Karya Kami (Our Handicrafts)
▼
Senin, 24 Oktober 2011
Tips Memilih Kompor Gas Hemat Energi (Selecting Gas Stove with Low Energy Consumption)
Kompor gas kian menjadi andalan masyarakat dalam tiap aktivitas memasak menyusul kian langkanya minyak tanah setelah bergulirnya Program Konversi Minyak Tanah ke LPG (liquified petroleum gas) sejak tahun 2007 lalu. Karena alat masak yang populer lewat citra bersih, aman, hemat, dan cepat ini terus meluas, pemilihannya pun mestinya dilakukan dengan cermat agar keempat citra tersebut benar-benar kita peroleh. Kita pun mendapatkan manfaat maksimum dari kompor gas.
LPG sebagai bahan bakar kompor gas sejak awal sudah memiliki sifat bersih alias bebas jelaga. Karakter ini diwarisi oleh kompor gas sehingga memasak dengannya memang nyaman karena panci serta dinding dapur tidak hitam berjelaga seperti jika memasak dengan kompor minyak tanah. Sementara sifat aman memang ditentukan pula oleh faktor penggunaan, misalnya dengan memastikan setiap sambungan kompor gas, selang, regulator, dan tabung LPG tidak bocor. Namun pada dasarnya LPG adalah gas yang tak beracun, tidak korosif, dan telah diberi bau etil-merkaptan yang khas sehingga kebocoran sekecil apapun mudah dideteksi untuk menghindari resiko lebih besar.
Nah, berbeda dengan karakter hemat dan cepat - meski memang LPG sendiri memiliki pula sifat pembakaran yang hemat dan cepat - jenis api ternyata sangat berpengaruh. Prinsipnya, jenis api yang cenderung mengerucut/memusat memiliki efisiensi lebih tinggi sekitar 20% ketimbang jenis api menyebar, meski keduanya sama-sama biru. Api memusat membuat seluruh permukaan bawah panci menerima panas, hanya sedikit panas api yang terbuang percuma ke lingkungan. Sebaliknya api menyebar cenderung membuang lebih banyak energi panas ke lingkungan, tidak ke panci. Inilah penyebab efisiensi tinggi jenis api memusat yang bermuara pada kecepatan memasak dan hematnya konsumsi LPG. Kedua karakter ini membuat kita dapat memasak lebih cepat serta murah.
Kita bahkan dapat lebih memangkas waktu dan biaya memasaknya lewat pemilihan jenis panci yang dasarnya rata (flat bottom). Panci flat bottom lebih hemat energi sekitar 50% dibanding panci yang dasarnya melengkung (warped bottom) karena panas dari api kompor tidak banyak yang terbuang percuma ke lingkungan. Kita semua yang ingin bahkan lebih hemat waktu dan energi lagi sudah harus memakai panci presto (pressure cooker) yang sekitar 70% lebih efisien ketimbang panci flat bottom. Jadi, kombinasi kompor gas dengan jenis api memusat dan panci presto merupakan alternatif memasak paling cepat serta hemat energi untuk jenis masakan yang direbus. Sementara pasangan kompor gas dengan api memusat dan panci flat bottom paling efisien untuk masakan yang digoreng. So, memilih kompor gas hemat energi memang penting agar kita selalu dapat menghemat waktu dan biaya dalam tiap aktivitas memasak.
FAQ : LPG itu sebenarnya apa sih?
LPG - sesuai kepanjangannya liquified petroleum gas - adalah gas yang berasal dari minyak bumi yang telah dicairkan. LPG memang diekstrak dari minyak bumi melalui proses destilasi bertingkat. LPG secara komersial tersusun dari 2 jenis hidrokarbon utama yaitu propana (C3H8) dan butana (C4H10) dengan total komposisi keduanya mencapai 99%, disamping sekitar 1% jenis alkana lain yang sulit dihilangkan seperti pentana (C5H12). Propana memiliki tekanan lebih tinggi daripada butana sehingga tinggi-rendahnya tekanan LPG secara total banyak ditentukan oleh berapa banyak komposisi propana. Dalam fasa gas, LPG lebih berat daripada udara dengan berat jenis sekitar 2.01.
Patut diketahui pula bahwa LPG berbeda dengan gas alam (gas kota yang dilairkan ke rumah-rumah konsumen lewat jaringan pipa gas). Gas alam terutama disusun oleh hidrokarbon ringan seperti metana (CH4) dan etana. Tekanan hidrokarbon ringan ini relatif lebih rendah dibanding LPG, tetapi nilai kandungan energi kalornya tidak setinggi LPG. Gas alam umumnya diekstrak dari NG (natural gas), bukan minyak bumi.
Patut diketahui pula bahwa LPG berbeda dengan gas alam (gas kota yang dilairkan ke rumah-rumah konsumen lewat jaringan pipa gas). Gas alam terutama disusun oleh hidrokarbon ringan seperti metana (CH4) dan etana. Tekanan hidrokarbon ringan ini relatif lebih rendah dibanding LPG, tetapi nilai kandungan energi kalornya tidak setinggi LPG. Gas alam umumnya diekstrak dari NG (natural gas), bukan minyak bumi.
Jumat, 21 Oktober 2011
Berburu Sepatu di Cibaduyut, Bandung
Sabtu lalu (29 Nov 2014) kami sudah jalan dari rumah di Bekasi sekitar pukul 7 pagi menuju Bandung untuk menghadiri pernikahan saudara dari pihak suami (hitungannya sih sepupunya suami), Uli binti Parsaulian Siregar yang akad nikahnya dilaksanakan di rumah Uli di bilangan Cijagra, Buah Batu, Bandung, sekitar pukul 14 hari itu. Nah, karena ternyata anak-anak sepatunya sudah agak butut :-(, kami sepakat mampir dulu ke Cibaduyut supaya anak-anak bisa tampil gaya. So, suami tidak keluar tol di exit Buah Batu seperti biasanya jika kami langsung menuju rumah mertua, tetapi keluar di exit Moh. Toha.
"Sebenarnya sih lebih dekat dari exit Kopo, tapi jalan Kopo biasanya macet," begitu kata suami ketika itu terkait pilihannya keluar di Moh. Toha.
Begitulah... sekitar pukul 9.30 pagi kami alhamdulillah telah tiba dengan selamat di sebuah toko sepatu langganan keluarga suami sejak lama di kawasan Cibaduyut ternama. Bagi kami sendiri, kemarin itu sebenarnya kali pertama kami berkunjung ke Cibaduyut! Walaupun sudah lebih dari 10 tahun punya mertua yang tinggal di Bandung, selama ini kami memang tidak pernah main-main ke sini. Membeli sepatu selalu di mall atau toko dekat rumah.
"Bunda, itu difoto tugu sepatunya, Bun," kata suami saat hendak belok kiri dari jalan Sukarno-Hatta ke jalan Cibaduyut.
Awalnya kami agak kesulitan menemukan tugu sepatu yang dimaksud oleh suami. Tapi akhirnya kelihatan juga. Well, tugu sepatu berbentuk sepasang sepatu kulit pria dan wanita berwarna hitam sebagai penanda kawasan sentra industri sepatu Cibaduyut saat ini kurang terlihat dari jauh, agak tenggelam oleh tiang-tiang lampu lalu lintas dan lainnya yang lebih tinggi. Beberapa coretan graffiti di tiangnya menambah kesan kusam tugu sepatu yang semestinya tampak menawan ini. Dulu saat belum ada apa-apa di sekitarnya, bisa jadi tugu sepatu ini menjadi objek paling menarik perhatian di perempatan itu. Namun saat ini, ada baiknya jika tugu sepatu itu direnovasi agar lebih tinggi dan stand out dari kejauhan sekalipun...
Dari beberapa sumber di internet, kami memperoleh informasi bahwa sentra industri sepatu Cibaduyut ini diresmikan sebagai daerah wisata pada tahun 1989 oleh Presiden RI saat itu, yaitu Bapak H.M. Suharto. Nyambung sih dengan keterangan suami bahwa saat ia masih TK dan awal SD di Bandung (sekitar tahun 1982-an), ayah mertua kami beberapa kali mengajaknya membeli sepatu sekolah di Cibaduyut. Jadi pada tahun 1980-an Cibaduyut memang telah terkenal sebagai sentra industri sepatu rumahan, dan diresmikan keberadaannya pada tahun 1989.
Lebih jauh lagi menelusuri sejarah, konon pada tahun 1920 seseorang bernama Bang Kelang yang berasal dari Ciomas, Bogor, bekerja di perusahaan perajin sepatu milik warga Tionghoa di daerah Suniaraja, Bandung. Setelah sekian lama mengasah keterampilan membuat sepatu, Bang Kelang menikah dengan gadis Bandung, lalu tinggal di Cibaduyut. Meningkatnya order sepatu memaksa Bang Kelang untuk membawa sebagian pekerjaannya dari pabrik di Suniaraja ke rumah, sehingga kemudian para tetangganya pun ikut belajar membuat sepatu. Lama-lama banyak tetangganya yang diberi order pembuatan sepatu borongan ketika pesanan sepatu sedang tinggi. Akhirnya, Cibaduyut menjadi sentra home industry alas kaki hingga sekarang. Kemungkinan tak hanya Bang Kelang seorang yang merintis usaha produksi sepatu seperti ini, namun beberapa pionir lain yang memiliki keterampilan serupa dan awalnya bekerja di pabrik sepatu pun memilih memproduksi sepatu sendiri di kawasan ini. Mereka kemudian merekrut tetangganya untuk membantu usaha mereka.
Kualitas alas kaki buatan Cibaduyut umumnya cukup bagus. Modelnya pun beraneka. Saat ini tak hanya alas kaki produksi Cibaduyut yang dijual di sini, tetapi juga alas kaki branded. Ada pula produk yang berasal dari luar kota seperti sandal dan sepatu murah dari Tasikmalaya maupun Ciomas, Bogor.
Secara geografis, Cibaduyut terletak di belahan selatan kota Bandung. Untuk mencapai kawasan industri sepatu Cibaduyut, kita bisa memilih banyak cara. Dari Stasiun KA Bandung bisa langsung naik angkot ke Cibaduyut. Demikian pula dari terminal Cicaheum dapat ditempuh dengan naik angkot jurusan Leuwi Panjang. Cibaduyut sebenarnya sangat dekat dengan terminal Leuwi Panjang. Kita bisa berjalan santai sekitar 300 meter saja ke arah kawasan ini.
OK, kembali ke pengalaman kami berkunjung ke Cibaduyut kemarin, dari tugu sepatu masuk ke jalan Cibaduyut hari Sabtu pagi ternyata sudah dipadati pengunjung. Mayoritas kendaraan yang parkir di kanan-kiri jalan adalah pelat B. Mesti ekstra sabar untuk mencari parkir di sini.
Suami kami tidak ikut mencari parkir pinggir jalan, tetapi langsung menuju ke sebuah toko sepatu langganan : Toko Oval. Parkirnya enak, dan konsepnya one stop : ada ATM, jajanan dan oleh-oleh, serta range product-nya juga banyak, jadi nggak perlu pindah-pindah ke toko lainnya lagi, demikian menurut suami.
Ketika kami akhirnya masuk ke Toko Oval, suami justru tampak celingukan. "Kok beda ya dengan kondisi dulu," komentarnya. Suami kami bercerita bahwa terakhir kali ia datang ke sana (masalahnya, terakhir kalinya itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu!) di sekitar tempat parkir mobil banyak penjual jajanan khas Bandung, dan ujung belakang terdapat toilet serta mushalla. Namun yang kami lihat kemarin sudah jauh berbeda. Kawasan toko ini tampaknya sedang diperluas ke arah belakang, namun kios-kios yang nantinya akan menjadi pusat jajanan itu belum 100% jadi. Beberapa kios oleh-oleh tampak ada di belakang, dekat mushalla di lantai 2. Lahan parkir yang luas dan kios oleh-oleh ini kami tunjukkan pada foto di bawah.
Di dalam toko, argh... benar-benar jadi lapar mata! Harus kuat iman supaya dompet tidak jebol...
Berbelanja di toko langganan ini berbeda seninya dengan berbelanja di toko lain yang umumnya berukuran lebih kecil di sepanjang Cibaduyut. Di toko besar, harga sepatu dan produk lain biasanya sudah fix, sudah ditempel label harga. Sementara jika berbelanja di kios sepatu yang lebih kecil, kita bisa menawar karena memang biasanya di sini belum ada label harga. Terserah Anda sih, lebih suka yang mana.
Terakhir, mengenai hari sibuk... seperti halnya seluruh kota Bandung lainnya, kawasan Cibaduyut menjadi lebih padat setiap hari Sabtu-Ahad atau hari libur lainnya. Tingginya angka turis yang berkunjung ke Bandung untuk melewatkan hari libur menjadi penyebabnya.
"Sebenarnya sih lebih dekat dari exit Kopo, tapi jalan Kopo biasanya macet," begitu kata suami ketika itu terkait pilihannya keluar di Moh. Toha.
Tugu sepatu, tercemari grafiti dan tertutup tiang-tiang |
"Bunda, itu difoto tugu sepatunya, Bun," kata suami saat hendak belok kiri dari jalan Sukarno-Hatta ke jalan Cibaduyut.
Awalnya kami agak kesulitan menemukan tugu sepatu yang dimaksud oleh suami. Tapi akhirnya kelihatan juga. Well, tugu sepatu berbentuk sepasang sepatu kulit pria dan wanita berwarna hitam sebagai penanda kawasan sentra industri sepatu Cibaduyut saat ini kurang terlihat dari jauh, agak tenggelam oleh tiang-tiang lampu lalu lintas dan lainnya yang lebih tinggi. Beberapa coretan graffiti di tiangnya menambah kesan kusam tugu sepatu yang semestinya tampak menawan ini. Dulu saat belum ada apa-apa di sekitarnya, bisa jadi tugu sepatu ini menjadi objek paling menarik perhatian di perempatan itu. Namun saat ini, ada baiknya jika tugu sepatu itu direnovasi agar lebih tinggi dan stand out dari kejauhan sekalipun...
Dari beberapa sumber di internet, kami memperoleh informasi bahwa sentra industri sepatu Cibaduyut ini diresmikan sebagai daerah wisata pada tahun 1989 oleh Presiden RI saat itu, yaitu Bapak H.M. Suharto. Nyambung sih dengan keterangan suami bahwa saat ia masih TK dan awal SD di Bandung (sekitar tahun 1982-an), ayah mertua kami beberapa kali mengajaknya membeli sepatu sekolah di Cibaduyut. Jadi pada tahun 1980-an Cibaduyut memang telah terkenal sebagai sentra industri sepatu rumahan, dan diresmikan keberadaannya pada tahun 1989.
Lebih jauh lagi menelusuri sejarah, konon pada tahun 1920 seseorang bernama Bang Kelang yang berasal dari Ciomas, Bogor, bekerja di perusahaan perajin sepatu milik warga Tionghoa di daerah Suniaraja, Bandung. Setelah sekian lama mengasah keterampilan membuat sepatu, Bang Kelang menikah dengan gadis Bandung, lalu tinggal di Cibaduyut. Meningkatnya order sepatu memaksa Bang Kelang untuk membawa sebagian pekerjaannya dari pabrik di Suniaraja ke rumah, sehingga kemudian para tetangganya pun ikut belajar membuat sepatu. Lama-lama banyak tetangganya yang diberi order pembuatan sepatu borongan ketika pesanan sepatu sedang tinggi. Akhirnya, Cibaduyut menjadi sentra home industry alas kaki hingga sekarang. Kemungkinan tak hanya Bang Kelang seorang yang merintis usaha produksi sepatu seperti ini, namun beberapa pionir lain yang memiliki keterampilan serupa dan awalnya bekerja di pabrik sepatu pun memilih memproduksi sepatu sendiri di kawasan ini. Mereka kemudian merekrut tetangganya untuk membantu usaha mereka.
Sebelum penjajahan Jepang, tahun 1940-an, di Cibaduyut tercatat telah ada 89 orang perajin sepatu. Hal ini tidak terlepas dengan
semakin meningkatnya pesanan menyusul penilaian konsumen bahwa produk Cibaduyut memiliki kualitas yang baik pada saat itu. Setelah kemerdekaan RI, pada tahun 1950-an jumlah
unit usaha alas kaki telah berkembang menjadi sekitar 250 unit usaha. Dengan jumlah
unit usaha yang besar inilah daerah Cibaduyut mulai dikenal sebagai
sentra produksi alas kaki.
Pada tahun 1978 pemerintah pusat melalui Departemen Perindustrian bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melakukan
pengkajian dalam rangka bimbingan dan Pengembangan sentra sepatu
Cibaduyut. Hasil kajian tersebut merekomendasikan dibangunnya pusat
pelayanan fasilitasi pembinaan Center Service
Facility (CSF), atau yang lebih dikenal masyarakat pengusaha sepatu dengan sebutan Unit Pelayanan Teknis (UPT) barang kulit.
Hasil produksi sepatu dari gang-gang di belakang jalan utama dipasarkan langsung di kios dan toko di pinggir jalan Cibaduyut ini (persis yang kami jumpai di Kasongan, Jogja, dimana gerabah mentah diproduksi di gang-gang di sebelah dalam, lalu di-finishing dan dijual di toko-toko di sepanjang jalan Raya Kasongan). Deretan kios dan toko sepatu ini sambung-menyambung hingga beberapa km terhitung dari tugu sepatu ke arah selatan. Beberapa situs internet mengklaim Cibaduyut sebagai toko sepatu terpanjang di dunia. Hmmm, masuk akal memang... Kualitas alas kaki buatan Cibaduyut umumnya cukup bagus. Modelnya pun beraneka. Saat ini tak hanya alas kaki produksi Cibaduyut yang dijual di sini, tetapi juga alas kaki branded. Ada pula produk yang berasal dari luar kota seperti sandal dan sepatu murah dari Tasikmalaya maupun Ciomas, Bogor.
Secara geografis, Cibaduyut terletak di belahan selatan kota Bandung. Untuk mencapai kawasan industri sepatu Cibaduyut, kita bisa memilih banyak cara. Dari Stasiun KA Bandung bisa langsung naik angkot ke Cibaduyut. Demikian pula dari terminal Cicaheum dapat ditempuh dengan naik angkot jurusan Leuwi Panjang. Cibaduyut sebenarnya sangat dekat dengan terminal Leuwi Panjang. Kita bisa berjalan santai sekitar 300 meter saja ke arah kawasan ini.
OK, kembali ke pengalaman kami berkunjung ke Cibaduyut kemarin, dari tugu sepatu masuk ke jalan Cibaduyut hari Sabtu pagi ternyata sudah dipadati pengunjung. Mayoritas kendaraan yang parkir di kanan-kiri jalan adalah pelat B. Mesti ekstra sabar untuk mencari parkir di sini.
Suami kami tidak ikut mencari parkir pinggir jalan, tetapi langsung menuju ke sebuah toko sepatu langganan : Toko Oval. Parkirnya enak, dan konsepnya one stop : ada ATM, jajanan dan oleh-oleh, serta range product-nya juga banyak, jadi nggak perlu pindah-pindah ke toko lainnya lagi, demikian menurut suami.
Ketika kami akhirnya masuk ke Toko Oval, suami justru tampak celingukan. "Kok beda ya dengan kondisi dulu," komentarnya. Suami kami bercerita bahwa terakhir kali ia datang ke sana (masalahnya, terakhir kalinya itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu!) di sekitar tempat parkir mobil banyak penjual jajanan khas Bandung, dan ujung belakang terdapat toilet serta mushalla. Namun yang kami lihat kemarin sudah jauh berbeda. Kawasan toko ini tampaknya sedang diperluas ke arah belakang, namun kios-kios yang nantinya akan menjadi pusat jajanan itu belum 100% jadi. Beberapa kios oleh-oleh tampak ada di belakang, dekat mushalla di lantai 2. Lahan parkir yang luas dan kios oleh-oleh ini kami tunjukkan pada foto di bawah.
Di dalam toko, argh... benar-benar jadi lapar mata! Harus kuat iman supaya dompet tidak jebol...
Berbelanja di toko langganan ini berbeda seninya dengan berbelanja di toko lain yang umumnya berukuran lebih kecil di sepanjang Cibaduyut. Di toko besar, harga sepatu dan produk lain biasanya sudah fix, sudah ditempel label harga. Sementara jika berbelanja di kios sepatu yang lebih kecil, kita bisa menawar karena memang biasanya di sini belum ada label harga. Terserah Anda sih, lebih suka yang mana.
Terakhir, mengenai hari sibuk... seperti halnya seluruh kota Bandung lainnya, kawasan Cibaduyut menjadi lebih padat setiap hari Sabtu-Ahad atau hari libur lainnya. Tingginya angka turis yang berkunjung ke Bandung untuk melewatkan hari libur menjadi penyebabnya.
Rabu, 19 Oktober 2011
Perbedaan Porsi Makanan di China dan Indonesia
China memang serba besar. Negaranya luas, penduduknya berlimpah, kota-kotanya dibangun amat besar, bahkan... porsi makanannya pun serba jumbo. Ini yang kami tangkap dari setiap perjalanan ke Negeri Tirai Bambu...
Tips awal : selalu minta 'small portion' saat memesan makanan, meskipun mungkin saja kita masih akan terkejut menyaksikan betapa masih sangat besarnya takaran 'small portion' versi China... Menurut rekan China kami, memang adat di sana demikian : menyajikan banyak makanan dan minuman pada tamu adalah kehormatan bagi tuan rumah di China. Hal itu ternyata masih terbawa hingga sekarang. Menolak jamuan serba berlimpah orang China bisa dianggap sebagai bentuk kekurangsopanan kita. Jadi, jika masih memungkinkan terimalah sajian hidangan dari tuan rumah China tersebut,
Well... pictures talk much more than words. Berikut foto-foto yang kami abadikan di China terkait porsi makanan yang super gembul untuk ukuran orang Indonesia...
Seafood lagi, seafood lagi! Ya, selama di China kami hanya berani memesan seafood (plus wanti-wanti agar wajannya dicuci bersih dulu, insyaAllah tidak ada lemak-lemaknya lagi...). Tapi lihat foto di atas, datangnya benar-benar sewajan penuh! Pokoknya sampai blenger.
Makanan di China umumnya dimasak dengan cara direbus, bukan digoreng dengan minyak. Contohnya seafood pada foto di atas. Selama berada di sana, belum pernah kami jumpai seafood yang digoreng garing layaknya di sini...
Makanan di China umumnya dimasak dengan cara direbus, bukan digoreng dengan minyak. Contohnya seafood pada foto di atas. Selama berada di sana, belum pernah kami jumpai seafood yang digoreng garing layaknya di sini...
Kue pastelnya juga jumbo. Mungkin hampir 3 kali lipat dibanding ukuran umumnya kue pastel Indonesia. Makan satu juga sudah kenyang.
Jenis-jenis makanan lain yang biasa ditemui di Indonesia seperti mie atau nasi goreng memang tidak kami ambil fotonya. But believe me... the portion is very huge!!!
Mau hidangan eksotis seperti buaya atau ular/reptil lain juga banyak. Tapi kami hanya mengambil foto saja, tidak mencobanya. Masih banyak hidangan lain yang lebih halalan thoyyibah...
Nah... ini yang dicari selama di China : muslim retaurant! Kalau berhasil menemukan restoran-restoran halal seperti ini, barulah kami bisa bersantap dengan agak tenang. Mayoritas muslim restaurant di China dimiliki oleh orang-orang dari provinsi Xinjiang atau Qinhai yang memang mayoritas muslim. Atau jika tidak pun, juru masaknyalah yang Xinjiang Atau Qinhai muslim. Taste hidangan dari dua provinsi ini pada umumnya kaya rempah, cenderung pedas, namun lezat. Mirip-mirip makanan India atau Pakistan.
Beralih ke minuman, favorit kami tentunya teh. Oolong atau Green Tea sama enaknya. Flower Tea pun unik. Teh di China diminum tanpa gula, tidak seperti di Indonesia yang umumnya berasa manis. Teh tanpa gula memang sangat menonjolkan rasa dan aroma tehnya itu sendiri.
Tapi sesekali kami ingin mencicipi minuman lain juga. Rasa sari kacang hijau China hampir sama saja dengan di Indonesia, hanya menurut kami tekstrurnya lebih kental. Yang tidak kami rekomendasikan adalah Coconut Milk. Menilik namanya, kami sangka ini sejenis susu yang dicampur air kelapa. Hmmm... segar. Ternyata yang datang santan kelapa...
Tapi sesekali kami ingin mencicipi minuman lain juga. Rasa sari kacang hijau China hampir sama saja dengan di Indonesia, hanya menurut kami tekstrurnya lebih kental. Yang tidak kami rekomendasikan adalah Coconut Milk. Menilik namanya, kami sangka ini sejenis susu yang dicampur air kelapa. Hmmm... segar. Ternyata yang datang santan kelapa...
Senin, 17 Oktober 2011
'Senjata Utama' di Lauk Jogja : Kompor Gas (The Most Important Thing in a Restaurant : Gas Stove)
Kompor Gas, Sang Senjata Utama...
Namanya juga selalu ada aktivitas memasak, 'senjata utama' yang mutlak kami miliki di dapur Pondok Dahar Lauk Jogja ya kompor gas. Karena sejak sebelum mendirikan rumah makan ini pun kami sudah menggunakan kompor gas merk blue gaz, keterusan akhirnya di rumah makan pun kami tetap memakai blue gaz.
Namanya juga selalu ada aktivitas memasak, 'senjata utama' yang mutlak kami miliki di dapur Pondok Dahar Lauk Jogja ya kompor gas. Karena sejak sebelum mendirikan rumah makan ini pun kami sudah menggunakan kompor gas merk blue gaz, keterusan akhirnya di rumah makan pun kami tetap memakai blue gaz.
Alasan utama menggunakan blue gaz tentu keamanan ya (terus terang ngeri dengan kasus ledakan tabung gas elpiji warna hijau, tapi alhamdulillah sepertinya sekarang sudah agak jarang ya ada ledakan tabung gas elpiji). Apalagi karena juru masak kami adalah tetangga sendiri dari Jogja, keselamatannya tentu harus amat diperhatikan.
Karena kapasitas isi LPG tabung blue gaz memang tidak sebesar tabung elpiji 12 kg, kami menggunakan 2 tabung blue gaz 5,5 kg di Lauk Jogja. Sewaktu-waktu yang satu habis, masih ada satu tabung isi yang dapat digunakan. Untungnya, agen blue gaz cukup banyak tersedia di sekitar rumah makan kami (agen terdekat ada sekitar 70 m saja ke arah barat). Daftar alamat agen blue gaz terdekat dengan lokasi Anda dapat dilihat di sini
Wah... tidak sadar sewaktu mengambil foto tabung blue gaz di atas... ternyata doublepan Vienta kami pun tak mau kalah ikut nampang, haha..
Nah, kalau yang ini kompor blue gaz yang kami pakai di Lauk Jogja. Fotonya masih kinclong, diambil waktu kompornya masih baru (untuk file inventaris rumah makan kami). Sekarang sih sudah tidak se-gress itu lagi. Namanya juga dipakai tiap hari. Tapi, karena kompornya terbuat dari stainless steel, jadi mudah dibersihkan/dilap. Pokoknya sebisanya sering dilap deh, supaya kondisi dapur Lauk Jogja juga tetap enak dilihat.
Simak juga :
Produk bambu ulir di Pondok Dahar Lauk Jogja
Produk vas gerabah Kasongan di Pondok Dahar Lauk Jogja
Tips memilih alat masak stainless steel
Artikel menarik tentang tips memilih kompor gas LPG
Artikel menarik tentang apakah LPG sebenarnya?