalanan panjang tanpa bekal uang yang cukup dengan cara menumpang
dari mobil ke mobil sendirian?
Kemungkinan rute petualangan Ben dan Cassie melintasi Texas hingga Baltimore |
- Ben : [narasi] But the strangest part was that for the first time in my life... I started to feel something for someone other than myself. It scared the hell out of me, if you want to know the truth. But I liked it.
Sebagai bekal perjalanan mereka, Ben
mengambil uang di mesin kasir restoran orang tuanya yang hanya
berjumlah US$ 25. Bekal yang tentunya tidak cukup bagi perjalanan
panjang mereka, namun mereka menyikapinya dengan positif. Sementara
kedua orang tua Ben sama sekali tak peduli saat mereka berdua
mengambil uang di mesin kasir dan berjalan menenteng tas besar ke
arah jalan raya...
Cassie : How much did you get?
Ben : 25 bucks.
Cassie : Well, at least that's 25 bucks
more than we had before.
Ben : That's true.
Di sepanjang pengembaraan itu terus
terjadi dialog menarik antara keduanya tentang impian, rencana, dan
optimisme...
- Cassie : There's what happens to you in life and there's what you make happen. It's the difference between having a plan and not. See, a real plan is more than just some pipe dream.
- Ben : Pipe dream?
Cassie : A pipe dream is an unrealistic fantasy that deludes oneself into thinking that it's an actual plan. It's very popular expression. I'm surprised you've never heard of it before.
Ben : I didn't say I'd never heard it.
Cassie : Anyway, a real plan is an actual goal that you believe in enough to create a set of circumstances. Which leads you to, and into, a plan, Comprende? (rencana sejati adalah tujuan yang benar-benar kau yakini hingga kau mau menciptakan peluang demi peluang yang dapat mengantarmu pada pencapaian tujuan itu); (comprende? berarti mengerti?)
Ben : Where do you come up with this stuff? I mean, what part of your brain works so hard it makes you think and talk like that?
Cassie : My father was a professor with a very wide vocabulary and lots of unique ideas. When he wasn't teaching his students, he taught me. -
Ben : So what does your mom do?
Cassie : [berhenti sejenak] She never did anything. [berkedip, lalu berjalan menjauhi Ben] (di akhir cerita baru terungkap apa maksud Cassie dengan kalimat singkat ini).
Ben : [mengambil tas mereka dan berjalan menyusul Cassie, menyesali jika ucapannya salah] You know, I think most of what you say is true. -
Cassie : [berbalik dan memutar wajahnya ke arah Ben]
Ben : Some I just don't understand. But I also think you like to screw with people's heads.
Cassie : I may be wrong sometimes. But I won't ever screw with your head. Ever.
Ben : Mee too. Ever.
Cassie : [tersenyum dan mengangguk] So, what's your plan? It's important. I need to know what kind of plan you have for your life.
Ben : OK. I want to be a pitcher for the St. Louis Cardinals.
Cassie : So, you'll be a pitcher for the Cardinals? I like that plan.
Ben : Do you know how many kids my age want to play in the Major Leagues? -
Cassie : No. But I don't think it matters.
Ben : I'm just saying it's more what you'll call a pipe dream than an actual plan. -
Cassie : Are you any good?
Ben : I'm always the best in my league.
Cassie : Is it what you really want to do?
Ben : Yeah. - Cassie : Then, it's not a pipe dream, it's a plan. Learn to embrace it.
Ben dan Cassie mulai menumpang mobil demi mobil yang menuju arah
timur, hingga menjelang malam mereka tiba di sebuah peternakan milik
Henderson (diperankan oleh Val Kilmer). Mereka memutuskan untuk
menginap di sebuah kandang ternak babi. Meski terkesan jutek dan tak
peduli pada orang lain, Henderson terbukti adalah orang yang baik...
setidaknya pada Ben dan Cassie.
Cassie : How much do we owe you? For
room, and board, and water.
Henderson : Hmm... well, waking up to the smell of pig shit ought to do it.
Henderson : Hmm... well, waking up to the smell of pig shit ought to do it.
Ben dan Cassie menginap beberapa hari di peternakan Henderson. Malam menjelang tidur keduanya sering bercakap intens.
- Ben : What's the problem?
-
Cassie : Yelling is extremely destructive to a relationship. You
think you're communicating at the time but... the effect is
completely the opposite. (catatan : semakin keras seseorang
berteriak karena marah pada orang lain, semakin jauh hati mereka
berdua sehingga pekikan keras itu seolah tak terdengar, seakan
begitu jauh... sebaliknya semakin dekat hati seseorang, bisikan
lirih pun lebih dari cukup untuk terdengar di telinga).
Ben : [terdiam]
Cassie : Hey, don't make promises you're not prepared to keep. -
Ben : I'm supposed to try it, you know.
Cassie : It goes without saying. (catatan : tak perlu mengumbar kata bahwa kita akan memenuhi janji, cukup tunjukkan upaya keras ke arah itu).
Suatu malam, menjelang tidur Cassie memulai dialog yang membuat Ben
terbengong :
Cassie : Come on,
let's get some sleep. Got a big day tomorrow. Ben : What's happening tomorrow?
Cassie : We're getting married.
Ben : Cas...
Cassie : Yeah.
Ben : Are we really getting married tomorrow? I mean, actually?
Cassie: Yes. It's a major part of the plan.
Esok paginya, Ben,
Cassie, dan Henderson sebagai penghulu, dengan disaksikan oleh
sekiyar 30 ekor ternak berkumpul di kandang ternak itu untuk
melangsungkan pernikahan mereka :
Henderson : Do
you, Ben...
Cassie : Benjamin
Reynolds
Henderson :
Benjamin Reynolds, take this young woman...
Cassie : Cassie
Kennington.
Henderson :
[mengucek mata, melepas topi] Do both of you promise to treat each
other with dignity and love until one or the other drops dead?
Cassie : I do.
[melihat ke arah Ben]
Ben : I do.
Henderson : Well,
looks like you're both married now.
Ben : [melirik
Cassie, tertawa kikuk] That's great.
Henderson :
[mengangguk]
Cassie :
[tersentak] Oh, the ring.
Ben : [mengambil
paper clip, meluruskan, lalu melingkarkannnya menjadi 'cicncin kawin'
di jari manis Cassie]
Henderson :
Congratulations to you both. [berdiri]
Cassie : Well, I
feel good about this whole thing. [menoleh ke arah Henderson] How
about you?
Henderson : Yeah,
I feel good about it.
[Cassie menoleh ke
arah Ben, kedua mata mereka bertemu pandang]
Ben : [gugup] Uh,
well, I don't have a lot to compare it to, but, uh, yeah... [menelan
ludah] I feel good.
Henderson : Oh and
if you wannna kiss the bride, you can do that now, 'cause I forgot to
say it.
Cassie :
[tersenyum lebar, lalu mengecup pipi kanan Ben]
Malamnya Ben terlihat tegang dan gugup ketika Cassie melepas jaket dan mematikan lampu kandang.
Cassie :
[tersenyum] Don't worry. I'm not ready to have sex yet.
Esok paginya Henderson mengajak Ben
bermain lempar-tangkap bola baseball. Lemparan bola Ben yang kuat
membuat Henderson yakin bahwa Ben suatu saat akan bermain di liga
baseball profesional. Mereka berbincang tentang rencana Ben...
Henderson :
Missus (Cassie) not here? Ben : She's in town at the library. She figures I ought to learn how to write so... I have something to do when my baseball career is over. (catatan : di akhir cerita maksud kalimat ini baru dijelaskan)
Ben
dan Cassie melanjutkan petualangan mereka ke timur. Mereka melintasi
Texas, Kentucky, Virginia, terus ke timur. Mereka sempat menumpang
bus hippies warna-warni di mana Cassie yang berupaya mendapatkan
tumpangan ini terpaksa harus sedikit ber-acting seolah ia senang
berbincang dengan seorang pemuda yang tampaknya menjadi pemimpin
rombongan bus. Hal ini membuat Ben cemburu yang terungkap ketika
mereka beristirahat di depan pintu sebuah bangunan di Kentucky :
Cassie
: Sure is nice being up bright and early to take in the new day.
Ben
: Yeah. That's what they say. Where are we anyway?
Cassie
: Life in hell. Kentucky. By the way, did I ever thank you? Becasue
it would be way too comfortable for me and my banged up body to be in
a nice, warm bus taking us directly where we need to be going.
Ben
: We're married, you know? That's supposed to count for something.
Ben
: Yeah, whatever. [bangkit dan mengambil sebutir batu].
Cassie : Jealousy. It's a good quality
to have in a husband. Unless, of course, he gets over possessive.
Ben : Okay, why don't you just rest
your tired ass and let me make the call for a little while.
Cassie : Tired ass? Where's that sweet,
innocent youth I used to know?
Ben : Don't worry about it. He's in
here somewhere.
Casie : Well, he better be.
Petualangan membawa mereka pada saat
paling sulit ketika seorang sherrif (diperankan oleh Stephen Root)
terpaksa menahan Ben dan Cassie di penjara setempat karena keduanya
tak dapat menerangkan identitas mereka. Keduanya tahu bahwa Sherrif
terpaksa menahan keduanya hanya karena sherrif tak ingin sesuatu yang
buruk terjadi. Namun demikian, mereka harus melanjutkan perjalanan.
Akhirnya malam itu Cassie berpura-pura
menderita sakit hebat hingga asisten sherrif yang menjaga membuka sel
keduanya, lalu dengan sedikit trik serta keberuntungan, Ben dan
Cassie berhasil meloloskan diri sembari mengunci sang asisten sherrif
di dalam sel.
Keduanya terus berlari menjauhi daerah
itu. Hal yang kemungkinan menyebabkan luka di tangan kiri Cassie yang
belum sembuh benar kembali berdarah. Ben terpaksa mendatangi seorang
dokter setempat yang awalnya mencurigai mereka, namun dengan
kelihaiannya Ben berhasil meyakinkan keluarga dokter yang baik itu
bahwa mereka berdua bukanlah anak-anak nakal. Cassie begitu senang
hingga ia memuji Ben seperti aktor hebat.
- Cassie : You are absolutely incredible. I mean, seriously, it was like watching "Hamlet" or something. Maybe you should be an actor when your baseball career is over.
- Ben : I thought I was supposed to be a great writer.
- Cassie : Yeah, don't be an actor. It's a way too skittish life style.
Baltimore, Maryland! Akhirnya perjalanan 2000 km lebih itu berakhir ketika
Ben dan Cassie tiba di flat bibi dan paman Cassie, yang menyambut
kedatangan mereka dengan amat ramah. Hal ini membuat Ben senang,
apalagi ketika melihat Cassie tersenyum lebar saat bibinya
mendandaninya layaknya selebriti. Bibi dan paman Cassie pun ternyata
sangat moderat. Mereka menerima pernikahan Ben dan Cassie, dan
memperlakukan keduanya layaknya pasangan normal :
Paman Cassie : You're married?
Bibi Cassie : That must be what kids
call going steady these days. (awalnya tidak percaya)
Ben : No. We're actually married.
Cassie : [tersenyum dan memperlihatkan
'cincin kawin' paper clip mereka.
Cassie : Oh, about twenty or thirty
heads. Mostly hogs and sows.
Ben : Oh, and pigs.
Cassie : Yes, there were several pigs
in attendance as well.
Bibi Cassie : [masih tampak bingung]
Well, I guess we'll get you double mattress then.
Sejak Cassie dirawat di rumah orang
tuanya di Texas, Ben sebenarnya telah sering melihat Cassie
terbangun, bahkan sampai menjerit ketakutan di tengah tidurnya.
Tampaknya ia bermimpi buruk, namun Cassie tak juga mau menceritakan
mimpi buruknya. Ini membuat Ben sedih :
Ben : [narasi] Not that I couldn't
figure out why she was sad, but not seeing how incredibly sad she
really was.
Di flat bibi dan paman Cassie ini Ben
melihat bahwa Cassie kian sering mengalami mimpi buruk. Cassie
menjadi pemurung dan kerap sedih berlebihan. Emosinya tampak tak stabil.
Bahkan ketika Ben menjadi pahlawan dalam pertandingan baseball
remaja di lingkungan itu, Cassie hanya memandang kosong ke arahnya, sementara bibinya
yang juga menonton Ben tampak bersorak girang.
Cassie : The real question is why
you're putting it in such negative context. Yes, I am withdrawing
somewhat, but is that a sin?
Ben : Great. Take major problem, even
though you won't tell me what it is, and turn it into one of your
brainy discussions.
Cassie : Oh, is that your opinion? You
did finish seventh grade, so I want to give it the way it deserves.
Ben : And you graduated from Harvard,
right?
Cassie : [duduk lebih tegak dan tampak
marah] Okay cowboy. Wanna play?
Ben : [juga duduk lebih tegak] I'm not
exactly sure what we're playing here, but yeah, let's go.
Cassie : It's all about instrospection.
And concepts which you are no doubt unable to digest this point in
your narrow-minded and sheltered pathetic life! [membuang muka dan
melipat tangan].
Ben : [terdiam] Go screw yourself.
[mematikan lampu].
Cassie : [setelah juga terdiam sesaat]
Ben?
Ben : What?
Cassie : [beringsut mendekati Ben] Are
you mad at me?
Ben : Yeah.
Cassie : Well, I don't like it.
Ben : Then start talking to me like a
real person.
Cassie : [merajuk] I told you I was
flawed when we met.
Ben : Cass, everybody's flawed. Just in
different ways.
Cassie : [menyenderkan diri ke tubuh
Ben] I'm so sorry...
Ben : [mengecup kening Casie] It's
okay.
Hingga suatu malam – semestinya
menjadi malam yang menyenangkan – ketika bibi dan paman Cassie
berdansa di ruang tengah flat mereka, Ben dan Cassie pun awalnya ikut
berdansa dengan ceria, namun mendadak Cassie menjerit-jerit tak
terkendali, lalu menangis hebat di lantai. Semua terkejut, dan
kemeriahan malam itu terputus seketika.
Malamnya ketika semua tertidur, Ben terbangun, sementara
Cassie tak ada di sisinya. Panik ia mencari Cassie ke ruang tengah
flat. Di sana ia menemukan Cassie berdiri nanar di depan bingkai
jendela dengan mata sembab. Tak dijelaskan apakah Cassie berpikir
untuk terjun dari jendela flat itu atau tidak.
Ben : [narasi] I guess I hoped that
when she woke up, things would be okay. But I was wrong. She had gone
over this edge, and no one knew how to get her back. I didn't know
what to do or where to go.
Ben bersama bibi dan paman Cassie
membawa Cassie ke psikiater, yang kemudian mendiagnosis bahwa Cassie
mengalami depresi berat, dan ia harus dirawat di Mercy Psychiatric
Ward di Virginia untuk memulihkan kondisi kejiwaannya yang
terguncang. Tak ingin berada jauh dari Cassie, Ben memutuskan untuk
masuk ke Akademi Militer di North Carolina. Mereka untuk sementara
menjalani kehidupan yang terpisah.
Situasi menjadi berantakan ketika
psikiater yang merawat Cassie menyatakan bahwa butuh waktu lama untuk
memulihkan depresi Cassie, setidaknya 18 bulan. Ben tak bisa menerima
ini, hingga ia menyusun rencananya. Ben yang awalnya lebih banyak
mengikuti rencana Cassie kini berbalik menjadi penyusun rencana untuk
dirinya... juga untuk Cassie. Ben naif yang awalnya berupaya dengan segala daya yang ia mampu untuk mewujudkan impian Cassie, kini harus berjuang dua kali lipat lebih keras demi impiannya dan Cassie sekaligus!
Ben mengundurkan diri dari Akademi
Militer, lalu berangkat ke Mercy Psychiatric Ward. Ia menunggu hingga
malam, menyelinap masuk ke bangsal perawatan, dan menemukan Cassie
tercenung seorang diri di dalam kamarnya.
Cassie : Hey.
Ben : Cass?
Cassie : Yeah?
Ben : It's time to go.
Cassie : [memandang nanar ke arah Ben]
Is that the plan?
Ben : Yeah. That's the plan.
Cassie : What if I'm really, really
tired? [terdiam, lalu Cassie mengecup pipi Ben, kemudian menyenderkan
kepalanya ke bahu Ben. Cassie akhirnya menceritakan mimpi buruk yang
selama ini menerornya. Di sini terungkap bahwa pada malam kecelakaan
mobil yang menimpa keluarganya terjadi, ayahnya yang sedang mabuk
menyetir mobil, sementara Cassie duduk di bangku penumpang, dan
ibunya di belakang. Ayahnya melecehkan dirinya dengan perbuatan yang
tak pantas, sementara ibunya diam saja. Tak tahan menerima perlakuan
ini, Cassie menjerit keras, menyebabkan suasana di dalam mobil
menjadi tak terkendali hingga akhirnya mobil terjungkal. Cassie terus
menyalahkan dirinya sebagai penyebab kematian kedua orang tuanya.
Beban ini yang terus ditanggungnya sendiri, bahkan ia tak
menceritakan hal ini pada Ben. Beban berat ini menghancurkan
jiwanya].
Ben : [setelah mendengarkan kisah
Cassie] You took it as long as you could, Cass. You can't blame
yourself for that. [mengusap pipi Cassie].
Cassie : There are good parts to them
too. [tercenung, melihat ke bawah, air mata menggenangi matanya].
Ben : Cass?
Cassie : [mendongak ke arah Ben] Yeah?
Ben : Let's go.
Cassie : [berbisik] Ben, I'm sick. When
you kill two people it makes you sick.
Ben : Look. I'm going to take you out
of here, and... well, worry about everything later, okay?
Cassie : [mengangguk] Okay. [Cassie
menyandarkan kepalanya ke bahu Ben, Ben mengusap pipinya dengan
lembut].
Lima Tahun Kemudian
Cerita melompat ke kejadian lima tahun
ke depan. Tak ada penjelasan bagaimana Ben dan Cassie berjuang selama
lima tahun itu. Pastinya berat bagi dua remaja 13 tahun itu menjalani
hari demi hari bersama.
Ben yang kini menjadi penentu rencana tampaknya menerima beban terberat dalam merawat Cassie mengatasi depresinya, serta meniti karirnya di dunia baseball. Lima tahun yang amat melelahkan bagi Ben, dan juga Cassie. Kini setidaknya mereka telah berusia 18 tahun... saat bagi pemuda Amerika untuk disebut dewasa.
Ben yang kini menjadi penentu rencana tampaknya menerima beban terberat dalam merawat Cassie mengatasi depresinya, serta meniti karirnya di dunia baseball. Lima tahun yang amat melelahkan bagi Ben, dan juga Cassie. Kini setidaknya mereka telah berusia 18 tahun... saat bagi pemuda Amerika untuk disebut dewasa.
Frame dibuka oleh keriuhan stadion
baseball St. Louis Cardinals. Seorang pitcher muda berlari kecil memasuki
lapangan, sementara komentator lapangan menyebutkan namanya : “Ben
Reynolds!”. Penonton bersorak menyambutnya. Pitcher muda itu –
Ben – melambaikan tangan tangan ke arah penonton. Seorang wanita
muda – Cassie - duduk di sana sambil bertepuk tangan. Cassie tersenyum, tampak begitu bahagia ia.
Epilog
Ben : [narasi] Sometimes it's hard
knowing if you should or shouln't do something. So, you do what feels
right at the time. When your life becomes what you dreamed, it would
be... amazing. I didn't break Nuxhall's record of playing at 15...
but I did become the youngest guy that ever pitched in a World
Series.
(catatan : Joseph Henry Nuxhall adalah
pemain baseball termuda yang bermain di Major League pada 10 Juni
1944 ketika ia berusia 15 tahun 316 hari. Sepanjang karir
baseball-nya hingga 1967, pitcher kidal ini terkenal dengan sebutan
'the Ol' Left-hander').
Adegan berpindah ke sebuah rumah (beberapa tahun setelah debut Ben sebagai pitcher bagi St. Louis Cardinal), dua
anak lelaki dan perempuan tampak santai bermain catur, sementara
kedua orang tuanya – Ben dan Cassie – duduk di sofa sambil
menulis. Tampaknya Ben dan Cassie sama sekali tak mengulangi kesalahan orang tua mereka
yang kurang memperhatikan keduanya saat mereka masih kecil. Suasana rumah itu
tampak sangat hangat. Tanpa sadar kita sebagai penonton memang mengharapkan happy ending seperti ini... bayaran yang sepadan bagi getirnya hidup masa remaja keduanya.
Kemudian diperlihatkan Ben dan Cassie
berjalan bergandengan tangan berdua di tepi pantai... berjalan jauh, jejak kaki mereka di
atas pasir hilang tersapu gelombang.
Ben : [narasi] But nothing I did on the field... compared to what Cassie and I accomplished together. It's kind of miracle really... having the chance to give what you never got.
Cass took a job editing children books... and I pitched until my
arm couldn't take it anymore. And like she planned... I became a
writer. A lot of what Cassie said turned out to be true. Most people
do need a plan. Life is crazy enough without one. But the hardest
part of life... is losing someone you love. At first, you almost wish
you never knew them... so you stop hurting so much. Feels like it's
going to kill you. What you end up missing the most... is the sweet
burden of being needed. It gives your life a purpose. It really does.
And it makes you feel great. That's something else Cassie told me. It
is all part of the plan.
Film ini memang tidak menawarkan adegan dramatis penuh efek - bahkan animasi canggih - layaknya film-film superhero Marvel atau Transformers. Alur dan penyajian film drama ini datar dan biasa saja. Kekuatannya terletak justru di ceritanya yang menyentuh karena memang merefleksikan kejadian yang akrab dengan keseharian manusia. Tak usah pedulikan beberapa kejadian yang tampak mustahil terjadi... cukup nikmati alurnya dan tenggelamlah dalam kesederhanaannya...
Film ini memang tidak menawarkan adegan dramatis penuh efek - bahkan animasi canggih - layaknya film-film superhero Marvel atau Transformers. Alur dan penyajian film drama ini datar dan biasa saja. Kekuatannya terletak justru di ceritanya yang menyentuh karena memang merefleksikan kejadian yang akrab dengan keseharian manusia. Tak usah pedulikan beberapa kejadian yang tampak mustahil terjadi... cukup nikmati alurnya dan tenggelamlah dalam kesederhanaannya...